Kamis, 18 Agustus 2016

BEBAN DAN DAMPAK HUTANG LUAR NEGERI BAGI PEMBANGUNAN INDONESIA



BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
            Pada tahun 2004 Indonesia melakukan loncatan atau terobosan politik yang sifnifican, yakni pertama kalinya negeri ii melakukan pemilihan umum Presiden secara langsung. Tidak lagi seperti waktu-waktu sebelumnya, yaitu melalui Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR). Banyak kalangan, pihak atau masyarakat pada umumnya berharap bahwa terobosan politik demikian akan membawa sistim politik yang demokratis sehingga kedaulatan rakyat akan sungguh-sungguh diwujudkan sebagaimana dinegara-negara lain yang sudah demokratis.
Dengan diwujudkannya sistim pemilihan langsung presiden, diharapkan akan menimbulkan turunan atau derivasi demokratis selanjutnya terhadap bidang-bidang yang lain, seperti ekonomi, hukum dan sebagainya. Dalam bidang ekonomi misalnya banyak kalangan berharap bahwa kemakmuran dan kesejahteraan akan segera ditingkatkan kwalitasnya, dalam bidang hukum, ketertiban dan keadilan segera diwujudkan. Demikian pula dengan nilai-nilai yang lain yang menjadi tujuan pemerintahan yang demokratis pada umumnya.
Akan tetapi cita-cita demikian, tinggal sebatas cita-cita yang indah. Pemilihan presiden secara langsung yang dianggap sangat demokratis tidak serta merta melahirkan turunan-turunan demokratisnya. Kehidupan rakyat, khususnya kehidupan ekonominya tidak ada tanda-tanda perbaikan. Begitu pula akan nilai-nilai keamanan, ketertiban dan keadilan sosial. Terbukti bahwa demokrasi dalam bidang politik tidak selalu diikuti demokrasi dalam bidang-bidang yang lain.
Bagaimana hal demikian dapat terjadi, para pakar politik mengatakan bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia baru sebatas demokrasi “prosedural” sebagaimana yang diteorikan oleh Schumpeter. Belum demokrasi yang substantive sebagaimana diterapkan dinegara-negara demokratis lainnya. Dalam demokrasi substantive terdapat korelasi antara politik, ekonomi, hukum dan lain-lainnya. Sementara dalam demokrasi prosedural kecenderungannya. adalah sebaliknya, yakni hampir tidak ada korelasinya.
Kehidupan politik jalan sendiri, kehidupan ekonomi jalan sendiri, tanpa hubungan yang berarti. Politiknya semakin canggih, ekonominya sebaliknya, yakni semakin terpuruk. Konsep ekonomi yang diinginkan rakyat tidak terefleksikan dalam bangunan politik yang baru dipentaskan. Paradigma pembangunan yang dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak ada perbedaan dengan pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru. Pola pembangunan yang masih bertumpu pada “pertumbuhan ekonomi”, keterkaitan dengan rezim ekonomi internasional, investasi asing dan atau khususnya terhadap utang luar negeri tetap diteruskan, meski sejak lama sudah dianggap gagal. Bagaimana itu tetap berlangsung, menjadi perdebatan yang tidak habis-habisnya. Sekian pakar, tokoh atau pemerhati-pemerhati lainnya mengeluarkan argumen-argumennya yang tidak mungkin dibahas dalam penulisan ini 
Ditengah-tengah kontroversi demikian, yakni beberapa bulan setelah SBY-JK memimpin pemerintahan, terjadilan malapetaka nasional, yakni terjadinya bencana Tsunami di Aceh, yakni gempa bumi yang diikuti dengan meluapnya air laut ke daratan  pada tanggal 26 Desember 2004. Bencana ini telah menimbulkan kerusakan yang sangat dahsyat. Bagaimana mengerikannya bencana ini telah dipublikasikan oleh media audio visual ke seluruh dunia. Suatu bencana yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, namun dapat dirasakan kepiluannya. Sinyalemen ini terbukti dari simpati seluruh umat manusia di seluruh dunia yang begitu mengetahui tragedi demikian langsung melakukan tafakur/hening sejenak dan kenderaan-kendaraan yang sedang berjalan di banyak tempat –negara serentak berhenti sejenak.
            Tidak cukup hanya dengan simpati, hening dan berhentinya sejenak mobil-mobil di jalan, jauh yang lebih mengesankan adalah spontanitas seluruh manusia di dunia memberikan bantuan semampu apa yang dapat mereka berikan, baik itu secara pribadi, melalui lembaga-lembaga, negara hingga organisasi-organisasi internasional. Bantuan ini mengalir secepat tsunami itu sendiri. Tanpa melihat batasan-batasan primordial, seperti etnis, agama dan kedaulatan nasional bantuan tidak henti-hentinya mengalir. Tesis Ghandi yang mengatakan bahwa “semua manusia bersaudara” mendapat legitimasinya di bumi Aceh dan Nias Sumatera Utara.
            Beberapa negara yang akhirnya langsung memberikan bantuannya ke Aceh tercatat Singapura, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat China (RRC), Jerman, Australia, Perancis, Inggris dan atau khususnya Amerika Serikat yang membawa Kapal Induknya, USS. Abraham Lincoln. Begitu mobil dan cekatannya heli-heli AS dan serdadu-serdadunya yang berpangkalan di kapal induk untuk memberi bantuan tidak akan dilupakan Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Sukar dibayangkan dalam keterbatasan kekuatan udara Indonesia yang sangat minim akan seperti apa itu penanganan bencana apabila tidak dibantu oleh heli-heli AS tersebut.
            Akan tetapi yang juga sangat menarik adalah membanjirnya bantuan-bantuan internasional yang tidak sekedar untuk tanggap darurat, melainkan juga untuk tahap- tahap selanjutnya, seperti tahap “rehabilitasi dan rekonstruksi” dari sekian negara dan lembaga-lembaga donor lainnya. AS mungkin adalah yang paling menarik. Presiden Bush telah menugaskan dua mantan presidenn untuk menangani bantuan khusus ke Aceh, yakni George Bush sr dan Bill Clinton. Dalam kunjungannya ke Aceh tanggal 20 Februri 2005, kedua mantan presiden tersebut menyatakan bahwa mereka telah berhasil menggalang bantuan dari masyarakat sebesar $ 400 juta dan dari pemerintah sebesar $ 950 juta. Jumlah ini diluar yang diberikan oleh USAID, bantuan dari angkatan perang dan rencana tambahan dari masyarakat maupun Negara (Kompas, 21 Februari 2005). Dalam perhitungan sementara kerugian materiil akibat tsunami diperkirakan sekitar Rp 10 juta triliun. Atas dasar kerugian ini mungkin beberapa negara, khususnya Jerman menawarkan “moratorium” akan hutang luar negeri Indonesia.
            Moratorium dalam pengertian harfiah adalah  “penundaan atau penjadwalan kembali” akan hutang luar negeri. Dalam sejarahnya banyak Negara telah melakukan moratorium hingga pemutihan hutang. Jerman misalnya yang pernah mendapat hutang dari Marshall Plan adalah satu negara yang tidak hanya melakukan moratorium, namun juga hutangnya pernah diputihkan. Begitu pula beberapa negara lain Apakah Indonesia akan mendapatkan moratorium seperti itu? Kepastian belum ada. DPR (legislative) menyarankan agar saran moratorium itu direspons, pemerintah (eksekutif) sebaliknya, yakni kurang atau bahkan tidak merespons sama sekali. Demikian pula pendapat para donor belum menunjukan kepaduan.
            Sejalan dengan perkembangan ekonomi-politik selanjutnya, masalah moratorium ini bergerak secara alamiah, yakni tanpa terobosan sama sekali. Beberapa pihak memang pada akhirnya memberikan moratorium selama 1 tahun. Terobosan sesungguhnya sangat dibutuhkan saat itu, apalagi Jerman sudah bersuara tidak hanya sekedar moratorium, namun juga pemutihan (hair cut) utang luar negeri yang dirasakan sudah begitu berat. Jerman sebagaimana beberapa negara lainnya memang pernah melakukan hal seperti itu, yakni sebagian , kalau bukan sebagian besar utangnya yang berasal dari Marshall Plan diputihkan. Ajakan Jerman inipun tidak ditanggapi dengan seksama, ibarat angin hilang begitu saja ditelan waktu.
            Setelah reshuffle kabinet berlangsung, dimana ada pergantian dan mutasi menteri di bidang perkonomian, yakni Budiono menjadi Menko Perekonomian, Sri Mulyani Indrawati menjadi menteri keuangan, yang sebelumnya menteri perencanaan pembangunan nasional/Ketua Bappenas, dan Paskah Suzetta menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, kembali muncul isu utang luar negeri. Issu ini adalah keinginan Paskah Suzetta untuk memanage kembali posisi , status dan eksistensi utang luar negeri. Lebih kongkritnya Paskah tidak menutup diri untuk pemutihan hutang yang sudah membebani ini.
            Pendapat Paskah ini secara refleks ditanggapi oleh Budiono, yang mengatakan tidak perlu pemutihan utang luar negeri, dengan alasan akan mempengaruhi peringkat utang Indonesia, sehingga akan mengganggu investor dan lain-lain yang berhubungan dengan perekonomian global yang nantinya akan mempengaruhi investasi ke Indonesia.
            Sejauh mana pertempuran pendapat antara menteri yang membidangi ekonomi tentang kontroversi utang luar negeri, belum ada kepaduan. Masing-masing bertahan pada pendapatnya. Tidak ada upaya yang serius atau ikhtiar mencari penyelesaian secara radikal, mengakar atau tuntas. Sebagaimana yang sudah dilakukan Orde Baru, yakni meski banyak kritikan-kritikan yang tajam, pemerintahan SBY-JK kelihatannya akan menempuh hal yang sama, yakni silahkan memberi kritikan  kafilah jalan terus.
Pemerintahan SBY-JK kecenderungannya sebagaimana pendahulu-pendahulunya tidak mau merubah pola ekonomi-politik yang sudah ditempuh sejak Orde Baru dicanangkan, yakni pola ekonomi politik yang sangat terbuka kepada dunia luar, kepada investasi asing dan kepentingan-kepentingan asing lainnya. Mereka sekedar meneruskan pola-pola tersebut, tidak ada kemauan untuk berdiri diatas kaki sendiri sebagaimana dahulu ditempuh pemerintahan Soekarno.
Bila seperti itu kebijakannya sudah pasti Indonesia akan terus tergantung kepada kekuatan-kekuatan asing, tidak akan pernah mandiri mengurusi negerinya sendiri. Sinyalemen seperti ini dapat dilihat setelah bencana tsunami masih dalam tahap tanggap darurat  dan rehabilitasi, yakni awal tahun 2005, Indonesia menaikkan harga BBM karena kenaikan harga minyak dunia. Beberapa bulan kemudian, masih dalam tahun yang sama, BBM kembali dinaikkan. Dalam satu tahun, dua kali dinaikkan.
Banyak pakar, khususnya pakar yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, melihat kebijakan menaikkan BBM dua kali dalam setahun sebagai kebijakan yang sangat pro terhadap kepentingn asing, khususnya terhadap tuntutan Washington (Consensus Washington) dengan tiga pilar utamanya, yaitu deregulasi, privatisasi dan liberalisasi.
Dalam artian lain konsep ekonomi politik seperti itu dikenal dengan sebutan “neo liberal”. Negara tidak boleh mencampuri urusan ekonomi, tidak boleh melakukan proteksi atau diskrimnasi, harus seluruhnya diserahkan ke swasta dan harus membuka pasar seluas-luasnya terhadap setiap negara (pasar bebas).
Kenaikan BBM meski menuai kritik yang tajam dan UU Migas dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintahan SBY-JK terus melenggang mengikuti harga minyak internasional yang dipatok di New York. Banyak kalangan, termasuk penulis berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu menaikkan harga BBM. Selain itu melanggar UU Migas, juga masih ada alternative lain. Alternative ini salah satunya adalah mengkaji ulang kembali keberadaan utang luar negeri, sebab pembayaran cicilan dan bunganya yang berlangsung selama ini sudah sangat besar. Mengapa Indonesia tidak meniru negara-negara lain yang berhasil memutihkan utangnya? Mengapa diplomasi untuk itu tidak digalang dengan serius?. Tidakkah bila hal itu dilaksanakan akan dapat mengurangi beban pembangunan yang sudah sangat mencekik? Dan sekian pertanyaan lain.
RUMUSAN MASALAH
            Dari uraian di atas sesungguhnya telah terlihat akan masalah yang akan diteliti. Namun karena masalah yang akan dibahas itu terlalu umum dan terlalu luas maka perlu dibatasi. Oleh karena itu yang menjadi fokus masalah adalah “Sejauh Mana dan Bagaimana Beban dan Dampak Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Indonesia?” sedangkan sub-sub masalah yang akan dibahas adalah : (a) apa yang dimaksud dengan utang luar negeri?, arti, substansi, hakiki dan perkembangannya. (b) idem dengan a, yakni “pembangunan” , arti, sejarah, substansi, hakiki dan perkembangannya.

TUJUAN PENELITIAN
             Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah “untuk mengetahui sejauh mana dan bagaimana beban dan dampak utang luar negeri bagi pembangunan nasional Indonesia.”

TINJAUAN PUSTAKA/LANDASAN TEORI
            Dalam Ilmu Ekonomi Politik Internasional dikenal beberapa perspektif. Menurut Robert Gilpin  (Gilpin R. 1995:45) perspektif ini ada tiga yakni : merkantilis (realis), liberal dan radical. Oleh Mohtar Masoed (Masoed, 1995;3) perspektif ini ditambah satu lagi yakni “reformis”. Dalam artian lain perspektif reformis dikenal juga sebagai pendekatan dari mereka-mereka yang mencanangkan Tata Ekonomi Internasional Baru. Untuk lebih jelas dan rincinya akan diuraikan bagaimana tanggapan masing-masing perspektif ini terhadap hutang luar negeri.
            Menurut perspektif merkantilis (realis) hutang luar negeri menjadi suatu bentuk perang politik yang dilakukan dengan sarana-sarana selain sarana politik (power/kekuasaan), melainkan juga kebudayaan, teknologi, iptek dan atau khisusnya ekonomi. Bagi penganut perspektif merkantilis keamanan nasional suatu Negara dan sekutu-sekutunya menjadi kriteria dalam pemberian hutang (Isaak, R, 1995:276)
            Menurut perspektif; liberal, utang luar negeri adalah upaya atau ikhtiar melakukan pembangunan. Perspektif yang muncul sebagai alternative dari pertemuan Bretton Woods tahun 1944 ini menyatakan bahwa lalu lintas barang, devisa, perdagangan dan lain-lain yang berhubungan dengan ekonomi harus dibiarkan bebas. Dengan kata lain liberal. Perspektif ini menjelma pertama kali dalam program Marshall yang dilakukan AS untuk membantu Negara-negara Eropa Barat dan Jepang untuk membenahi keporak-porakporandaannya dari kehancuran PD II. Konstatasi ini selanjutnya menjadi paradigma PBB dalam tahun Pembangunannya pada tahun 1950-an. Tidak hanya disitu paradigma ini (meskipun dipaksakan?) akhirnya menjadi paradigma dunia hingga saat ini.
            Setelah perspektif liberal menunjukkan kelemahan-kelemahannya, yakni bahwa hutang luar negeri yang diteorikan kaum liberal akan membuat kemajuan, kemakmuran bagi Negara peminjam jauh dari harapan, muncullah paradigma “radical”, paradigma ini menyatakan bahwa hutang luar negeri merupakan suatu alat bagi imperialisme dan kontrol sosial , yang ditujukan untuk menghancurkan kebebasan Negara-negara sedang berkembang (Isaak,R, 1995:278). Dengan bahasa yang lain, namun substansi dan hakiki yang sama John Edelman Spero (1986) membenarkan pendapat demikian. Perspektif ini menjadi perspektif dominan dalam mengevaluasi atau lebih jauh untuk melawan perspektif liberal di seluruh dunia. Pandangan-pandangan kaum ini telah banyak dipublikasikan.
            Dalam Ilmu atau Teori Hubungan Internasional perspektif radical yang didasari oleh teorinya Karl Marx dikenal dengan “Dependensia”atau “ketergantungan”. Sebagaimana setiap paradigma, paradigma ini mempunyai asumsi pokok sebagai berikut. Asumsi pertama adalah bahwa aktor dominan dalam ekonomi politik adalah kelas trans nasional. Asumsi kedua, bahwa dalam kelas trans nasional tersebut bertindak berdasar kepentingan materiil mereka. Asumsi ketiga, dalam mengejar kepentingannya kelas trans nsaional melakukan eksploitasi dan penetrasi terhadap kelas yang dihadapinya. Penetrasi ini selanjutnya akan menimbulkan ketergantungan eksternal yang menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam struktur ekonomi pinggiran, yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat dan akhirnya mendorong timbulnya penindasn Negara terhadap rakyat di masyarakat yang tergantung tersebut.
            Paradigma Dependesia sudah begitu umum. Hampir semua kalangan yang mengamati masalah hutang luar negeri, membenarkan tesisnya. Penulis sendiri adalah pengikut sekaligus pengagum paradigma ini. Agak berbeda dengan paradigma Dependensia ditulis ole Rudolf H.Strahm (1999:80) dengan teori spiralnya.      
            Menurut Strahm sebab utama utang Negara-negara dunia III adalah “politik Negara industri” yang menjual produk ekspornya dengan kredit yang diobral ke Negara-negara tersebut. Politik ini dilakukan untuk mengatasi over produksi dari industri-industrinya. Motto atau paradigma mereka adalah “beli sekarang bayar belakangan” (hari ini utang besok bayar). Produk-produk yang umumnya adalah hasil Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang selain harganya sudah sangat mahal (karena tidak jarang telah digelembungkan), juga adalah bahwa produk-produk demikian sering sudah kadaluarsa.
            Ekonomi Politik yang seperti itu selanjutnya membawa dampak yang sangat serius pada Negara-negara dunia III. Dengan sistematis Negara-negara dunia III digiring Negara-negara maju terperangkap ke dalam jebakan “katastrofi” (bencana/tragedy). Bunga dan cicilan hutang yang harus dibayar ke Negara-negara kreditor tidak sebanding
dengan hasil yang didapat. Dalam bahasa ekonomi dapat disebutkan bahwa pengeluaran selalu lebih besar dari pemasukan (biaya impor lebih besar dari biaya ekspor). Untuk lebih singkat dan jelasnya proses demikian akan diuraikan akan diuraikan dalam skema dibawah ini.


DEFISIT NERACA PEMBAYARAN
KREDIT LUAR NEGERI
MEMBENGKAKNYA UTANG
TIDAK MAMPU BAYAR UTANG
SYARAT-SYARAT IMF
TURUNNYA DAYA BELI
KETERBELAKANGAN
 
 
















            Skema yang memberikan urutan-urutan dengan muaranya adalah “keterbelakangan”, menunjukkan bahwa masalah hutang pada akhirnya tidak saja membebani atau berdampak terhadap kehidupan ekonomi dan politik, melainkan juaga telah sampai kepada hal yang lebih luas, yakni masalah cultural dan peradaban. Gunar Myrdall memperkuat argument ini yang melihat hutang luar negeri secara “moral” tidak dapat dibenarkan (dalam Isaak R, 1995))
            Agak berbeda sedikit dengan Rudolf Strahm, Ulrich Duchrow (1999) dan mungkin lebih spesifik atau justru derivasi dari teorinya Strahm menengarai akan peran “ekonomi-politik moneter”. Menurut Duchrow, tatanan moneter internasional dewasa ini telah memaksa, memangsa, menggurita Negara-negara atau bangsa-bangsa di luar Negara-negara maju, kaya dan kuat, yakni Negara-negara yang lemah, miskin dan terbelakang. Lebih seksama Duchrow mengatakan:
Pemilik asset keuangan dan agen-agen merek, bank-bank, tidak bisa mendapatkan cukup kesempatan yang menguntungkan untuk investasi dinegara-negara industri. Maka sebagian dari asset ini mencari peluang yang cocok di pasar keuangan transnasional. Pada satu sisi (sisi lain akan ada hubungannya dengan spekulasi di bidang keuangan) bank menemukan kelas penguasa dinegara-negara berkembang, yang mencari pinjaman dengan tujuan tidak hanya untuk “memodernisasi” negaranya (seperti industrialisasi di Fordis), tetapi juga agar mereka sendiri dapat memperoleh keuntungan dari barang-barang konsumen yang diproduksi besar-besaran, termasuk persenjataan. Bunga yang harus dibayarkan pada pemilik asset keuangan adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal ditentukan oleh pasar kredit global. Pembayaran bunga pada pasar kredit global. Pembayaran bunga pada pasar uang global memaksa semua bangsa di dunia menyesuaikan diri pada satu sistem yang sama (Duchrow U,1999:82).

Istilah “spekulasi” menjadi satu varian utama dalam tatanan moneter yang defenisinya belum ada yang baku. Spekulasi adalah salah satu konsep yang samar namun nyata yang banyak dipakai pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan dengan jalan yang umumnya tidak etis. Soros sering disebut-sebut sebagai orang yang paling lihai dalam hal ini (Kompas 15 Januari 2006). Ia sering dituduh sebagai pengguncang keuangan internasional. Keguncangan-keguncangan moneter seperti di inggris, Asia dan atau khususnya di Indonesia, nama Soros menjadi acuan utama. Sebagai pendapat pembanding untuk memperkuat sinyalemen seperti itu dibawah ini akan diutarakan pendapat pemenang nobel ekonomi 2001, Stiglitz:
Bank-bank barat mendapatkan keuntungan dari melemahnya kontrol pasar modal di Amerika Latin dan Asia, tetapi wilayah-wilayah tersebut menderita ketika arus masuk uang panas spekulatif (uang yang masuk dan keluar dari suatu Negara seringkali dalam waktu semalam, biasanya untuk bertaruh apakah suatu mata uang akan terapresiasi atau terdepriasi) yang membanjiri negara-negara tiba-tiba berbalik arah. Keluarnya uang secara tiba-tiba mengakibatkan terpuruknya uang local dan melemahakan sistem perbankan (Stiglitz, 2003:8)
Selain Ulrich Duchrow, yang melihat sinyalemen demikian adalah Alvater. Alvater melihat betapa tatanan keuangan itu akhirnya membelunggu sistem-sistem sosial, politik dan kebudayaan bangsa dan Negara-negara lain yang memakai pola itu. Lebih jelasnya Alvater mengatakan:
Berbagai tingkatan ekonomi di seluruh dunia, keanekaragaman metode produksi dan gaya hidup di pelbagai daerah di dunia, dan sikap terhadap waktu dalam berbagai jenis masyarakat, semuanya tunduk dalam batasan yang sama “pembatasan anggaran moneter yang ketat” yang menuntut dan menekankan suatu moneter khusus dan efisiensi ekonomi konkrit (yang secara sederhana adalah sesuatu yang menguntungkan bagi investasi modal), bersama dengan sistematisasi dengan kreasi – sama dengan batasan anggaran yang sulit - dari lembaga-lembaga sosial (Alvater, 1992:170)

Cara berpikir demikian yakni khususnya pendekatan yang digunakan oleh Rudof Strahm dan Ulrich Duchrow akan digunakan dalam penelitian ini.

Metode Penelitian
          Penelitian ini dapat diklarifikasikan ke dalam penelitian “deskriptik – analitik”.
Cara atau metode yang digunakan adalah (1) studi literature, (2) jika mengijinkan akan melakukan wawancara dengan beberapa pakar atau tokoh yang mempunyai kompetensi mengenai utang luar negeri . Data-data yang didapat dari cara atau metode penelitian ini akan dipilah-pilah sesuai dengan “masalah penelitian”. Setelah itu akan digunakan dalam “pembahasan” sesuai dengan tuntunan “teori” atau tinjauan pustaka” yang digunakan.

Sistematika Laporan Penulisan
          Setelah selesai melakukan penelitian sebagaimana tuntunan yang tertera dalam project proposal, penelitian ini direncanakan akan menempuh pelaporan penulisan sebagai berikut:
Pertama (bab 1) Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, fokus masalah, tujuan, faedah, dan kerangka teori/metodologi.
Kedua (bab 2) Penguraian Variabel penelitian 1, yakni arti, substansi, hakiki, dan perkembangan hutang luar negeri Indonesia.
Ketiga (bab 3) Penguraian Variabel 2, yakni arti, sejarah, fungsi dan pernik-pernik pembangunan Indonesia.
Keempat (bab 4) Pembahasan fokus masalah, yakni sejauh mana beban dan dampak hutang luar negeri bagi pembangunan Indonesia.
Kelima (bab 5)  Kesimpulan
BAB II
CIRI, SIFAT DAN KARAKTERISTIK PEMBANGUNAN INDONESIA
Diskursus atau wacana tentang kosakata, istilah, konsep atau hal-hal lain yang berhubungan dengan “pembangunan” tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap saat masyarakat selalu mewacanakannya. Tiada hari tanpa pembicaraan pembangunan. Dari mulai bangun sampai tidur seluruh masyarakat terus memperbincangkannya, sebab pembangunan adalah predikat yang langsung menyentuh kehidupannya. Namun apabila ditanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan, apa sasaran, hakikat dan tujuannya, bagaimana bentuknya, mengapa ia dibutuhkan, bagaimana sejarah perkembangannyanya dan sekian pertanyaan lagi yang menyangkut pembangunan sudah pasti tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan semua pihak. Masing-masing pihak atau kalangan akan mengeluarkan pendapatnya, dimana antara pendapat yang satu dan yang lain tidak jarang saling bertolak belakang. Penelitian ini akan mencoba menelusuri hal-hal demikian menurut teori-teori tertentu yang akan dideskripsikan dalam sub-sub bab sebagai berikut. Yakni Sub bab a tentang “arti, sasaran, hakikat dan tujuan pembangunan”, sub bab b sejarah dan konsep-konsep pembangunan”, dan sub bab c ciri-ciri atau karakteristik pembangunan Indonesia.

A.Arti dan Tujuan Pembangunan
Michael P.Todaro (1983) seorang pakar ekonomi pembangunan Dunia lll dalam bukunya yang terkenal, yakni “Pembanguna Ekonomi di Dunia III” sebagaimana penulis kenamaan pada umumnya tidak langsung memberikan definisi pembangunan. Dua bab sebelum sampai dalam pemberian pengertian atau suatu definisi pembangunan., Todaro terlebih dahulu memberikan berbagai ilustrasi-ilustrasi yang cukup panjang, rumit dan cenderung berat. Ilustrasi-ilustrasi ini  adalah persfektif dunia tentang kelembagaan, ekonomi dan pembangunan, pada bab satu. Berbagai struktur dan karakteristik umum Negara-negara sedang berkembang, pada bab dua. Baru pada bab tiga, Todaro memberikan definisi, itupun dalam bentuk pertanyaan.
Metode ini mungkin ditempuh betapa pengertian atau definisi pembangunan itu tidak sederhana dan cukup abstrak. Tidak sebagaimana pengertian-pengertian atau konsep-konsep lain . seperti ilmu eksak yang umumnya sedrhana dan kongkrit. Meminjam pendapatnya Prof Mulyarto (1995) pengertian atau definisi pembangunan bukanlah konsep yang netral, bukanlah konsep yang bebas nilai. Pembangunan adalah suatu konsep yang sarat nilai atau value loaded. Artinya pembangunan terkait dengan apa yang dianggap baik dan buruk menurut pengalaman sejarah suatu bangsa. Dengan demikian, konsep pembangunan bersifat culture specific, yakni dapat didefinisikan secara berbeda oleh dua Negara yang lingkungannya berbeda. Disisi lain pembangunan juga bersifat time specific, yakni dalam suatu Negara pun pembangunan dapat didefinisikan secara berbeda.
Akan tetapi meskipun tidak mungkin mendefinisikan pembangunan dengan memuaskan semua pihak, untuk kepentingan penelitian ini akan didekati dengan beberapa konsep atau persfektif yang dianggap paling netral dan mungkin bebas nilai. Pendefinisian pertama akan diambil dari pendapat Prof Saul M Katz. Kedua dari Michael P.Todaro.. Menurut Saul M.Katz pembangunan adalah:
Pergeseran dari satu kondisi nasional yang satu menuju ke kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik, tetapi apa yang disebut lebih baik/lebih berharga, berbeda dari satu Negara ke Negara lain atau dari satu period eke periode lain (Katz dalam Tjokrowinoto, 1995:8)

Menurut Michael P.Todaro:
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistim ekonomi dan sistem sosial sebagai keseluruhan. Disamping peningkatan pendapatan dan out put, pembangunan menyangkut pula perubahan radikal struktur kelembagaan, struktur sosial serta struktur administrasi serta perubahan sikap, adat kebiasaan serta kepercayaan.

Definisi demikian memberikan pengertian bahwa pembangunan itu adalah ikhtiar, reorganisasi, reorientasi atau upaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih sejahtera dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.
 Akan tetapi sebagaimana dalam setiap “kebijakan” selalu ada yang diprioritaskan. Tidak mungkin semua dilakukan secara simultan. Dalam konteks pembangunan ini yang menjadi skala prioritas atau yang lebih didahulukan adalah “bidang ekonomi”, sebab bidang ini adalah dimensi yang paling mendasar  dari setiap pembangunan, sebab menyangkut kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Bersamaan dengan dilakukannya pengentasan terhadap ketiga penyakit masyarakat ini selanjutnya dilakukan perombakan dalam bidang-bidang yang lain, yakni struktur kelembagaan, struktur sosial, politik, administrasi hingga kebidang yang lebih luas yakni perombakan dalam sikap, adat/tradisi/kebudayaan hingga kepercayaan. Singkatnya pembangunan, membangun semua sendi-sendi kehidupan secara sistimatis, logis dan objektif.
Definisi atau Pengertian demikian dikemukakan mengingat ada pihak-pihak atau kalangan tertentu yang mengertikan pembangunan secara sempit, tidak menyeluruh, tidak konseptual atau tidak komprehensif. Pengertian pembangunan diartikan sepotong-sepotong sesuai kepentingannya, yang mana pada akhirnya justru bermuara pada “anti pembangunan” itu sendiri sebagaimana yang dititahkan oleh PBB pada tahun 1950-an.
PBB pada tahun itu mendefinisikan pembangunan hanya sebatas “pertumbuhan ekonomi” bukan dalam arti holistik. Bila pertumbuhan telah mencapai angka 5% maka pembangunan itu dianggap berhasil. Kenyataannya banyak negara yang mencapai atau bahkan melebihi angka tersebut, namun tidak menggambarkan yang sesungguhnya. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan bukannya semakin berkurang. Malah sebaliknya yang terjadi yakni semakin membesar.
 Dari uraian tersebut jelas dan terbukti bahwa pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan adalah penyimpangan atau kesesatan. Bagaimana ekses negative dari pola ini telah banyak diulas para pakar di seluruh dunia. Salah satunya adalah Mahbub Ul Haq, seorang ekonom yang pada mulanya sangat yakin dengan “filsafat pertumbuhan”, namun setelah melihat prakteknya tidak seperti yang diharapkan, beliau akhirnya berubah arah.
 Bagaimana akhirnya Mahbub Ul Haq melihat betapa pola pertumbuhan yang dipraktekkan di negerinya, Pakistan membuat kehidupan ekonomi semakin suram, timpang yang membuat kehidupan mayoritas masyarakat semakin sengsara dapat dibaca dibawah ini:
Saya peringatkan negeri saya terhadap gejala makin terpusatnya kekayaan dan pendapatan industri tergenggam dalam tangan hanya 2 2 kelompok keluarga. Saya kemukakan betapa kelompok keluarga ini menguasai sekitar 2/3 kekayaan perindustrian, 80% bidang perbankan, dan 70% bidang asuransi di Pakistan. Saya tekankan pula akibat politik dan akibat social yang terkandung dalam pola pembangunan semacam ini, pola yang selama dasawarsa sebelumnya mengakibatkan bertambah lebarnya jurang perbedaan pendapatan perkepala antara Pakistan Timur dan Pakistan Barat, dan yang mengakibatkan turunnya upah nyata pekerja industri, yang terpusat di beberapa kota besar, sebesar 1/3. Jelas sekali, bagian terbesar rakyat banyak tidak tersentuh sama sekali oleh kekuatan-kekuatan pembawa perubahan ekonomi, karena pembangunan ekonomi timpang dan menguntungkan segelintir orang saja (Haq MU, 1983:16)

Pendapat Mahbub Ul Haq ini meskipun dalam kasus Pakistan adalah cerminan umum dari seluruh negara-negara dunia ketiga yang melaksanakan pembangunan ekonomi dengan focus pertumbuhan. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang seharusnya pertama-tama dihilangkan, malah sebaliknya semakin membesar, semakin tidak terkendali yang melahirkan ekses-ekses yang lebih buruk
. Oleh karena itulah pembangunan yang titik sentralnya pertumbuhan ini akhirnya dikoreksi. Berbagai pakar mengeluarkan pendapat betapa pembangunan yang hanya berdasarkan kwantitas itu itu sangat jauh dari harapan atau kenyataan. Salah satu pakar yang paling menolak model pembanguan seperti itu adalah Dudley Seers. Beliau tidak henti-hentinya menyatakan bahwa Pembangunan akan berhasil hanya apabila kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan dapat dihilangkan.
Salah satu atau apalagi dua-duanya dari penyakit ini tidak bisa diberantas maka pembangunan gagal. Lebih jelasnya Prof Dr Dudley Seers menyatakan:
Oleh karena itu persoalan-persoalan yang perlu ditanyakan mengenai pembangunan suatu Negara itu ialah, apa yang telah dilakukan terhadap kemiskinan?. Apa yang telah dilakukan terhadap pengangguran?. Apa yang telah dilakukan dengan ketimpangan?. Jika ketiga pertanyaan ini memberikan jawaban yang positif, dengan kata lain, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan itu ada tanda-tanda menurun, maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan itu sudah berjalan dinegara yang bersangkutan. Jika satu atau dua dari problema sentral ini semakin jelek, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka agak aneh untuk mengatakan pembangunan itu berhasil, kendatipun pendapatan perkapita meningkat dua kali (dalam Todaro,1983:123)

Bukan angka pertumbuhan sebagaimana yang disarankan oleh PBB, sebab angka pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pendapatan perkapita tidak menggambarkan kemajuan yang sesungguhnya. Disisi lain angka pertumbuhan itu adalah upaya mengejar yang palsu. Bagaimana mungkin suatu Negara yang baru membangun dengan angka pertumbuhan 5% dapat mengejar kemajuan negara yang sudah maju dengan angka pertumbuhan yang juga sama-sama 5%.
Pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan semata sebagaimana yang disarankan PBB tidak akan menjawab nilai-nilai hakiki dari pembangunan itu sendiri, yakni:
1.      kebutuhan hidup
2.      harga diri dan
3.      kebebasan (Goulet dalam Todaro, 1983:125)
Sebab hanya melakukan sebagian kecil saja dari ketiga nilai itu Oleh karena itu agar pembangunan tersebut berjalan sesuai dengan yang sebenarnya, maka yang seharusnya menjadi sasaran pembangunan adalah:
  1. meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan
  2. mengangkat taraf hidup, termasuk menambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan manusiawi, semuanya itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata-mata, tetapi juga untuk mengangkat kesadaran akan harga diri, baik individual maupun nasional
  3. memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individual dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap-sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya dalam hubungannya dengan orang lain dan Negara-negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan manusia.(Todaro, 1983:128)
Indonesia yang melakukan pembangunan, khususnya sejak Orde Baru dicanangkan telah mengadopsi nilai-nilai demikian dalam blue print pembangunannya. Hal ini dapat dilihat dalam pengertian , maksud, tujuan pembangunan yang tertulis dalam GBHN/Pelita. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengertian pembangunan dalam definisi tersebut adalah “rangkaian upaya”. Rangkaian upaya yang seperti apa? adalah pertanyaan yang kemudian mengemuka mengingat definisi itu sangat umum dan mempunyai interpretasi yang banyak. Ibarat suatu tujuan, jalan dan kenderaan yang akan digunakan mencapai tujuan tersebut dapat berbagai jenis. Untuk mengetahui jalan atau kenderaan yang digunakan Indonesia mencapai tujuan bernegaranya akan ditulis dibawah ini.

B. Model-Model Pembangunan.
            Model-model pembangunan yang ada di dunia cukup beragam. Namun kalau ditilik dengan seksama sesungguhnya model itu hanya dua jenis, yang lain adalah turunan-turunan dari kedua model tersebut. Kedua model ini adalah pembangunan yang didasarkan kepada ideologi liberal dan ideologi sosialis. Pembangunan yang didasarkan kepada ideology liberal dikenal dengan sebutan paradigma pertumbuhan. Pembangunan yang didasarkan kepada ideology sosialis dengan paradigma dependensi.. berbagai paradigma ini akan dideskripsikan secara singkat berdasarkan tulisannya Prof Dr Muljarto Tjokrowinoto (1995)

B1.Model Pertumbuhan.
            Model ini memandang tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan GNP pertahun pada angka lima sampai tujuh persen atau lebih. PBB dalam decade Pembangunan Pertama 91960-1970) memandang pembangunan dalam arti pencapaian angka pertumbuhan per tahun GNP 6%
            Guna mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti itu, maka pemilihan struktur produksi dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan manufaktur, serta mengurangi porsi sektor pertanian secara berimbang, barangkali tidak dapat dihindari. Karena itu proses pembangunan, terpusat pada produksi, sedangkan penghapusan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menduduki urutan kepentingan kedua terutama dicapai melalui “tricle down effect”
            Model ini juga mengasumsikan bahwa angka pertumbuhan suatu Negara terutama tergantung pada tingkat investasi tertentu. Hal ini direalisir melalui peningkatan tabungan dalam negeri, investasi swasta asing dan atau bantuan asing. Adalah tanggung jawab pokok pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang akan memungkinkan negeri tersebut  meraih titik kritis tingkat investasi guna mendorong tinggal landas, serta untuk melampaui tahap-tahap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Karena itu peranan pemerintah sejak semula bersifat entrepreneurial
Diperlukan beberapa waktu sebelum pembuat kebijaksanaan menyadari bahwa pembangunan ekonomi seperti itu semata-mata akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, kecuali sebagian kecil penduduk. Pada masa lalu, pertumbuhan telah memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, asset dan kekuasaan yang menyebabkan tidak dimungkinkannya penyebaran keuntungan-keuntungan yang diperoleh, baik secara ekonomi maupun politis. Suatu studi komprehensif antara bangsa yang meliputi 74 negara menunjukkan bahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relative pendapatan nasional yang diterima oleh bagian penduduk termiskin. Hasil penelitian para ahli lainnya juga menunjukkan konklusi yang sama, demikian pula dalam cakupan ketimpangan secara global.

B2.Model Kebutuhan Dasar.
Model pembangunan nasional kebutuhan dasar atau kesejahteraan muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan diri pada bagian penduduk yang miskin dinegara-negara berkembang, dan menandaskan bahwa masalah kemiskinan dinegara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya bukanlah merupakan kemubaziran ekonomi perse, akan tetapi masalah kemiskinan tadi pada hakekatnya merupakan pengalaman kerja keras dan tidak produktif selama berjam-jam dalam rangka membiayai kehidupan subsistensi dan marjinal mereka. Jadi problem utamanya adalah mengupayakan peningkatan kualitas kerja mereka lebih daripada kuantitas kerja mereka. Model pembangunan nasional yang berorientasi kebutuhan dasar atau kesejahteraan, mencoba memecahkan masalah kemiskinan melalui mekanisme “tricle down effect”
Pada dasarnya model ini merupakan suatu program kesejahteraan atau bantuan bagi orang yang sangat miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yang mencakup tidak hanya kesempatan memperoleh penghasilan akan tetapi juga akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi umum dan lain-lain.
Model ini didasarkan pada tiga argumentasi pokok
  1. banyak dari kaum miskin tidak memiliki asset-aset produktif selain kekuatan fisik mereka, keinginan kerja mereka dan inteleigensi dasar mereka. Pemeliharaan asset tersebut tergantung pada peningkatan akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan air pada umumnya.
  2. peningkatan pendapatan kaum miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup mereka kalau barang-barang dan jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia
  3. peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan produktipitas mereka memerlukan waktu yang sangat lama, dan dalam porsi tertentu karena satu dan lain hal mereka barangkali tetap tidak dapat bekerja. Paling tidak program subsidi janka pendek, dan barangkali program subsidi permanent diperlukan agar rakyat mendapat bagian dari hasil pembangunan.
Rakyatlah yang menjadi orientasi utama model ini. Tugas pemerintah dalam model pembangunan nasional ini adalah pelayan.
      Lahir dari prakarsa Gunnar Myrdall dalam karya agungnya, Asian Drama, model kebutuhan dasar kemudian menemukan dorongan barunya dalam ILO World Employment Conference yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1976. konferensi ini menekankan arti penting proses pembangunan guna menemukan kebutuhan dasar dari si miskin yang mencakup persyaratan tertentu dari keluarga untuk konsumsi pribadi, yakni makanan yang layak, pemukiman, pelayanan, perkakas, rumah tangga, perabot dan lain-lain serta pelayanan esensial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat luas, seperti air minum, sanitasi, transportasi umum, kesehatan dan fasilitas pendidikan. Konfrensi ini sepakat bahwa dalam keadaan bagaimanapun kebutuhan pokok tidak boleh diartikan hanya sebagai kebutuhan minimum untuk subsistensi. Namun, konfernsi ini juga menyadari bahwa konsep kebutuhan pokok ini dapat berbeda antara satu negara dengan yang lain dan bersifat dinamis. Ia harus ditempatkan di dalam suatu konteks pembangunan ekonomi dan sosial bangsa secara menyeluruh.

B3.Model Yang Berpusat Pada Manusia
Model pembangunan nasional ini berwawasan lebih jauh daripada sekadar angka pertumbuhan GNP atau pengadaan pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan suistanability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksana pembangunan yang menetukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan untuk mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Persfektif baru pembangunan tersebut memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah, yang jelas berbeda dengan peranan pemerintah pada dua model pembangunan nasional yang pertama. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan social yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.
Penciptaan lingkungan sosial memerlukan sistim belajar mengorganisasikan diri, yakni dengan mengorientasikan jaringan informasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi local sebagai pelengkap dari sistim komando yang lebih formal. Berfungsinya pengaturan strauktural tersebut sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk berkreasi pada sumber informasi yang tidak pernah kering. Keduanya menentukan input-input sumber utama model tersebut.

B4.Model Dependensia
Model pembangunan ini bertolak belakang dengan ketiga model pembangunan sebelumnya. Kalau ketiga model sebelumnya berasal dari satu ideologi, model dependensia ini berasal dari ideologi lain. Dua aliran, filsafat atau model yang saling berlawanan dan tak mungkin diketemukan
Salah satu tesis utama paradigma dependencia adalah bahwa keterbelakangan (underdevelopment) bukanlah suatu kondisi asli yang harus diakhiri melalui proses pembangunan, akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang merupakan akibat dari penetrasi kapitalis dikawasan tadi. Negara atau kawasan tadi mungkin mempunyai kondisi awal “underdeveloped” akan tetapi bukan “underdeveloped” (Paul Baran dalam Tjokrowinoto, 1995:51).
Model dependensia dengan demikian, melihat development dan underdevelopment bukan merupakan produk proses social yang berbeda, akan tetapi merupakan dua sisi dari proses social yang sama, yang berawal dari diintegrasikannya Negara atau kawasan pra kapitalis ke dalam system kapitalisme internasional. Baik melalui kolonialisme maupun melalui perdagangan internasional. Proses development dan under development berawal pada waktu Negara-negara Eropa melakukan ekspansi merkantilis dan kapitalisnya ke berbagai dunia lain.
Sistem kapitalisme yang diterapkan dinegara-negara Barat telah menghasilkan “actual surplus” melalui proses eksploitasi yang menghasilkan akumulasi surplus, yang kemudian diekspor ke bagian dunia lain yang kebanyakan masih berupa wilayah jajahan. Di wilayah jajahan tadi diinvestasikan. Akan tetapi wilayah jajahan tadi mengalami perampasan surplus ekonomi karena adanya eksploitasi, yang dilakukan oleh kaum penjajah dengan bekerjasama dengan elit local yang disebut komprador. Proses yang demikian inilah yang menjadikan Negara kapitalis makin developed, sedang Negara bekas jajahan tadi underdeveloped. Jadi imperialisme dan kapitalisme berfungsi sebagai promoter development dinegara-negara centre (Negara-negara kapitalis) dan creator under development dinegara-negara peripheri (Negara-negara pra kapitalis atau wilayah jajahan). Proses tadilah yang menyebabkan timbulnya hubungan dependensi Negara peripheri terhadap Negara centre.
Karena kapitalisme nasional dan internasional melalui penetrasinya ke Negara prakapitalis atau wilayah jajahan telah menimbulkan, melestarikan, dan memperdalam underdevelopment, maka satu-satunya jalan bagi Negara prakapitalis untuk dapat membangun adalah dengan melepaskan sama sekali keterkaitannya dengan Negara-negara kapitalis.

C.Karakter Pembangunan Indonesia.
Setelah Soekarno dijatuhkan dari takhta kekuasaan terjadi perubahan yang sangat radikal. Tatanan-tatanan yang ada sebelumnya dirubah dengan drastis. Semboyannya pada waktu itu adalah “politik no – ekonomi yes”, atau “pembangunan yes – politik no”. Kehidupan politik yang berlangsung dalam era Soekarno dianggap sebagai biang kehancuran ekonomi, sehingga rakyat terus menderita, sengsara dan kelaparan. Oleh karena itu Orde baru dibawah pimpinan jenderal Soeharto berketetapan hati mengakhiri semua itu dengan melakukan pembangunan ekonomi.
Adapun pembanguan ekonomi yang ditempuh pemerintahan Soeharto ini  adalah pembanguan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan. Artinya model pembangunannya adalah model pertumbuhan sebagaimana yang dipersyaratkan PBB pada tahun 1960-an. Pembanguan ini sebagaimana faktanya adalah pembangunan yang terbuka, khususnya kepada bantuan atau modal asing. Tidak seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya yang cenderung tertutup kepada bantuan dan modal luar negeri
 Walaupun tidak pernah dikatakan secara langsung, pembangunan nasional seperti itu didasarkan kepada teorinya WW.Rostow yang membagi kehidupan masyarakat dalam tahapan-tahapan sebagai berikut
. Tahap pertama adalah keadaan masyarakat yang masih tradisional. Tahap kedua persiapan tinggal landas. Tahap ketiga, tinggal landas (take off). Tahap empat, melaju dengan kekuatan sendiri (self sustaining growth). Tahap kelima, dorongan menuju ke kematangan (drive to maturity) (Moeljarto, 1995:18)
Pembangunan yang dijalankan pemerintahan Soeharto dengan trilogi pembangunannya dengan jelas mengutamakan pertumbuahan ekonomi disamping stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan. Bagaimana mengejar pertumbuhan yang setinggi-tingginya menjadi tujuan utama. Sebab dengan pertumbuhan yang tinggilah dapat dilakukan pemerataan melalui efek tetesan kebawah (trickle down effect).
Pertumbuhan sebagaimana hakikinya ditentukan oleh tiga faktor, yakni fungsi saving, strategi investasi dan capital out put ratio. Sedangkan fungsi pemerintah dalam pola pertumbuahn seperti ini adalah “memperbesar saving”, seperti perpajakan, memperbesar ekspor non migas, bantuan luar negeri dan sebagainya. Dalam sejarahnya pemerintahan Soeharto untuk memperbesar saving ini lebih mengutamakan bantuan luar negeri.
Pengutamaan bantuan luar negeri ini dapat dilihat dari tahapan-tahapan pembangunan yang tercermin dalam pelita-pelita. Dalam pelita pertama pinjaman luar negeri mencapai 55,45% dari total anggaran. Pelita ll 36,1%, pelita lll 30,45%, pelita lV 56,88%, pelita V rata-rata 54%, awal pelitaVI 36,55% (lihat bab lll) 
Pemerintahan Soeharto berkeyakinan bahwa apabila tahap-tahap pembangunan yang tercermin dalam pelita-pelita itu dilaksanakan, Indonesia akan mencapai apa yang diinginkan sebagaimana yang tertulis dalam GBHN:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkanPancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.

  Untuk atau atas dasar inilah ditetapkan dalam pembangunan jangka panjang tahap I (lima pelita), Indonesia sudah siap memasuki era tinggal landas yang diperkirakan akan dimulai pada pembanguan jangka panjang tahap ll, yakni permulaan pelita VI.
Akan tetapi pengertian atau tujuan “tinggal landas” yang dimaksudkan Indonesia mempunyai interpretasi tersendiri. Tidak persis sama sebagaimana diteorikan oleh Rostow. Interpretasi ini dapat dilihat dalam buku Repelita V. meskipun masih bersifat umum pengertian proses tinggal landas itu mempunyai beberapa ciri, yakni.
Pertama, dijumpai disana pengertian bahwa tinggal landas pada hakekatnya adalah proses transformasi jangka panjang dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan. Secara lebih rinci cirri-ciri proses transformasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Dari segi tingkat perkembangan dan struktur ekonomi, proses tersebut meliputi antara lain:
·         peningkatan pendapatan nyata perjiwa yang cukup tinggi disertai dengan pembagiannya yang makin merata
·         peranan sektor industri yang makin dominan sebagai penggerak utama laju pembangunan
·         keterkaitan dan keterpaduan antar sektor, terutama antara sektor pertanian dan industri, antara kegiatan serta antar wilayah yang makin mantap, sehingga memperkokoh ketahanan nasional.
Dari segi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki bangsa, proses tersebut meliputi antara lain:
·         peningkatan mutu sumber daya manusia yang dicerminkan antara lain oleh adanya peningkatan kesehatan dan kecerdasan rakyat.
·         Partisipasi aktif yang makin luas oleh rakyat di berbagai bidang pembangunan
·         Pemanfaatan sumber alam yang makin rasional, efisien dan berwawasan jangka panjang.
Dari segi kelembagaan dalam arti luas, tahap tinggal landas diwarnai oleh berkembangnya lembaga-lembaga dibidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang semakin efektif menjalankan fungsinya dan makin peka terhadap tuntutan pembangunan.
Dari segi ideologis, mental dan spiritual masyarakat Indonesia yang tinggal landas diwarnai oleh:
·         Penghayatan dan pengamalan Pancasila yang meresap, mendalam dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari
·         Kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin mantap dan serasi.
Kedua. Pada bagian lain dari buku repelita V tersirat satu pengertian yang melengkapi pengertian sebelumnya. Disebutkan bahwa dalam tahap tinggal landas, peningkatan efisiensi, produktipitas, kreatifitas dan partisipasi sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak utama pembangunan. Sedangkan ketergantungan kepada sumber alam semakin berkurang. Sementara itu proses tersebut juga akan diiringi oleh semakin menonjolnya sumber-sumber dinamika pembangunan yang berasal dari dalam negeri sendiri sehingga pembangunan Indonesia semakin kurang tergantung pada, dan semakin kurang dipengaruhi oleh perkembangan dan gejolak dari luar.
            Apabila ditelaah lebih jauh mengenai proses transformasi yang diuraikan diatas, menurut Moeljarto Tjokrowinoto (1995:22-23) ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi. Pertama esensi dari proses tinggal landas adalah terjadinya percepatan pembangunan yang mempunyai sifat khusus, yaitu percepatan pembangunan yang bersumber dari peningkatan produktipitas dan efisiensi secara menyeluruh. Dalam artian lain dalam proses tinggal landas terkandung pengertian adanya transformasi kualitatif diberbagai bidang. Yang terjadi atau yang diharapkan, bukan hanya indikator-indikator ekonomi yang menjadi lebih besar atau menjadi lebih banyak, tetapi juga harus menjadi lebih baik dan lebih tinggi tingkatannya secara kualitatif. Yang kita harapkan bukan hanya peningkatan produksi tetapi peningkatan produktipitas; bukan hanya efektifitas tetapi efisiensi; bukan hanya peningkatan investasi tetapi investasi yang semakin produktif; bukan hanya langkah-langkah yang berupa replikasi dari apa yang telah ada tetapi inovasi dan terobosan-terobosan baru
            Ciri kedua adalah bahwa proses tersebut harus dapat mempertahankan momentumnya sendiri atau bersifat “self sustaining”. Ini adalah salah satu tafsiran pengertian dari asas “tumbuh dengan kekuatan sendiri”. Konotasi lain dari dari cirri self sustaining ini adalah bahwa proses tersebut harus semakin merupakan interaksi dinamis dari sumber-sumber pembangunan yang berasal dari dalam negeri. Ini antara lain berarti bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam negeri harus diusahakan meningkat cepat dan makin dominan, bahan-bahan mentah hasil dalam negeri harus semakin menjadi andalan utama bagi kegiatan-kegiatan produksi, tenaga-tenaga trampil dalam negeri harus semakin berperan dalam kegiatan-kegiatan produksi dan sebagainya.
Akan tetapi bagaimana kenyatannya, sangat jauh dari harapan. Cita-cita tinggal cita-cita. Pasak besar dari tiang (Mubyarto,2003, Basri F, 2004). Indonesia terjerumus dalam krisis pertengahan tahun 1997. kenapa dan mengapa bisa terjadi seperti itu akan dibahas dalam bab IV..





BAB III
JENIS, KOMPOSISI DAN BESARAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan sekilas latar belakang dan perkembangan utang  Indonesia sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian . Hal ini ditekankan mengingat bahwa utang luar negeri Indonesia cukup kompleks dan juga mempunyai sejarah yang cukup panjang sehingga tidak mungkin terangkum dalam bab ini. Oleh karena itu dalam garis besarnya yang akan diuraikan adalah kebijakan utang yang ditempuh sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa.
 Orde Baru sebagaimana fakta sejarahnya telah menempuh kebijakan pembangunan yang bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kalau pada era Soekarno politik menjadi panglima, sebaliknya pada era Orde Baru, ekonomi menjadi panglima atau tujuan utama pemerintahan Orde Baru. Suatu model pembangunan yang dalam manifestasinya membutuhkan bantuan atau utang luar negeri.
Pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto telah berketetapan hati melaksanakan pola pembangunan seperti itu, yakni pembangunan ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan,dimana untuk merealisasikannya membutuhkan hutang. Sebagai bentuk atau pola mewujudkannyaUntuk dilakukan ikhtiar diplomasi untuk menarik bantuan atau utang dari investor, baik itu negara (state) maupun swasta (dunia usaha) atau kalangan-kalangan lain.
 Meskipun dengan jalan yang berliku diplomasi pembangunan ini akhirnya berhasil menarik negara-negara kaya tersebut memberikan bantuan dalam bentuk hutang luar negeri kepada Indonesia. Negara-negara kaya ini  populer dengan sebutan Paris Club atau IGGI.
Namun karena ada persoalan IGGI kemudian dibubarkan dan diganti dengan CGI. Kelompok ini bersama dunia usaha – dunia usaha di negara-negara tersebut terus memberikan hutang hingga saat ini. Untuk lebih jelas dan rincianya akan diuraiakan dalam sub-sub bab di bawah ini. Sub bab pertama akan menguraikan latar belakang, apa, mengapa dan bagaimana akhirnya ditempuh pola pembangunan ekonomi yang berfokus pertumbuhan. Sub bab kedua akan menguraikan ikhtiar diplomasi yang dijalankan untuk menarik hutang. Sub bab ketiga menguraikan komposisi besaran dari jumlah hutang luar negeri Indonesia. Pada akhir 2006 hutang luar negeri Indonesia diperkirakan telah mencapai US $ 147,2 milyar.

A. Ekonomi Sebagai Panglima.
            Sejak Indonesia merdeka thun 1945 tidak pernah luput dari masalah-masalah besar. Masalah ini khususnya adalah munculnya pemberontakan-pemberontakan di daerah. Selain itu adalah gangguan dari Negara-negara lain, khususnya tarik menarik dari dua adikuasa yang terlibat perang dingin. Soekarno yang dikenal sangat nasionalis ingin membangun negerinya dengan kekuatan sendiri. Untuk melakukan pola ini cara yang ditempuh adalah terlebih dahulu membangun politik (political building)  dengan instrument-instrumen utamanya, seperti “character and nation building”, berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
            Pola pembangunan yang mengutamakan pembangunan politik ini, selain ada yang tidak menyukainya adalah kenyataan bahwa keadaan perekonomian dari tahun ke tahun mengalami krisis. Krisis yang dipicu oleh pemberontakan-pemberontakan dan lain-lain yang menguras devisa Negara. Keadan perekonomian rakyat semakin hari semakin berat. Lawan-lawan Soekarno yang tidak setuju dengan kebijakannya itu dengan dibantu Negara-negara yang ingin berperan di Indonesia perlahan tapi pasti terus berupaya mendongkelnya dari kursi kekuasaan.
            Upaya itu kemudian berhasil. Dengan dalih G30 S/PKI, Soekarno digulingkan dari kekuasaan dan diganti rezim atau pemerintahan yang pola, strateginya bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya. Ekonomi menggantikan politik sebagai panglima. Bagi rakyat yang berkali-kali kecewa akibat krisis ekonomi yang beruntun, slogan baru modernisasi ekonomi tersebut sangat menarik. Slogan tersebut dengan mudah memperoleh dukungan dikalangan anggota koalisi anti komunis maupun rakyat pada umumnya. Lebih dari itu, slogan tersebut telah melahirkan pandangan yang disebarkan secara meluas dan gencar selama akhir 1965 sampai 1966 tentang akibat buruk dari penekanan pemerintah Orde Lama pada kebijakan mendukung program “nation and character building” dan lain-lain slogan Sukarno. Ringkasnya, suatu pendapat umum baru yang sangat mengutamakan pembanguanan ekonomi berhasil diciptakan oleh pimpinan Orde Baru tanpa banyak kesulitan.
            Pada bulan November 1965, sekelompok intelektual dari Umiversitas Indonesia, sebagian besar ekonom, menerbitkan buku yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah Soekarno (Widjojo, 1965). Para ekonom itu menyatakan bahwa kelalaian pemerintah menangani masalah ekonomi telah membawa Indonesia ke tepi jurang kebangkrutan. Kelalaian itu menurut mereka, tidak hanya mengakibatkan krisis inflasi dan deficit neraca pembayaran yang waktu itu sedang melanda ekonomi Indonesia, tetapi juga memperburuk situasi keterbelakangan dan ketergantungan. Salah seorang ekonom itu mengatakan bahwa:
Dalam medan persaingan ekonomi internasional, posisi kita semakin ketinggalan jiaka dibandingkan dengan Negara-negara yang tadinya lebih terbelakang dibandingkan Indonesia. Menurunnya penerimaan dalam neraca perdagangan luar negeri selama puluhan tahun akhir-akhir ini adalah pertanda menurunnya kita dalam posisi perdagangan luar negeri (bahkan lebih jelek lagi), lambat laun kiata semakin bergantung pada kredit-kredit luar negeri, untuk kelangsungan hidup ekonomi kita (Emil, 1965:115).
           
Diagnosa mereka tentang penyakit ekonomi Indonesia lebih terinci dan mendapat lebih banyak pendukung yang antusias ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) memberi kesempatan kepada mereka untuk mendiskusikan masalah-masalah ekonomi dalam suatu seminar tentang ekonomi Indonesia, yang diberitakan secara meluas, (KAMI 1966). Saran-saran yang muncul dari seminar tersebut jelas tercermin dalam pernyataan kebijakn ekonomi 12 April 1966 yang dikelurkan oleh kabinet Dwikora yang disempurnakan (DEPPEN, 1966), dan sekali lagi dalam ketetapan MPRS No XXIII, 5Juli 1966 tentang pembaharuan ekonomi (DEPPEN, 1966).
            Kredibilitas komitmen pimpinan Orde Baru pada pemecahan masalah ekonomi semakin diperkuat ketika TNI AD menyelenggarakan seminarnya yang kedua, tanggal 25 sampai 31 Agustus 1966, yang sebagian besar topik diskusinya menyangkut masalah-masalah non militer (Angkatan Darat, 1966). Dengan menyediakan forum baru kepada kelompok intelektual yang sama untuk menyebarkan pendapat mereka tentang bagaaimana memodernisasikan ekonomi dan politik Indonesia, TNI AD ingin menunjukkan kepada masyarakat dalam negeri maupun internasional, bahwa ia dengan tegas mendukung kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh rezim baru tersebut. Dukungan itu sangat penting kalau kebijakan itu ingin dilaksanakan dengan efektif, mengingat TNI AD adalah satu-satunya pemegang kekuasaan yang dapat menjamin penerapan kebijakan secara efektif. Dukungan para perwira itu juga sangat bermanfaat dalam meyakinkan para kreditor dan investor potensial tentang kesungguhan hati rezim Orde Baru dalam memecahkan masalah ekonominya. Tetapi baru pada 3 Oktober 1966 para elit penguasa baru itu benar-benar mengambil langkah-langkah konkrit untuk menerapkan program stabilsasi.
            Program stabilisasi tersebut diawali dengan mendiagnosa penyakit ekonomi Indonesia. Penyakit ini menurut para ekonom tersebut adalah inflasi yang membubung tinggi, defisit neraca pembayaran, terkurasnya cadangan devisa, dan kesulitan membayar hutang luar negeri. Mereka menganggap kekacauan ekonomi itu bermula dari dalam. Yang dianggap sebagai penyebab utamanya adalah: pertama, defisit anggaran belanja dan pendapatan pemerintah yang terus meningkat; dan kedua, ekspansi kredit bank yang terlalu cepat.
            Pembengkakan anggaran belanja pemerintah yang jauh melampaui peningkatan pendapatannya mengakibatkan defisit APBN besar-besaran sejak awal 1960-an. Yang paling memberatkan, sebagian besar defisit itu ditutup bukan dengan menarik pajak, melainkan dengan mengambil dana dari Bank Sentral dan seringkali dengan mencetak uang baru. Sementara itu, kebijakan keuangan pemerintah juga memungkinkan perluasan kredit bank pada masa itu. Dan akibatnya, seperti telah ditunjukkan diatas, volume uang meningkat secara mencolok selama paruh pertama 1960-an. Tindakan pemerintah itu jelas memberi tekanan inflasioner yang kuat terhadap ekonomi. Selain itu tindakan tersebut juga menimbulkan kesenjangan yang begitu besar terhadap uang dengan penawaran yang ada, sehingga harga-harga barang dan jasa dalam dalam negeri serta impor terus meningkat.
            Melonjaknya biaya dan harga dalam negeri digabung dengan memburuknya infrastruktur ekonomi serta merosotnya produksi menyebabkan penurunan pendapatan ekspor, yang selanjutnya menyebabkan penurunan pendapatan ekspor secara tajam. Sementara itu, impor tidak mudah dikurangi karena dua hal. Pertama, karena konfrontasi ganyang Malaysia mengesahkan impor barang-barang untuk mendukung kampanye militer itu: dan kedua, karena Indonesia memang benar-benar membutuhkan banyak barang impor, mulai dari mesin dan suku cadangnya sampai pada beras dan tekstil. Ringkasnya menurut para ekonom itu, pada pertengahan 1960-an itu masalah pokoknya adalah memburuknya neraca pembayaran dan merosotnya cadangan devisa, yang sebagian besar merupakan akibat dari defisit APBN.
            Disamping diagnosa mereka tentang faktor politik dan krisis ekonomi itu, interpretasi ekonom itu tentang masalah yang dihadapi Indonesia menyiratkan bahwa yang paling utama harus ditangani adalah masalah keuangan. Untuk mengembalikan ekonomi ke keadaan keseimbangannya, yaitu menstabilkannya, pemerintah baru itu perlu menyediakan barang-barang konsumsi pokok seperti beras dan tekstil, serta suku cadang dan bahan mentah. Karena kebanyakan barang-barang ini harus diimpor, maka pemerintah menangani masalah kekurangan penyediaan devisa yang besar. Sementara pendapatan ekspor untuk 1966 diperkirakan berjumlah US $ 600 juta, impor untuk pengencangan ikat pinggang jangka pendek tahun 1966 itu diperlukan antara US $ 600 sampai US $ 700 juta dan pembayaran hutang luar negeri memerlukan sekitar  US $ 530 juta dalam tahun 1966 dan US $ 270 juta dalam tahun 1967 (Panglaykim & Thomas, 1967: 689-690)
            Guna menutupi kesenjangan itu pemerintah harus mencari kredit baru, khususnya pinjaman tidak komersial. Praktis, dalam hal ini harus mencari dari sumber yang ada; yaitu pemerintah Negara-negara Barat dan Jepang. Sepanajang syarat-syaratnya dipenuhi, mereka dapat membantu Indonesia untuk mengatur penundaan dan penjadwalan kembali pembayaran hutang-hutangnya serta memberi kredit baru. Namun untuk tujuan pembangunan ekonomi jangaka panjang, Indonesia memerlukan lebih dari bantuan luar negeri yang hanya sekedar menutup kekurangan devisa. Ia perlu menrik penanaman modal asing. Berhubung tabungan dalam negeri sangat rendah, Indonesia tidak akan dapat paling tidak untuk jangka waktu dekat melakukan investasi pembangunan yang besar dari sumber-sumber sendiri tanpa melakuakan perombakan struktur sosial ekonominya secara besar-besaran, cara yang paling layak untuk menutupi kekurangan tabungan dalam negeri adalah mengerahkan modal asing, yang dapat disediakan oleh masyarakat bisnis internasional. Singkatnya, Indonesia memerlukan dukungan, baik dari pemerintah kapitalis asing maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni para bankir dan perusahaan multi nasional. Untuk ini dilakukan ikhtiar diplomasi ke luar negeri.
B. Diplomasi Mencari Hutang
            Kebijakan pemerintah Orde Baru menempuh pola pembangunan yang memerlukan hutang tidak serta merta dapat direalisasikan. Hal ini mengingat kebijakan pemerintahan Soekarno yang sangat anti kepada hutang dan bantuan luar negeri. Akan tetapi karena tekad Orde Baru sudah begitu kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, maka upaya untuk itu ditempuh dengan sekuat tenaga.
            Ofensif kebijaksanaan ekonomi luar negeri rezim baru ini dimulai sangat cepat. Tanggal 4 April 1966, yakni seminggu setelah pelantikannya sebagai menteri luar negeri, Adam Malik mengumumkan bahwa Indonesia akan meninjau kebijaksanaan luar negerinya dengan penekanan: pertama, perluasan kerjasama internasional dengan sebanyak mungkin bangsa dalam kegiatan politik, ekonomi, social dan kebudayaan: kedua, keikutsertaan dalam organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan badan-badannya: ketiga, penyelesaian masalah Malaysia secara damai. Pada hari yang sama, wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi, Sultan Hamengkubuwono IX, juga mengumumkan bahwa Indonesia akan mengusahakan penundaan dan penjadwalan pembayaran hutangnya dan mencari bantuan luar negeri yang baru tanpa ikatan-ikatan politik.
            Pada tanggal 6 Mei, menteri luar negeri berbicara di depan DPR tentang niat Indonesia untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Seminggu kemudian Indonesia mengirim misi teknik resmi pertama yang dipimpin oleh Umarjadi Notowijono ke beberapa Negara Eropa untuk mengusahakan penjadwalan kembali hutang dan memperoleh kredit baru. Pada minggu terakhir bulan yang sama Sultan sendiri mengirim delegasi yang lain ke Jepang untuk tujuan yang serupa, dengan hasil pemerintah Jepang setuju untuk mengadakan suatu konferensi buat para kreditur Indonesia untuk membicarakan kembali hutangnya (FEER, 16-6-1966:519) misi-misi lain dikirim untuk membicarakan penyelesaian damai masalah Malaysia. Hasilnya adalah penandatangan suatu perjanjian damai pada tanggal 11 Agustus 1966 antara dua Negara tersebut. Langkah yang sama juga menghasilkan pengakuan terhadap Singapura pada bulan Juni. Normalisasi hubungan dengan Singapura adalah langkah yang sangat penting dalam arti kebijaksanaan ekonomi. Para pengusaha Cina di Singapura memainkan peran penting dalam perdagangan internasional di Asia Tenggara. Mereka tidak hanya mengekspor barang dagangan ke dan mengimpor dari Indonesia, tetapi mereka juga adalah sumber kredit bagi masyarakat bisnis Cina Indonesia (Panglaykim dan Thomas, 1967:108)
            Sementara itu, berbagai tanggapan dari kreditur asing terhadap langkah-langkah diplomasi Indonesia belum jelas benar. Tanggal 4 April 1966 untuk menanggapi himbauan Sultan, pemerintah Belanda dilaporkan sebagai mengatakan bahwa ia “tidak akan membiarkan pintu ditutup” bagi Indonesia untuk memperoleh bantuan asing melalui badan multilateral (Antara, 1967:100). Pada tanggal 18 April. Amerika Serikat setuju memberikan pinjaman lain, untuk pembelian 75.000 bal kapas bernilai US $ 10,5 juta, keduanya dibawah program PL-480 (FEER, 9-3-1967:459). Dari pemerintah Jerman Barat misi Umarjadi memperoleh US $ 7,5 juta untuk digunakan membayar uang muka kepada para eksportir swasta Jerman. Jepang juga memberikan US $ 30 juta bantuan darurat ketika Sultan berkunjung kesana bulan Mei (FEER Year Book 1967:222). Selain itu, Indonesia memperoleh berbagai bantuan bagi korban bencana alam dari berbagai Negara senilai US $ 11 juta, sesudah terjadi banjir besar di Jawa Tengah pada tahun itu.
            Namun kenyataan-kenyataan tersebut bukan merupakan bukti dukungan sungguh-sungguh para kreditor asing terhadap Indonesia. Pertama, kebanyakan pinjaman itu semata-mata transaksi komersial. Pinjaman pertama Amerika Serikat itu harus dibayar kembali dengan dollar, bukan mata uang lokal seperti yang biasa dilakukan dalam program PL-480, satu tahun setelah pengiriman terakhir, dalam lima kali angsuran tahunan, dengan tingkat bunga 4,9% (FEER, 9-3-1967:460). Untuk pinjaman oleh pemerintah tingkat bunga ini sangat tinggi. Lagi pula beras itu harus diangkut oleh kapal-kapal Amerika yang menarik ongkos lebih mahal. Untuk pengapalan 50.000 ton pertama biayanya lebih dari US $ 1,2 juta (Sullivan, 1969:309). Pinjaman yang diberikan Jepang bahkan dibebanai tingkat bunga yang lebih tinggi, yaitu 5,5 %, dan harus dibayar kembali dalam lima kali angsuran tahunan yang kira-kira sama, setelah masa tenggang empat tahun. walaupun pinjaman PL-480 kedua dari Amerika Serikat bersyarat lebih lunak, tingkat bunganya tetap 3,5% dan harus dibayar dengan dollar setelah masa tenggang dua tahun dalam lima kali angsuran tahunan. Lebih dari itu, pemerintah Amerika Serikat berusaha mengecilkan arti penting politik pinjaman tersebut dan menekankan bahwapemberian pinjaman bukan berarti pemberian kembali bantun secara regular (Sullivan, 1969:310).
            Misi-misi diplomasi mencari hutang ini ternyata tidak mulus. Dalam perjalanan selanjutnya ke Jepang, pemerintah Jepang tidak setuju penjadwalan kembali hutang. Begitu pula Negara-negara kreditor lainnya. Mereka ingin melihat bahwa pemerintah Orde Baru harus sungguh-sungguh merehabilitasi ekonominya. Soekarno sendiri mengingatkan dalam pidatonya pada 1 September 1966 memperingatkan bahwa nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di kaki sendiri dan karena itu tidak boleh meminta-minta dalam usaha merehabilitasi ekonomi (FEER, 15-9-1966:472). Namun peringatan seperti itu tidak membuat pemimpin Orde Baru mengendurkan upaya mencari bantuan asing untuk memecahkan masalah hutang-hutang yang mereka warisi dari rezim Soekarno. Dan hanya beberapa jam setelah pidato Presiden Soekarno itu berangka lagi dua misi melakukan puataran berikut dalam diplomasi bantuan.
            Salah satu delegasi itu, diketuai Sultan, berangkat ke Belanda, Inggris, Italy, Jerman Barat, Amerika Serikat, Jepang dan India. Misi yang lain dipimpin Adam Malik dijadwalkan mengunjungi kreditor-kreditor Indonesia di blok komunis. Tetapi, hanya satu hari menjelang keberangkatan Adam Malik, pemerintah Soviet memberitahukan Indonesia bahwa pemimpin Soviet tidak dapat menerimanya sampai bulan Oktober. Ketika tindakan yang sama diambil oleh Polandia dan Cekoslowakia, Adam Malik menunda kunjungannya ke tiga Negara itu. Setelah mengunjungi India, Mesir, Aljazair dan Yogoslavia untuk memperkokoh hubungan dengan Negara-negara non blok lainnya, ia meneruskan perjalanannya ke Amerika Serikat dan Jepang (FEER, 15-9-1966:473).
            Berbeda dengan delegasi Adam Malik, misi Sultan lebih beruntung. Misi itu berhasil memperoleh pinjaman dari Jerman Barat senilai US$ 12,5 juta. Pemerintah Inggris juga memberi sekitar US $ 240.000 sebagai uang muka pembayaran ganti rugi atas harta milik Inggris yang rusak akibat huru-hara anti Inggris selama bulan September 1963 di Jakarta. Untuk pembicaraan lebih lanjut tentang ganti rugi bagi perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan, Sultan mengundang pihak-pihak yang terlibat untuk datang ke Jakarta (FEER, Year Book, 1967:222).
            Pemerintah Belanda juga menunjukkan sikap kerjasama selama kunjungan Sultan. Setelah dua kali menolak permintaan bantuan misi Umarjadi, karena ketidaksepakatan mengenai tuntutan ganti rugi bagi perkebunan-perkebunan milik Belanda lainnya yang dinasionalisasikan rezim Orde Lama, pada bulan September Belanda setuju menerima penyelesaian tuntutan ganti rugi sebesar US $ 157 juta yang dapat dibayar selam 30 tahun mulai dari tahun 1973 dan, saat yang sama, menawarkan bantuan sejumlah US $ 18 juta (Arndt, 1967:137).
            Sementara, Adam Malik berda di New York memimpin delegasi Indonesia masuk kembali ke PBB, Sultan berembug dengan para pejabat IMF dan Bank Dunia di Washington untuk memasukkan kembali Indonesia ke kedua organisasi itu. Kedua pemimpin Orde Baru tersebut juga mendatangi beberapa pejabat teras pemerintah Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Adam Malik mengunjungi Presiden Lyndon B.Johnson, Wakil Presiden Hubert Humprey dan menteri luar negeri Dean Rusk. Para anggota kongres yang didatangimya termasuk Senator William Fullbright, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat, dan Clement I. Zablocky, Ketua sub komite DPR Urusan Asia Pasifik. Sultan juga dilaporkan telha menemui pejabat pemerintah Amerika lainnya (Sullivan, 1969:357).
            Deskripsi diatas menunjukkan bahwa para kreditur asing di Barat maupun di Timur, sangat berhati-hati dan enggan menanggapi permintaan Indonesia akan penjadwalan kembali hutang dan kredit lunak baru, walaupun mereka memberi sedikit bantuan hibah. Sikap para kreditur itu menimbulkan kekecewaan di kalangan pemimpin Orde Baru. Namun , meskipun kecewa seperti apapun, mereka harus menghadapinya. Merka tidak melihat cara lain yang layak untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi itu kecuali pergi ke Barat dan mencari bantuan untuk menstabilkan ekonomi. Sebagai manifestasinya para pemimpin Orde Baru bertekad untuk bermain sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh para kreditor tersebut.
            Tekad demikian akhirnya sungguh-sungguh diterapkan. Dalam pertemuan Tokyo yang dihadiri para Negara-negara kreditor pola itu diwujudkan. Pertama-tama adalah menghadapi negara yang paling kuat, yakni Amerika Serikat. Dengan mengikuti semua keinginan negara adikuasa ini, Indonesia mendapat tempat kembali dalam hubungan bilateral kedua Negara. Dalam suatu memorandum untuk presiden Johnson, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengusulkan diberinya bantuan kepada Indonesia dalam jumlah besar. Memorandum itu menyebutkan beberapa perkembangan baik di Indonesia, seperti penyelesaian konflik secara damai dengan Malaysia dan perubahan secara umum haluan politik luar negerinya serta merosotnya kekuasaan Soekarno (Sullivan, 1969:342).
            Memorandum itu menggerakkan proses yang mengakibatkan kebangkitan kerjasama ekonomi bilateral Amerika Serikat Indonesia, dimana pemerintah Amerika menambah beberapa pinjaman dan hibah yang kira-kira US $ 40 juta pada akhir 1966. termasuk didalamnya pinjaman besar yang ditandatangani tanggal 30 september untuk pembelian Beras dan benang senilai lebibh dari US $ 26 juta yang harus dibayar kembali dalam dollar dua tahun setelah tanggal penyerahan terakhir, dalam 19 kali angsuran tahunan, dengan tingkat bunga 2,5 %. Syarat-syarat pinjaman ini jauh lebih lunak dibanding dengan dua pinjaman PL 480 yang pertama. Pinjaman besar kedua yang diberikan untuk membayar suku cadang dan bahan mentah sejumlah US $ 10 juta yang akan dibayar kembali dalam 20 tahun dengan tingkat bunga 3,5 %. Sisanya adalah pinjaman dan hibah untuk bantuan pangan darurat, beasiswa, barang-barang perpustakaan dan lain-lain (FEER, 9-3-1967:459).    
            Sesuai dengan pendekatan Amerika yang low profile, sebuah konsorsium tujuh negara kreditor Indonesia, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Itali, Belanda dan Jepang dan Negara non kreditor seperti Australia, Canada, Selandia Baru,  dan Swiss, serta IMF bersidang di Tokyo tanggal 19-20 September 1966 untuk membicarakan masalah Indonesia. Dalam delegasi Indonesia, turut Dr Widjojo Nitisastro, penasihat ekonomi Jenderal Soeharto. Pada proses-proses selanjutnya, khususnya pada pertemuannya di Paris, para Kreditor inilah yang dikenal dengan nama IGGI, International Government Group for Indonesian. Pinjaman-pinjaman untuk Indonesia selalu dinilai dan diputuskan oleh konsorsium ini.
            Namun perlu juga dikemukakan disini bahwa sebelum IGGI terbentuk, lembaga yang cukup berperan untuk memberikan pertimbangan kepada para kreditor agar diberikan hutang kepada Indonesia adalah IMF. IMF paska pertemuan Tokyo, atas permintaan Indonesia telah menempatkan staf-stafnya di Jakarta/Bank Indonesia. Setelah bekerja sekian lama, lembaga ini memberikan informasi kepada para kreditor bahwa Indonesia layak mendapat pinjaman. Sejak itu uterus mengalir hutang ke Indonesia.

C. Komposisi dan Besaran Hutang Luar Negeri Indonesia
            Sejak IGGI terbentuk hutang luar negeri Indonesia kepada anggota-anggota IGGI terus berjalan tanpa rintangan. Setiap tahun IGGI bersidang memutuskan jenis, sifat dan berapa junlah yang akan diberikan. Dalam garis besarnya hutang dapat dikelompokkan dalam dua jenis yaitu:
1.      Hutang Program
2.      Hutang Proyek
Hutang program adalah hutang dalam bentuk devisa, sedangkan hutang proyek adalah hutang dalam bentuk barang dan jasa. Sebagai ilustrasi atau contoh, apa dan bagaimana hubungan antara hutang program dan proyek dalam hubungannya dengan tabungan pemerintah, pengeluaran pembangunan akan ditulis dalam table dibawah ini:

Table III,1
Tabungan, pengeluaran dan Pinjaman.

Tahun
Tabungan Pemerintah
Pengeluaran Pemerintah Pembangunan
Pinjaman Luar Negeri
Bantuan Program
Bantuan Proyek-proyek
Jumlah
Repelita
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
Jumlah

Repelita II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
Jumlah

Repelita III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
Jumlah

Repelita IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
Jumlah

Repelita V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
Jumlah

Repelita VI
1994/1995

27,2
56,4
78,9
152,5
254,4
569,4 


737,6
909,3
1.276.2
1.385,5
1.522,4
5.832,0


2.635,0
4.427,0
5.235,0
5.422,0
6.020,9
23.739,9


6.476,5
7.301,3
2.581,3
3.321,8
2.265,0
21.946,2


4.408,7
4.935,5
9.626,2
13.311,8
15.674,1



17.386,3


118,2
169,6
195,9
298,2
450,9
1.278,0


961,8
1.397,7
2.054,5
2.156,8
2.555,6
9.126,4


4.014,2
5.916,1
6.940,0
7.359,6
9.899,2
34.129,2


9.951,9
10.873,1
8.332,0
9.477,4
12.251,6
50,885,1


13.838,0
16,225,0
19.997,7
22.912,0
25.227,2



27.398,3

65,7
78,9
90,5
95,5
89,8
420,8


36,1
20,2
10,2
35,8
48,2
150,5


64,8
64,1
45,1
15,1
14,9
204,0


69,3
69,2
1.957,5
727,8
2.040,7
4.864,5


1.007,2
2.885,3
1.537,5
501,2
426,8



-

25,3
41,5
45,0
62,3
114,1
288,2


195,9
471,4
773,6
737,6
987,3
3.168,8


1.316,3
1.429,7
1.663,9
1.924,9
3.867,5
10.202,3


3.408,7
3.503,4
3.794,7
5.430,2
7.950,0
24.087,0


8.422,1
8.404,2
8.834,0
9.099,0
9.226,3



10.012,0

91,0
120,4
135,5
157,8
203,9
708,6


232,0
491,6
783,8
773,4
1.035,5
3.316,3


1.381,2
1493,8
1.709,0
1.940,0
3.882,4
10.406,3


3.478,0
3.572,6
5.752,2
6.158,0
9.990,7
28.951,5


9.429,3
11.289,5
10.371,5
9.600,2
9.553,1



10.012,0
Sumber : Zulkarnain Djamin, 1995:18-19

Sedangkan pembagian yang lain adalah:
  1. program resmi
  2. kredit ekspor
  3. pinjaman swasta
Program resmi atau sering juga disebut dengan Officisl Development Assistance (ODA) adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu Negara donor untuk membantu pembangunan Negara-negara berkembang yang disalurkan melalui lembaga keuangan bilateral Negara yang bersangkutan dan atau melalui lembaga dan bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia, IMF, ADB dan lain-lain. Program ini pada umumnya dibagai dua, yakni bilateral dan multilateral.
Untuk lebih rincinya apa yang dimaksud dengan utang bilateral akan dibuat dalam table dibawah ini
Tabel III,2
Jenis Utang Bilateral
Negara Kraditur
Consultative Group for Indonesia (CGI)
Creditor
1998/99
1999/00
2000
2001
2002
2003
2004
Bilateral

AS
Australia
Austria
Belanda
Belgia
Denmark
Inggris
Italia
Jepang
Jerman
Kanada
Perancis
s. baru
swiss
finlandia
spanyol
Korsel
Norwegia
Kuwait
Portugal
2.305,0

250,0
75,0
20,0
-
6,0
9,0
46,0
5,0
1.500,0
300,0
25,0
-
3,0
1,0
-
25,0
30,0
10,0
-
-
1.633,7

184,5
78,0
20,0
-
-
10,7
38,5
10,0
1.200,0
39,7
19,6
-
2,7
4,1
1,0
10,0
9,2
5,7
-
-

2.006,0

145,0
59,0
15,0
-
-
5,0
33,0
1,0
1.560,0
102,0
11,0
-
3,0
4,0
-
59,0
9,0
-
-
-
2.339,7

280,0
64,7
20,0
-
-
7,0
15,3
-
1.794,0
54,8
4,7
-
2,1
1,0
-
73,0
23,1
-
-
-
971,0

-
-
15,0
60,0
6,4
-
-
10,0
720,0
78,7
-
-
-
-
-
57,0
23,0
-
-
0,9
964,0

-
-
10,0
67,0
7,0
2,0

-6,0
730,0
83,0
-
30,0
-
-
-
9,0
20,0
-
-
-
887,0

7,0
-
5,0
61,0
9,0
-
-
7,0
659,0
96,0
-
12,0
-
-
-
10,0
20,0
1,0
-
-

Sumber: Zulkarnain Djamin, 1995:64
Sedangkan apa dan bagaimana bentuk utang Multilateral dapat dilihat dalam table dibawah ini
Tabel III,3
Jenis Utang Multilateral
Baqdan Kraditur
Consultative Group for Indonesia (CGI)
Creditor
1998/99
1999/00
2000
2001
2002
2003
2004
Multilateral
5.589,0

4.224,0
2.721,0
3.034,30
2.169,7
1,765,0
1.951,0
Multilateral
ADB
IDA
IBRD
UNDP
IDB
NIB
IFAD
PBB
UNICEF
UE
EIB
KWAIT.F
SAUDI F


2.200,0
-
2.700,0
-
400,0
30,0
25,0
144,0
-
-
40,0
25,0
25,0
1.600,0
-
2.384,0
-
50,0
10,0
10,0
107,0
-
-
63,0
-
-
1.065,0
-
1.500,0
-
-
-
-
106,0
-
40,0
10,0
-
-

1.515
-
1.300,0
-
20,0
19,9
-
146,8
-
-
26,2
-
6,4
1.150,0
-
1.000,0
-
-
19,7
-
-
-
-
-
-
-
800
-
850
-
26
-
8,0
2,0
-
-
79,0
-
-
925,0
-
825,0
-
150,0
-
7,0
-
-
-
44,0
-
-

Sumber: Zulkarnain Djamin, 1995:65

Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan persyaratan setengah lunak yang dananya berasal dari Negara donor atau yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh pemerintah Negara donor.Jaminan itu diberikan terhadap resiko perubahan politik dan resiko komersial biasa. Kredit ini umumnya disalurkan melalui bank ekspor dan impor Negara donor, seperti US Exim Bank di Amerika Serikat dan Japan Exim Bank di Jepang. Untuk lebih jelasnya siapa-siapa atau lembaga-lembaga penyalur kredit ekspor dapat dilihat dibawah ini
·        Amerika Serikat                US Exim Bank
·        Australia                           EFIC
·        Jepang                               Japan Exim Bank
·        Canada                              EDC
·        Italia                       Mediocreditio     Centrale
·        Belgia                     Generale Bank
·        Jerman                    KFW
·        Inggris                        Lloyds Bank, Midland Bank, ANZ,Barylas Bank
·        Swedia                       Scandinaviska Enskilda Banken
·        Belanda                      ABN, Amro Bank, ING Bank
·        Norwegia                   Export Finance Oslo
·        Perancis                      Sindikasi Bank bank Perancis
·        Korea                         Korean Exim Bank
·        Finlandia                    Finish Expoert Kredit
·        Denmark                    Uni Bank
·        Austria                       Oster-Landerba
(Sumber: Zulkarnain Djamin, 1995:70-71)

Pinjaman swasta adalah pinjaman yang berasal dari bank-bank dan lembaga keuangan swasta yang diberikan atas dasar pertimbangan komersil sehingga berbeda dari kredit ekspor yang ditujukan untuk membantu pembangunan dinegara-negara berkembang sekaligus menunjang peningkatan ekspor Negara-negara industri.
Pinjaman tersebut telah ditempuh sejak Orde Baru. Sedangkan jumlah hutang luar negeri Indonesia hingga tahun 2006 adalah sebesar US $ 147,2 miliar sebagai berikut:
Tabel III,4
Perkembangan jumlah Utang
Tahun
Jumlah Hutang (US$ Milyar)
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
20006


91,0 milyar
120,4 milar
135,5 milyar
157,8 milyar
203,9 milyar
232,0 milyar
491,6 milyar
783,8 milyar
773,4 milyar
1035,5 milyar
1381,2 milyar
1493,8 milyar
1709,0 milyar
1940,0 milyar
3.882,4 milyar
3.478,0 milyar
3.572,6 milyar
5.752,2 milyar
6.158 milyar
9.990,7 milyar
9.429,3 milyar
11.289,5 milyar
10.371,5 milyar
9.600,2 milyar
9.553,1 milyar
10.012,0 milyar
148,098 milyar
141,694 milyar
133,073 milyar
131,343 milyar
135,401 milyar
136,140 milyar
142,9 milyar
147,2 milyar
Sumber: Zulkarnain Djamin, Statistik Indonesia dan Media Indonesia, 29 Januari 2007









BAB IV
KETERGANTUNGAN KEPIHAK ASING DAN BEBAN BERAT PEMBANGUNAN INDONESIA

Setelah pada bab-bab sebelumnya dideskripsikan latar belakang masalah, pengertian pembangunan dan kwantitas utang luar negeri Indonesia, pada bab ini penulis akan membahas beban dan dampak dari utang luar negeri  terhadap pembangunan Indonesia. Adapun konsep, teori atau pendekatan yang digunakan, sebagaimana tertulis dalam pendahuluan adalah jalan berpikir yang diutarakan Rudolf Strahm. Strahm mengatakan bahwa terjadinya keterbelakangan dinegara-negara yang melaksanakan pembangunan adalah karena negara tersebut melakukan pola deficit anggaran belanja, yakni melakukan pembelanjaan barang dan jasa untuk pembangunan melebihi dana, capital dan kemampuan yang tersedia.
 Untuk menutupi deficit tersebut digunakan kredit luar negeri. Akan tetapi karena satu dan lain hal kredit ini tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal, yakni semakin lama kredit tersebut seharusnya semakin kecil. Malah sebaliknya yang terjadi yakni membengkaknya jumlah utang. Karena jumlah hutang yang terus membengkak dan akhirnya tidak mampu melunasi hutang, atas inisiatif negara-negara yang memberi kredit dan Negara pengutang meminta bantuan IMF. Lembaga ini selanjutnya memberi syarat-syarat yang ternyata tidak membuat suasana lebih baik. Resep yang diberikan akhirnya membuat daya beli masyarakat menurun dan selanjutnya menimbulkan berbagai ekses-ekses negative, yang bermuara kepada keterbelakangan.

A.Kebijakan Anggaran Deficit  dan Membengkaknya Utang.
            Dalam bab II diuraikan bahwa sejak Orde Baru berkuasa di Indonesia, pola pembangunan berubah dengan drastis. Pola yang sebelumnya berorientasi pada politik, dirubah menjadi berorientasi pada ekonomi. Modelnya adalah pembanguan ekonomi dengan titik sentralnya adalah “pertumbuhan ekonomi”. Ukuran keberhasilannya adalah “persentasi”, semakin tinggi persentasinya semakin baik pertumbuhan ekonominya. PBB telah membuat tolok ukur keberhasilan itu adalah 5% ke atas. Jika GNP/GDPnya telah mencapai 5% dianggap telah berhasil (Moeljarto Tj, 1995).
Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, model pembanguian seperti itu sesungguhnya adalah model pembangunan dinegara-negara yang sudah maju, Negara-negara yang sudah industrialized.. suatu model yang banyak ditentang karena tidak mencerminkan atau memperjuangkan yang sesungguhnya. Indonesia berharap (bermimpi) suatu waktu akan menjadi negara yang ditirunya, yakni negara yang sudah maju atau industrialized.
Mahbub Ul Haq menggambarkan pola pembangunan seperti itu sebagai model pembangunan yang palsu (the catching up fallacy). Bagaimana mungkin negara-negara berkembang dengan mengandalkan hutang akan menyamai negara-negara kaya. Haq memberi ilustrasi dengan angka pertumbuhan yang palsu. Negara-negara kaya yang tumbuh dengan 5% tidak akan bisa dikejar dengan Negara pengutang yang pertumbuhan ekonominya juga 5%. Negara penghutang tersebut akan terus ketinggalan terhadap negara pemberi kredit.
Pada kenyataannya apa yang dikatakan Mahbub Ul Haq demikian tidak saja sangat benar, malah jauh dari itu suasananya semakin suram. Sejak Indonesia memulai pola pembangunan yang didasarkan kepada utang luar negeri , utang itu semakin lama bukannya semakin berkurang . Sebaliknya utang itu semakin besar. Bagaimana besarnya utang ini dapat dilihat pada table…pada bab III. Dari table tersebut dapat  dilihat pada awal Orde Baru melakukan pembangunan, yakni Pelita pertama, 1969/1970 utang luar negeri Indonesia masih ……dan tahun 2006 sebesar US $ 147,2.
Khusus perkembangan utang pemerintah (tanpa swasta) Siswono Yudo Husodo, membuat perhitungan sebagai berikut. Pada akhir pemerintahan Soekarno utang luar negeri Indonesia masih berjumlah US $ 2,5 milyar. Di akhir pemerintahan Soeharto US $ 54 milyar, diakhir pemerintahan Habibie US $ 74 milyar, diakhir pemerintahan Megawati US $ 76 milyar, tahun 2006 US $ 74,13 milyar. Pembengkakan yang sangat significan
Mengapa utang ini terus membengkak. Secara umum jawabannya adalah karena pola atau strategi pembangunan yang diterapkan tidak tepat sebagaimana disinyalir oleh Mahbub Ul Haq. Selain itu Pola pembangunan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan tidak cocok dengan sosio cultural Indonesia yang cenderung kekeluargaan, gotong royong dan spiritualist. Sangat bertolak belakang dengan negara-negara Barat  yang cenderung individualistic-materialistis. Namun secara khusus membengkaknya utang ini diakibatkan beberapa hal, seperti:
1.      faktor korupsi
2.      faktor salah kelola
3.      faktor capital flight
4.      faktor bunga yang terlalu tinggi
5.      maksud terselubung dari kekuatan besar/adi daya.
Untuk mengetahui betapa korupsi membuat utang luar negeri Indonesia terus membengkak dapat kita lihat pada pendapat beberapa pakar, seperti Fuad Bawazier, Jeffrey Winters dan Faisal Basri. Fuad Bawazier menengarai bahwa utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai deficit anggaran belanja yang diterapkan pemerintahan Soeharto sejak berkuasa adalah motif dari menjamurnya korupsi oleh segelintir kalangan berkuasa, yaitu pejabat, kontraktor dan konsultan. Korupsi ini selanjutnya membuat utang terus membesar. Lebih lengkapnya Fuad Bawazier menyatakan:
Defisit anggaran Negara selama 40 tahun terakhir telah mengantarkan Indonesia sebagai Negara yang dililit dan kecanduan utang tanpa berhasil memakmurkan rakyatnya. Keuntungan dari kebijakan utang ini dinikmati kreditor luar negeri dan mereka yang mendapatkan rezeki dari proyek yang dibiayai utang tersebut, yakni pejabat kontraktor dan konsultan. Jadi, keuntungan dari kebijakan deficit hanya dinikmati oleh mereka yang mengelola anggaran korup dan boros itu. Persoalan deficit anggaran ini semakin jelas yakni akibat banyak proyek-proyek yang takperlu. (Rakyat Merdeka, 14 Agustus, 2007)

Lebih jelas dan kongkrit bahwa terjadi korupsi dalam pengelolaan utang luar negeri diketengahkan oleh Jeffrey Winters:
Salah satu aspek yang paling mengganggu dari kedekatan hubungan Bank Dunia dengan Pemerintah Indonesia adalah bahwa selama tiga dasawarsa, Bank Dunia telah membiarkan sejumlah besar dana pinjamannya bocor dan lenyak kedalam birokrasi pemerintah. Walaupun staf Bank Dunia mengalami bencana bila mengakui terus terang bahwa dana pinjamannya dicuri secara rutin di Indonesia, tetapi mereka cukup siap mengakui secara pribadi bahwa tingkat kebocorannya cukup besar. Dalam sebuah wawancara pada tanggal 3 Januari 1990 dengan Atilla Sonmez, kepala misi perwakilan Bank Dunia di Jakarta, saya bertanya: “berapa banyak dana pinjaman BANK Dunia kepada Indonesia yang menghilang tak tentu rimbanya?”. Jawab Mr Sonmez, sekitar sepertiganya (Winters, J, 1999:53)

Ketika Jeffrey Winters kembali mengecek pendapat Sonmez ini ke markas Bank Dunia di Washington DC pada tahun 1996, pendapatnya tetap sama, yakni bahwa dana yang dikorup sekitar sepertiganya (Winters J, 1999:54). Angka seperti ini dibenarkan Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo ( dalam Dr AR.Karseno ,Suara Pembaruan,4 februari 2003) namun tidak mendapat tanggapan, bahkan dianggap hanya sekedar trik politik Dengan mengutip laporan Bank Dunia dan dalam bahasa yang lain, Faisal Basri mengakui akan korupsi ini:
Laporan Bank Dunia sendiri pada bulan Oktober 1997 memperkirakan bahwa sekitar 20 – 30 persen pinjaman untuk Indonesia telah digelapkan oleh beberapa pejabat dan politisi pemerintah. Keprihatinan terus meluas karena, walaupun era Orde Baru telah berakhir, praktik penggelapan dana ini masih terus berlangsung. Bahkan, menurut laporan terakhir Bank Dunia pada tanggal 17 Desember 1998, sebagian dana gelap itu dicurigai digunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum pertama pada era sesudah kejatuhan Soeharto yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 1999. laporan terakhir tersebut menunjukkan bahwa kebocoran sangat besar dari bantuan yang diterima karena adanya praktik korupsi dalam tubuh pemerintah Indonesia. (Basri, F,2003:264)

Pernyataan-pernyataan atau angka-angka seperti ini banyak ditulis oleh para pemerhati utang, seperti Revrisond Baswir, Kwik Kian Gie, INFID, Koalisi Anti Utang dan lain-lain kalangan yang peduli dengan perkembangan utang luar negeri Indonesia
Sementara itu menurut ekonom dari Klemens, Johannes Sitanggang (Suara Pembaruan, 21 Mei 2004) kegagalan pemerintah mengelola utang luar negeri disebabkan ketidakmampuan menghitung kelayakan proyek-proyek berdasarkan parameter yang ditetapkan Organization for Economic Cooperation Development (OECD). Parameter tersebut adalah tentang kelayakan ekonomi, teknik, keuangan, social dan distribusi, serta institusi dan lingkungan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap laporan-laporan studi kelayakan penyelesaian proyek-proyek dan audit kinerja proyek dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara donor lainnya, ternyata proyek-proyek pembangunan ekonomi Indonesia yang dibiayai utang luar negeri belum mengacu pada Guidance In Preparing Aid Quality Assesments yang ditetapkan OECD.
Faktor lain yang juga membuat utang luar negeri terus membengkak adalah faktor pelarian uang ke luar negeri. Uang utang tersebut banyak yang dilarikan kenegara-negara yang dianggap aman dan juga ada yang dimasukkan dalam perusahaan-perusahaan asing yang dianggap bonafid. Untuk ini Sritua Arif memberi pendapat:
Saya sungguh terkejut, tertegun dan terharu takkala diperlihatkan hasil study yang berkaitan dengan hutang luar negeri Indonesia. Seorang ekonom muda dari Center for Policy and Implementation Studies (CPIS) menunjukkan bahwa kasus Argentina telah terjadi di Indonesia. Orang-orang yang menumpuk harta pribadi di luar negeri melalui pelarian modal dari Indonesia telah meninggalkan beban hutang luar negeri bagi nusa dan bangsa (Arif, S, 1999:114)

Karena utang luar negeri Indonesia tidak semua berbentuk hibah atau program yang relative berbungan kecil, namun juga adalah utang yang dalam kategori setengah komersil, seperti kredit ekspor, hingga yang komersil, seperti pinjaman-pinjaman swasta yang berbunga cukup besar (8 sampai 10 persen) dan jangka waktu pembayarannya yang sangat dekat (8 sampai 10 tahun) membuat utang luar negeri Indonesia terus membengkak.
Di atas itu semua yang membuat utang luar negeri Indonesia terus bertambah besar adalah faktor eksternal, yakni adanya keinginan negara-negara besar untuk mengeksploitasi hingga membangkrutkan Indonesia. Seorang eks agen CIA yang sudah pensiun dan telah bertobat menulis buku yang isinya bagaimana penguasa Amerika Serikat sejak lama sudah melakukan rencana jahat untuk membangkrutkan Indonesia (Peter Rosler Garcia, Kompas, 6 April 2005)
John Perkins, anggota CIA yang dimaksud, dalam bukunya Confessions of an economic hit man (2004), membeberkan dengan terbuka bagaimana segelintir elit Washington, dengan pengusaha-pengusaha dan para bankir merancang jerat hutang, dengan maksud menguras kekayaan negara-negara Dunia III khususnya Indonesia. Pernyataan ini diperkuat John Pilger dalam bukunya “the new ruler of the world” (dalam Kwik Kian Gie, 2004). Pilger menyatakan bahwa sekitar tahun 1967 para pengusaha-pengusaha AS telah membuat suatu rencana untuk menghabiskan sumber sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Pertemuan untuk menghabiskan SDA Indonesia ini dilakukan di Geneva. Para pesertanya adalah pengusaha-pengusaha kelas dunia, seperti David Rockefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, Americans Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporations, US Steel.
Para pengusaha ini akhirnya membagi-bagi atau mengkapling-kapling seluruh SDA yang ada di Indonesia untuk perusahaan mereka. Berdasarkan keterangan Pilger, Indonesia sesungguhnya sudah dihabisi sejak 1967 dengan tuntunan para elit Indonesia sendiri yang sedang berkuasa kala itu. Mereka (para elit tersebut) hingga saat ini masih tetap dalam panggung kekuasaan. Setiap tahun mereka berutang terus, KKN yang sudah lama menggejala tidak diberantas, malah sebaliknya dibiarkan merajalela dan berkembang dengan hebatnya (Gie Kwik Kian, 2004:32)
Pendapat-pendapat yang sama dengan pendapat demikian masih dapat ditulis sekian banyak lagi. Namun untuk kebutuhan penelitian ini, faktor-faktor demikian dianggap sudah memadai., sebab sudah bisa menunjukkan betapa bahwa hutang luar negeri terus membengkak.
 Tulisan ini selanjutnya akan diteruskan kepada beban pembangunan, yakni betapa utang luar negeri yang terus-menerus membengkak tersebut akan menghambat pembangunan, sebab dananya habis untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Lebih rincinya akan diteruskan dibawah ini.

B. Menghambat Pembangunan
            Melihat perkembangan utang luar negeri Indonesia yang terus menerus membengkak dari waktu ke waktu, sudah pasti akan mengganggu, bahkan menghambat pembangunan yang sedang dilaksanakan. Cita cita semula pembangunan untuk memakmurkan atau mensejahterakan rakyat tinggal sebatas cita-cita yang indah, yang enak di dengar, namun sukar  dipraktekkan.
Utang luar negeri yang sebelumnya diharapkan menjadi “stimulus pembangunan” tidak dapat dikelola dengan baik. Sebab sebagaimana sudah disinggung diatas utang luar negerii tersebut banyak yang disalahgunakan, banyak yang bocor, dan lain-lain penyalahgunaan, karena dikorupsi, salah pengelolaan, capital flight dan lain-lain miss manajemen. Oleh karena itu Utang luar negeri Indonesia sungguh-sungguh sudah diluar batas kewajaran, diluar batas keamanan dan cenderung sudah pada tahap kebangkrutan. Bagaimana sampai kepada pendapat demikian akan dibuktikan pada fakta-fakta dibawah ini, seperti:
·         Rasio terhadap PDB
·         Rasio terhadap DSR
·         Rasio pembayaran utang
·         Menyedot penerimaan dalam negeri.

B1.Rasio Terhadap PDB.
Yang dimaksud dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah suatu ukuran , parameter atau indikator yang menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi suatu negara untuk membayar kembali utang-utangnya dalam jangka panjang. Angka psikologis yang umumnya aman akan rasio utang terhadap PDB adalah sekitar 30% - 40% diatas itu sudah pasti tidak aman
Terpenuhinya batas aman tersebut supaya keberlangsungan anggaran pemerintah tetap terjaga. Artinya, pemerintah tetap mampu membayar beban utang-utangnya tanpa menimbulkan tambahan utang baru maupun harus mengurangi porsi anggaran untuk sektor lainnya.
Sebelum krisis moneter tahun 1997, rasio utang luar negeri pemerintah Indonesia terhadap PDB rata-rata masih berkisar di bawah 40%. Artinya masih berada dalam batas aman  Bahkan pada tahun 1996 rasio utang pemerintah mencapai 24,7%. (angka yang bagus/moderat) Selama periode 1990-1996 rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB masih berada di bawah kriteria aman yang ditetapkan Bank Dunia (Dradjad Wibowo et al, 2006:53)
Akan tetapi setelah krisis moneter 1997 terjadi peningkatan rasio yang tajam. Krisis ekonomi telah mendorong peningkatan rasio posisi utang luar negeri pemerintah terhadap PDB lebih dari dua kali lipat. Puncaknya tahun 2000 rasio ini mencapai 56,8%, tertinggi selama 30 tahun.
Dengan gambaran tersebut, terlihat posisi utang luar negeri Indonesia dalam jangka panjang ternyata sudah melampaui batas aman. Hal ini didorong oleh depresiasi tajam nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada periode krisis dan juga penambahan sejumlah utang baru dari IMF selama periode krisis. Untuk melihat lebih rinci bagaimana perkembangan rasio utang terhadap PDB dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Table IV.1
Jumlah Utang, Rasio GDP – DSR


Tahun
Hutang Pemerintah (US$ Milyar)
Hutang Swasta (US$ Milyar)
Total Hutang (US$ Milyar)
Rasio Terhadap GDP
Debt Service Rasio
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006

49,084
53,285
57,521
63,688
64,41
59,045
63,462
60,449
75,863
74,917
71,377
74,661
81,666
82,269
79,56
74,13
23,9
30,6
32
37,8
43,39
55,4
73,962
83,572
72,235
66,777
61,696
56,682
53,735
53,871

72,984
83,885
89,521
101,488
107,8
114,445
137,424
144,021
148,098
141,694
133,073
131,343
135,401
136,14
142,90
147,20
62,5
57,3
61,9
57,4
53,6
50,3
63,9
167,9
116,9
93,7
84,7
67,8
58,6
45
44
44
46
43
41
46
52
56,80
41,1
41,40
33,10
33,80
Diolah dari: Rom Toppatimasng 1999:173, Statistik Ekonomi Indonesia,2005, Business news, 2 mei 2007 dan S. Bahagijo, 2006

B2.Rasio terhadap DSR
            Rasio pembayaran utang Negara atau disebut Debt Service Ratio (DSR) merupakan rasio antara beban pembayaran utang luar negeri dengan kemampuan ekspor suatu negara. Indikator DSR mencerminkan kemampuan suatu negara untuk membayar kembali utang-utangnya dalam jangka pendek atau menunjukkan likuiditas perekonomian. Bagaimana perkembangan atau fluktuatif rasio pembayaran utang dengan DSR ini dapat dilihat dalam table IV, 1 diatas.
            Rasio ini menjadi parameter seberapa besar hasil ekspor yang harus disisihkan untuk menanggung beban pembayaran utang luar negeri baik cicilan pokok maupun bunganya.
            Sampai dengan tahun 2003, DSR utang luar negeri Indonesia masih berada pada kisaran 33,8%. Tingkat ini melampaui tingkatan yang wajar sesuai dengan kriteria Bank Dunia yang sebesar 20%. Dengan DSR diatas 30%, utang luar negeri masih menjadi beban yang berat bagi perekonomian Indonesia dan bahkan berada dalam tingkatan yang mengkhawatirkan.

B3.Rasio Pembayaran Utang
            Indikator yang juga sangat tepat untuk menggambarkan bahwa utang luar negeri Indonesia sudah tidak lagi wajar adalah rasio pembayaran utang dan penarikannya. Sejak tahun 1980 sesungguhnya pembayaran utang dibandingkan dengan penarikannya sudah sangat timpang. Pemasukan sudah lebih kecil dari pengeluaran, sebaliknya pengeluaran semakin besar, dan semakin jauh diatas angka 1. Rasio pembayaran dan penarikan pada tahun 2003 sudah mencapai 2,23 dan pada tahun 2004 sebesar 2,43, sudah lebih buruk dibanding krisis 1997/1998 sebesar 2,05.
            Rasio pembayaran utang luar negeri pemerintah dengan penarikan utang pada 2004 merupakan rasio paling buruk sejak 1969/1970. sebelumnya pada tahun 1995/1996 juga mencapai rekor terburuk, yaitu dengan rasio 2,27. Dalam artian lain, masuk 1 keluar 2,27, atau kenaikan sekitar 225%. Angka yang sungguh-sungguh tidak normal
Perbandingan antara jumlah pembayaran dengan penarikan utang luar negeri pemerintah merupakan suatu indikator penentu seberapa besar aliran dana yang masuk ke dalam negeri dengan yang keluar negeri kembali. Dengan rasio diatas 1, menunjukkan bahwa beban pembayaran utang pokok berikut bunganya jauh lebih besar dibandingkan dengan pinjaman yang diterima.
            Pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah pada tahun 1969-2003 sebesar US $ 56,52 miliar, sementara penarikan utang luar negeri pemerintah 1969-2003 hanya sebesar US $ 37,68 miliar. Kelebihan pembayaran cicilan dan bunga terhadap penarikan utang luar negeri pemerintah 1969-2003 adalah US $ 18,84 miliar atau sekitar Rp 170 triliun.
            Pemerintah Indonesia telah membayar cicilan dan bunga lebih besar dari utang luar negeri pemerintah baru, tapi anehnya stok utang justru bertambah sangat fantastis atau tidak masuk akal, yaitu dari US $ 2,24 miliar menjadi US $ 80,86 miliar. Angka ini kelihatannya akan sukar turun, sebab pada tahun 2007 pun, pemerintah masih terus memakai deficit anggaran dan untuk menutupinya kembali meminjam ke luar negeri. Menurut Paskah Suzetta sesuai dengan APBN 2007 kebutuhan pinjaman program, dibutuhkan sebesar US & 1,75 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan program 2008 masih dihitung sesuai dengan optimalisasi perhitungan penerbitan obligasi dalam negeri dan obligasi internasional (Suara Pembaruan, 20 April 2007)

B4. Menyedot Penerimaan Dalam Negeri.
            Ekses selanjutnya dari B1,2,3 adalah tersedotnya biaya yang seharusnya untuk membiayai pembangunan kepada “cicilan pokok dan bunga utang “ dan sebagai konsekwensi logisnya mengurangi porsi anggaran pembangunan. Dari tahun ke tahun, pola ini yang terus berlangsung sehingga kehidupan rakyat semakin lama semakin terpuruk, karena anggaran yang seharusnya diberikan kepada mereka, seperti anggaran pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya tidak lagi terpenuhi.
            Pada tahun 2000, sekitar 15,4% penerimaan dalam negeri pemerintah dipakai untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri setelah dikurangi dengan nilai utang yang dijadwal ulang. Pada periode 2001-2004 rasio ini mengalami kenaikan yang significan, berkisar antara 13%-20% (Wibowo, D, 2006:64)
            Pada tahun 2003 pemerintah mengalokasikan Rp 43,5 triliun untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri atau bila dihitung porsinya dari total penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), selama tahun 2001 hingga 2003 utang luar negeri Indonesia berada pada level 21%-26%, atau sekitar seperlima hingga seperempat dari penerimaan PPh dan PPN. (Wibowo, D, 2006:64)
            Pada tahun 2004, alokasi pemerintah untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri semakin besar menjadi Rp 68,8 triliun atau menyerap sekitar 31% dari porsi total penerimaan PPh dan PPN pada tahun tersebut. Ini berarti PPh dan PPN yang dibebankan kepada masyarakat sebagian besar hanya habis dipakai untuk membayar utang luar negeri pemerintah (Wibowo, D, 2006:64)
Tahun-tahun sebelumnya (sebelum tahun 2000) hal inipun sudah berlangsung, seperti pada tahun 1986 sampai 1999  porsi untuk membayar utang luar negeri sekitar 30% dari penerimaan dalam negeri. Puncaknya pada tahun 1999 hampir separoh, yakni 46,8% penerimaan dalam negeri digunakan untuk membayar utang.
Konsekwensinya, proporsi penerimaan Negara yang bisa disisihkan untuk membayar gaji pegawai, subsidi bagi penduduk miskin, subsidi BBM, pembiayaan proyek-proyek social, seperti pendidikan dan kesehatan akan semakin berkurang. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dibawah ini:
·         Cicilan dan bunga utang luar negeri     37%
·         Subsidi BBM                                        11%
·         Subsidi Otonomi Daerah                         8%
·         Subsidi Pangan dan Obat                      15%
·         Lain-lain                                                13%
Sumber : Roem Toppatimasang, 1999:173
Tidak begitu berbeda dengan perhitungan INFID tahun 2001. menurut lembaga ini, pembayaran bunga atas hutang pada tahun 2001 diperkirakan sekitar 35% dari pengeluaran pemerintah pusat. Sebagai perbandingan, pengeluaran pembangunan yang sangat dibutuhkan terhitung hanya sekitar 17,5% dari pengeluaran dalam negeri pemerintah, dan lebih dari separuh dari jumlah ini berasal dari proyek pembangunan yang didanai donor. Pengeluaran sosial juga menurun tajam, sekitar 40% secara riil dibawah pengeluaran tahun 1995/1996.

C. Ketergantungan Kepada Ekonomi-Politik Asing
Uraian-uraian diatas menunjukkan bahwa Indonesia sudah begitu tergantung kepada utang luar negeri. Keinginan-keinginan untuk menghentikan utang hanya sekedar lip service. Diutak-utik sana sini, ujung-ujungnya tetap melaksanakan deficit anggaran dan defisitnya ditutupi dengan utang luar negeri. Sinyalemen ini terlihat dari pernyataan menteri-menteri terkait bidang ekonomi, seperti Paskah Suzeta, yang sebelumnya begitu anti utang, namun pada akhirnya butuh utang. Paskah menyatakan bahwa untuk menutupi deficit APBN 2007 akan dilakukan dengan pinjaman luar negeri (Kompas, 9 April 2007). Ngutang kecenderungannya tidak lagi sekedar kebutuhan, namun sudah menjadi candu (HS.Dillon, Suara Pembaruan, 12 Februari 2002). Lebih jelasnya Dillon mengatakan:
Sudah lama utang merupakan narkoba yang paling digandrungi para pemimpin kita. Baik pemerintah maupun swasta sudah lama mempertontonkan ketagihan utang secara gila-gilaan, menghambur-hamburkannya tanpa mempedulikan segala akibatnya. Kecanduan kronis ini telah membawa perekonomian nasional ke dalam keadaan teller. Oleh beberapa kalangan secara euphemistis keadaan itu dinamakan krisis (Suara Pembaruan, 12 Februari, 2002) 

Inilah faktanya, Indonesia tetap saja utang. Tidak berlebihan bila Dillon menyatakan itu sebagai krisis. Krisis yang tidak sekedar krisis ekonomi, melainkan jauh dari itu adalah krisis sosial politik atau krisis mentalitas.
Pendapat-pendapat seperti itu, yakni yang menganggap bahwa membengkaknya utang luar negeri adalah karena faktor internal, yakni kesalahan elit-elit yang berkuasa dikemukakan beberapa pakar lain, seperti Faisal Basri, Kwik Kian Gie dan Francis Lemoine. Faisal Basri selalu mengatakan bahwa hancurnya perekonomian Indonesia, khususnya membengkaknya utang luar negeri adalah karena pengelolaan yang lebih besar pasak dari tiang oleh pelaku-pelaku Negara:
Sungguh ironis disini, karena masyarakat harus menanggung beban akibat kesalahan segelintir orang yang membuat Negara ini terperosok dalam jurang krisis ekonomi. Segelintir orang tersebut adalah penguasa rezim Orde Baru yang telah mengelola Negara ini dengan berlumuran korupsi sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil bias deni menguntungkan kroni-kroni saja (Basri, F, 2003:261)

Beban yang dimaksud Faisal Basri adalah ekses dari membengkaknya utang luar negeri yang dilakukan segelintir elit penguasa Orde Baru yang melakukan pengelolaan ekonomi/utang lebih besar pasak dari tiang, sehingga mengakibatkan kehidupan rakyat semakin terpuruk. Kwik kian Gie dengan nada yang lain, namun substansi yang sama membenarkan pendapat Faisal Basri. Kwik selalu mengatakan, biarpun bagaimana hebat dan lihainya pihak asing menggoda atau mengintervensi kita, jika kita tidak mau mereka tidak bisa berbuat apa-apa. lebih jauh Kwik mengatakan:
Siapa yang salah?. Jelas para pemimpin Indonesia sendiri, baik dimasa lampau maupun saat ini. Mengapa mereka mau menurut terus?, mengapa tidak mau bersikap dan berperilaku seperti pimpinan bangsa yang merdeka dan berdaulat?. Sedangkan Soekarno dan kawan-kawan telah memberikan kemerdekaan dan kedaulatan itu. Ini merupakan teka teki buat banyak orang, apa sebabnya?. Apakah mereka tidak mengerti tentang hal-hal yang sangat tidak adil dan sudah merusak perekonomian kita ataukah karena mereka punya kepentingan dan apa kepentingannya (Gie KK, 2004:36-37)

Francis Lemoine dengan nada yang lain, namun substansi yang sama memperkuat argumen Faisal Basri dan Kwik Kian Gie:
Tidak bisa disangkal lagi, masalah utang yang mengemuka seiring dengan krisis ekonomi Indonesia berakar dari maraknya korupsi dan praktek nepotisme sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Selama 32 tahun, sumberdaya politik dan ekonomi dikuasai oleh lingkaran elit birokrasi dan bisnis yang menggunakan praktek korupsi dan koneksi politik guna menggerogoti kekayaan Negara (Lemoine dalam Suhud, Muhammad,2003:45)

Intinya kesalahan itu adalah karena KKN oleh rezim yang berkuasa, yakni rezimnya Soeharto. Dalam artian lain, faktor yang membuat hutang itu semakin membengkak adalah faktor domestik, bukan faktor diluar itu. Dengan tidak mengurangi pendapat yang demikian penulis sebaliknya melihat pembengkakan utang itu adalah karena faktor eksternal. Faktor domestik hanyalah dampak dari kekuatan eksternal, asing yang kuat dan kaya. Kekuatan asing ini sudah lama ingin menerkam Indonesia yang letaknya strategis, iklimnya yang bagus dan kekayaan alamnya yang berlimpah sebagaimana yang sudah disinggung oleh Pilger di atas..
Demikian pula ketika Indonesia melakukan diplomasi mencari hutang diawal berkuasanya Orde Baru adalah karena peranan Amerika Serikat dan IMF (lihat bab III hal 47-48). Hutang itu diberikan setelah prasyarat-prasyarat untuk itu  diberikan Indonesia. Prasyarat-prasyarat itu antara lain adalah membuka kembali perekonomian terhadap penetrasi modal asing, dan mengintegrasikannya ke dalam sisitim ekonomi dunia, yakni, sistim kapitalis. Dengan menempatkan staf-stafnya di Departemen Keuangan, Bank Indonesia , Bappenas, IMF mulai menuntun Indonesia sesuai dengan yang mereka harapkan.
Namun sebelum sampai kepada bagaimana akhirnya IMF menjerumuskan Indonesia kepada kegagalannya terlebih dulu akan diuraikan satu peristiwa besar yang dilakukan AS untuk menggulingkan Indonesia pada tahun 1950-an sebagaimana yang ditulis George Kahin dan Audrey Kahin:
Pada 1950-an pemerintah Eisenhower menylut dan sangat mendorong timbulnya pemberontakan dan perang saudara besar-besaran di Indonesia, yang mengakibatkan Indonesia terpecah belah. Dengan tujuan mengganti dan mengubah pimpinan politiknya, pemerintahannya melancarkan suatu gerakan rahasia terbesar yang pernah dilakukan Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, yang tidak saja melibatkan         Central Intellegence Agency (CIA), tetapi juga Angkatan Laut Amerika Serikat dan Angkatan Udara rahasia Amerika Serikat. Gerakan itu tidak saja lebih besar, tetapi berlangsung relative lebih lama serta mengakibatkan korban jiwa yang lebih besar bila dibandingkan dengan kegagalan di Teluk Babi, Kuba yang terkenal itu. Namun, kalau yang terakhir itu terjadi 90 mil dari pantau Florida, dan sedikitnya secara garis besar diberitakan segera setelah terjadi, maka public dan Kongres Amerika Serikat tidak pernah mengetahui lebih dari puncak gunung es mengenai intervensi Amerika Serikat di Indonesia. Hal itu merupakan suatu gerakan rahasia yang paling dirahasiakan dalam sejarah gerakan rahasia Amerika Serikat diseberang lautan (Kahin & Kahin,1997:1)

Hal ini dilakukan karena AS sejak lama tidak dapat membujuk-bujuk Soekarno masuk kedalam orbit mereka dalam suasana perang dingin. Disisi lain dan ini yang terpenting pada era-era itupun sudah ada permintaan-permintaan AS dan IMF agar mengikuti jalan ekonomi-politik yang diterapkan di Barat. Dengan berbagai rayuan Soekarno dipengaruhi, namun tidak mempan. Dalam hal tawaran-tawaran bantuan atau utang luar negeri, Soekarno menolak dengan tegas. Penolakannya terkenal dengan istilah “go to hell your aid”. Soekarno yang sangat nasionalis sangat anti terhadap modal asing. Ia berpendapat, jika modal itu masuk dan perangkat-perangkat pendukungnya belum ada, maka modal itu akan menguasai. Begitu pula pendapatnya dengan teknologi, ia tidak anti teknologi, namun jangan sampai teknologi atau mesin itu menguasai.
Sikapnya yang sangat nasionalistik itu sudah tentu tidak disukai Barat, khususnya Amerika Serikat yang berkepentingan dengan Indonesia dalam perang dingin dan khususnya kepentingan-kepentingan terselubung ekonominya. Dengan segala cara negara besar ini melakukan penggulingan terhadap Soekarno, supaya bisa mengganti figure yang menjadi bonekanya. Kenyataan kemudian Soekarno digulingkan dari kekuasaan dan tatanan ekonomi politik Indonesia selanjutnya semakin mengorbit ke Barat.
Sebagaimana dikatakan diatas, pemerintahan Soeharto akhirnya meminta bantuan Barat, khususnya Amerika Serikat dan IMF untuk membantu pembangunan Indonesia. Dengan kata lain pembangkrutan Indonesia sesungguhnya tidak dimulai  ketika Orde Baru dibawah Soeharto berkuasa, jauh dari situ, yakni sejak akhir 1950-an sebagaimana ditulis oleh Audrey Kahin dan George McT. Kahin.
Kembali kepada peran IMF di Indonesia sebagaimana yang disebutkan diatas sejak Orde Baru berkuasa sangat besar. Mereka langsung menangani pembenahan-pembenahan melalui staf-stafnya di departemen-departemen yang terkait dengan bidang perekonomian. Meskipun pembenahan ini dominan dalam bidang ekonomi, tidak berarti
bidang-bidang lain tidak terpengaruh. Bidang-bidang lain, khususnya bidang ekonomi dengan sendirinya mengikuti pola-pola yang mendukung pembangunan ekonomi ala IMF.
Hanya saja bidang politik ini tidak langsung ditangai IMF melainkan langsung oleh elit-elit Orde Baru. Elit-elit Orde Baru sebagaimana faktanya telah merubah tatanan politik di era Soekarno 180 derajat. Bagaimana perubahan politik ini bukanlah tujuan penelitian. Yang pasti bahwa politik yang berlangsungpun sesuai dengan keinginan IMF.
IMF yang berperan dibalik layar, namun sangat besar pengaruhnya terus menancapkan kukunya dengan tajam. Mereka terus menggiring perekonomian sesuai dengan keinginan para kreditor. Kalau sebelum tahun 1980-an mereka masih memakai ideology Keynesian, yakni diizinkannya Negara intervensi, sebaliknya paska 1980-an mereka sama sekali tidak lagi mengizinkan Negara intervensi, melainkan kebebasan penuh pada pasar. Ideology baru ini dikenal dengan sebutan “neo liberal”. Suatu ideology yang lahir dari kesepakatan IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan Amerika Serikat pada tahun 1980, yang juga dikenal sebagai consensus Washington (Stiglitz J, 2003:21). Pokok-pokok pikirannya adalah:
1.      Aturan Pasar.
2.      Memotong pengeluaran Publik dalam hal Pelayanan Sosial
3.      Deregulasi
4.      Privatisasi
5.      Menghapus Konsep Barang-Barang Publik (Setiawan, Bonnie, 2001:8-9)

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di IMF, juga Bank Dunia, maka program neo liberal mengambil bentuk sebagai berikut:
·         Paket kebijakan Structural Adjustment Policy, terdiri dari (a) liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) devaluasi, (c) kebijakan moneter dan fiscal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bungan kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji
·         Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) i9ntervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai Negara; (c) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d)memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar
·         Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa Negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini (Setiawan, B, 2001:9)

Indonesia telah mengadopsi paham neo liberal sejak tahun 1980-an. Hal ini terlihat ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi., yang berujud dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983.  Puncaknya adalah ketika badai moneter menimpa Indonesia pada tahun 1997, dimana Indonesia akhirnya menyerah minta bantuan kepada IMF dan lembaga ini menerapkan SAP dalam bentuk  Structural Adjustment Loan (SAL) untuk mendapatkan pinjaman baru. Menurut Bello dengan menerima SAL maka Negara tersebut berada dalam kontrol ekonomi IMF. Tuduhan lebih keras dikemukakan Kwik Kian Gie.. Menurut beliau, dengan masuknya kembali IMF menata perekonomian Indonesia sejak krisis moneter yang diimplementasikan dengan 50 LOI (Letter of Intent) telah merusak tatanan ekonomi Indonesia. Lebih jelasnya ia mengatakan:
Dalam rangka melaksanakan programnya, entah dengan agenda busuk atau tidak, tata kelola ekonomi Indonesia dirusak dengan dahsyatnya melalui program-program yang tidak masuk akal. Pertama, melalui Letter Of Intent dari IMF sampai dengan 18 Maret 2003. keseluruhan LOI dapat dibagi sebagai berikut: 327 tindakan dalam bidang restrukturisasi perbankan yang dipaksakan, 114 dalam bidang restrukturisasi utang perbankan, 41 dalam bidang desentralisasi, 44 dalam bidang lingkungan hidup, 168 dalam bidang fiscal, 82 dalam bidang perdagangan luar negeri, 59 deregulasi dan perbankan, 131 dalam bidang pinjaman dan pemulihan asset, 105 dalam kebijakan moneter dan Bank Sentral, 26 lain-lain, dan 120 dalam bidang privatisasi BUMN (Gie, KK,2004:32)

Intervensi IMF tersebut ternyata tidak hanya dalam bidang keuangan atau ekonomi, melainkan telah melewatinya hingga kebidang-bidang lain yang sangat jauh, seperti politik, kebudayaan dan lain-lain. Berdasarkan laporan tahunan yang diberi nama Countries Strategies Reform oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank, tidak terbantahkan lagi bahwa yang memerintah bangsa Indonesia bukan pemerintah Indonesia lagi tetapi IMF (Gie,KK,2004:32).
 Argumen demikian masih dapat diuraikian lebih panjang lagi. Namun untuk penelitian atau pembuktian bahwa  Indonesia memang sejak lama telah bergantung kepada ekonomi dan politik pihak asing dianggap sudah memadai. Yang pasti ketergantungan demikian akan mendatangkan dampak-dampak turunannya yang cukup serius, seperti ; distorsi pada perekonomian nasional, munculnya pemerintahan yang tidak demokratis  dan lain-lain ekses yang akhirnya membuat Indonesia semakin terbelakang. Beberapa pakar bahkan melihatnya sudah lebih dari itu. Jared Diamond menulis bahwa Indonesia adalah Negara gagal (failure state) yang cenderung akan hilang dari peta bumi.





BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya yakni dari bab I , II, III dan IV sampailah penelitian ini kepada kesimpulan sebagai berikut:
  1. Setelah Orde Baru berkuasa dan melakukan pemerintahan di Indonesia tatanan ekonomi dan politik dirubah dengan mendasar. Kalau pada era Orde Lama orientasi pembangunannya dominan adalah politik, maka pada era Orde Baru orientasi pembangunannya adalah ekonomi. Suatu model pembangunan ekonomi dengan titik sentral (focus) “pertumbuhan” yang banyak diterapkan negara-negara sedang berkembang pasca tahun 1950-an. Dengan  pertumbuhan yang kontinyu atau terus menerus, yakni minimal 5% sebagaimana yang dipersyaratkan PBB pembangunan demikian dianggap berhasil.
  2. Untuk memenuhi model pembanguan seperti itu dibutuhkan investasi, modal dan kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak dimiliki Indonesia. Investasi ini antara lain adalah uang, barang-barang, teknologi dan tenaga akhli yang umumnya dimiliki negara-negara yang sudah maju, kaya dan kuat. Pemerintahan Orde Baru yang telah berketetapan hati melaksanakan pembangunan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan, melihat negara-negara Barat, yakni Eropa , Amerika Serikat dan Jepang sebagai sumber pinjaman. Dengan diplomasi yang intens, Negara-negara tersebut pada akhirnya memberikan pinjaman.
  3. Akan tetapi dalam perjalanannya, pola pembangunan yang mengandalkan utang luar negeri ini tidak mencapai sasarannnya. Efek tetesan atau tricle down effect yang diharapkan memeratakan hasil-hasil pembangunan tidak terjadi. Pembangunan itu hanya berhasil bagi segelintir elit dan Negara atau pihak kreditor. Hutang semakin lama bukan semakin berkurang, malah sebaliknya semakin membengkak. Adapun factor-faktor yang membuat utang terus membengkak adalah (a) karena dikorupsi (KKN), (b) salah kelola, (c) pelarian uang keluar negeri (capital flight), (d) bunga yang terlalu tinggi, dan (e) maksud-maksud jahat pihak atau Negara asing.
  4. Beban dan dampak utang luar negeri yang terus menerus membengkak itu menjadi beban bagi pembangunan, sebab dana-dana yang seharusnya digunakan untuk pos-pos pembangunan sebagaimana yang dituangkan dalam APBN semakin mengecil. Pembayaran pembayaran cicilan pokok dan bunga sudah tidak sebanding dengan pos-pos pembangunan, seperti pos kesehatan, pos pendidikan, subsidi BBM, subsidi pangan,, gaji guru dan pensiun,infra strukur ekonomi, dan lain-lain kebutuhan rakyat. Disisi lain dampak dari pola ini adalah membuat Indonesia akan terus menerus tergantung kepada kekuatan ekonomi dan politik asing, yang pada turunannya akan semakin mendistorsi perekonomian nasional, dan membuat kehidupan politik yang semakin jauh dari kedaulatan rakyat. Semua ini pada akhirnya akan membuat Indonesia semakin terbelakang.

REFERENSI

Aryoso, Arif, 1999, Saat Tepat Untuk Keluar Dari Jeratan Utang Luar Negeri,
  dalam Roem Topatimasang. Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Barnett, Richard J& Ronald E. Muller, 1974, Menguak Kekuasaan Perusahaan Tans Nasional, LP3 ES Jakarta
Djamin, Zulkarnaen, 1995, Sumber Luar Negeri Bagi Pembangunan Indonesia, UIP, Jakarta.
Duchrow, Ulrich, 1999, Mengubah Kapitalisme Dunia, BPK Jakarta.
Fisher, I,1993, The Debt Deflation Theory of Great Depresion, Econometrica, vol 1.
Gilpin, Robert, 1987, The Political Economy of International Relations, Princeton UP, New Jersey.
Hallberg, Kristin, 1989, International Debt, 1985: Origins and Issues for The Future, Ballinger, New Jersey.
Haq, Mahbub UI, 1983, The Poverty Curtain, Columbia University Press, Columbia.
Hill, Hall, 1988, Foreign Investment and Industrialization in Indonesia, Oxford University Press pte ltd, Singapore, New York.
Isaak Robert, 1995, Ekonomi Politik Internasional, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Jhamtany Hira, 1999, Krisis Hutang: Apa Yang Perlu Kita Lakukan? Dalam Roem Topatimasang.
Kahin , Audrey & Kahin, George McT, 1997, Subversif Sebagai Politik Luar Negeri, Grafiti Jakarta.
Mubyarto, 1997, Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta.
Pastor, Manuel, 1989, Current Account Defisits and Debt Accumulation in Latin America, Journal of Development Economics, vol 31.
Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man, Berret Kohler, San Fransisco, USA.
Rachbini, Didik, 2002, Ekonomi Utang, Pengukuhan Guru Besar, Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Sangmeister, Hartmut, 1993, Lessons from the Decade of Debt: Reform Policy in Latin America, Economics no 4.
Setiawan Bonnie, 2001, Menggugat Globalisasi, INFID dan IGJ, Jakarta
Setiawan Bonnie, 2000, Stop WTO, INFID, Jakarta
Sing, Kavaljit, 1998, A Citizen Guide To The Globalization of Finance, Madyam Books, New Delhi.
Siregar, Muchtarudin, 1991, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan Indonesia, FEUI, Jakarta.
Spero, JE, 1986, The Politics of International Economic Relations, St.Martin Press, New York.
Sritua, Arif dan Adi Sasono, 1987, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, UI Press, Jakarta.
Stiglitz, Joseph, 2001, Globalization and its Discontents, Penguins Books, New York.
Strahm, Rudolf, 1999, Kemiskinan Dunia Ketiga, CIDES, Jakarta.
Suhud, Muhammad, 2003, Arbitrase Utang, INFID, Jakarta
Supriyanto &Sampurna Agung, 1999, Utang Luar Negeri Indonesia,Djambatan, Jakarta
Thurow, Lester E, 1996, The Future Capitalism.
Todaro, Michael, 1997, Economics for a Developing World, Longman Group, UK, Limited.
Topatimasang, Roem, 1999, Hutang Itu Hutang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wibowo, Dradjad H, 2006, Jebakan Utang dan Solusinya. INFID-IMDR ,Jakarta.
Winter, Jeffrey, 1999, Dosa-dosa Politik Orde Baru, Djambatan, Jakarta.

Sumber Lain
Kompas, 23 Oktober 2004: Utang, Subsidi BBM & Krisis Fiskal.
Kompas, 12 Januari 2005 : Restrukturisasi Utang RI disetujui Paris Club.
Kompas, 13 Januari 2005 : Bantuan Tsunami itu tidak gratis.
Kompas, 15 Januari 2005 : Kesepakatan Paris Club Tak Sesuai Janji Kreditor.
Kompas, 20 Januari 2005 : CGI dan Utang Kita
Kompas, 31 Januari 2007
Kompas, 26 Maret 2007
Suara Pembaruan, 9 April 2007
Suara Pembaruan, 20 April 2007.    
Rakyat Merdeka, 14 Agustus 2007

3 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus
  2. Saya memiliki skor kredit yang sangat rendah sehingga upaya saya untuk meminjam dari Bank ditolak. Saya merasa bangkrut sampai-sampai saya tidak mampu membeli tiga kali sehari, dan saya benar-benar bangkrut karena nama saya identik dengan kemiskinan. saya berhutang baik dari teman-teman saya dan juga dari rentenir hidup saya di bawah ancaman saya harus melarikan diri dari rumah dan saya membawa anak-anak saya untuk bertemu ibu mertua saya karena sifat ancaman yang saya terima dari mereka yang meminjamkan saya uang Jadi saya harus mencari cara cepat dan mendesak untuk membayar kembali uang itu dan juga memulai bisnis baru usaha pertama saya sangat mengerikan karena saya ditipu sebesar Rp5.390.020,00 saya harus pindah juga dua minggu kemudian saya kehilangan Rp300.500,00 kepada pemberi pinjaman yang curang jadi saya turun secara finansial dan emosional karena ini yang paling tidak saya harapkan sehingga seorang teman saya memberi tahu saya untuk menghubungi email ini: :( iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com) bahwa saya harus meminta jumlah berapa pun berharap agar Bunda Iskandar selalu menjadi kembali untuk memberikan bantuan keuangan kepada siapa pun yang membutuhkan sehingga saya meminta untuk jumlah Rp850.000.000,00 dalam waktu 24 jam cerita saya berubah untuk selamanya saya membayar semua hutang saya dan saya juga memiliki cukup uang untuk membiayai sendiri bisnis semua terima kasih kepada teman saya yang memperkenalkan saya kepada ibu khususnya dan juga kepada Ibu Iskandar pada umumnya untuk mengubah rasa malu saya menjadi terkenal
    Atas perkenan: ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY
    Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)

    BalasHapus
  3. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus