Selasa, 16 Agustus 2016

JURANG KEPEMIMPINAN ANTARA LONDON DAN JAKARTA



Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP Unitas Palembang, Staf ahli DPR RI 2000-2009
Membanding-bandingkan yang tak sejenis adalah ahistoris. Apple to apple kata orang Inggris  bagi mereka yang gemar membading-bandingkan sesuatu. Artinya jika ingin membandingkan  harus yang setara, sejenis, atau sebanding. Jangan bandingkan apel dengan pisang, mangga, jeruk dan lain-lain buah-buahan. Bandingkanlah apel dengan  apel. Masalah itu apel  Batu,  Berastagi,  London atau  Jakarta tidak ada masalah. Yang penting antara apel dengan apel.
London dan Jakarta, meski sama-sama ibukota negara, tidak tepat dibandingkan. Dari sudut manapun hampir tak ada yang setara. Katakanlah dari sudut politik, sosial, ekonomi apalagi budayanya, ibarat  langit dan bumi. Dari segi politik Indonesia (katanya) sudah demokrasi, sementara Inggris masih kerajaan, dari sudut sosial, masyarakat Inggris sudah egaliter, Indonesia masih paternalistik (kalau bukan feodal), dari segi ekonomi, masyarakat Inggris relatif sudah makmur, Indonesia masih marjinal. Apalagi dalam segi budaya, inggris sudah pada tahap rasional-teknologis-industrial, Indonesia sebaliknya masih emosional,tradisional-agraris.
Oleh karena itu ahistoris  apabila membandingkan London dan Jakarta secara linier. Mungkin lebih dekat apabila (Jakarta) dibandingkan dengan Kuala Lumpur, Manila, Bangkok atau  beberapa Ibukota di Afrika. Sebaliknya London akan elok bila dibandingkan dengan yang setara dengannya, seperti Bonn, Roma, Paris atau beberapa ibukota negara maju lainnya. Begitu pula dari segi kepemimpinannya. Pemimpin yang tampil di kedua Ibukota itu adalah derivasi atau cerminan dari socio-kulturalnya.
Primordialisme dan Paternalisme
Sadar atau tidak sadar inilah yang kita hadapi hari-hari ini. Kita membandingkan yang bukan apple to apple. Membandingkan Sadiq Khan yang Muslim dan ras Pakistan  menjadi walikota London yang (mayoritas) beragama Nasrani, dengan calon Gubernur DKI Jaya, Ahok yang Kristen dan Tionghoa yang  banyak  menolak , jelas beda konteksnya. London bukan Jakarta. Sebagaimana disebutkan di atas,  ada gap kalau bukan jurang  antara keduanya. Jurang ini meminjam Ted Robert Gurr (1990) adalah jarak yang  curam, terjal dan cadas (Deprivasi Relatif, DR),  antara harapan (Value Expectation, VE) dan kenyataan (Value Capabilities, VC)
Harapan (ekspektasi) sebagian masyarakat Jakarta, agar kota ini dapat menerima pimpinan wilayah dari agama non Islam dan ras keturunan sebagaimana yang terjadi di London, masih jauh dari harapan. Mungkin masih antara  langit dan bumi. Masyarakat Jakarta, atau Indonesia  umumnya masih  kuat mempertahankan primordialisme. Nilai-nilai sektarian yang didengungkan tak  diakui, namun dalam prakteknya  tetap berlangsung. Khususnya nilai-nilai  kesukuan dan agama. Sosiolog UGM, Prof Dr Sunyoto Usman (2007) dengan tegas menyatakan bahwa primordialisme adalah nilai Indonesia
 Begitu pula  dengan struktur yang melingkupinya. Selain primordial, relasi yang tak bebaspuns turut merunyamkannya. Relasi ini adalah hubungan yang tidak setara antara sesamanya, seperti hubungan antara pemimpin dan yang dipimpinnya masih ada jarak yang cadas. Hubungan yang tidak simetri atau egaliter  sebagaimana berlangsung di enara-negara demokratis. sering di dengung-dengungkan.Meminjam setting socio-kulturalnya, masih  kental dengan relasi atas-bawah nan vertikal, patron-klin, hierarkhis atau  paternalistik. Artinya secara individu, masyarakat kita belum bebas bertindak.
Dalam bertindak atau mengambil keputusan , Ia akan bertanya lebih dahulu kepada patronnya, seperti orang-orang yang dianggap lebih senior, lebih tua, lebih berpangkat, lebih bergelar dan lain-lain pola yang mendongak ke atas (vertical oriented). Tidak sebagaimana lazimnya di suatu negeri yang  demokratis, dimana kebebasan individu  sangat menonjol dalam menentukan pilihannya. 
Tidak setara
Demikianlah  jurang terjal model kepemimpinan antara Jakarta dan London, yakni dua model dengan dua nilai yang saling kontradiktif  (primordialisme- feodalisme versus egalitarianisme-demokratis). Dua nilai yang selanjutnya membuat jarak, kedua model kepemimpinan metropolitan tersebut semakin jauh, nyaris mendekati  garis 180 derajad.
Oleh karena itu  supaya objektif jangan membandingkan Sadiq Khan yang diterima tanpa syarat di London dan Ahok yang masih terpental-pental di Jakarta. Mengharapkan masyarakat Jakarta sama dengan London yang sangat tolerantif terhadap pluralisme sama saja dengan mengharapkan katak menjadi lembu. Suatu yang imposible. Katak adalah katak dan lembu adalah lembu. Dua eksistensi yang tak mungkin dibandingkan karena keduanya tidak setara (Carnaf, 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar