Senin, 01 November 2021

MS4, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

 


 

MS4, SKP, SISTIM KEPARTAIAN DAN PEMILU

KULIAH IV, 2 November 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Pengantar

Pada kuliah ketiga telah diuraikan arti dan fungsi partai politik. Semoga para mahasiswa telah memahaminya. Untuk membandingkan atau menghubungkannya dengan Indonesia, sebaiknya bacalah UU Partai Politik (UU No 2 Tahun 2011). Disitu telah diuraikan dengan jelas, apa yang menjadi fungsi partai politik di Indonesia. Seperti apa, bagaimana, fungsi partai, telah diuraikan dengan jelas disitu. Sebaiknya dibaca….jangan dicuekin

Pada kuliah keempat ini, akan dilanjutkan dengan fungsi partai politik di negara otoriter dan di negara berkembang.  Para mahasiswa diharapkan dapat membandingkannya, terutama dengan keadaan di Indonesia.

Cat: Setelah selesai dibaca (termasuk lampiran), jawablah pertanyaan dibawahnya.

 

Fungsi di Negara Otoriter

Hal-hal yang dijelaskan di bagian terdahulu adalah fungsi-fungsi partai menurut pandangan yang berkembang di negara yang menganut paham demokrasi. Kini, marilah kita lihat bagaimana paham negara otoriter misalnya bagaimana Komunisme di Uni Soviet memandang partai politik. Pada kenyataannya pandangan tersebut memang berbeda. Contoh lain negara yang otoriter adalah China dan Kuba. Tetapi di sini hanya dibahas komunisme di Uni Soviet.

            Menurut paham komunis sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah partai komunis berkuasa di negara di mana ia berada atau tidak. Di negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu partai komunis mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di negara-negara demokrasi) untuk mencari dukungan seluas-luasnya, misalnya dengan jalan memupuk rasa tidak puas di kalangan rakyat. Partai komunis bertujuan mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan system politik yang demokratis. Maka dari itu, partai ini menjadi paling efektif di negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.

Akibat karakternya yang demikian, partai komunis sering dicurigai dan di beberapa negara bahkan di larang.  Akan tetapi tindakan semacam itu juga ada bahayanya. Sebab dalam keadaan seperti itu partai akan bergerak di bawah tanah, sehingga justru sukar diawasi. Apabila tidak menemukan jalan untuk merebut kekuasaan partai akan mencoba mencapai tujuannya melalui kerja sama dengan partai-partai lain dengan mendirikan Front Rakyat atau Front Nasional (popular front tactics)

Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Di sini partai komunis mempunyai kedudukan monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat saja ia menemukan dirinya sebagai partai tunggal atau sekurang-kurannya sebagai partai yang paling dominan, seperti yang terjadi di Uni Soviet, China, dan negara-negara komunis Eropa Timur.

Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah tercapainya masyarakat yang modern dengan ideologi komunis, dan partai berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.

Partai komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan rangkap. Supreme Soviet yang merupkan badan tertinggi diketuai oleh suatu presidium yang anggota-anggotanya juga sebagai tokoh partai. Begitu pula halnya dengan pimpinan semua badan kenegaraan seperti badan eksekutif dan badan yudikatif. Sekretaris partai komunis lebih berkuasa dari Presiden (ketua presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering dnamakan negara totaliter.

Partai Komunis juga melaksanakan beberapa fungsi, tetapi pelaksanaannya sangat berbeda dengan yang ada di negara-negara demokrasi. Misalnya, dalam rangka berfungsi sebagaimana sarana komunikasi politik, partai menyalurkan informasi untuk mengindoktrinasikan masyarakat dengan informasi yang menunjang usaha pimpinan partai. Arus informasi lebih bersifat dari atas ke bawah, dari pada dua arah

Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga negara ke arah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Proses sosialisasi ini dilakukan secara ketat di sekolah, organisasi pemuda, tempat kerja seperti pabrik dan sebagainya., dan melalui dominasi partai di hampir segala sector kehidupan masyarakat. Sebaliknya, di negara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum.

Partai juga berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik. Akan tetapi dalam hal ini ia mengutamakan orang yang mempunyai kemampuan untuk mengabdi kepada partai, yang menguasai ideologi Marxisme-Leninisme, dan yang kelak mampu menduduki kedudukan pimpinan untuk mengawasi kegiatan dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Untuk itu si calon anggota harus menjalani masa percobaan dimana ia harus memenuhi standar-standar ketat mengenai pengabdian dan kelakuan, baik pribadi maupun di muka umum, yang ditetapkan oleh Partai Komunis. Akan tetapi karena iklim politik tidak kompetitif maka pemilihan umum tidak merupakan sarana untuk memilih pimpinan negara, tetai lebih bersifat sebagai tanda bukti dari loyalitas rakyat kepada negara dengan memilih calon yang ditentukan oleh Partai. Rezim ini dapat dikategorikan sebagai “Sosialisme negara dimana control politik ada di tangan Partai Komunis yang bersifat monopolistic dan hierarkhis, dan dimana ekonomi di atur atas dasa kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari negara”.

Pada akhir decade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim refresif, yang berakhir dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbentuknya Commonwealth of independent State. Sebelumnya pada Maret 1990 Soviet tertinggi telah mengakhiri kedudukan monopoli dari Partai Komunis, dan pada bulan Oktober 1990 memberi status yang sama kepada semua partai politik. Hal ini membuka jlan untuk berkembangna system multi partai. Maka pada pemilihan umum 1992 lebih dari empat puluh partai ikut serta. Dengan demikian berakhirlah dominasi satu partai.

Jadi, dari uraian tadi jelaslah kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di negara komunis berbeda sekali dengan partai dalam negara yang demokratis. mengenai perbedaan ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut. Jika di negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum, peran partai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai. Kedua fungsi ini diselenggarakan melalui propaganda dari atas ke bawah.

 

Fungsi di Negara-Negara Berkembang

Di negara-negara Berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain; demikian pula keadaan partai politiknya menunjukkan banyak sekali variasi. Kecuali di beberapa negara yang berlandaskan komunisme. Seperti Korea Utara, partai-partai politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan massa yang luas dan kukuh.

Pada umumnya partai politik juga diharapkan akan melaksanakan fungsi-fungsi sepeti itu di negara-negara yang sudah mapan kehidupan politiknya. Ia diharapkan menjadi alat penting untuk mengorganisir kekuasaan politik, memengaruhi keputusan-keputusan pemerintah serta turut melaksnakannya, menghubungkan secara efektif masyarakat umum dengan proses politik, merumuskan aspirasi dan tuntutan rakyat serta memasukkannya ke dalam proses membuat keputusan.

Akan tetapi di negara-negara baru, partai politik berhadapan dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagian pendapatan yang timpang dan tingkat buta huruf yang tinggi. Beban yang diletakkan atas pundak partai sering terlalu berat dan harapan-harapan yang ditujukan kepada partai politik terlampau tinggi.

Di beberapa negara fungsi yang agak sukar dilaksanakannya ialah sebagai jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah. Sering golongan pertama banyak mencakup orang yang kaya, sedangkan golongan yang diperintah banyak mencakup orang miskin. Dengan demikian jurang di antara kedua belah pihak sukar dijembatani. Selain itu, partai politik sering tidak mampu menengahi pertikaian dalam masyarakat dan persaingan antar partai sering memperuncing situasi konflik, dan malahan menimbulkan pertikaian yang baru. Keadaan semacam ini dapat mengalihkan perhatian, jauh dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat berkembang.

Satu peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana untuk memperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak social dan pandangan hidupnya menjadi satu bangsa. Akan tetapi pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa partai politik sering tidak mampu membina integrasi, akan tetapi malah menimbulkan pengotakan dan pertentangan yang mengeras.

Karena pengalaman tersebut di atas, banyak kritik telah dilontarkan pada partai-partai politik, dan beberapa alternatif telah diikhtiarkan. Salah satu jalan keluar diusahakan dengan jalan meniadakan partai sama-sekali. Hal ini telah dilakukan oleh Jendral Ayub Khan dari Pakistan pada tahun 1958, bahkan parlemen dibubarkan. Akan tetapi sesudah beberapa waktu partai-partai muncul kembali melalui suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen baru, dan Presiden Ayub Khan sendiri menggabungkan diri dengan salah satu partai politik. Pengalaman ini menunjukkan bukti bahwa sekalipun partai politik banyak segi negartifnya, pada dasarnya kehadiran serta perannya di negara-negara berkembang masih penting dan sukar dicarikan alternatifnya.

Pengalaman lain di beberapa negara berkembang ialah bahwa jika lembaga-lembaga politik gagal memainkan peran yang diharapkan, akan terjadi campur tangan oleh pihak militer. Hal ini sering terjadi jika masa instabilitas berjalan agak lama dan pergolakan politik sangat intensif. Dalam situasi semacam itu golongan militer mungkin merupakan satu-satunya kelompok yang terorganisir dan yang, berkat disiplin dan fasilitas-fasilitas yang dimiliknya berada dalam keadaan yang lebih menguntungkan dari pada kelompok lain. Campur tangan pihak militer biasanya terjadi dengan dalih untuk menghindarkan kemunduran yang lebih gawat atau timbulnya perang saudara. Sekali kekuasaan diambil oleh kaum militer, maka sukar sekali untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan orang sipil. Meksiko dapat disebut sebagai contoh dimana pemerintah sipil dapat dibangun kembali, sesudah kekuasaan militer sempat bertahan sampai beberapa puluh tahun.

Dari uraian di ats dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang partai politik, sekalipun memiliki banyak kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana penting dalam kehidupan politiknya. Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negara yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika partai dan golongan-golongan politik lainnya diberi kesempatan untuk berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk ini dalam banyak hal akan berbeda dengan partai di negara yang sudah mapan, karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri. Setidak-tidaknya di negara yang keabsahan pemerintahannya sedikit banyak diuji oleh berjuta-juta rakyat dalam pemilihan umum berkala, partai-partai politik dan organisasi kekuatan social politik lainnya mnduduki tempat yang krusial.

 

PERTANYAAN

1.     Coba sebutkan beberapa negara yang disebut demokratis. begitu pula otoriter, dan berkembang.

2.     Dari tiga terminology itu, Indonesia dapat digolongkan kepada negara yang mana?

3.     Republik Rakyat China (RRC) dapat digolongkan kepada negara yang mana ?

4.     Adakah partai politik di negara Brunei Darussalam?

5.     Adakah partai politik di negara Saudi Arabia?

 

Lampiran

KONSISTENSI JERMAN PADA IDEOLOGI, KOALISI, DAN KOMPROMI

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan, Dekan Fisip Untag Jakarta 2008-2011

Ketika suatu partai tidak mencapai suara mayoritas dalam pemilu, yakni di atas 50 persen, maka untuk membentuk pemerintahan, ia harus berkoalisi dengan partai lainnya. Sebagaimana hakiki koalisi dalam sistim politik demokratis, maka yang pertama-tama dan utama dirundingkan adalah kebijakan masing-masing partai, yakni program kerja yang akan diimplementasikan dalam pemerintahan tersebut. Kedua sebagai konsekwensi atau lanjutan dari kebijakan tersebut adalah pembagian kekuasaan, yaitu jabatan-jabatan politik yang berhubungan dengan program yang dikompromikan.

Suatu kompromi yang tidak mudah tentunya, mengingat/sebab masing-masing partai telah mempunyai kebijakan sendiri-sendiri sebagai manifestasi dari ideologinya. Partai yang berdekatan ideologinya, lazimnya akan mudah berkompromi. Sebaliknya, yakni yang jarak ideologinya jauh, bahkan bertentangan akan sukar mencapai kesepakatan. Disisi lain, kompromi akan semakin sukar apabila jarak perolehan suaranya dalam pemilu sangat berdekatan. Inilah yang terjadi dalam kasus koalisi Angela Merkel dari partai CDU/CSU dengan mitranya SPD, yang dipimpin Martin Schultz.

Meski sama-sama dari ideologi yang berdekatan, yakni sama-sama sosialis dan sama-sama demokratis (sosdem), namun dalam kebijakan atau terobosan kerjanya (yang ditawarkan ke masyarakat) sangat berbeda. CDU-CSU, walaupun sesungguhnya sosialis-demokrat sebagaimana dikatakan sebelumnya, dalam sepak terjangnya agak condong ke liberalisme dan kapitalisme. Sebaliknya SPD yang puriten sosialis universal. Bagaimana perbedaan/diskrepansinya dapat dilihat dari misi atau program yang akan mereka kompromikan.

Jalan Terjal Koalisi-Kompromi

CDU/CSU dalam hal immigran yang sedang marak saat ini masuk ke Eropa, Jerman khususnya mengambil kebijakan pembatasan, yakni bahwa immigran yang masuk ke negeri ini harus dibatasi jumlahnya. Sebaliknya SPD, yakni tidak menyetujui pembatasan. Selama mereka (immigran tersebut) punya kapabilitas, kemampuan, dan professionalitas yang mumpuni tidak perlu dibatasi. Dalam hal buruh, yang merupakan jati diri, karakteristik atau benchmark SPD, partai ini konsisten akan terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kesehatannya. Sebaliknya, CDU/CSU menganggap kebijakan demikian memakan ongkos yang mahal.

Belum lagi sekian banyak/ratusan issu-issu krusial/mikro lain yang kental diskrepansi, kontroversi, dan perbedaannya, seperti masalah pertahanan/persenjataan, kebijakan luar negeri/Uni Eropa/Euro, pajak/perekonomian/energi, lingkungan dan sebagainya, yang  menyita waktu, kesabaran, dan pengorbanan.

 Meminjam litani Angela Merkel, kompromi yang menyakitkan, karena harus mengorbankan beberapa kebijakan yang sebelumnya belum pernah dikorbankan. Kebijakan-kebijakan luar negeri dan keuangan yang sebelumnya 100 persen kebijakan/milik CDU, kali ini harus diserahkan kepada SPD, agar pemerintahan dapat dijalankan. Begitu pula beberapa item yang lain.

Tidak cukup disitu, meski sudah tercapai kesepakatan antar elit CDU/CSU dengan SPD tidak berarti persoalan telah selesai. Ujian terberat masih menghadang di depan, yakni harus mendapat persetujuan anggota-anggota SPD yang berjumlah 465.000 orang. Dengan kata lain harus dilakukan referendum. Realitanya memang setelah diadakan referendum, 65 persen menyetujuinya.

Dengan persetujuan demikian, Angela Merkel kembali menjadi kanselir untuk ke empat kalinya. Persis seperti yang dilalui mentornya dari CDU/CSU, Helmut Kohl, yang empat kali juga menjabat kanselir (1982-1998). Sebelumnya pimpinan-pimpinan CDU/CSU juga, telah menjabat hal yang sama, seperti Konrad Adenaur, tiga kali, yakni dari tahun 1949 hingga 1963, Ludwig Erhard, yang mengenalkan pasar sosial (social market), satu kali, 1963-1966, dan Kurt Georg Kiesinger, satu kali, 1966-1969. Disela-selanya diisi oleh pimpinan SPD, seperti, Willy Brandt, tiga kali, 1969-1974, Helmut Schmidt, dua kali, 1974-1982, Gerhard Schroder, dua kali, 1998-2005.

Pencapaian yang spektakuler dan fantastik. Bagaimana berturut-turut sampai empat kali menjadi kanselir dinegara besar, apalagi seorang perempuan, bukanlah sembarang karir. Sudah pasti karena ia punya prestasi luar biasa. Prestasi kepemimpinan politik yang  sungguh-sungguh mewujudkan aspirasi rakyatnya, serta gemilang membawa Jerman menjadi negara makmur dan sejahtera yang disegani dikancah global.

Konsistensi Jerman

Sebagaimana fakta historisnya, pemerintahan Jerman  sejak perang dunia II hingga hari ini, adalah pemerintahan yang paling stabil di dunia. Pemerintahan yang sungguh-sungguh mempraksiskan sistim politik demokratis, good governance, birokrasi nan legal-rasional, dan lain-lain pola demokrasi substantif, namun juga kemajuan ekonomi. Kemajuan yang didasari ideologinya yang khas, yang mengambil jalan tengah, yakni “sosialis-demokratis” (sosdem)

Ideologi yang merupakan sublimasi/jalan tengah antara liberal-kapitalisme dengan sosialis-komunisme yang berseteru dan saling berebut pengaruh pasca perang dunia II. Meski Jerman satu orbit dengan Amerika Serikat (AS) yang menjadi kampium liberal-kapitalisme dalam perang dingin (cold war), dan mendapat bantuan ekonomi via Marshall Plan, negeri ini tidak tunduk pada ideologi atau dikte-diktenya.

Dengan tegas dan pasti Jerman jalan dengan ideologinya sendiri sebagaimana dikatakan Ludwig Erhard dari CDU/CSU yang menjadi kanselir tahun 1963-1966, yakni bahwa Jerman menganut pasar sosial. Bukan pasar bebas (free market) yang memberikan setiap individu bebas bersaing (competition), melainkan pasar yang dikendalikan negara dengan dasar keadilan sosial.

Ideologi, pola, atau model, yang mengingatkan kita kepada pemikiran Bung Karno pada tahun 1930-an, dan atau khususnya sewaktu merumuskan Pancasila, yakni socio-demokrasi alias demokrasi sosial. Demokrasi yang tidak hanya dalam bidang politik sebagaimana yang umum dikenal, namun juga dalam bidang ekonomi.

Ideologi tengah  yang dalam ilmu ekonomi modern/kontemporer dikenal dengan sebutan Keynesian, sesuai dengan nama konseptornya, John Maynard Keynes. Keynes sebagaimana sejarahnya menitahkan, jika terjadi distorsi dalam pasar, maka negara harus melakukan intervensi agar mekanisme pasar berjalan sempurna.

Adapun metode, strategi, atau kiatnya melakukan intervensi demikian disesuaikan dengan parasit yang terjadi di pasar. Jika penyakitnya sudah akkut/kronis, seperti malaise yang melanda AS tahun 1930-an, kiat yang ditempuh adalah menempuh pembelian besar-besaran (new deal) supaya ekonomi menggeliat. Ada juga kemungkinan melakukan subsidi, atau bantuan langsung, dan sebagainya.

 Namun di atas itu semua, yang terutama adalah menjaga agar aktor-aktor ekonomi yang berkompetisi di pasar harus sesuai dengan sistim ekonomi-politik yang tertulis dan tersirat dalam konstitusi. Tidak diizinkan/tidak boleh monopoli, oligopoli, kartel, mafia, dan lain-lain penyakit ekonomi. Harus menguntungkan secara sosial.

Sayang seribu sayang, Pancasila dan UUD 1945 yang lebih lengkap dari ideologi tengah/sosdem Jerman demikian, dan pernah ditawarkan Bung Karno sebagai alternatif ideologi dunia dalam sidang PBB 1963, nyaris tinggal sebatas kenangan, karena jauh dari harapan. Apakah dengan dibentuknya Unit Kerja Presiden tentang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) akan menuntaskan persoalan struktural demikian? Sejarahlah yang menjawab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar