Staf
pengajar MIP Unitas Palembang. Staf ahli DPR RI 2000-2009
Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, adalah kredo tepat melukiskan program Jokowi-JK ,Tri Sakti-Nawa Cita saat ini. Minat membangun yang tulus, cepat dan besar ternyata tidak di imbangi unsur-unsur pendukungnya. Jor-joran membangun infrastruktur fisik di berbagai tempat tidak didukung anggaran yang memadai. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Tidakkah direncanakan secara komprehensif-konseptual? Tidakkah mereka lebih dari cukup punya ahli-ahli yang piawai menghitung detail-detail pembangunan? Mengapa juga DPR yang mewakili rakyat tidak kritis, sehingga begitu saja menyetujuinya?
Berbagai pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan
mencuat kepermukaan, menyimak keadaan
yang tidak lazim tersebut. Bagaimana tidak?, setelah reshufle kabinet, Menteri
keuangan baru, SMI menyatakan bahwa APBN 2016 harus dipotong Rp 133,8 T, Rp 65 T ,untuk anggaran Kementerian dan
Lembaga-Lembaga Negara, dan Rp 68,8 T ,untuk transfer ke daerah. Suatu angka
yang significan dalam dua kali perubahan ( APBN P) dalam kurun waktu yang
singkat .
Pemotongan terpaksa dilakukan, karena postur APBN yang tidak realistis. Terkesan
disusun asal-asalan (kata SMI). Begitu pula dengan pemasukan pajak yang sangat
rendah. Target Rp 1.539,2 T yang harus dicapai, kenyataannya yang dapat ditarik
hanya Rp 219 T (sekitar 14 persen). Aneh benar, bagaimana angka yang tak masuk akal bisa terjadi, sementara
pemerintah punya akuntan-akuntan hebat, menjadi teka teki besar. Ada apa yang
terjadi di balik itu semua?
Jawabannya sudah pasti tidak hitam-putih. Yang jelas pemotongan tidak mungkin lagi dihindarkan
apabila pembangunan akan dilanjutkan. Pos-pos yang akan dipotong terutama
adalah pos yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat, plus belanja
pegawai, dana operasional, perjalanan dinas, dan penghentian pembangunan
gedung-gedung pemerintah yang tidak urgent. Meski belum diputuskan, sebab masih
menunggu rapat dengan DPR atau menunggu perubahan UU/Perpu APBN, sudah dapat diduga
kehidupan ekonomi ke depan sangat berat. Lalu apakah strategi yang ditempuh
saat ini sudah menjawab tantangan (on the track)?. Disinilah titik krusialnya.
Tidak ada garansi apabila pemotongan anggaran plus
kebijakan tax amnesti yang sedang digadang-gadang saat ini akan mewujudkan
kehidupan ekonomi yang lebih baik. Inti
persoalan tidak terletak disitu, melainkan pada “kiat atau paradigma pembangunan”
yang tidak pas.
Kiat pembangunan yang ditempuh saat ini belum berubah dari era-era sebelumnya. Masih lagu lama yang di aransemen baru, atau anggur lama dalam botol baru. Lagu dan anggurnya
masih itu-itu juga, yakni pemberhalaan terhadap apa yang disebut “pertumbuhan
ekonomi”. Pembangunan yang hanya di ukur secara kwantitatif, tidak kwalitatif,
dan tidak demokratis karena dioperasikan dari atas ( top down). Plus
orientasinya yang terlalu dominan terhadap “barang dan jasa (komoditas). Belum menjadikan
manusia sebagai subjek pembangunan
Isi lama, kemasan baru
Meski tak pernah diakui, kiat seperti itu tetap mendongak
pada pengusaha besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama
yang berasal dari luar. Bukan pada pengusaha kecil ataupun koperasi. Metode
utamanya adalah membesarkan pengusaha- pengusaha besar, sehingga out putnya menetes ke bawah (tricle down effect,WW Rostow
dlm Todaro, 2005), dan masyarakat akan merasakan hasilnya.
Fakta empirik menunjukkan pola itu tidak pernah
berhasil. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebutnya sebagai “upaya mengejar yang
palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau
HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan yang
menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian panjang
lagi, namun intinya tetap, bahwa pertumbuhan tidak akan menghasilkan
pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan
hegemonik”, yakni rezim yang
mengenyahkan pemerataan. Itu
sudah kodrat atau hukum besi bagi pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik
kapital yang menghasilkan barang dan jasa
akan terus menggandakan komoditasnya hingga tak terbatas. Begitu terus menerus, sehingga
yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja
akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital.
Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika
sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan
tenaga yang lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out
sourching” yang sangat merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro
kontra atau gonjang-ganjing, kebijakan ini belum ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni
ditemukannya alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja
manusia semakin dimarjinalkan. Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar
dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya
sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas
itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan
mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di luar itu (kesejahteraan
pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan
semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik. Lalu apa alternatifnya?
Kembali ke Tri Sakti-Nawa Cita
Kembali ke
hakiki Tri Sakti yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita, yakni berdaulat dalam
bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang
kebudayaan. Metode yang tepat untuk itu adalah “pembangunan yang berpusa “ pada
manusia” (people centered development). Model pembangunan yang membuat manusia
menjadi subjek pembangunan. Tidak sebagaimana kiat “pertumbuhan ekonomi” yang
mengutamakan komoditas-komoditas ekonomi.
Pembangunan yang berpusat pada manusia mencakup segala
hal yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Secara konseptual David Korten
(1975), dan khususnya Amartya Sen (1999) menjadikan pemberdayaan (empower)
masyarakat sebagai prima utama, disusul dengan keadilan (equity), pertumbuhan
(productivity), dan kesinambungan (sustainable). Nawa Cita yang berprinsip Tri
Sakti akan jalan apabila kiat pembangunan yang berpusat pada manusiaini
diterapkan. Tanpa itu hanya akan mengulangi kekeliruan-kekeliruan yang
dilakukan rezim sebelumnya. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar