Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar MIP Unitas Palembang, Staf ahli DPR RI 2000-2009
Membanding-bandingkan yang tak sejenis adalah
ahistoris. Apple to apple kata orang Inggris bagi mereka yang gemar membading-bandingkan
sesuatu. Artinya jika ingin membandingkan harus yang setara, sejenis, atau sebanding.
Jangan bandingkan apel dengan pisang, mangga, jeruk dan lain-lain buah-buahan.
Bandingkanlah apel dengan apel. Masalah
itu apel Batu, Berastagi,
London atau Jakarta tidak ada
masalah. Yang penting antara apel dengan apel.
London dan Jakarta, meski sama-sama ibukota negara,
tidak tepat dibandingkan. Dari sudut manapun hampir tak ada yang setara.
Katakanlah dari sudut politik, sosial, ekonomi apalagi budayanya, ibarat langit dan bumi. Dari segi politik Indonesia
(katanya) sudah demokrasi, sementara Inggris masih kerajaan, dari sudut sosial,
masyarakat Inggris sudah egaliter, Indonesia masih paternalistik (kalau bukan
feodal), dari segi ekonomi, masyarakat Inggris relatif sudah makmur, Indonesia
masih marjinal. Apalagi dalam segi budaya, inggris sudah pada tahap rasional-teknologis-industrial,
Indonesia sebaliknya masih emosional,tradisional-agraris.
Oleh karena itu ahistoris apabila membandingkan London dan Jakarta
secara linier. Mungkin lebih dekat apabila (Jakarta) dibandingkan dengan Kuala
Lumpur, Manila, Bangkok atau beberapa Ibukota
di Afrika. Sebaliknya London akan elok bila dibandingkan dengan yang setara
dengannya, seperti Bonn, Roma, Paris atau beberapa ibukota negara maju lainnya.
Begitu pula dari segi kepemimpinannya. Pemimpin yang tampil di kedua Ibukota
itu adalah derivasi atau cerminan dari socio-kulturalnya.
Primordialisme dan Paternalisme
Sadar atau tidak sadar inilah yang kita hadapi
hari-hari ini. Kita membandingkan yang bukan apple to apple. Membandingkan Sadiq
Khan yang Muslim dan ras Pakistan
menjadi walikota London yang (mayoritas) beragama Nasrani, dengan calon
Gubernur DKI Jaya, Ahok yang Kristen dan Tionghoa yang banyak menolak , jelas beda konteksnya. London bukan
Jakarta. Sebagaimana disebutkan di atas,
ada gap kalau bukan jurang antara
keduanya. Jurang ini meminjam Ted Robert Gurr (1990) adalah jarak yang curam, terjal dan cadas (Deprivasi Relatif,
DR), antara harapan (Value Expectation,
VE) dan kenyataan (Value Capabilities, VC)
Harapan (ekspektasi) sebagian masyarakat Jakarta, agar
kota ini dapat menerima pimpinan wilayah dari agama non Islam dan ras keturunan
sebagaimana yang terjadi di London, masih jauh dari harapan. Mungkin masih antara
langit dan bumi. Masyarakat Jakarta, atau
Indonesia umumnya masih kuat mempertahankan primordialisme. Nilai-nilai
sektarian yang didengungkan tak diakui,
namun dalam prakteknya tetap
berlangsung. Khususnya nilai-nilai kesukuan
dan agama. Sosiolog UGM, Prof Dr Sunyoto Usman (2007) dengan tegas menyatakan
bahwa primordialisme adalah nilai Indonesia
Begitu pula dengan struktur yang melingkupinya. Selain
primordial, relasi yang tak bebaspuns turut merunyamkannya. Relasi ini adalah hubungan
yang tidak setara antara sesamanya, seperti hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpinnya masih ada jarak yang cadas. Hubungan yang tidak simetri atau egaliter
sebagaimana berlangsung di enara-negara
demokratis. sering di dengung-dengungkan.Meminjam setting socio-kulturalnya, masih
kental dengan relasi atas-bawah nan vertikal,
patron-klin, hierarkhis atau paternalistik. Artinya secara individu, masyarakat
kita belum bebas bertindak.
Dalam bertindak atau mengambil keputusan , Ia akan
bertanya lebih dahulu kepada patronnya, seperti orang-orang yang dianggap lebih
senior, lebih tua, lebih berpangkat, lebih bergelar dan lain-lain pola yang
mendongak ke atas (vertical oriented). Tidak sebagaimana lazimnya di suatu negeri
yang demokratis, dimana kebebasan
individu sangat menonjol dalam
menentukan pilihannya.
Tidak setara
Demikianlah jurang
terjal model kepemimpinan antara Jakarta dan London, yakni dua model dengan dua
nilai yang saling kontradiktif (primordialisme- feodalisme versus
egalitarianisme-demokratis). Dua nilai yang selanjutnya membuat jarak, kedua
model kepemimpinan metropolitan tersebut semakin jauh, nyaris mendekati garis 180 derajad.
Oleh karena itu supaya objektif jangan membandingkan Sadiq
Khan yang diterima tanpa syarat di London dan Ahok yang masih terpental-pental
di Jakarta. Mengharapkan masyarakat Jakarta sama dengan London yang sangat
tolerantif terhadap pluralisme sama saja dengan mengharapkan katak menjadi
lembu. Suatu yang imposible. Katak adalah katak dan lembu adalah lembu. Dua
eksistensi yang tak mungkin dibandingkan karena keduanya tidak setara (Carnaf,
2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar