Selasa, 16 Agustus 2016

TRI SAKTI – NAWA CITA MENJADI TRI SAKIT DAN NAWA SIKSA?

  1.                                                                                      
  

Saling bergantinya issu-issu baru yang menghiasi panggung politik nasional, membuat kehidupan politik negeri ini sangat dinamis. Tiada hari tanpa pembahasan issu-issu panas. Tercatat saat ini isu yang masih  aktual adalah issu reshufle kabinet jilid ll, pro kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, testimoni gembong narkoba, Freddy Budiman  plus disunatnya dana APBN 2016 sebesar Rp 133 T .
Semua issu tersebut, termasuk issu-issu sebelumnya, membuat kehidupan kita hanya berputar-putar dalam lingkaran politik. Tiada lagi kehidupan lain, selain membahas issu-issu panas kekuasaan, yang sadar atau sebaliknya membuat kita  alfa kepada hal-hal yang sangat hakiki. Kita menjadi amnesia untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan.
Negara ini didirikan sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 adalah untuk “melindungi segenap warga negara, mewujudkan  kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kapankah kita mencapai orientasi tersebut pada hal sudah 72 tahun merdeka”. Masihkah terus terjerat retorika, verbalism dan euphemism sebagaimana novelnya Mohtar Lubis, “jalan tak ada ujung?
Pertanyaan yang sukar dijawab secara hitam-putih. Yang jelas, penulis yakin masih jauh dari harapan, jauh panggang dari api,  ibarat langit dan bumi.  Mayoritas masyarakat kita masih  mayoritas marjinal,  masih jauh dari  keadilan. Termasuk hari-hari ini , kita rasakan betapa kepiluan itu sedang menunjukkan taringnya, ditengah-tengah gemuruhnya perlambatan ekonomi
 Perlambatan yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah Jokowi yang jor-joran membangun infrastruktur fisik. Karena sebagian besar “dana/modal/capital”  diarahkan kesana, konsekwensinya akan mengurangi biaya konsumsi, yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, sudah pasti ber efek ke siklus-siklus selanjutnya, seperti, lesunya pasar, lesunya produsen, lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran, kemiskinan,  ketimpangan atau (mungkin)kepada sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup  telah  tertulis dalam text-text book dibangku sekolah.

Pengampunan pajak
Mungkin suasana kelam demikianlah yang akhirnya mendorong pemerintah habis-habisan melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan  yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri disuruh kembali membawanya kembali ke Indonesia  tanpa membebani pajak-pajak sebelumnya.
Ide yang secara ekonomis (tanda kutif) dapat dibenarkan, namun secara keadilan jelas sukar diterima. Bagaimana para maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira  alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak adil, namun apa mau dikata itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar dimedia) kebijakan tax amnesti berjalan tanpa rintangan berarti. Tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung, Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya sebagai Presiden, Jokowi proaktif  mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya. Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi  media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana itu sampai terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di negeri orang?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali ke tanah air, bisa $ 1 = Rp 3.000. luar biasa. Sedangkan  Prediksi Luhut Binsar Panjaitan, dana yang akan berhasil ditarik  berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu singkat. Namun apakah seperti itu realitanya  biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, apabila benar uang itu  masuk, akankah  membuat perekonomian kita  semakin baik?, membuat kehidupan rakyat semakin makmur?, semakin mewujudkan cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah problem sentralnya.
Tidak ada garansi  jika tax amnesty berhasil, kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya. Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma pembangunan ekonomi yang ditempuh saat ini  belum berubah sebagaimana diterapkan pada era Orde Baru. Meski tidak diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang dengan kemasan baru, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.

Aransemen baru Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari luar. Dengan dibesarkannya para pengusaha besar nan teknologis tersebut,  out putnya diharapkan akan menetes ke bawah (WW Rostow dlm Todaro, 2005), sehingga seluruh rakyat akan merasakan hasilnya.
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah berhasil. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq (1970) menyebutnya sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau  HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pendapat yang kurag lebih sama masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan hegemonik”, yakni rezim yang  mengenyahkan pemerataan.  Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan jasa  akan terus menggandakan komoditasnya hingga  tak terbatas. Tidak pernah ada pengusaha yang berminat mengurangi produksinya. Begitu terus menerus tanpa henti, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital. Dari kapital ke kapital, bukan dari kapital kepada manusia.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital. Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, kalangan ini akan dipakai. Jika sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang lebih segar. Tidak cukup dengan hanya mengganti, bagaimana supaya keuntungan lebih berlipat-lipat lagi, tenaga kerja demikian semakin diperas dengan apa yang populer akhir-akhir ini dengan sebutan “out sourching”. Tenaga kerja hanya di kontrak, tidak dijadikan karyawan menetap. Meski mendapat kecaman, kebijakan ini belum  ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, membuat tenaga kerja manusia  semakin dimarjinalkan.  Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar dilingkaran setan tersebut. oleh karena itu tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya sebagai alienasi manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan  mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa  semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan kemakmuran/kesejahteraan yang digadang-gadang sejak repelita II/Orde Baru hingga hari ini hanya angan-angan tukang cendol. Tukang cendol yang berjualan di kaki lima dan bermimpi  memiliki “mercy, jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh, dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja tidak mencukupi. Suatu yang imposible

Tri sakit dan nawa siksa?
Dalam setting historis-sosiologis-politisnya terbukti bahwa, negara-negara yang hanya jor-joran membangun infrastruktur, seperti jalan, pabrik, pelabuhan dan lain-lain infrastruktur fisik, tanpa membangun infrastruktur non fisik, seperti SDM, tidak mensejahterakan rakyat atau pekerja khususnya. Orde Baru telah memberikan pelajaran  berharga, yakni betapapun pertumbuhan sangat tinggi ( 9 persen), tidak pernah mewujudkan kesejahteraan (HW Arndt diatas). Mengapa masih terus dipertahankan? Sudah  amnesia ?
Dengan bergelora Kabinet Jokowi-JK menelorkan konsep pembangunan yang disebut “Tri Sakti, yang dijabarkan lebih detil kedalam Nawa-Cita”. Suatu teori yang jika ditilik dari substansinya adalah teori yang sesuai dengan Pancasila atau UUD 1945. Tidak lagi sebatas teori pertumbuhan, namun juga sudah mencakup pemerataan hingga keadilan. Akan tetapi dalam fakta empiriknya  jauh dari harapan. Revolusi mental yang digelorakan sebagai jargon utama Nawa Cita, terkesan baru sebatas credo. Focus pembangunan tetap sebatas pembangunan fisik. Belum pembangunan kebudayaan.
Butir pertama Nawa cita yang mengumandangkan kehadiran negara /memberikan perlindungan pada setiap warga negara, belum terlihat dengan jelas. Tingkat kriminalitas  masih tetap tinggi, begitu pula tingkat kesejahteraan dan keadilan masih sangat rendah. Artinya,arahnya saja belum kelihatan. Nawa cita kedua, yang menekankan tata kelola pemerintahan yang bersih dengan focus membangun kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi demokrasi, tak lebih tak kurang masih sebatas anjuran. Lembaga-lembaga demokrasi, baik yang supra (eksekutif, legislatif dan judicatif) dan infra (partai-partai politik dan lain-lain, tidak ada tanda-tanda berubah. Fungsi birokrasi sebagai pelayan masyarakat (legal-rasionalnya Weber) belum menunjukkan hidungnya. Apalagi partai-partai politik yang sama sekali tidak menjalankan fungsinya menyempurnakan kegagalan lembaga-lembaga demokrasi tersebut.
Begitu pula dengan reformasi sistim dan penegakan hukum (Nawa Cita ke empat), peningkatan produktivitas rakyat (ke enam), kemandirian ekonomi (ke tujuh), revolusi karakter bangsa (ke delapan), kebhinnekaan (ke sembilan), masih jauh panggang dari api. Sudah hampir dua tahun Kabinet Jokowi-JK berlangsung, kelima Nawa-Cita ini belum menunjukkan arahnya.
Yang menggeliat kepermukaan barulah cita ketiga, yakni pembangunan dari desa, dan ke cita kelima, yakni pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi gonjang-ganjing dana desa yang banyak disalahgunakan, kartu pintar yang masih kontroversial dan BPJS yang banyak dipalsukan adalah indikator betapa kedua cita itu sedang menghadapi tantangan berat. Apalagi  dengan perlambatan  ekonomi yang terjadi hari-hari ini, kita prihatin bahwa kedua cita ini kan terganggu. Lalu apa yang dapat kita lakukan?
            Jawabannya sederhana, sesuaikan kiat, strategi atau paradigma pembangunan dengan jati diri kita, yakni Pancasila atau UUD 1945. Metode pembangunan jangan lagi hanya berfocus pada “pertumbuhan ekonomi”, melainkan kepada sila kelima Pancasila, yakni “keadilan sosial”. Praksisnya mengikuti pasal 33 UUD 1945, yakni “kekeluargaan”. Tanpa itu “Tri sakti, Nawa Cita, dan  Revolusi mental hanya akan  menjadi tri sakit dan nawa siksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar