Saling bergantinya issu-issu baru yang menghiasi
panggung politik nasional, membuat kehidupan politik negeri ini sangat dinamis.
Tiada hari tanpa pembahasan issu-issu panas. Tercatat saat ini isu yang
masih aktual adalah issu reshufle kabinet
jilid ll, pro kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, testimoni
gembong narkoba, Freddy Budiman plus
disunatnya dana APBN 2016 sebesar Rp 133 T .
Semua issu tersebut, termasuk issu-issu sebelumnya,
membuat kehidupan kita hanya berputar-putar dalam lingkaran politik. Tiada lagi
kehidupan lain, selain membahas issu-issu panas kekuasaan, yang sadar atau sebaliknya
membuat kita alfa kepada hal-hal yang
sangat hakiki. Kita menjadi amnesia untuk apa sesungguhnya negara ini
didirikan.
Negara ini didirikan sebagaimana tertulis dalam alinea
ke empat Pembukaan UUD 1945 adalah untuk “melindungi segenap warga negara, mewujudkan
kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Kapankah kita mencapai orientasi tersebut pada hal sudah 72 tahun
merdeka”. Masihkah terus terjerat retorika, verbalism dan euphemism sebagaimana
novelnya Mohtar Lubis, “jalan tak ada ujung?
Pertanyaan yang sukar dijawab secara hitam-putih. Yang
jelas, penulis yakin masih jauh dari harapan, jauh panggang dari api, ibarat langit dan bumi. Mayoritas masyarakat kita masih mayoritas marjinal, masih jauh dari keadilan. Termasuk hari-hari ini , kita
rasakan betapa kepiluan itu sedang menunjukkan taringnya, ditengah-tengah
gemuruhnya perlambatan ekonomi
Perlambatan
yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan
pemerintah Jokowi yang jor-joran membangun infrastruktur fisik. Karena sebagian
besar “dana/modal/capital” diarahkan
kesana, konsekwensinya akan mengurangi biaya konsumsi, yang pada gilirannya
akan menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, sudah pasti ber efek ke
siklus-siklus selanjutnya, seperti, →
lesunya pasar,→ lesunya produsen,→
lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran,
kemiskinan, ketimpangan atau (mungkin)kepada
sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup telah tertulis
dalam text-text book dibangku sekolah.
Pengampunan pajak
Mungkin suasana kelam demikianlah yang akhirnya
mendorong pemerintah habis-habisan melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan
pajak. Kalangan-kalangan yang menyimpan
atau melarikan uangnya keluar negeri disuruh kembali membawanya kembali ke
Indonesia tanpa membebani pajak-pajak
sebelumnya.
Ide yang secara ekonomis (tanda kutif) dapat
dibenarkan, namun secara keadilan jelas sukar diterima. Bagaimana para maling
ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha
disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak
adil, namun apa mau dikata itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan
sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar
dimedia) kebijakan tax amnesti berjalan tanpa rintangan berarti. Tetap
diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung, Presiden sendiri turun tangan
mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya sebagai Presiden, Jokowi proaktif
mensosialisasikannya ke tengah-tengah
masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya.
Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut
sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana itu sampai terjadi?,
dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di negeri orang?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali
ke tanah air, bisa $ 1 = Rp 3.000. luar biasa. Sedangkan Prediksi Luhut Binsar Panjaitan, dana yang akan
berhasil ditarik berjumlah sekitar Rp 3000
T dalam waktu singkat. Namun apakah seperti itu realitanya biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak
melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, apabila benar uang itu masuk, akankah membuat perekonomian kita semakin baik?, membuat kehidupan rakyat
semakin makmur?, semakin mewujudkan cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan
berbangsa?. Disinilah problem sentralnya.
Tidak ada garansi jika tax amnesty berhasil, kehidupan rakyat akan
semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya. Persoalannya bukan disitu. Menurut
hemat penulis, cara, model atau paradigma pembangunan ekonomi yang ditempuh
saat ini belum berubah sebagaimana
diterapkan pada era Orde Baru. Meski tidak diakui, nyatanya masih tetap
menerapkan pola usang dengan kemasan baru, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Aransemen baru Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha
besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari
luar. Dengan dibesarkannya para pengusaha besar nan teknologis tersebut, out putnya diharapkan akan menetes ke bawah
(WW Rostow dlm Todaro, 2005), sehingga seluruh rakyat akan merasakan hasilnya.
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah
berhasil. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq (1970) menyebutnya sebagai “upaya
mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan
yang menyengsarakan”. Pendapat yang kurag lebih sama masih dapat diuraikan
sekian panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan
menghasilkan pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan
hegemonik”, yakni rezim yang mengenyahkan pemerataan. Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi
pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan
jasa akan terus menggandakan komoditasnya
hingga tak terbatas. Tidak pernah ada
pengusaha yang berminat mengurangi produksinya. Begitu terus menerus tanpa
henti, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital. Dari kapital
ke kapital, bukan dari kapital kepada manusia.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja
akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital.
Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, kalangan ini akan dipakai.
Jika sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti
dengan tenaga yang lebih segar. Tidak cukup dengan hanya mengganti, bagaimana
supaya keuntungan lebih berlipat-lipat lagi, tenaga kerja demikian semakin
diperas dengan apa yang populer akhir-akhir ini dengan sebutan “out sourching”.
Tenaga kerja hanya di kontrak, tidak dijadikan karyawan menetap. Meski mendapat
kecaman, kebijakan ini belum ada titik
temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya
alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, membuat tenaga kerja manusia semakin dimarjinalkan. Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar
dilingkaran setan tersebut. oleh karena itu tidak berlebihan kalau Karl Marx
dulu menyebutnya sebagai alienasi manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas
itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di
luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan
semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan kemakmuran/kesejahteraan yang
digadang-gadang sejak repelita II/Orde Baru hingga hari ini hanya angan-angan
tukang cendol. Tukang cendol yang berjualan di kaki lima dan bermimpi memiliki “mercy, jaguar atau ferrary, pesawat
jet atau villa di langit ketujuh, dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan
rumah tangganya saja tidak mencukupi. Suatu yang imposible
Tri sakit dan nawa siksa?
Dalam setting historis-sosiologis-politisnya terbukti
bahwa, negara-negara yang hanya jor-joran membangun infrastruktur, seperti
jalan, pabrik, pelabuhan dan lain-lain infrastruktur fisik, tanpa membangun
infrastruktur non fisik, seperti SDM, tidak mensejahterakan rakyat atau pekerja
khususnya. Orde Baru telah memberikan pelajaran berharga, yakni betapapun pertumbuhan sangat
tinggi ( 9 persen), tidak pernah mewujudkan kesejahteraan (HW Arndt diatas).
Mengapa masih terus dipertahankan? Sudah
amnesia ?
Dengan bergelora Kabinet Jokowi-JK menelorkan konsep
pembangunan yang disebut “Tri Sakti, yang dijabarkan lebih detil kedalam
Nawa-Cita”. Suatu teori yang jika ditilik dari substansinya adalah teori yang
sesuai dengan Pancasila atau UUD 1945. Tidak lagi sebatas teori pertumbuhan,
namun juga sudah mencakup pemerataan hingga keadilan. Akan tetapi dalam fakta
empiriknya jauh dari harapan. Revolusi
mental yang digelorakan sebagai jargon utama Nawa Cita, terkesan baru sebatas
credo. Focus pembangunan tetap sebatas pembangunan fisik. Belum pembangunan
kebudayaan.
Butir pertama Nawa cita yang mengumandangkan kehadiran
negara /memberikan perlindungan pada setiap warga negara, belum terlihat dengan
jelas. Tingkat kriminalitas masih tetap
tinggi, begitu pula tingkat kesejahteraan dan keadilan masih sangat rendah. Artinya,arahnya
saja belum kelihatan. Nawa cita kedua, yang menekankan tata kelola pemerintahan
yang bersih dengan focus membangun kepercayaan masyarakat kepada
institusi-institusi demokrasi, tak lebih tak kurang masih sebatas anjuran. Lembaga-lembaga
demokrasi, baik yang supra (eksekutif, legislatif dan judicatif) dan infra
(partai-partai politik dan lain-lain, tidak ada tanda-tanda berubah. Fungsi
birokrasi sebagai pelayan masyarakat (legal-rasionalnya Weber) belum
menunjukkan hidungnya. Apalagi partai-partai politik yang sama sekali tidak
menjalankan fungsinya menyempurnakan kegagalan lembaga-lembaga demokrasi
tersebut.
Begitu pula dengan reformasi sistim dan penegakan
hukum (Nawa Cita ke empat), peningkatan produktivitas rakyat (ke enam),
kemandirian ekonomi (ke tujuh), revolusi karakter bangsa (ke delapan),
kebhinnekaan (ke sembilan), masih jauh panggang dari api. Sudah hampir dua
tahun Kabinet Jokowi-JK berlangsung, kelima Nawa-Cita ini belum menunjukkan
arahnya.
Yang menggeliat kepermukaan barulah cita ketiga, yakni
pembangunan dari desa, dan ke cita kelima, yakni pendidikan dan kesehatan. Akan
tetapi gonjang-ganjing dana desa yang banyak disalahgunakan, kartu pintar yang
masih kontroversial dan BPJS yang banyak dipalsukan adalah indikator betapa
kedua cita itu sedang menghadapi tantangan berat. Apalagi dengan perlambatan ekonomi yang terjadi hari-hari ini, kita
prihatin bahwa kedua cita ini kan terganggu. Lalu apa yang dapat kita lakukan?
Jawabannya
sederhana, sesuaikan kiat, strategi atau paradigma pembangunan dengan jati diri
kita, yakni Pancasila atau UUD 1945. Metode pembangunan jangan lagi hanya
berfocus pada “pertumbuhan ekonomi”, melainkan kepada sila kelima Pancasila,
yakni “keadilan sosial”. Praksisnya mengikuti pasal 33 UUD 1945, yakni
“kekeluargaan”. Tanpa itu “Tri sakti, Nawa Cita, dan Revolusi mental hanya akan menjadi tri sakit dan nawa siksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar