Kamis, 04 November 2021

BK4, MK, MANAJEMEN KONFLIK

 


 

BK4, MK, MANAJEMEN KONFLIK

KULIAH IV, JUMAT 5 NOV 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

 

Catatan

Materi untuk kuliah ini diambil dari bukunya Drs Edi Santosa SU, dan Dr Lilin Budiati SH, MM, Manajemen Konflik, UT Jakarta

 

 

Cara Membaca Materi Kuliah IV

            Materi kuliah IV in akan sukar dipahami, jika para mahasiswa belum menguasai beberapa teori sosial ataupun politik. Singkatnya para mahasiswa sudah paham teori-teori “sosiologi politik”. Para mahasiswa sudah harus memahami;

  1. Teori Demokrasi
  2. Teori Fungsional
  3. Teori Konflik
  4. Teori Weber, Durkheim, dan Marx

 

Meski tidak mendetail, minimal dasar-dasar dari teori itu sudah harus dipahami, sebab dalam materi ini para mahasiswa nanti akan ketemu konsep-konsep, seperti;

·         Alienasi

·         Akomodasi

·         Koalisi

·         Pembelajaran sosial

·         Kesadaran kolektif

·         Konstruksionisme sosial

·         Metode konsensus, yakni inventing, realizing, dan creative committing.

Semua itu dikemukakan hanya untuk memahami apa yang menjadi tema materi ini, yakni “consensus”, yang tak lain tak bukan sebenarnya adalah “kesepakatan”

Konsep yang sesungguhnya sudah dimiliki Indonesia, yakni “mufakat”…..musyawarah untuk mufakat (Sila ke empat Pancasila). Dalam teori Jurgen Habermash popular dengan sebutan “Demokrasi Deliberatif”. Selamat membaca dan mengulasnya.

 

 

 

Kaitan Konsensus

 dengan Konflik

 

D

 
emokrasi sesungguhnya membiasakan diri hidup dalam perbedaan (multikulturalisme)  atau  menghargai  hak  hidup  orang  yang berbeda.

Kritik itu pada dasarnya harus dipandang sebagai penggaris yang dapat meluruskan berbagai hal yang terkadang melenceng atau mengikuti garis yang telah ada walaupun garisnya lurus atau jalannya berbelok-belok karena berbagai kepentingan, baik kepentingan partai (kelompok aliran di Indonesia), individu, maupun keamanan kekuasaannya.

Pendidikan menangani konflik dan kompetisi memegang  peranan penting dalam masyarakat demokratis. Pada hakikatnya, manusia lahir disertai hasrat kebebasan individu, tetapi mereka lahir tidak dibekali dengan tata nilai atau norma sosial politik. Hal itu harus dicari dan dipelajari dalam berbagai kesempatan. Jika sebuah rezim totalitarian yang diwarnai oleh indoktrinasi kepentingan penguasa, pendidikan demokratis harus mampu membebaskannya sehingga muncul politisi yang memiliki sifat abdi rakyat, bukan abdi pemerintah yang berkedok kepentingan negara.

Dengan demikian, pendidikan harus dapat memberikan peluang untuk menumbuhkan kebebasan manusia. Kesadaran hak dan kewajiban sebagai warga negara harus tumbuh seiring dengan berkembangnya kedewasaan warga negara. Dasar pendidikan yang demokratis akan memberikan dampak dalam menangani konflik atau dalam berkompetisi memperebutkan berbagai sumber daya langka di masyarakat.

Sumber daya langka yang diperebutkan akan mengantarkan munculnya konflik kepentingan dalam masyarakat luas. Dari uraian ini, demokrasi pada hakikatnya dapat dikatakan seperangkat aturan untuk mengelola konflik kepentingan di masyarakat dengan menggunakan pilar-pilar pemerintahan yang demokratis. Ada paradoksal dalam masyarakat demokratis karena  berdiri antara konflik dan konsensus/mufakat.

Menurut (Santosa 2004: 4), konsensus berasal dari bahasa Inggris, yaitu consensus. Konsensus adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai persepsi, pendapat, pendirian, dan sikap yang dicapai melalui kebulatan suara antar pihak). Lebih lanjut, ditegaskan bahwa fungsi konflik dalam tataran teoretis adalah fungsi eduksi, fungsi adaptasi, dan fungsi demokrasi. Edukasi adalah upaya memberikan pembelajaran yang baik dalam proses interaksi sosial yang tidak lepas dari sikap prejudice yang potensial menimbulkan konflik. Fungsi adaptasi adalah upaya mereduksi perbedaan nilai dan kepentingan menjadi kesamaan atau kekuatan. Fungsi demokrasi adalah upaya pencegahan perilaku non demokratis, seperti alienasi, kekerasan (coercion), anarki, dan sikap otoriter.

Dalam konteks demokrasi, pada dasarnya hal itu adalah kemampuan untuk mengelola konflik menjadi resolusi konflik yang menghasilkan konsensus, mufakat, atau pengaturan lain yang diterima oleh semua pihak sebagai yang sah. Jika demokrasi dipandang sebagai forum tempat untuk melegitimasi kepentingan mayoritas dengan mendesakkannya pada kelompok lain yang minoritas, golongan minoritas hanya berfungsi sebagai sarana pengesahan yang dipaksakan sehingga keseimbangan menjadi hilang. Hal ini akan mengancam masyarakat keseluruhan. Kehancuran akan datang dari dalam (pergolakan internal). Jika pemerintah melakukan tekanan berlebih untuk mencapai konsensus dengan membungkam suara rakyat minoritas, masyarakat dapat hancur.

Koalisi dapat dikatakan sebagai inti dari tindakan demokratis. Di dalamnya, ada akomodasi kelompok kepentingan untuk saling bernegosiasi dan berkoalisi dengan saling menunjukkan dan menawarkan kelebihan dan kekurangan dalam sistem konstitusional. Dengan demikian, kebenaran dalam demokrasi menjadi sangat pragmatis, betapa pun tidak sempurnanya, karena adanya beragam gagasan ataupun kepentingan (individu dan institusi). Gagasannya tidak diujikan terhadap sebuah ideologi, tetapi dicobakan pada dunia nyata (real politik) yang dari dalamnya dapat diubah, diperbaiki, dan dibuang, apabila perlu, dengan membiarkan berbagai kelompok untuk bertemu pandang dan berdiskusi tentang berbagai perbedaan yang ada supaya dapat diselesaikan.

Konflik dan konsensus merupakan sebab dan akibat dari pembelajaran sosial yang memfasilitasi proses-prosesnya. Baik konflik maupun konsensus, jika mendominasi secara terus-menerus, pembelajaran sosial yang efektif kemungkinan kecil bisa terjadi. Dalam konflik organisasi, pengelolaan adaptif dihambat oleh rendahnya pembelajaran sosial. Untuk  pengelolaan yang efektif, konflik harus diselesaikan. Paling tidak, untuk sementara, konsensus bisa dibangun sebagai dasar dari pengelolaan (Lee, 1993). Bila kondisi berubah, konsensus yang lama bisa tidak berlaku. Ini disebabkan konflik baru membentuk konsensus selanjutnya dengan proses yang berulang

Bermula dari isu perubahan yang semakin banyak dibicarakan dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, isu konflik pun turut mengemuka karena konflik-konflik dipandang sebagai indikator perubahan tersebut. Melalui gejala konflik, orang dapat mengetahui bentuk dan corak perubahan sosial dan kebudayaan yang tengah melanda suatu masyarakat.

Konflik sebagai gejala ataupun pendekatan mengemuka ketika struktural-fungsionalisme mengalami kritik yang tajam. Antropolog pun mulai berupaya menemukan alternatif-alternatif baru. Salah satu yang paling ditanggapi adalah model konflik. Isu konsensus-konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Perbedaan kontras antara teori fungsional dan teori konflik berakar pada penekanan berbeda, baik tersirat maupun tersurat. Isu konsensus dan konflik masing-masing berkaitan dengan peranan yang dimainkan dalam mewujudkan ketertiban sosial.

Dasar-dasar  konsensus  terdapat  pada  teori  fungsional.  Akan     tetapi, konsep konsensus tidaklah timbul langsung dari teori fungsional karena fungsionalisme memandang komunikasi ada begitu saja, tanpa menjelaskannya.

 

KESADARAN KOLEKTIF SEBAGAI KONSENSUS

 

Emile Durkheim memandang tujuan dari tindakan moral sebagai pelestarian masyarakat. Suatu tindakan moral harus mengikuti aturan untuk lebih memenuhi kepentingan masyarakat dari pada kepentingan pelakunya. Mengingat aturan-aturan moral tersebut dimiliki bersama oleh masyarakat, Durkheim menyimpulkan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral sebagai kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan keteraturan sosial merupakan salah satu postulat teori fungsional.

Namun, postulat ini hanyalah permulaan dari analisis Durkheim yang lebih detail. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal, yaitu kesadaran kolektif. Dalam hal ini, kesadaran kolektif tidak akan mungkin ada tanpa konsensus.

Durkheim merumuskan kesadaran kolektif sebagai berikut. Konsep keyakinan kolektif mendasari teori tentang kejahatan dan hukuman serta teori tentang ritus agama. Rumusan ini mengandung benih-benih keseimbangan serta  mempertahankan pola dan fungsi integratif. Hal ini karena     kesadaran    kolektif itu mempertahankan dirinya sendiri sekaligus dasar solidaritas dan stabilitas.

 

1.       Konsensus dalam Sistem Sosial

a.        Agama dalam sistem sosial

Keyakinan keagamaan dalam sistem sosial adalah konsensus. Orang-orang yang memiliki keyakinan dan ritual agama akan menyandang komunitas moral dan interaksi antara ritual bersama dan keyakinan bersama sehingga menciptakan kohesi yang berakar satu sama lain.

b.       Ekuilibrium

Parsons berpendapat bahwa sistem tergantung pada kesepakatan (konkordansi) keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma. Sistem haruslah menggabungkan mekanisme yang mempertahankan konsensus. Pencarian bagi mekanisme ini langsung menuju ekuilibrium.

Suatu sistem dalam ekuilibrium yang stabil adalah deviasi dari suatu keadaan yang dihadapi sehingga keadaan semula diperbaiki. Keadaan sistem yang diidentifikasi Parsons sebagai fokus dari ekuilibrium adalah kebudayaan normatifnya: nilai-nilai dan norma- norma yang diinstitusionalisasi.

c.        Evolusi sosial

Menurut Parsons, struktur setiap masyarakat adalah hasil sejarah  dari siklus perubahan yang berulang, tetapi progresif. Siklus perubahan itu terdiri atas empat proses:

1)       diferensiasi,

2)       perbaikan adaptif,

3)       integrasi,

4)       generalisasi nilai.

Dari keempat fase di atas, generalisasi nilai adalah yang paling relevan dengan konsensus. Proses ini melestarikan stabilitas melalui perluasan nilai- nilai ke struktur-struktur yang baru, lalu membawa nilai-nilai tersebut ke  orbit konsensus.

 

2.       Konsensus dan Simbol

George Hebert Mead berpandangan bahwa basis dari kapasitas dan keterbedaan kehidupan  manusia dijelaskan oleh  simbol yang  signifikan.   Ia mengidentifikasi pikiran sebagai kesadaran terhadap makna subjektif yang terkandung oleh simbol: dapat berbentuk kata, tindakan, atau objek. Ketika simbol mengandung makna yang dipahami bersama, simbol adalah sosial dan pikiran manusia adalah produk sosial.

 

3.       Peranan Konsensus

Bahasa adalah unsur konsensus primer dalam kehidupan sosial. Unsur- unsur konsensus lain, seperti keyakinan kognitif, nilai, norma, dan tujuan, terkandung dalam bahasa. Unsur-unsur ini merupakan hal yang harus disetujui oleh individu apabila ingin berhasil dalam kehidupan sosialnya. Menurut Webster Dictionary, konsensus adalah kesepakatan  antar pihak secara individu ataupun kelembagaan untuk menyamakan pandangan guna membangun kerja sama supaya menyelesaikan sebuah persoalan yang  penting bagi semua pihak. Konsensus harus memiliki beberapa elemen berikut.

a.        Adanya kesepakatan bersama antar pihak.

b.       Adanya penilaian bersama (shared judgment) yang dihasilkan oleh sebagian besar pihak yang berkepentingan.

c.        Adanya solidaritas kelompok dalam bentuk perasaan bersama dan kepercayaan bersama terhadap sesuatu. Musyawarah mufakat adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Musyawarah adalah prosesnya, sedangkan mufakat adalah hasilnya. Mufakat dekat artinya dengan sepakat. Pada masa Orde Baru, mufakat sering diidentikkan dengan aklamasi: setiap peserta musyawarah setuju terhadap “bakal suatu keputusan” tanpa melalui voting (pemungutan suara). Sementara itu, konsensus dapat berarti mufakat, tetapi voting untuk mencapai konsensus itu dimungkinkan.

Secara filosofis, proses-proses konsensus berakar pada konstruksionisme sosial (Hikins, 1989). Dari sudut pandang konstruksionis, keberadaan suatu konflik sebagai „kenyataan‟ yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, simbol, dan makna patut dipertanyakan peranannya dalam membangun konsensus (Scott, 1967; Hikins, 1989). Oleh karena itu, suatu simbol dan nilai-nilai merupakan sesuatu yang diciptakan dan diadaptasikan melalui retorika. Apabila diterima, itu merupakan suatu bentuk konsensus yang ada dalam suatu masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana membangun konsensus yang didasarkan nilai-nilai dan simbol yang sering kali tidak terlepas   dari   perselisihan   atau   konflik   sosial.   Berikut   ini    dijelaskan bagaimana membangun konsensus atas dasar prinsip konstruksionisme, yakni menciptakan struktur sosial dalam kelompok yang berada pada nuansa konflik.

 

4.       Membangun Konsensus

Hikins (1989) berpendapat bahwa ia menemukan cara yang efektif untuk membangun solidaritas dan membangun kesepakatan bersama agar sebagian besar anggota organisasi dapat menemukan titik temu (yaitu ada penilaian bersama) terhadap suatu masalah. Proses untuk membangun konsensus  dilalui dengan tiga tahap, yaitu tahap inventing, tahap realizing, dan tahap creative-committing.

a.       Tahap inventing

Ini adalah tahap untuk menemukan sebanyak mungkin alternatif pemecahan masalah, tanpa mempedulikan apakah alternatif-alternatif tersebut bisa disepakati dan bisa diimplementasikan atau tidak. Fungsi utama tahap ini hanya untuk menemukan alternatif, generating ideas, serta mempeluas cakrawala pilihan bagi masing-masing pihak. Mengapa memperluas pilihan sangat penting? Asumsinya, pihak-pihak yang bernegosiasi seringkali gagal mencapai konsensus karena cara pandangnya dalam melihat sebuah persoalan sangat terbatas, menggunakan asumsi tunggal, atau berdasarkan perspektif tunggal.

b.       Tahap realizing

Setelah para pihak berhasil mengidentifikasi lebih banyak alternatif kesepakatan, yang harus dilakukan adalah menghasilkan dokumen yang menjadi acuan perundingan. Ini yang disebut sebagai tahap realizing. Artinya, tahap untuk menentukan pilihan yang secara common-sense dianggap realistis. Para pihak diminta menentukan pilihan yang harus dihapus dari daftar yang telah dibuat pada tahap pertama dan yang akan dibiarkan tetap di daftar tersebut. Tentu saja ada gagasan-gagasan yang secara aklamasi diterima, ada juga gagasan-gagasan yang  secara aklamasi akan dihapus, dan ada gagasan yang belum diputuskan.

c.        Tahap ketiga adalah creative-committing atau tahap membuat komitmen kesepakatan secara kreatif.

 

PERTANYAAN

1.     Jelaskan secara sistematis, apa yang dimaksud dengan “demokrasi”.

2.     Yakinkah saudara bahwa demokrasi adalah sistim yang terbaik bagi pemerintahan, sehingga dapat mengatur masyarakat agar tertib? Uraikan secara singkat

3.     Pahamkah saudara makna dari Sila ke empat Pancasila, sebagai karakter asli bangsa Indonesia untuk mencapai konsensus ?

BK4, MK, MANAJEMEN KONFLIK

KULIAH IV, JUMAT 5 NOV 2021

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

 

Catatan

Materi untuk kuliah ini diambil dari bukunya Drs Edi Santosa SU, dan Dr Lilin Budiati SH, MM, Manajemen Konflik, UT Jakarta

 

 

Cara Membaca Materi Kuliah IV

            Materi kuliah IV in akan sukar dipahami, jika para mahasiswa belum menguasai beberapa teori sosial ataupun politik. Singkatnya para mahasiswa sudah paham teori-teori “sosiologi politik”. Para mahasiswa sudah harus memahami;

  1. Teori Demokrasi
  2. Teori Fungsional
  3. Teori Konflik
  4. Teori Weber, Durkheim, dan Marx

 

Meski tidak mendetail, minimal dasar-dasar dari teori itu sudah harus dipahami, sebab dalam materi ini para mahasiswa nanti akan ketemu konsep-konsep, seperti;

·         Alienasi

·         Akomodasi

·         Koalisi

·         Pembelajaran sosial

·         Kesadaran kolektif

·         Konstruksionisme sosial

·         Metode konsensus, yakni inventing, realizing, dan creative committing.

Semua itu dikemukakan hanya untuk memahami apa yang menjadi tema materi ini, yakni “consensus”, yang tak lain tak bukan sebenarnya adalah “kesepakatan”

Konsep yang sesungguhnya sudah dimiliki Indonesia, yakni “mufakat”…..musyawarah untuk mufakat (Sila ke empat Pancasila). Dalam teori Jurgen Habermash popular dengan sebutan “Demokrasi Deliberatif”. Selamat membaca dan mengulasnya.

 

 

 

Kaitan Konsensus

 dengan Konflik

 

D

 
emokrasi sesungguhnya membiasakan diri hidup dalam perbedaan (multikulturalisme)  atau  menghargai  hak  hidup  orang  yang berbeda.

Kritik itu pada dasarnya harus dipandang sebagai penggaris yang dapat meluruskan berbagai hal yang terkadang melenceng atau mengikuti garis yang telah ada walaupun garisnya lurus atau jalannya berbelok-belok karena berbagai kepentingan, baik kepentingan partai (kelompok aliran di Indonesia), individu, maupun keamanan kekuasaannya.

Pendidikan menangani konflik dan kompetisi memegang  peranan penting dalam masyarakat demokratis. Pada hakikatnya, manusia lahir disertai hasrat kebebasan individu, tetapi mereka lahir tidak dibekali dengan tata nilai atau norma sosial politik. Hal itu harus dicari dan dipelajari dalam berbagai kesempatan. Jika sebuah rezim totalitarian yang diwarnai oleh indoktrinasi kepentingan penguasa, pendidikan demokratis harus mampu membebaskannya sehingga muncul politisi yang memiliki sifat abdi rakyat, bukan abdi pemerintah yang berkedok kepentingan negara.

Dengan demikian, pendidikan harus dapat memberikan peluang untuk menumbuhkan kebebasan manusia. Kesadaran hak dan kewajiban sebagai warga negara harus tumbuh seiring dengan berkembangnya kedewasaan warga negara. Dasar pendidikan yang demokratis akan memberikan dampak dalam menangani konflik atau dalam berkompetisi memperebutkan berbagai sumber daya langka di masyarakat.

Sumber daya langka yang diperebutkan akan mengantarkan munculnya konflik kepentingan dalam masyarakat luas. Dari uraian ini, demokrasi pada hakikatnya dapat dikatakan seperangkat aturan untuk mengelola konflik kepentingan di masyarakat dengan menggunakan pilar-pilar pemerintahan yang demokratis. Ada paradoksal dalam masyarakat demokratis karena  berdiri antara konflik dan konsensus/mufakat.

Menurut (Santosa 2004: 4), konsensus berasal dari bahasa Inggris, yaitu consensus. Konsensus adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai persepsi, pendapat, pendirian, dan sikap yang dicapai melalui kebulatan suara antar pihak). Lebih lanjut, ditegaskan bahwa fungsi konflik dalam tataran teoretis adalah fungsi eduksi, fungsi adaptasi, dan fungsi demokrasi. Edukasi adalah upaya memberikan pembelajaran yang baik dalam proses interaksi sosial yang tidak lepas dari sikap prejudice yang potensial menimbulkan konflik. Fungsi adaptasi adalah upaya mereduksi perbedaan nilai dan kepentingan menjadi kesamaan atau kekuatan. Fungsi demokrasi adalah upaya pencegahan perilaku non demokratis, seperti alienasi, kekerasan (coercion), anarki, dan sikap otoriter.

Dalam konteks demokrasi, pada dasarnya hal itu adalah kemampuan untuk mengelola konflik menjadi resolusi konflik yang menghasilkan konsensus, mufakat, atau pengaturan lain yang diterima oleh semua pihak sebagai yang sah. Jika demokrasi dipandang sebagai forum tempat untuk melegitimasi kepentingan mayoritas dengan mendesakkannya pada kelompok lain yang minoritas, golongan minoritas hanya berfungsi sebagai sarana pengesahan yang dipaksakan sehingga keseimbangan menjadi hilang. Hal ini akan mengancam masyarakat keseluruhan. Kehancuran akan datang dari dalam (pergolakan internal). Jika pemerintah melakukan tekanan berlebih untuk mencapai konsensus dengan membungkam suara rakyat minoritas, masyarakat dapat hancur.

Koalisi dapat dikatakan sebagai inti dari tindakan demokratis. Di dalamnya, ada akomodasi kelompok kepentingan untuk saling bernegosiasi dan berkoalisi dengan saling menunjukkan dan menawarkan kelebihan dan kekurangan dalam sistem konstitusional. Dengan demikian, kebenaran dalam demokrasi menjadi sangat pragmatis, betapa pun tidak sempurnanya, karena adanya beragam gagasan ataupun kepentingan (individu dan institusi). Gagasannya tidak diujikan terhadap sebuah ideologi, tetapi dicobakan pada dunia nyata (real politik) yang dari dalamnya dapat diubah, diperbaiki, dan dibuang, apabila perlu, dengan membiarkan berbagai kelompok untuk bertemu pandang dan berdiskusi tentang berbagai perbedaan yang ada supaya dapat diselesaikan.

Konflik dan konsensus merupakan sebab dan akibat dari pembelajaran sosial yang memfasilitasi proses-prosesnya. Baik konflik maupun konsensus, jika mendominasi secara terus-menerus, pembelajaran sosial yang efektif kemungkinan kecil bisa terjadi. Dalam konflik organisasi, pengelolaan adaptif dihambat oleh rendahnya pembelajaran sosial. Untuk  pengelolaan yang efektif, konflik harus diselesaikan. Paling tidak, untuk sementara, konsensus bisa dibangun sebagai dasar dari pengelolaan (Lee, 1993). Bila kondisi berubah, konsensus yang lama bisa tidak berlaku. Ini disebabkan konflik baru membentuk konsensus selanjutnya dengan proses yang berulang

Bermula dari isu perubahan yang semakin banyak dibicarakan dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, isu konflik pun turut mengemuka karena konflik-konflik dipandang sebagai indikator perubahan tersebut. Melalui gejala konflik, orang dapat mengetahui bentuk dan corak perubahan sosial dan kebudayaan yang tengah melanda suatu masyarakat.

Konflik sebagai gejala ataupun pendekatan mengemuka ketika struktural-fungsionalisme mengalami kritik yang tajam. Antropolog pun mulai berupaya menemukan alternatif-alternatif baru. Salah satu yang paling ditanggapi adalah model konflik. Isu konsensus-konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Perbedaan kontras antara teori fungsional dan teori konflik berakar pada penekanan berbeda, baik tersirat maupun tersurat. Isu konsensus dan konflik masing-masing berkaitan dengan peranan yang dimainkan dalam mewujudkan ketertiban sosial.

Dasar-dasar  konsensus  terdapat  pada  teori  fungsional.  Akan     tetapi, konsep konsensus tidaklah timbul langsung dari teori fungsional karena fungsionalisme memandang komunikasi ada begitu saja, tanpa menjelaskannya.

 

KESADARAN KOLEKTIF SEBAGAI KONSENSUS

 

Emile Durkheim memandang tujuan dari tindakan moral sebagai pelestarian masyarakat. Suatu tindakan moral harus mengikuti aturan untuk lebih memenuhi kepentingan masyarakat dari pada kepentingan pelakunya. Mengingat aturan-aturan moral tersebut dimiliki bersama oleh masyarakat, Durkheim menyimpulkan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral sebagai kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan keteraturan sosial merupakan salah satu postulat teori fungsional.

Namun, postulat ini hanyalah permulaan dari analisis Durkheim yang lebih detail. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal, yaitu kesadaran kolektif. Dalam hal ini, kesadaran kolektif tidak akan mungkin ada tanpa konsensus.

Durkheim merumuskan kesadaran kolektif sebagai berikut. Konsep keyakinan kolektif mendasari teori tentang kejahatan dan hukuman serta teori tentang ritus agama. Rumusan ini mengandung benih-benih keseimbangan serta  mempertahankan pola dan fungsi integratif. Hal ini karena     kesadaran    kolektif itu mempertahankan dirinya sendiri sekaligus dasar solidaritas dan stabilitas.

 

1.       Konsensus dalam Sistem Sosial

a.        Agama dalam sistem sosial

Keyakinan keagamaan dalam sistem sosial adalah konsensus. Orang-orang yang memiliki keyakinan dan ritual agama akan menyandang komunitas moral dan interaksi antara ritual bersama dan keyakinan bersama sehingga menciptakan kohesi yang berakar satu sama lain.

b.       Ekuilibrium

Parsons berpendapat bahwa sistem tergantung pada kesepakatan (konkordansi) keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma. Sistem haruslah menggabungkan mekanisme yang mempertahankan konsensus. Pencarian bagi mekanisme ini langsung menuju ekuilibrium.

Suatu sistem dalam ekuilibrium yang stabil adalah deviasi dari suatu keadaan yang dihadapi sehingga keadaan semula diperbaiki. Keadaan sistem yang diidentifikasi Parsons sebagai fokus dari ekuilibrium adalah kebudayaan normatifnya: nilai-nilai dan norma- norma yang diinstitusionalisasi.

c.        Evolusi sosial

Menurut Parsons, struktur setiap masyarakat adalah hasil sejarah  dari siklus perubahan yang berulang, tetapi progresif. Siklus perubahan itu terdiri atas empat proses:

1)       diferensiasi,

2)       perbaikan adaptif,

3)       integrasi,

4)       generalisasi nilai.

Dari keempat fase di atas, generalisasi nilai adalah yang paling relevan dengan konsensus. Proses ini melestarikan stabilitas melalui perluasan nilai- nilai ke struktur-struktur yang baru, lalu membawa nilai-nilai tersebut ke  orbit konsensus.

 

2.       Konsensus dan Simbol

George Hebert Mead berpandangan bahwa basis dari kapasitas dan keterbedaan kehidupan  manusia dijelaskan oleh  simbol yang  signifikan.   Ia mengidentifikasi pikiran sebagai kesadaran terhadap makna subjektif yang terkandung oleh simbol: dapat berbentuk kata, tindakan, atau objek. Ketika simbol mengandung makna yang dipahami bersama, simbol adalah sosial dan pikiran manusia adalah produk sosial.

 

3.       Peranan Konsensus

Bahasa adalah unsur konsensus primer dalam kehidupan sosial. Unsur- unsur konsensus lain, seperti keyakinan kognitif, nilai, norma, dan tujuan, terkandung dalam bahasa. Unsur-unsur ini merupakan hal yang harus disetujui oleh individu apabila ingin berhasil dalam kehidupan sosialnya. Menurut Webster Dictionary, konsensus adalah kesepakatan  antar pihak secara individu ataupun kelembagaan untuk menyamakan pandangan guna membangun kerja sama supaya menyelesaikan sebuah persoalan yang  penting bagi semua pihak. Konsensus harus memiliki beberapa elemen berikut.

a.        Adanya kesepakatan bersama antar pihak.

b.       Adanya penilaian bersama (shared judgment) yang dihasilkan oleh sebagian besar pihak yang berkepentingan.

c.        Adanya solidaritas kelompok dalam bentuk perasaan bersama dan kepercayaan bersama terhadap sesuatu. Musyawarah mufakat adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Musyawarah adalah prosesnya, sedangkan mufakat adalah hasilnya. Mufakat dekat artinya dengan sepakat. Pada masa Orde Baru, mufakat sering diidentikkan dengan aklamasi: setiap peserta musyawarah setuju terhadap “bakal suatu keputusan” tanpa melalui voting (pemungutan suara). Sementara itu, konsensus dapat berarti mufakat, tetapi voting untuk mencapai konsensus itu dimungkinkan.

Secara filosofis, proses-proses konsensus berakar pada konstruksionisme sosial (Hikins, 1989). Dari sudut pandang konstruksionis, keberadaan suatu konflik sebagai „kenyataan‟ yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, simbol, dan makna patut dipertanyakan peranannya dalam membangun konsensus (Scott, 1967; Hikins, 1989). Oleh karena itu, suatu simbol dan nilai-nilai merupakan sesuatu yang diciptakan dan diadaptasikan melalui retorika. Apabila diterima, itu merupakan suatu bentuk konsensus yang ada dalam suatu masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana membangun konsensus yang didasarkan nilai-nilai dan simbol yang sering kali tidak terlepas   dari   perselisihan   atau   konflik   sosial.   Berikut   ini    dijelaskan bagaimana membangun konsensus atas dasar prinsip konstruksionisme, yakni menciptakan struktur sosial dalam kelompok yang berada pada nuansa konflik.

 

4.       Membangun Konsensus

Hikins (1989) berpendapat bahwa ia menemukan cara yang efektif untuk membangun solidaritas dan membangun kesepakatan bersama agar sebagian besar anggota organisasi dapat menemukan titik temu (yaitu ada penilaian bersama) terhadap suatu masalah. Proses untuk membangun konsensus  dilalui dengan tiga tahap, yaitu tahap inventing, tahap realizing, dan tahap creative-committing.

a.       Tahap inventing

Ini adalah tahap untuk menemukan sebanyak mungkin alternatif pemecahan masalah, tanpa mempedulikan apakah alternatif-alternatif tersebut bisa disepakati dan bisa diimplementasikan atau tidak. Fungsi utama tahap ini hanya untuk menemukan alternatif, generating ideas, serta mempeluas cakrawala pilihan bagi masing-masing pihak. Mengapa memperluas pilihan sangat penting? Asumsinya, pihak-pihak yang bernegosiasi seringkali gagal mencapai konsensus karena cara pandangnya dalam melihat sebuah persoalan sangat terbatas, menggunakan asumsi tunggal, atau berdasarkan perspektif tunggal.

b.       Tahap realizing

Setelah para pihak berhasil mengidentifikasi lebih banyak alternatif kesepakatan, yang harus dilakukan adalah menghasilkan dokumen yang menjadi acuan perundingan. Ini yang disebut sebagai tahap realizing. Artinya, tahap untuk menentukan pilihan yang secara common-sense dianggap realistis. Para pihak diminta menentukan pilihan yang harus dihapus dari daftar yang telah dibuat pada tahap pertama dan yang akan dibiarkan tetap di daftar tersebut. Tentu saja ada gagasan-gagasan yang secara aklamasi diterima, ada juga gagasan-gagasan yang  secara aklamasi akan dihapus, dan ada gagasan yang belum diputuskan.

c.        Tahap ketiga adalah creative-committing atau tahap membuat komitmen kesepakatan secara kreatif.

 

PERTANYAAN

1.     Jelaskan secara sistematis, apa yang dimaksud dengan “demokrasi”.

2.     Yakinkah saudara bahwa demokrasi adalah sistim yang terbaik bagi pemerintahan, sehingga dapat mengatur masyarakat agar tertib? Uraikan secara singkat

3.     Pahamkah saudara makna dari Sila ke empat Pancasila, sebagai karakter asli bangsa Indonesia untuk mencapai konsensus ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar