Kamis, 18 Agustus 2016

NAWA CITA DALAM TERJANGAN BADAI




Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP Unitas Palembang. Staf ahli DPR RI 2000-2009

Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, adalah  kredo tepat melukiskan program Jokowi-JK ,Tri Sakti-Nawa Cita  saat ini. Minat membangun yang tulus, cepat dan besar ternyata tidak di imbangi unsur-unsur pendukungnya. Jor-joran membangun infrastruktur fisik  di berbagai tempat tidak didukung anggaran yang memadai. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Tidakkah direncanakan secara komprehensif-konseptual? Tidakkah mereka lebih dari cukup punya ahli-ahli yang piawai menghitung detail-detail pembangunan? Mengapa juga DPR yang mewakili rakyat tidak kritis, sehingga begitu saja menyetujuinya?
Berbagai pertanyaan  yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan mencuat kepermukaan,  menyimak keadaan yang tidak lazim tersebut. Bagaimana tidak?, setelah reshufle kabinet, Menteri keuangan baru, SMI menyatakan bahwa APBN 2016 harus dipotong Rp 133,8 T,  Rp 65 T ,untuk anggaran Kementerian dan Lembaga-Lembaga Negara, dan Rp 68,8 T ,untuk transfer ke daerah. Suatu angka yang significan dalam dua kali perubahan ( APBN P) dalam kurun waktu yang singkat .
Pemotongan terpaksa dilakukan, karena  postur APBN yang tidak realistis. Terkesan disusun asal-asalan (kata SMI). Begitu pula dengan pemasukan pajak yang sangat rendah. Target Rp 1.539,2 T yang harus dicapai, kenyataannya yang dapat ditarik hanya Rp 219 T (sekitar 14 persen). Aneh benar, bagaimana angka yang  tak masuk akal bisa terjadi, sementara pemerintah punya akuntan-akuntan hebat, menjadi teka teki besar. Ada apa yang terjadi di balik itu semua?
Jawabannya sudah pasti tidak hitam-putih. Yang  jelas pemotongan tidak mungkin lagi dihindarkan apabila pembangunan akan dilanjutkan. Pos-pos yang akan dipotong terutama adalah pos yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat, plus belanja pegawai, dana operasional, perjalanan dinas, dan penghentian pembangunan gedung-gedung pemerintah yang tidak urgent. Meski belum diputuskan, sebab masih menunggu rapat dengan DPR atau menunggu perubahan UU/Perpu APBN, sudah dapat diduga kehidupan ekonomi ke depan sangat berat. Lalu apakah strategi yang ditempuh saat ini sudah menjawab tantangan (on the track)?. Disinilah titik krusialnya.
Tidak ada garansi apabila pemotongan anggaran plus kebijakan tax amnesti yang sedang digadang-gadang saat ini akan mewujudkan kehidupan ekonomi yang lebih baik.  Inti persoalan tidak terletak disitu, melainkan pada “kiat atau paradigma pembangunan” yang tidak pas.
Kiat pembangunan yang ditempuh saat ini belum  berubah dari era-era sebelumnya. Masih  lagu lama yang di aransemen baru,  atau anggur lama dalam botol baru. Lagu dan anggurnya masih itu-itu juga, yakni pemberhalaan terhadap apa yang disebut “pertumbuhan ekonomi”. Pembangunan yang hanya di ukur secara kwantitatif, tidak kwalitatif, dan tidak demokratis karena dioperasikan dari atas ( top down). Plus orientasinya yang terlalu dominan terhadap “barang dan jasa (komoditas). Belum menjadikan manusia sebagai subjek pembangunan
Isi lama, kemasan baru
Meski tak pernah diakui, kiat seperti itu tetap mendongak pada pengusaha besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari luar. Bukan pada pengusaha kecil ataupun koperasi. Metode utamanya adalah membesarkan pengusaha- pengusaha besar, sehingga out putnya  menetes ke bawah (tricle down effect,WW Rostow dlm Todaro, 2005), dan masyarakat akan merasakan hasilnya.
Fakta empirik menunjukkan pola itu tidak pernah berhasil. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebutnya sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau  HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun intinya tetap, bahwa pertumbuhan tidak akan menghasilkan pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan hegemonik”, yakni rezim yang  mengenyahkan pemerataan.  Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan jasa  akan terus menggandakan komoditasnya hingga  tak terbatas. Begitu terus menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital. Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing, kebijakan ini belum  ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia  semakin dimarjinalkan.  Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan  mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa  semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik. Lalu apa alternatifnya?
Kembali ke Tri Sakti-Nawa Cita
 Kembali ke hakiki Tri Sakti yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita, yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Metode yang tepat untuk itu adalah “pembangunan yang berpusa “ pada manusia” (people centered development). Model pembangunan yang membuat manusia menjadi subjek pembangunan. Tidak sebagaimana kiat “pertumbuhan ekonomi” yang mengutamakan komoditas-komoditas ekonomi.
Pembangunan yang berpusat pada manusia mencakup segala hal yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Secara konseptual David Korten (1975), dan khususnya Amartya Sen (1999) menjadikan pemberdayaan (empower) masyarakat sebagai prima utama, disusul dengan keadilan (equity), pertumbuhan (productivity), dan kesinambungan (sustainable). Nawa Cita yang berprinsip Tri Sakti akan jalan apabila kiat pembangunan yang berpusat pada manusiaini diterapkan. Tanpa itu hanya akan mengulangi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan rezim sebelumnya. Merdeka            



Tidak ada komentar:

Posting Komentar