Rabu, 09 November 2016

PEMERINTAHAN DESA DAN KEPEMIMPINAN




DESA AGEN PERUBAHAN
Oleh ; Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS Unitas, Timsel Panwaslu Pilkada 7 Kabupaten Sumsel, Staf ahli DPR RI 2000-2009, Kolumnis
Cat: dipersiapkan untuk sarasehan kepala-kepala desa kecamatan Tiga Dihaji, OKUS pada bulan Februari 2016, namun karena satu dan lain hal belum terlaksana

PENDAHULUAN
Dinamika desa kelihatannya masih  terus bergejolak. Belum jelas kapan stabilnya sehingga kontinuitas pembangunan desa akan berlangsung sebagaimana mestinya, yakni   bergerak kepada cita-cita yang kita idamkan bersama sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945
Setelah lambannya penyerapan dana 1 m, takutnya kepala desa di KPK[1] kan, hingga terbentuknya SKB tiga menteri, kini issu baru yang cukup menarik adalah pertemuan Jokowi dengan 1500 kepala dan aparat desa di asrama Haji Dono Hudan, Boyolali pada tanggal 26 Desember 2015.
Dalam pertemuan ini Jokowi sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi meminta para kepala desa mendukung Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara (MEA), yakni dengan mendukung masyarakat, khususnya penduduk desanya meningkatkan produk utamanya, yakni hasil-hasil pertanian.
Produk-produk pertanian sebagai sumber utama pedesaan diharapkan akan meningkat lebih besar dari keadaan selama ini. jika selama ini hanya 1 ton per ha bisa meningkat menjadi 2, 3 , 4 ton per ha ,danseterusnya
Kepala desa menurut Presiden  dapat melakukan peran tersebut,  sebab kepala desa adalah tokoh kunci dan motivator utama dalam pembangunan pedesaan. Dengan kemauan yang kuat/baik, tindakan yang rasional, disiplin yang tinggi, kerja keras, hemat, berorientasi produktivitas, rajin menabung, dan hidup bersahaja, orientasi demikian diharapkan dapat dicapai[2]
Selain itu Jokowi juga mengharapkan para kepala desa dapat menggairahkan “sektor rill, kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja”. Dengan ditingkatkannya dana desa dari Rp 20,7 t  pada tahun 2015 menjadi Rp 47 triliun pada tahun 2016 keinginan itu diharapkan dapat terealisir. Bahkan jika pelaksanaannya semakin maju pada tahun 2017 akan ditingkatkan hingga Rp 80 triliun.
Dengan dana yang ditingkatkan terus menerus setiap tahun, apabila dikelola dengan tata kelola yang baik/ spesifik desa dengan seluruh kearifannya, niscaya kesejahteraan desa akan tercapai. Artinya dana itu sungguh-sungguh dikelola sesuai kebutuhan warga, seperti perputaran  dana diupayakan hanya di desa,  proyek yang dibangun bersifat padat karya dan lain-lain cara yang menguntungkan seluruh masyarakat. Jadi bukan suatu ide yang bersemayam di langit, dimenara gading atau di awang-awang. Ia nyata dihadapan kita
Disisi lain, model pertanggung jawaban yang diterapkan secara terbuka dan langsung  kepada masyarakat, yakni dengan menempelnya di papan pengumuman RT dan RW (selain di papan pengumuman kantor desa), memperkuat bahwa cita-cita akbar tersebut  dapat dicapai (Kompas, 27 Desember 2015)
Namun sejalan dengan harapan Presiden tersebut, terpaut juga tantangan-tantangan atau masalah-masalah yang cukup terjal, cadas dan curam . Masalah utama terletak  (justru pada pihak )pemerintah yang menelorkan kebijakan tersebut. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah  belum memberi pedoman secara rinci bagaimana penggunaan dana desa[3]. UU No 6 Tahun 2014 tentang desa diperintahkan untuk membuat 9 PP, namun saat ini baru 2 PP yang diselesaikan, yakni no 43 tahun 2014 dan no 60 tahun 2014 (Kompas 28 Desember 2015)
Fakta lain yang menggelikan, yang seharusnya tak perlu terjadi namun kenyataannya berlangsung dengan kasat mata, adalah alfanya pemerintah kabupaten/kota membuat akun transfer dana desa. Pemkab/pemkot entah karena kelupaan atau belum ada perintah/regulasi dari pusat, propinsi atau ada alasan terselubung tidak membuat akun transfer tersebut. Apa susahnya membuat akun transfer?
....sayang, pemerintah pusat alfa mengatur prosedur aliran dana desa dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Tepatnya, ada beragam akun pemerintah daerah untuk menggunakan dana, tetapi sama sekali tidak ada akun transfer pemerintah daerah kepada desa. Akun transfer dana, seperti yang dipraktikkan Kemenkeu memang hanya butuh laporan penerimaan dana. Itulah yang dikira pemerintah pusat juga berlaku dari kabupaten ke desa. Jika itu terjadi, memang pelaporan gampang, hanya secarik kertas dilampiri bukti tabungan bendahara desa. Kenyataannya, keran transfer desa tidak tersedia di kabupaten. Pemerintah pusat hanya membolehkan satu akun yang relevan dibuka, yaitu bantuan pemerintah desa kepada desa   pada titik inilah kerumitan pelaporan dimulai (Ivanovic Agusta, Kompas, 18 Januari 2016)
Aneh....bagaimana hal yang sangat penting luput dari perhatian. Mengapa hal yang sesungguhnya tak perlu itu mencuat kepermukaan? Jawabannya seribu satu macam. Namun apapun dalihnya (kayaknya) inilah realitas pemerintahan/birokrasi kita saat ini, yakni tidak responsif alias tidak smart[4].
 Sebaliknya sebagaimana yang berlaku di pemkab selama ini bantuan pemerintah daerah harus dilampiri bukti-bukti penggunaannya sampai dana tersebut habis. Setelah itu, baru desa berhak kembali mengajukan permintaan dana tahap berikutnya. Desa yang berpengalaman tentu tidak ada masalah, namun yang sebaliknya (belum berpengalaman pasti) sudah pasti akan keteter (idem Ivanovic Agusta)  
Selain kendala regulasi demikian, yang sangat penting (significan) diperhatikan adalah “kemungkinan terjadinya penyalahgunaan”. Dipersepsikan akan terjadi “mala-administrasi” dalam pengelolaan dana desa karena aparatur desa tidak mendapat penguatan kapasitas dalam perencanaan pembangunan yang baik. (Budhi Hermanto, Badan Pekerja Forum Desa Nusantara, Kompas 28 Desember 2015)    ▬► masalah utama sekaligus masalah mendasar
Inti issu;
·         Presiden mendorong kepala desa tidak hanya professional dalam mengelola desa namun juga harus sanggup bertindak global  MEA pasar bebas ASEAN
·         Presiden mengharapkan kepala desa membenahi ekonomi desa supaya kehidupan desa semakin sejahtera produk pertanian, sektor rill, kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja
·         Desa (kecenderungannya) akan di dorong menjadi pusat pertumbuhan ekonomi 20,7 t 47 t 80 t
·         Pertanggung jawaban program pembangunan dilakukan secara terbuka ke masyarakat papan pengumuman di RT-RW
·         Pedoman dari pemerintah pusat/daerah belum ada, 7 PP sebagai turunan UU No 6 Tahun 2014, termasuk masalah yang sangat teknis/akun transfer desa  belum dibuat
·         Kepala desa belum punya pengalaman dalam perencanaan pembangunan mal administrasi
Pertanyaan:  
Setelah melihat issu-issu tersebut, bagaimana pendapat kita terhadapnya. Apakah dirasakan berat, ringan atau biasa saja.....jawabannya tergantung peserta pertemuan ini. Bisa berat, ringan atau biasa saja. Tergantung bagaimana kita melihatnya.  Sebaiknya dianggap ringan saja
            Saya tidak akan mengulas masalah ini lebih jauh, sebab bukan ini yang diminta kepada saya. Yang penting informasi demikian perlu saya sampaikan agar kita-kita yang hadir di forum ini, yang mungkin belum mengetahuinya dapat memakluminya. Kecuali mungkin jika ditanya/dibutuhkan nanti, sebab tema yang diminta pada saya adalah  “Pemerintahan Desa dan Kepemimpinan”. Saya akan mulai dari tema ini, yakni menguraikan apa itu “Pemerintahan Desa dan Kepemimpinan” menurut UU No 6 Tahun 2014 ,  tersendatnya kedaulatan rakyat, secara praktis.
Bagian II
Otonomi Desa Versi UU No 6 Tahun 2014;
Rekognisi dan Subsidiaritas
Dengan berlakunya UU No 6 Tahun 2014 tentang desa tampillah perubahan besar dalam sistim pemerintahan Indonesia. Perubahan yang sudah lama didambakan, terutama para pejuang-pejuang kedaulatan rakyat. Meski tidak diproklamirkan secara resmi, UU ini  telah mengakui pemerintahan desa sebagai pemerintahan otonom. Identik/Sama dengan otonomi yang diberikan kepada kabupaten/kota pada tahun 2001.
            Akan tetapi kalau masih asing atau alergi dengan istilah demikian (otonomi) sebut saja bahwa  desa telah diberi hak untuk mengurus sendiri hal-hal yang selama ini diurus oleh pemerintah diatasnya. Desa sebagaimana pemerintahan diatasnya, seperti kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat telah memiliki “wewenang, struktur dan fungsi masing-masing sesuai eksistensinya. Persfektif ini dapat di lihat dari asas pengelolaan desa  yang diamanatkan dalam “pasal 3 huruf a dan b UU Desa tersebut”, yakni asas “rekognisi dan subsidiaritas[5].
Dengan rekognisi berarti desa  telah diberi pengakuan dan penghormatan kepada  identitasnya, adat-istiadat yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa, sistim pranata sosial dan kearifan lokal yang berkembang dan tumbuh di desa. Sedangkan asas subsidiaritas dimaksudkan adalah pemberian kewenangan kepada desa untuk mengatur, mengelola dan memanejemeni permasalahan desa secara lokal satu desa, satu rencana, satu anggaran
Ringkasnya desa telah dikembalikan wewenangnya  mengurus dirinya sendiri. Wewenang/hak yang sempat hilang karena kebijakan/politik penyeragaman yang dilakukan  pemerintah Orde Baru (UU No 5 Tahun 1979[6] dan UU No 19 Tahun 1965) hingga Orde Reformasi (PP No 72 Tahun 2005) yang menjadikan desa hanya mengikuti perintah-perintah dari atas (pusat, provinsi, dan kabupaten) . Dengan asas rekognisi dan subsidiaritas yang dianut UU No 6 Tahun 2014, desa telah kembali otonom melaksanakan kedaulatannya. Sama dengan yang  dipraktekkan pada era pemerintahan Soekarno (UU No 22 Tahun 1948, UU No 1 Tahun 1957 dan UU No 19 Tahun 1965), yakni membuat pemerintahan desa sebagai “lokus otonomi tingkat III”
Secara  konseptual  dapat dikatakan telah terjadi perubahan fungsi dan struktur, yakni dari...delegated functions atau specifically agency-signed self autonomous. Desa tidak lagi berperan sekedar pendelegasian fungsi dari pemerintah diatasnya, melainkan telah otonom menentukan jalannya sendiri.
 Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan otonomi demikian  akan diuraikan dalam tabel-tabel dibawah ini
PERSFEKTIF DESA LAMA VERSUS DESA BARU


Desa Lama
Desa Baru
1
Payung hukum
UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 72 Tahun 2005
UU No 6 Tahun 2014
2
Asas utama
Desentralisasi-residualitas
Rekognisi-subsidiaritas
3
Kedudukan
Sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota
Sebagai pemerintahan masyarakat, hybrida antara self governing community dan local self government
4
Posisi dan peran Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa
Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang terbatas strategis dalam mengatur dan mengurus desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat
5
DelIvery kewenangan dan program
Target
Mandat
6
Politik tempat
Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek dari atas
Arena: Desa sebagai arena bagi orang desa untuk menyelenggarakan pemerintahan,pembangunan, pemberdayaan kemasyarakatan
7
Posisi dalam Pembangunan
Objek

Subjek
8
Model pembangunan
Government driven development atau community driven development
Village driven government
9
Pendekatan dan tindakan
Imposisi dan mutilasi sektoral
Fasilitasi, emansipasi dan konsolidasi

Sumber: Sutoro Eko etc, 2014
 Tabel tersebut menunjukkan kepada kita bahwa perubahan besar telah terjadi pada desa. Desa tidak lagi sebagaimana yang kita saksikan selama ini yakni, yang pola pemerintahannya dipaksakan/diseragamkan, yang hanya menjalankan perintah-perintah dari pemerintahan-pemerintahan di atasnya sehingga tidak punya kemandirian dalam pengelolaannya.  dari diperintah menjadi pemerintah
 Untuk lebih jelasnya betapa kedaulatan  ini telah diberikan dapat dilihat pada tabel ke tiga, yakni tentang kewenangan. Sekarang akan dilanjutkan lebih dulu kepada konsep/uraian pembangunan karena peran ini sedang gencar-gencarnya dibicarakan, yakni pengelolaan dana desa 1 m.  Pengelolaan ini sempat ramai, karena hal yan seharusnya tak perlu terjadi, namun tetap terjadi. Lebih rinci akan dilihat dalam tabel dibawah ini
PARADIGMA LAMA DAN BARU PEMBANGUNAN PEDESAAN

Paradigma Lama
Paradigma Baru
1
Focus pada pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan
2
Redistribusi oleh negara
Proses demokrasi dan keterlibatan warga marjinal dalam pengambilan keputusan
3
Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan
Menonjolkan nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri dan lain-lain
4
Negara memberi subsidi pada pengusaha kecil
Negara membuat lingkungan yang memungkinkan
5
Negara menyediakan layanan sosial
Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial
6
Transfer teknologi dari negara maju
Penghargaan kepada kearifan dan teknologi lokal; pengembangan teknologi secara partisipatoris
7
Transfer aset-aset berharga pada negara maju
Penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas miskin
8
Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah
Pembangunan adalah proses multidimensi dan sering tidak nyata yang dirumuskan oleh rakyat
9
Sektoral
Menyeluruh dan terpadu
10
Organisasi hierarkhis untuk melaksanakan proyek
Organisasi belajar non hierarkhis
Sumber: Sutoro Eko etc, 2014
Karena fungsi pemerintah , termasuk pemerintahan desa sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah berfungsi untuk mencapai tujuan negara, maka manifestasi atau konsekwensinya ia harus bekerja, harus berikhitar atau berupaya apa yang harus dilakukan. Wujudnya sebagaimana kita pahami selama ini adalah “pembangunan” (development). Pembangunan menjadi kata yang sakti sejak Orde Baru terbentuk.
Sayang seribu sayang  pembangunan yang dilakukan selama ini jauh dari harapan. Jauh panggang dari api. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Mengapa,kenapa pembangunan tersebut tidak sampai pada sasarannya sudah banyak dibahas para pakar. Salah satu alasannya  adalah karena pengelolaan pemerintahan terlalu terpusat di jakarta (Wewenag terlalu terpusat di Jakarta)
 Untuk mengurangi dampak negatif demikian, sesuai dengan tuntutan reformasi dilakukanlah pengurangan wewenang pusat. Yakni dengan memberi otonomi kepada Kabupaten/kota.
Namun setelah diberikan otonomi kepada tingkat dua, keinginan untuk mewujudkan tujuan negara belum juga sesuai harapan. Penyakit-penyakit kronis, seperti kemiskinan, ketidak adilan dan sejenisnya masih terus berlangsung.malah dengan mengenaskan para  kepala daerahnya banyak masuk penjara karena terlibat KKN.
Apakah karena latar belakang demikian yang membuat pemimpin-pemimpin bangsa ini memberikan otonomi kepada desa, masih sukar dijawab secara kongkrit. Secara konseptual Partai Amanat Nasional waktu dipimpin Sutrisno Bachir berjanji apabila partainya menang dalam pemilu akan memberikan setiap desa Rp 5 m. Golkar dalam kampanyenya mengumandangkan “dari desa membangun Indonesia”
Terserah apa argumennya, yang pasti kewenangan-otonomi telah diberikan kepada desa. Bagaimana kewenangan ini dapat kita lihat dalam tabel dibawah ini
KEWENANGAN DESA MENURUT  UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 6 Tahun 2014

UU No 32 Tahun 2004
UU No 6 Tahun 2014
1
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
Kewenangan berdasarkan hak asal usul
2
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa
Kewenangan lokal berskala desa
3
Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota
Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah provinsi atau Pemerintah Kabupaten/kota
4
Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa
Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Ringkas dan singkatnya Desa telah diberi wewenang atau kekuasaan yang besar mengurus desanya. Ia sudah berdaulat. Akan kah terjadi perubahan yang radikal? Yakni  segera diikuti dengan perubahan fungsional sehingga keinginan  seluruh masyarakat akan tergapai?     Disinilah kita harus realistis.
Angin perubahan demikian kita tangkap dengan optimis. Namun pelaksanaannya harus step by step alias bertahap. Oleh karena itu tidak ada salahnya kita kembali ke belakang (flashback), merenungkan kembali apa sesungguhnya yang kita inginkan membentuk NKRI. Apa hanya sekedar lepas dari penjajah? Apa hanya untuk segelintir orang? Tidakkah untuk kebaikan bersama?.
Jawabannya kita lihat dalam konstitusi (UUD 1945). Sebagai negara konstitusional, konstitusi adalah kata akhir legitimasi. Oleh karena itu pemahaman UUD 1945, khususnya  Pembukaannya harus dipahami dan dihayati secara seksama. Dalam hubungannya dengan tema pembicaraan kita hari ini, yakni pemerintahan desa dan kepemimpinan, kita merujuk kepada alinea ke empat. Lebih jelasnya kita kutip dibawah ini:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang  Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Alinea itulah yang menjadi dasar/pedoman kita mewujudkan pemerintahan, khususnya Pemerintahan Desa yang belum lama mendapat pengakuan resmi. Dari alinea itu dapat kita baca apa yang menjadi fungsi Negara Indonesia.;
1.      Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.      Memajukan kesejahteraan umum
3.      Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.      Melaksanakan ketertiban dunia.....
Adapun bentuk pemerintahan adalah....kedaulatan rakyat. Pemerintahan yang didasarkan kepada kedaulatan rakyat. Agar dibedakan dengan bentuk-bentuk pemerintahan yang lain, seperti kerajaan misalnya. Kita menganut pemerintahan yang sungguh-sungguh atas daulat rakyat, bukan daulat tuanku. Lebih kongkritnya kedaulatan rakyat yang didasarkan kepada dasar negara, yakni Pancasila.
Bagaimana perwujudannya lebih rinci, detil, atau operasional sebagaimana disebutkan sebelumnya telah dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), Pergub, Perda dan sebagainya. Termasuk yang akan segera tampil saat ini adalah  Perdes. Akankah perdes yang akan tampil marak ke depan ini akan mewujudkan kedaulatan rakyat?. Inilah inti pemerintahan desa yang akan kita ulas dibawah ini
POTRET PEMERINTAHAN MASA KINI
tersendatnya kedaulatan rakyat dan  otonomi daerah
Sebagaimana disebut di atas bentuk pemerintahan kita mengutif Pembukaan UUD 1945 adalah “kedaulatan rakyat”. Namun seperti apa persisnya pemerintahan yang berdasar kedaulatan rakyat itu masih penuh perdebatan hingga detik ini. Rumusan detil  belum pernah ditulis baik di UUD, UU, PP dan sebagainya. Pengertiannya masih tetap sebatas tema-tema besar, normatif, kualitatif.
 Secara ideologis/visioner sudah jelas, yakni sila ke empat Pancasila...Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Tak seorangpun yang membantah prinsip ini, semua sudah paham. Namun melihat prakteknya  selama ini, kita menjadi ragu.  Benarkah/Sudahkah prinsip-prinsip agung itu dijalankan secara substantif, tidakkah baru sebatas normatif, kualitatif hingga filosofis?. Lebih kongkrit-menukik .........., sudahkah kerakyatan dan hikmat kebijaksanaan itu diwujudkan?, begitu pula dengan permusyawaratan dan permufakatan, sudahkah diterapkan dengan sebenarnya?. Ini masalah mendasar yang perlu kita diskusikan pada pertemuan  ini.
Dari warung-warung kopi hingga hotel berbintang lima, dari yang miskin hingga yang konglomerat, dari yang buta huruf hingga yang profesor dan sekian segmen masyarakat yang lain , lebih dari cukup memperbincangkan hal itu. Saya kira kita sepakat semua, yakni masih jauh dari yang seharusnya. Secara legal-formal atau prosedural mungkin sudah terlaksana, namun secara substansial .............. masih sangat jauh.
            Merujuk pendekatan “teoritik-ilmiah” sinyalemen demikian lebih dari cukup dibahas. Pakar-pakar asing nan Indonesianis seperti Benedicht Anderson, Carl D Jackson, Dwight Y King, Yoon Hwan Shin, Richard Robison, Harold Crouch, Arnold Schwartz, John Perkins, Pilger, Olle Tornquist dan sekian banyak lagi, telah mengeluarkan pendapatnya. Pada umumnya mereka/para pakar ini berpendapat, negeri ini belum mempraktekkan kedaulatan rakyat sebagaimana lazimnya kedaulatan rakyat yang dipraktekkan dinegara-negara demokratis. Jauh panggang dari api. Kulitnya “kedaulatan rakyat”, namun isinya macam-macam. Ada yang menyebut bahwa sistim pemerintahan yang kita jalankan adalah “otoriter” dengan derivasinya, seperti elitis, feodal, birokratik, korporatis, korporatokrasi dan sekian istilah yang hakikinya bukan kedaulatan rakyat. Namun yang menolak anggapan itupun cukup banyak
Agar pembicaraan ini tidak melebar kemana-mana dan terjerembab kepada pembahasan teori yang tidak habis-habisnya, kita terapkan saja satu ukuran yang kira-kira memadai. Ukuran ini adalah apa yang disebut Presiden Jokowi dengan “Trisakti”
 Trisakti menurut Jokowi adalah perwujudan kedaulatan rakyat, yakni ;
·         Berdaulat dalam bidang politik
·         Berdikari dalam bidang ekonomi
·         Berkepribadian dalam bidang kebudayaan
Artinya kedaulatan rakyat itu tidak saja dalam dimensi politik sebagaimana yang paradigmatis saat ini, namun juga dalam bidang ekonomi, dan atau khususnya lebih jauh adalah dalam bidang kebudayaan.
 Secara hakiki/umum, setiap negara yang menggunakan “kedaulatan rakyat” sebagai instrumen pemerintahannya, akan memanifestasikan faktor-faktor dibawah ini;
1.      Semua seharusnya memerintah, dalam arti semua harus terlibat dalam legislasi, dalam memutuskan kebijakan publik, dalam menegakkan hukum, dan dalam administrasi negara
2.      Semua seharusnya terlibat secara personal dalam pengambilan keputusan yang krusial, yaitu dalam menetapkan UU dan permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan publik
3.      Pemerintah harus dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada yang diperintah, dengan kata lain mereka dapat dimintai pertanggungjawaban oleh yang diperintah serta dapat diganti oleh yang diperintah
4.      Pemerintah juga bertanggung jawab kepada perwakilan yang diperintah
5.      Pemerintah dipilih oleh yang diperintah
6.      Pemerintah dipilih oleh perwakilan yang diperintah
7.      Pemerintah bertindak mewakili kepentingan yang diberi perintah (Lively, 1975:30)
Akan terealisasi apabila Trisakti itu dipraktekkan sesuai  dengan jiwa,cita-cita dan semangatnya. Tanpa prinsip seperti itu, kedaulatan itu hanya sebatas prosedural, legal-formal alias hanya sekedar-sekedar. Kemauan yang kuat disertai kompetensi yang mumpuni menjadi prasyarat yang tak dapat ditawar-tawar. Termasuk dan atau khususnya para kepala desa dan jajarannya yang berkumpul saat ini, diharapkan memiliki komitmen yang tinggi mewujudkannya. Dengan komitmen yang kuat persoalan-persoalan yang lain akan selesai dengan sendirinya.
            Trisakti sebagaimana faktanya agar lebih jelas, detil dan operasional telah dijabarkan kedalam 9 orientasi yang dinamakan Nawa Cita;
        I.            Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri yang bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim
      II.            Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan politik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistim kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan.
    III.            Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
    IV.            Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistim dab penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya
      V.            Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia pintar” serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia kerja” dan “Indonesia sejahtera” dengan mendorong land reform dengan program kepemilikan tanah seluas 9 ha, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019
    VI.            Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya
  VII.            Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
VIII.            Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti aspek pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia
    IX.            Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga
Tawaran kembali ke khittah Republik Desa Musyawarah-Mufakat

Sekilas Latar belakang dan Perkembangan Konsep Otonomi
Sebagai penekanan kepada uraian-uraian di atas, perlu kembali disinggung makna wewenang yang diberikan kepada desa. Makna ini sebagaimana sudah kita sebut di atas adalah otonomi. Desa telah diberi otonomi, yakni Otonomi untuk lebih mempercepat tujuan negara.
            Dengan otonomi tujuan negara, seperti rasa aman, sejahtera dan cerdas akan lebih cepat terealisasi, dibandingkan apabila masih diurus pemerintah diatasnya. Artinya dengan diberikannya otonomi, rentang kendali pemerintahan  lebih dekat dengan rakyat,sehingga aspirasi, pengurusan dan pelayanan akan lebih tanggap dan cepat. Rakyat bila mengurus urusan-urusannya tidak perlu lagi jauh-jauh, begitu pula pemerintah akan lebih tanggap karena sudah berada sangat dekat dengan rakyat  (akar rumput/grashrooth)
     Akan tetapi di atas itu semua, tujuan utama otonomi sesungguhnya adalah masalah ekonomi, yakni masalah kemiskinan. Kemiskinan dari waktu ke waktu tidak berkurang. Jadi bagaimana meretas kemiskinan itulah inti masalahnya. Strategi atau metodenya adalah seperti dibawah ini
·         Efisiensi alokasi pemda pemdes memanfaatkan sumber daya yang terbatas akan lebih efektif daripada pemerintah pusat
·         Mengurangi tingkat kemiskinan (Fumihiko Saito, 2008, Decentralization and Local Governance, Heidelberg, hal 3-4)
·         Terciptanya political equality di tingkat lokal kontribusi penguatan demokrasi lokal, dimana masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memberikan suaranya dalam pemilihan dan pengambilan keputusan, membentuk asosiasi politik dan menggunakan hak kebebasan berbicara partisipasi masyarakat yang lebih besar kesempatan berbagai relasi antara pemangku kepentingan yang lebih setara, yakni antar pemerintahan, antara negara dan masyarakat, dan antar masyarakat dengan masyarakat (Brian Smith, 2004, Local and National Democracy: lesson from the Third Wave of Democratization, Ashgate, Burlington)
·         Mendekatkan pemerintah dengan masyarakat (George Stiegler, 2007, the Tenable Range of functions of local Government, in Federal Expenditure Policy for economic Growth and Stability. Washington)
Bagian III
K E P E M I M P I N A N
Saya tidak akan menguraikan cara, metode atau teori-teori kepemimpinan sebagaimana diterapkan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan tinggi, sebab saya yakin bukan itu tujuan pertemuan ini, melainkan cara, metode atau kiat apa  kira-kira yang dapat dipraktekkan dalam tugas sebagai aparatur desa.
Sebagai ilustrasinya Saya mulai dari suatu ilustrasi tentang  pemimpin daerah yang sukses menakhodai daerahnya dan menjadi buah bibir dewasa ini, yakni  Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, Bupati Bantaeng, Nurdin Abdulah dan 10 kepala daerah terbaik versi Majalah Tempo 2008
Terobosan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi dalam menjalankan tugasnya tidak sekedar mengikuti kaidah-kaidah umum pemerintahan/politik sebagaimana yang diamanatkan UUD, UU, PP dan sekian ketentuan-ketentuan lainnya. Ia berani  melakukan “t e r o b o s a n yang khusus, spesifik dan selaras dengan kebutuhan daerahnya. Model pembangunan yang diterapkannya melewati model-model pembangunan yang umum dilakukan, yakni yang tekanan utamanya hanya pada bidang ekonomi-politik. Ia menyeruak lebih jauh, yakni mempraktekkan gaya pembangunan yang multi dimensional yang diletakkan di atas budaya. Yakni budaya Sunda
                   ☼☼Pembangunan yang didasarkan kepada adat, tradisi Sunda☼☼
Dedi Mulyadi dalam kepemimpinannya punya visi, yakni: 
·         Mampu mengintegrasikan budaya, inovasi, kreatifitas, dan kolaborasi sebagai semangat inti dalam membangun wilayahnya
·         Memiliki komitmen kuat membangun dan memotivasi para pemimpin muda Indonesia supaya produktif
☼☼☼  Komitmen inovasi kreatifitas kolaborasi  ☼☼☼
Dimulai dari strategi yang paling mendasar, yakni “pendidikan”. Pendidikan yang diterapkan tidak sekedar mengikuti sekolah umum sebagaimana yang diperintahkan UU pendidikan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Rincinya  sebagai berikut:
1.      Masuk sekolah jam 06.00 pagi
2.      Waktu sekolah Senin sampai Jumat
3.      Membuat tas sendiri untuk sekolah
4.      Membawa bekal makanan sendiri dari rumah
5.      Pasca maghrib mengaji, baca tulis alquran dan mendirikan shalat Duha
6.      Setiap hari Senin dan Kamis wajib berpuasa
7.      Anak-anak/dibawah umur tidak boleh merokok. Orang tua tidak boleh menyuruh anak beli rokok
8.      Naik sepeda ke sekolah. Tidak boleh naik motor ada sanksi. Orang tua ikut tanda tangan
9.      Setiap Hari Jumat diberi susu dan telur
10.  Tidak diizinkan pedagang berjualan di sekolah
11.  Setiap siswa harus dapat beternak, bercocok tanam. Mereka disubsidi masing-masing dengan ternak dan input pertanian yang harus diusahakan sendiri di rumahnya
12.  Menggabung 80 SD di kota pada satu tempat
13.  Para pedagang yang direlokasi dari sekolah diberi modal Rp 1,5 juta
14.  Pegawai pemkab, instansi swasta, dan kalangan lain diwajibkan memakai tas buatan sendiri dari bahan daur ulang
15.  Pemkab menguasai sumber-sumber air untuk digunakan kebutuhan rakyat, seperti irigasi, air minum, mandi yang dikelola Bumdes UUD 1945
16.  Membangun 100 kran air siap minum
17.  Program ibu asuh. Seluruh pejabat pemkab, pihak swasta dan kalangan lainnya wajib jadi ibu asuh
18.  Tempat khusus untuk pacaran bale wakuncar. Diawasi pihak desa. Waktunya hingga jam 21.00. konsekwensi dari kebijakan kawin paksa jika apel di atas jam 21.00
19.  Setiap bulan purnama, listrik dimatikan  hingga jam 21.00 suasana alamiah
20.  APBD, 1/8 untuk Pemkab, 7/8 untuk masyarakat
21.  Pilkades serentak 87 desa. Satu hari selesai pemilihan sekaligus pelantikan. Disumpah pakai adat Sunda......mun ngalanggar naon nu diucapken siap di bentar galudug...saya bersumpah jika melanggar apa yang saya ucapkan, saya siap disambar petir[7]
22.  Setiap tahun baru para petugas kebersihan diundang pejabat pemkab makan malam, dimana yang melayani para petugas kebersihan ini adalah Bupati dan jajarannya[8]
23.  Setiap hari kamis petugas satpam wajib memakai pakaian khas Sunda lengkap dengan kerajaannya
24.  Pelayanan/birokrasi satu pintu untuk urusan penanaman modal[9]
25.  Ekspor sate meranggi ke Washington DC. Hasil festival kuliner, yang telah mengalami pelatihan dan branding
26.  Pembentukan Mahkamah Adat[10]
Suatu terobosan yang sungguh-sungguh inovatif, kreatif, improvivatif. Dedi Mulyadi terbukti berhasil melaksanakan kepemimpinan yang lain dari yang lain/istimewa, yang penuh pembaharuan/inovatif;
·         Bersahabat
·         Menyejahterakan keluarga
·         Manusiawi
·         Berwawasan lingkungan
Atas keberhasilan ini Dedi Mulyadi mendapat pengakuan, tidak saja dari dalam negeri melainkan juga dari dunia Internasional, yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tanggal 18 Agustus 2015, beliau mendapat kehormatan pidato di lembaga dunia tersebut atas undangan International Young Leader assembly (IYLA) dengan tema;
Kepemimpinan Moral dan Inovatif
Visi: Pelayanan, Kewirausahaan dan kepemimpinan
Dedi mulyadi menjabarkan kepemimpinan yang dilakukannya di Purwakarta yang dianggap PBB adalah kepemimpinan yang didasarkan kepada moral. Kepemimpinan yang didasarkan kepada keinginan semua warga yang dilandasi adat di daerah tersebut, namun tetap dalam bingkai universal
Betapa besar perhatian dunia pada Pidato tersebut dapat dilihat dari peserta yang menghadirinya. Peserta terdiri dari  utusan  60 negara, dari level S1 hingga S3, dari NGO, dan utusan pemerintah lain-lainnya
Dedi Mulyadi yang diwawancarai wartawan VOA pada pertemuan itu mengatakan
Saya menjelaskan bagaimana pemimpin yang dilahirkan dari sekolah-sekolah itu adalah leader yang punya jiwa kewirausahaan, yang memahami lingkungannya dengan kuat. Kemudian tumbuh menjadi pemimpin yang berkarakter. Dan ketika menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin yang sesungguhnya

Kisah sukses Bupati Bantaeng, Dr Ir Nurdin Abdulah
☼☼Membangun sistem dan keteladanan☼☼
►Kesungguhan dan contoh◄
Kuliah di Jepang (S2 dan S3) yakni di Universitas Kyushu. Waktu studi sangat brilian sehingga ketika lulus ditawari menjadi CEO beberapa perusahaan Jepang. Di Indonesia ia menjadi direktur perusahaan Jepang yang bernama PT Maruki International Indonesia. Pada tahun 2008 ia di dorong ikut Pilkada membangun kampungnya dan menang
Ketika ia baru menjabat bupati masalah Bantaeng pada waktu itu adalah;
·         Infrastruktur yang minim jalan
·         Air dan serangan hama pada pertanian
·         Tingginya angka kematian ibu pada waktu melahirkan, penyakit lingkungan dan kekurangan gizi
Adapun langkah pertama/strategi yang dilakukan Nurdin Abdulah adalah assesment para kepala dinas. Mereka diwawancara agar diketahui diposisi mana mereka tepat didudukkan. Lalu didorong agar bekerja dengan serius, yakni bahwa 1, 2 tahun ini tergantung kepada saya/aktor/bupati, namun tahun ketiga sudah harus bergantung kepada sistem atau manajemen pembenahan birokrasi pemda
Masalah pertama yang dihadapi Bupati kala itu adalah banjir. Banjir yang menggenangi banyak tempat, termasuk kediaman Bupati, areal perswahan yang berakibat gagal panen. Kiat Bupati saat itu adalah melakukan “survey”, yakni dengan mengundang pakar jepang dan Unhas. Diputuskan harus segera dibangun “cekdam”. Namun sebagaimana lazimnya ada saja “propokator yang mengganggu”.namun apapun propokasinya selama itu untuk kepentingan masyarakat,tidak perlu takut. Setelah selesai dibangun dipropokasi lagi/retak cekdamnya. Kembali sang Bupati “tidak takut”. Yang utama.....faktor kesungguhan saja dan berikan contoh...kata Bupati
Sedangkan upaya menangani masalah  kematian tinggi ibu melahirkan,penyakit lingkungan dan kekurangan gizi Bupati membangun “brigade siaga bencana (BSB)” yang dilengkapi dengan “damkar-ambulans”. Fungsi utamanya adalah menangani dengan cepat apabila masyarakat membutuhkan pertolongan. Ide ini diadopsi dari Jepang yang sangat sigat melayani masyarakatnya.
            Tantangan pertama dalam operasi BSB ini adalah keterbatasan prasarana, seperti minimnya ambulans dan lain-lain. Bupati tidak diam, ia nemuin koleganya di Jepang. Bertepatan kolega-koleganya di Jepang itu akan meremajakan beberapa kenderaan ambulans, sehingga ambulans lama ini diberikan ke Bupati lengkap dgn peralatan medis. Beres sudah tidak ada lagi ibu  meninggal karena melahirkan.   ada ikhtiar ada jalan keluar
Bidang lain yang juga gemilang ditangani adalah masalah pendidikan. Sebagaimana banyak daerah lain yang sudah menggratiskan uang sekolah hingga SMA, Bupati juga melakukan hal yang sama. Namun yang juga didorong oleh Bupati adalah agar para siswa di bantaeng sekolah/studi ke luar negeri. Dicarikan bea siswa.  pembangunan SDM
Pembangunan lain yang juga cukup berhasil adalah pembangunan pantai Marina. Dari rawa-rwa disulap menjadi tempat yang indah dan menjadi arena wisata yang mengagumkan. Bupati menugaskan dinas Pu bangun jalan, Pariwisata bangun gazebo, perikanan bangun tempat mancing. Manajemen yang brilian. Namun yang paling spektakuler adalah dalam bidang pertanian, yang telah membawa Bantaeng sukses tidak saja di dalam negeri, namun telah mengeksopr hasilnya secara teknolgis ke luar negeri
10 terobosan di bidang pertanian;
A.      Kabupaten penghasil benih berbasis teknologi
B.      Gerakan sistem tanam legowo-21
C.      Pengembangan kawasan agrowisata di Uluere
D.     Membentuk Bumdes
E.      Mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian
F.       Pengembangan teknik inseminasi sapi
G.     Memanfaatkan limbah ternak biogas di pedesaan
H.     Memanfaatkan limbah pangan jadi pakan
I.        Penangkaran talas Bantaeng
J.        Budidaya durian tanpa aroma dan tanpa musim
Sebagai pembanding untuk dua pemimpin tersebut akan diutarakan 10 kepala daerah terbaik versi majalah tempo 2008. Penilaian didasarkan kepada tiga hal, yakni;
·         Pelayanan publik
·         Transparansi dan
·         Keramahan pada dunia usaha
Secara umum apa yang dilakukan mereka tidak begitu berbeda dengan Dedy Mulyadi maupun Nurdin Abdulah. Mereka yakin syarat utama keberhasilan adalah “keteladanan dan kejujuran”. Selain itu juga mereka yakin bahwa “komunikasi yang intens, sabar mendengar rakyat dan bekerja mencapainya adalah prasyarat selanjutnya. Dibawah ini akan dimuat terobosan-terobosan mereka. Beberapa dari mereka ini sudah meningkat lebih jauh, seperti Djarot Saiful Hidayat yang menjadi Wakil gubernur DKI Jaya, dan atau khususnya Joko Widodo yang menjadi Presiden saat ini.
10 Kepala Daerah Terbaik versi Tempo 2008

N A M A
Kepala Daerah
Terobosan
1
Yusuf Serang Kasim
Walikota Tarakan
Merubah Tarakan dari kota kumuh menjadi Singapore kecil dalam waktu 10 tahun
2
Herry Zudianto
Walikota Yogyakarta
Menciptakan taman yang luas di kota Yogyakarta
3
David Bobihae Akib
Bupati Gorontalo
Ekspor jagung/pertanian
4
Andi Hatta Marakarma
Bupati Luwu Timur
Membangun ekonomi desa/pertanian
5
Suyanto
Bupati Jombang
Menempatkan dokter spesialis di Puskesmas
6
AA.Gde Agung
Bupati Badung
Mengembangkan pertanian sehingga mengurangi ketimpangan/kemiskinan
7
Joko Widodo
Walikota Solo
Membujuk PKL secara pesuasif/pendekatan kemanusiaan
8
Untung Sarono
Walikota Sragen
Internet untuk seluruh wilayah Sragen
9
Ilham Arif Sirajudin
Walikota Makasar
Merubah lapangan Karebosi yang kumuh/sarang wadam menjadi tempat yang indah
10
Djarot Saiful Hidayat
Walikota Blitar
Reformasi birokrasi, tidak mengijinkan mall di Blitar

Bagaimana dengan kepala desa? Apakah tidak ada yang berprestasi?. Diskursus ini belum kami bahas, sebab peran desa belum seperti sekarang ini, yakni diberi wewenang yang besar untuk mengurus desanya. Kalaupun ada, itu semata-mata karena perannya sebagai birokrat atau teknokrat, yang lebih banyak melakukan fungsi-fungsi teknis ketimbang fungsi pengambilan keputusan/politis.
            Akan tetapi walaupun demikian jika kita telusuri lebih seksama sudah banyak  desa yang berprestasi gemilang walau belum diberi wewenang otonom sebagaimana diterapkan saat ini. Desa-desa mana yang berprestasi selama ini akan diuraikan dalam sub bab dibawa
Bagian IV
Desa sebagai agen perubahan
Meski terkungkung dalam sistim pemerintahan  penyeragaman, yang diterapkan sejak Orde Baru,  ternyata masih banyak juga desa yang sukses mewujudkan tujuan  pemerintahan. Tujuan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, seperti “melindungi setiap warga negara dan tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan bangsa”, telah banyak diwujudkan desa-desa berprestasi. Beberapa desa ini bahkan sudah menyamai desa-desa dinegara maju. Mengapa bisa mereka berprestasi?, menarik untuk dikaji. Beberapa desa berprestasi demikian akan diuraikan dibawah ini.
Nama Desa              : Gurimbang, Berau, Kaltim
Nama Kepala Desa : Madri Pani
Terobosan                : Sukses me-Revolusi Mental Warganya
Desa ini terpilih sebagai desa terbaik pada tahun 2015, sehingga diundang Jokowi ke istana untuk mendapat penghargaan. Kepala desanya, yakni Madri Pani membeberkan keberhasilannya merubah sikap masyarakat setempat dihadapan Presiden, yang membuat Presiden sangat anthusias mendengarkan penjelasannya.
Madri berceritra bagaimana saat itu masyarakat tidak punya jamban yang sehat. Bila  buang air besar hanya melalui ruang kecil di dalam rumahnya, yang dibawahnya tergenang air yang tidak mengalir, karena rumahnya memang di atas rawa-rawa. Bisa dibayangkan sudah pasti jorok, bau tidak enak dan menjadi sumber penyakit. Dengan sabar, tekun dan ulet sang kepala desa, Madri Pani membujuk warganya supaya meninggalkan kebiasaan buruk itu.
Sebagaimana merubah kebiasaan yang sudah berlangsung turun temurun tidaklah mudah. Banyak kendala, bahkan ada yang bilang bahwa kerja pak Kades ini adalah pekerjaan orang gila. Namun apapun dalihnya tekad Kades tidak pernah surut. Beliau berhasil membujuk warganya agar meninggalkan kebiasaan tak sehat itu.
Setelah Kades berhasil meyakinkan warganya, tantangan selanjutnya adalah tidak ada biaya untuk membangun jamban/WC yang baik. Kepala desa memutar otak, ia meminta bantuan dari perusahaan swasta yang menyediakan CSR. Perusahaan ini membantu dan dalam waktu tiga tahun seluruh warga telah punya Jamban/WC permanen.
Sukses merubah mental warganya untuk kehidupan yang lebih baik, tantangan yang menghadang di depan adalah bagaimana meningkatkan pendapatan warga dan menciptakan lapangan kerja baru. Dengan pengalaman bagaimana membangun Jamban/WC, sang kepala desa melakukan terobosan, yakni merubah limbah hewan ternak menjadi pupuk kompos yang diminati pasar. Pembaharuan yang terus menerus dari kades ini akhirnya mengantar Desa Gurimbang menjadi desa yang nyaman, sejahtera dan cerdas (Kompas, 18 Agust 2015).
 Ilutrasi lain, yakni desa berprestasi pada tahun 2010 akan diuraikan dibawah ini;
Nama desa : Ketindan, Lawang, Malang, Jatim
Kades          : Darto
Terobosan : Kesejahteraan Warga dan kesadaran Hukum
Desa ini telah berhasil sebagai desa yang mendekati ideal, yakni yang tidak hanya nyaman, sejahtera , namun juga sudah sampai pada apa yang disebut “cerdas”. Jadi tujuan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam pemb UUD 1945 sudah tercapai. hal ini dapat dilihat dari prestasinya dalam perlombaan “Keluarga sadar hukum, Kadarkum”. Dalam tingkat Kabupaten, ia menyabet juara I, propinsi juara III.
Untuk lebih memahami keberhasilan desa Ketindan ini dapat kita lihat dari prestasi-prestasi dibawah ini;

Tingkat Kabupaten
Tingkat Provinsi
1
Juara I lomba 10 program PKK
Juara I lomba 10 program PKK
2
Juara II lomba desa berprestasi
Juara II lomba ternak kambing
3
Juara harapan I lomba Kadarkum
Juara III Temu Kadarkum
4
Juara harapan II lomba Ketua TP PKK

5
Juara harapan III lomba Karang Taruna


Sebagaimana kendala utama yang dihadapi pada waktu itu adalah sama dengan yang dialami desa Gurimbang yakni bagaimana merubah mental para warganya. Mental inilah yang pertama-tama dibereskan. Tanpa perubahan mental hal-hal yang menjadi tantangan dibawah ini tidak akan terealisasi;
ü  Adaptasi ke masyarakat
ü  Menggerakkan aspirasi masyarakat
ü  Pemberdayaan kegiatan sosial masyarakat
ü  Kemampuan masyarakat menyerap dan mengimplementasikan peraturan-peraturan yang ada
Terobosan yang juga menarik dari desa ini adalah telah berhasil menyusun secara sistematis program desanya sesuai dengan tuntutan RPJM. Tiga tujuan desa dalam RPJMnya telah disahkan, yakni;
1.      Bidang pelayanan masyarakat
2.      Bidang pemberdayaan masyarakat
3.      Bidang pembangunan (Lawang Post, 25 agust 2010)
Desa lain yang juga sangat berprestasi adalah desa Embalut di Kalimatan Timur
Nama Desa        : Embalut, Tenggarong, Kutai Kartanaegara, Kaltim
Kepala Desa       : Dr (c) Mus Mulyadi Msi
Terobosan          : mendorong partisipasi dan pemanfaatan lahan eks tambang
Desa ini juara IV tingkat nasional. Berprestasi karena berhasil mendorong keikutsertaan masyarakat membangun desanya serta membuat terobosan yang luar biasa dalam pemanfaatan lahan eks tambang untuk pengembangan rumah pangan lestari.
Kepala desa yang berteptan berpendidikan S3 dan/beserta aparaturnya telah sukses memanfaatkan pola-pola ilmiah mengatur pemerintahan desa. Semakin berhasil karena ketua BPDnya juga berpendidikan S3 (Diskominfo, 19 Agustus 2014)
Desa lain yang juga sangat berprestasi adalah Nagari Simarasok
Nama desa        : Nagari Simarasok, Baso, Agam, Sumbar
Nama Kades      : Muslim Dt Payuang di Ateh
Terobosan         : Foto udara 3 dimensi
Desa ini juara I Nasional pada tahun 2011. Secara umum terobosan besar yang dilakukan desa ini adalah;
1.      Membuat nutrisi pupuk
2.      Pembuatan Biogas sebagai pembangkit listrik dengan kekuatan 800 watt
3.      Memiliki empat tenaga ahli bergelar doktor/tiga dosen Unand
4.      Satu-satunya Nagari yang sudah memiliki atau membuat foto udara 3 dimensi secara detil dan terukur pada desanya
5.      Program Nagari siaga dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap masalah masyarakat (Jurong Sukinah dan Jurong Perilaku hidup) (Antara News Com, 16 Agust, 2011)
6.      Mampu memanfaatkan SDM di rantau
Masih di Sumatera Barat desa yang juga sangat berprestasi adalah desa Lunto Timur
Nama Desa       : Lunto Timur, Sawah Lunto, Sumbar
Kades                 : Adepron
Terobosan        : Pelayanan masyarakat...... sapu bersih kemiskinan
Desa ini termasuk desa yang mendekati ideal. Pelayanan masyarakatnya sudah sama dengan pelayanan masyarakat di negara maju. Seluruh pelayanan gratis. Apabila masyarakat tidak bisa menunggu, staf desa akan mengantar bahan-bahan yang di urus itu ke rumahnya. Birokrasi ideal yang jarang kedengaran di negeri ini, karena yang terjadi biasanya adalah sebaliknya, yakni masyarakat melayani birokrasi
 Istimewanya lagi adalah desa ini telah punya data base yang canggih/modern dimana no hp seluruh warganya telah tersimpan dengan baik. Begitu pula sistim pengarsipan adminstrasi lainnya telah komputerized. Program desa ini secara singkat adalah:
ü  Tata pelayanan administrasi
ü  Penanggulangan kemiskinan 49 kk miskin diberi modal
ü  Produksi songket Silungkang
ü  Menghemat pengeluaran
ü  Kebersihan lingkungan
ü  Keagamaan program Maghrib mengaji penggalakan yasinan
ü  Kearsipan komputerized (12 Mei 2015)
Desa ini adalah desa paling berprestasi/juara I se Sumatera Barat pada tahun 2015. Latar belakang penilaian didasarkan kepada:
·         Penyelenggara pemerintah terbaik
·         Pengembangan ekonomi
·         Pengentas kemiskinan
·         Pelestarian nilai-nilai adat, budaya, agama, pemberdayaan masyarakat (Padang Media, 6 Juli, 2015)
Nama Desa      : Aji Kuning, Kalimantan Utara
Kades                :
Terobosan        : Dinamika Musyawarah Desa
Visi :
Mewujudkan desa Aji Kuning Menjadi Desa Pembangunan yang Tertata, Berahlak, Sejahtera dan Amanah.
Dengan konsisten mewujudkan visi tersebut, desa ini berhasil meraih juara I tahun 2015 dalam pembangunan desa. Dalih kemajuan: motivasi masyarakatnya yang tinggi
Terlihat dari salah satunya ketika merekamelaksanakan kegiatan rapat dan kerja bakti setiap minggunya. Setiap warga berani mengaspirasikan suara dan pendapatnya untuk terus berkontribusi dalam pembangunan desa.
Nama Desa     : Sinangohprendeng, Pekalongan, Jawa tengah
Kades               : Sugiyono
Terobosan      : Lingkungan yang hijau dan asri
Desa yang menjadi juara I Jateng 2012 ini telah sampai ke model pembangunan yang disebut dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sinangohprendeng selain sukses membangun kebutuhan-kebutuhan dasar, pengembangan ekonomi, mencerdaskan masyarakat adalah penataan lingkungannya yang ekologis. Hal ini terlihat dari:
v  Setiap pekarangan yang ditanami dengan tanaman obat dan tanaman hidup
v  Seluruh pagar rumah yang terdiri dari tanaman pagar/bukan batu atau besi
v  Penataan sampah yang apik. Yang organik dijadikan kompos, yang an organik dijadikan tas
v  Nilai plus dari PKK untuk mengolah buah markisa dan pepaya menjadi minuman segar dan pengolahannya yang bernilai lebih, hingga
v  Setiap hari jumat kerja bakti  dan arisan rutin PKK 4X sebulan   
Ilustrasi desa-desa berprestasi ini masih dapat dipajang sekian panjang lagi. Sekian model, dengan sekian variasinya masih banyak penulis simpan, yang tak mungkin kita uraikan dalam makalah terbatas ini. Yang pasti dalam suasana yang kurang kondusif, yakni ketika desa belum diberikan wewenang, otonomi atau kedaulatan penuh masih dapat berprestasi dengan gemilang. Logikanya apabila suasana kondusif telah diberikan secara penuh (via UU No 6 Tahun 2014) maka jumlah desa yang akan semakin berprestasi akan semakin banyak dan  merata sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 akan kenyataan.
Desa adalah ujung tombak atau agen perubahan demikian. Merdeka (Feb 2016)

R E F E R E N S I
Eko, Sutoro, 2014, Desa Membangun Indonesia, Pustaka pelajar, Yogyakarta
Held, David, 2005, Models of Democracy, Akbar Tanjung Institute, Jakarta
Labulo,Muhadan Dr,  2014, Peluang dan Ancaman Otonomi Desa pasca UU No 6 Tahun 2014, Makalah, Pemkab Brodjonegoro
Nugroho Iwan & Rokhmin Dahuri, 2012, Pembangunan Wilayah, LP3ES, Jakarta
Prasojo, Eko, 2010, Desentralisasi di Jepang, Dept IA, FISIP, UI, Jakarta
Poerbopranoto,Koentjoro, 1978, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT Eresco, Jakarta
Suwarya, Utang, 2014, Kebijakan Pemberdayaan Desa Dalam Persfektif Institusional dan Pembangunan Sosial, Politik, Ekonomi. Jurnal Pemerintahan Unpad, Bandung.
 UUD 1945,
 Sumber-sumber lain
Tribun Jabar, 29 Mei 2015,
 Sindo, 9 Sept 2015,
 Kabar 24 com,
 Gapura Indonesia 12 Januari 2015,
 Tempo, 12 Juni 2015,
 Kompas, 27 Juni 2014


[1] KPK menemukan 14 masalah dalam alokasi dana desa. Dalam aspek regulasi masih jauh dari memadai, juklak/juknis belum lengkap, tumpang tindih kewenangan Kemdes dan Dirjen Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri, tidak trasparannya PP No 22 Tahun 2015 tentang formulasi pemberian dana pada setiap desa/hanya didasarkan dalam aspek pemerataan. Begitu pula pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No 43 Tahun 2014 dirasakan kurang adil. Dalam aspek tata laksana masalahnya al adalah kerangka waktu situs pengelolaan anggaran desa yang sulit dipatuhi, satuan harga  baku barang atau jasa yang dijadikan acuan dalam menyusun APBDes belum tersedia, transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban masih rendah, laporan pertanggungjawaban belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, APBDes belum belum mewujudkan kebutuhan desa yang sesungguhnya. Dalam aspek Pengawasan efektifitas inspektorat daerah masih sangat rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik dan ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan camat belum jelas. Dalam aspek SDM, para pendamping diprediksi dapat melakukan manipulasi dengan memanfaatkan kelemahan aparat desa.
[2] Sering juga disebut dengan “ethos”, ethos positif. ethos ini sering menjadi perdebatan hangat, karena ada yang berpendapat bahwa ethos kerja masih kurang dinegeri ini. Akan tetapi ada juga yang berpendapat persoalannya bukan pada masalah ethos, tapi struktur dan sistem yang tak mendukung.
[3] Demikian pula dengan masalah-masalah ikutannya, seperti (a) aturan yang jelas tentang kewenangan antara desa dengan BPD, desa dengan kecamatan, desa dengan pemda, (b) mekanisme pengawasan/kontrol yang jelas, (c) peran camat dalam pengawasan, (d) dengan hubungannya dengan partai politik. Apakah aparat desa dapat atau tidak menjadi anggota/pengurus partai, (e) tentang kawasan khusus, sejauh mana kewenangan desa, (f) kejelasan dengan apa yang disebut kewenangan lokal, (g) pelatihan yang terus menerus terhadap Pemerintah desa, BPD dan lain-lain (Dr Muhadam Labulo, 2014)
[4] Menurut pengalaman berbagai negara, jika birokrasinya tidak handal, tidak legal-rasional dan sejenisnya, pembangunan di negara itu tidak akan pernah berhasil. Birokrasi kita menurut Eko Prasojo masih tertawan penyakit kronis, seperti kurang berintegritas,,tumpang tindih UU, struktur organisasi yang tambun/lamban, proses bisnis yang tak jalan, SDM yang tak profesional, KKN, pelayanan publik yang tak responsif.(Kompas, 14 Nov 2014)
[5] Lebih lengkapnya asas pengaturan desa ini adalah; a rekognisi, b subsidiaritas, c keberagaman, d kebersamaan, e kegotongroyongan, f kekeluargaan, g musyawarah, h demokrasi, i kemandirian, j partisipasi, k kesetaraan, l pemberdayaan dan, m keberlanjutan (Pasal 3 UU No 6 Tahun 2014)
[6] Dalam UU No 5 Tahun 1979 ini jelas-jelas dikatakan bahwa pemerintahan desa adalah bagian dari pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah.
[7] Fakta bahwa masyarakat lebih patuh kepada adatnya ketimbang lembaga formal
[8] Manifestasi kebersamaan alias prinsip egalitarian
[9] Dedi Mulyadi telah berhasil mereformasi birokrasi, sehingga birokrasinya sesuai dengan hakiki birokrasi, yakni birokrasi yang melayani/legal-rasional
[10] Sedang diuji cobakan di lima desa. Mahkamah ini terdiri dari hakim yang berasal dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama. Prakteknya adalah apabila ketangkap pencuri yang curi ayam dan sebagainya, dilihat apakah karena kebutuhan hidup atau memang sengaja mencuri. Jika itu untuk kebutuhan hidup, misalnya karena tidak punya duit beli makanan, maka yang dihukum bukan pencurinya, tapi seluruh orang desa ,karena membiarkan ada penduduk yang sengsara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar