BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pada tahun 2004 Indonesia
melakukan loncatan atau terobosan politik yang sifnifican, yakni pertama
kalinya negeri ii melakukan pemilihan umum Presiden secara langsung. Tidak lagi
seperti waktu-waktu sebelumnya, yaitu melalui Majelis Permusyawaratan rakyat
(MPR). Banyak kalangan, pihak atau masyarakat pada umumnya berharap bahwa
terobosan politik demikian akan membawa sistim politik yang demokratis sehingga
kedaulatan rakyat akan sungguh-sungguh diwujudkan sebagaimana dinegara-negara
lain yang sudah demokratis.
Dengan diwujudkannya sistim pemilihan langsung presiden,
diharapkan akan menimbulkan turunan atau derivasi demokratis selanjutnya
terhadap bidang-bidang yang lain, seperti ekonomi, hukum dan sebagainya. Dalam
bidang ekonomi misalnya banyak kalangan berharap bahwa kemakmuran dan
kesejahteraan akan segera ditingkatkan kwalitasnya, dalam bidang hukum,
ketertiban dan keadilan segera diwujudkan. Demikian pula dengan nilai-nilai
yang lain yang menjadi tujuan pemerintahan yang demokratis pada umumnya.
Akan tetapi cita-cita demikian, tinggal sebatas
cita-cita yang indah. Pemilihan presiden secara langsung yang dianggap sangat
demokratis tidak serta merta melahirkan turunan-turunan demokratisnya.
Kehidupan rakyat, khususnya kehidupan ekonominya tidak ada tanda-tanda
perbaikan. Begitu pula akan nilai-nilai keamanan, ketertiban dan keadilan
sosial. Terbukti bahwa demokrasi dalam bidang politik tidak selalu diikuti
demokrasi dalam bidang-bidang yang lain.
Bagaimana hal demikian dapat terjadi, para pakar politik
mengatakan bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia baru sebatas demokrasi
“prosedural” sebagaimana yang diteorikan oleh Schumpeter. Belum demokrasi yang
substantive sebagaimana diterapkan dinegara-negara demokratis lainnya. Dalam
demokrasi substantive terdapat korelasi antara politik, ekonomi, hukum dan
lain-lainnya. Sementara dalam demokrasi prosedural kecenderungannya. adalah
sebaliknya, yakni hampir tidak ada korelasinya.
Kehidupan politik jalan sendiri, kehidupan ekonomi jalan
sendiri, tanpa hubungan yang berarti. Politiknya semakin canggih, ekonominya
sebaliknya, yakni semakin terpuruk. Konsep ekonomi yang diinginkan rakyat tidak
terefleksikan dalam bangunan politik yang baru dipentaskan. Paradigma
pembangunan yang dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
(SBY-JK) tidak ada perbedaan dengan pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru.
Pola pembangunan yang masih bertumpu pada “pertumbuhan ekonomi”, keterkaitan
dengan rezim ekonomi internasional, investasi asing dan atau khususnya terhadap
utang luar negeri tetap diteruskan, meski sejak lama sudah dianggap gagal.
Bagaimana itu tetap berlangsung, menjadi perdebatan yang tidak habis-habisnya.
Sekian pakar, tokoh atau pemerhati-pemerhati lainnya mengeluarkan
argumen-argumennya yang tidak mungkin dibahas dalam penulisan ini
Ditengah-tengah kontroversi demikian, yakni beberapa
bulan setelah SBY-JK memimpin pemerintahan, terjadilan malapetaka nasional,
yakni terjadinya bencana Tsunami di Aceh, yakni gempa bumi yang diikuti dengan
meluapnya air laut ke daratan pada
tanggal 26 Desember 2004. Bencana ini telah menimbulkan kerusakan yang sangat
dahsyat. Bagaimana mengerikannya bencana ini telah dipublikasikan oleh media
audio visual ke seluruh dunia. Suatu bencana yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata, namun dapat dirasakan kepiluannya. Sinyalemen ini terbukti dari
simpati seluruh umat manusia di seluruh dunia yang begitu mengetahui tragedi
demikian langsung melakukan tafakur/hening sejenak dan kenderaan-kendaraan yang
sedang berjalan di banyak tempat –negara serentak berhenti sejenak.
Tidak cukup hanya
dengan simpati, hening dan berhentinya sejenak mobil-mobil di jalan, jauh yang
lebih mengesankan adalah spontanitas seluruh manusia di dunia memberikan bantuan
semampu apa yang dapat mereka berikan, baik itu secara pribadi, melalui
lembaga-lembaga, negara hingga organisasi-organisasi internasional. Bantuan ini
mengalir secepat tsunami itu sendiri. Tanpa melihat batasan-batasan primordial,
seperti etnis, agama dan kedaulatan nasional bantuan tidak henti-hentinya
mengalir. Tesis Ghandi yang mengatakan bahwa “semua manusia bersaudara”
mendapat legitimasinya di bumi Aceh dan Nias Sumatera Utara.
Beberapa negara
yang akhirnya langsung memberikan bantuannya ke Aceh tercatat Singapura,
Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat China (RRC), Jerman,
Australia, Perancis, Inggris dan atau khususnya Amerika Serikat yang membawa Kapal
Induknya, USS. Abraham Lincoln. Begitu mobil dan cekatannya heli-heli AS dan serdadu-serdadunya
yang berpangkalan di kapal induk untuk memberi bantuan tidak akan dilupakan Indonesia,
khususnya masyarakat Aceh. Sukar dibayangkan dalam keterbatasan kekuatan udara Indonesia
yang sangat minim akan seperti apa itu penanganan bencana apabila tidak dibantu
oleh heli-heli AS tersebut.
Akan tetapi yang
juga sangat menarik adalah membanjirnya bantuan-bantuan internasional yang
tidak sekedar untuk tanggap darurat, melainkan juga untuk tahap- tahap
selanjutnya, seperti tahap “rehabilitasi dan rekonstruksi” dari sekian negara
dan lembaga-lembaga donor lainnya. AS mungkin adalah yang paling menarik. Presiden
Bush telah menugaskan dua mantan presidenn untuk menangani bantuan khusus ke
Aceh, yakni George Bush sr dan Bill Clinton. Dalam kunjungannya ke Aceh tanggal
20 Februri 2005, kedua mantan presiden tersebut menyatakan bahwa mereka telah
berhasil menggalang bantuan dari masyarakat sebesar $ 400 juta dan dari
pemerintah sebesar $ 950 juta. Jumlah ini diluar yang diberikan oleh USAID,
bantuan dari angkatan perang dan rencana tambahan dari masyarakat maupun Negara
(Kompas, 21 Februari 2005). Dalam perhitungan sementara kerugian materiil
akibat tsunami diperkirakan sekitar Rp 10 juta triliun. Atas dasar kerugian ini
mungkin beberapa negara, khususnya Jerman menawarkan “moratorium” akan hutang
luar negeri Indonesia.
Moratorium dalam
pengertian harfiah adalah “penundaan
atau penjadwalan kembali” akan hutang luar negeri. Dalam sejarahnya banyak
Negara telah melakukan moratorium hingga pemutihan hutang. Jerman misalnya yang
pernah mendapat hutang dari Marshall Plan adalah satu negara yang tidak hanya
melakukan moratorium, namun juga hutangnya pernah diputihkan. Begitu pula
beberapa negara lain Apakah Indonesia
akan mendapatkan moratorium seperti itu? Kepastian belum ada. DPR (legislative)
menyarankan agar saran moratorium itu direspons, pemerintah (eksekutif)
sebaliknya, yakni kurang atau bahkan tidak merespons sama sekali. Demikian pula
pendapat para donor belum menunjukan kepaduan.
Sejalan dengan
perkembangan ekonomi-politik selanjutnya, masalah moratorium ini bergerak
secara alamiah, yakni tanpa terobosan sama sekali. Beberapa pihak memang pada
akhirnya memberikan moratorium selama 1 tahun. Terobosan sesungguhnya sangat
dibutuhkan saat itu, apalagi Jerman sudah bersuara tidak hanya sekedar
moratorium, namun juga pemutihan (hair cut) utang luar negeri yang dirasakan
sudah begitu berat. Jerman sebagaimana beberapa negara lainnya memang pernah
melakukan hal seperti itu, yakni sebagian , kalau bukan sebagian besar utangnya
yang berasal dari Marshall Plan diputihkan. Ajakan Jerman inipun tidak
ditanggapi dengan seksama, ibarat angin hilang begitu saja ditelan waktu.
Setelah reshuffle
kabinet berlangsung, dimana ada pergantian dan mutasi menteri di bidang perkonomian,
yakni Budiono menjadi Menko Perekonomian, Sri Mulyani Indrawati menjadi menteri
keuangan, yang sebelumnya menteri perencanaan pembangunan nasional/Ketua
Bappenas, dan Paskah Suzetta menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas, kembali muncul isu utang luar negeri. Issu ini adalah
keinginan Paskah Suzetta untuk memanage kembali posisi , status dan eksistensi utang
luar negeri. Lebih kongkritnya Paskah tidak menutup diri untuk pemutihan hutang
yang sudah membebani ini.
Pendapat Paskah ini
secara refleks ditanggapi oleh Budiono, yang mengatakan tidak perlu pemutihan utang
luar negeri, dengan alasan akan mempengaruhi peringkat utang Indonesia, sehingga akan mengganggu investor dan
lain-lain yang berhubungan dengan perekonomian global yang nantinya akan
mempengaruhi investasi ke Indonesia.
Sejauh mana
pertempuran pendapat antara menteri yang membidangi ekonomi tentang kontroversi
utang luar negeri, belum ada kepaduan. Masing-masing bertahan pada pendapatnya.
Tidak ada upaya yang serius atau ikhtiar mencari penyelesaian secara radikal,
mengakar atau tuntas. Sebagaimana yang sudah dilakukan Orde Baru, yakni meski
banyak kritikan-kritikan yang tajam, pemerintahan SBY-JK kelihatannya akan
menempuh hal yang sama, yakni silahkan memberi kritikan kafilah jalan terus.
Pemerintahan SBY-JK kecenderungannya sebagaimana
pendahulu-pendahulunya tidak mau merubah pola ekonomi-politik yang sudah
ditempuh sejak Orde Baru dicanangkan, yakni pola ekonomi politik yang sangat
terbuka kepada dunia luar, kepada investasi asing dan kepentingan-kepentingan
asing lainnya. Mereka sekedar meneruskan pola-pola tersebut, tidak ada kemauan
untuk berdiri diatas kaki sendiri sebagaimana dahulu ditempuh pemerintahan
Soekarno.
Bila seperti itu kebijakannya sudah pasti Indonesia
akan terus tergantung kepada kekuatan-kekuatan asing, tidak akan pernah mandiri
mengurusi negerinya sendiri. Sinyalemen seperti ini dapat dilihat setelah
bencana tsunami masih dalam tahap tanggap darurat dan rehabilitasi, yakni awal tahun 2005, Indonesia
menaikkan harga BBM karena kenaikan harga minyak dunia. Beberapa bulan
kemudian, masih dalam tahun yang sama, BBM kembali dinaikkan. Dalam satu tahun,
dua kali dinaikkan.
Banyak pakar, khususnya pakar yang tidak sejalan dengan
kebijakan pemerintah, melihat kebijakan menaikkan BBM dua kali dalam setahun
sebagai kebijakan yang sangat pro terhadap kepentingn asing, khususnya terhadap
tuntutan Washington (Consensus Washington)
dengan tiga pilar utamanya, yaitu deregulasi, privatisasi dan liberalisasi.
Dalam artian lain konsep ekonomi politik seperti itu
dikenal dengan sebutan “neo liberal”. Negara tidak boleh mencampuri urusan
ekonomi, tidak boleh melakukan proteksi atau diskrimnasi, harus seluruhnya
diserahkan ke swasta dan harus membuka pasar seluas-luasnya terhadap setiap negara
(pasar bebas).
Kenaikan BBM meski menuai kritik yang tajam dan UU Migas
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintahan SBY-JK terus melenggang
mengikuti harga minyak internasional yang dipatok di New York. Banyak kalangan, termasuk penulis
berpendapat bahwa Indonesia
tidak perlu menaikkan harga BBM. Selain itu melanggar UU Migas, juga masih ada
alternative lain. Alternative ini salah satunya adalah mengkaji ulang kembali
keberadaan utang luar negeri, sebab pembayaran cicilan dan bunganya yang
berlangsung selama ini sudah sangat besar. Mengapa Indonesia tidak meniru
negara-negara lain yang berhasil memutihkan utangnya? Mengapa diplomasi untuk
itu tidak digalang dengan serius?. Tidakkah bila hal itu dilaksanakan akan
dapat mengurangi beban pembangunan yang sudah sangat mencekik? Dan sekian
pertanyaan lain.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas
sesungguhnya telah terlihat akan masalah yang akan diteliti. Namun karena
masalah yang akan dibahas itu terlalu umum dan terlalu luas maka perlu
dibatasi. Oleh karena itu yang menjadi fokus masalah adalah “Sejauh Mana dan
Bagaimana Beban dan Dampak Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Indonesia?”
sedangkan sub-sub masalah yang akan dibahas adalah : (a) apa yang dimaksud
dengan utang luar negeri?, arti, substansi, hakiki dan perkembangannya. (b)
idem dengan a, yakni “pembangunan” , arti, sejarah, substansi, hakiki dan
perkembangannya.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah “untuk mengetahui sejauh mana dan bagaimana beban dan dampak utang luar
negeri bagi pembangunan nasional Indonesia.”
TINJAUAN PUSTAKA/LANDASAN
TEORI
Dalam Ilmu Ekonomi
Politik Internasional dikenal beberapa perspektif. Menurut Robert Gilpin (Gilpin R. 1995:45) perspektif ini ada tiga
yakni : merkantilis (realis), liberal dan radical. Oleh Mohtar Masoed (Masoed,
1995;3) perspektif ini ditambah satu lagi yakni “reformis”. Dalam artian lain
perspektif reformis dikenal juga sebagai pendekatan dari mereka-mereka yang
mencanangkan Tata Ekonomi Internasional Baru. Untuk lebih jelas dan rincinya
akan diuraikan bagaimana tanggapan masing-masing perspektif ini terhadap hutang
luar negeri.
Menurut perspektif
merkantilis (realis) hutang luar negeri menjadi suatu bentuk perang politik
yang dilakukan dengan sarana-sarana selain sarana politik (power/kekuasaan),
melainkan juga kebudayaan, teknologi, iptek dan atau khisusnya ekonomi. Bagi
penganut perspektif merkantilis keamanan nasional suatu Negara dan
sekutu-sekutunya menjadi kriteria dalam pemberian hutang (Isaak, R, 1995:276)
Menurut perspektif;
liberal, utang luar negeri adalah upaya atau ikhtiar melakukan pembangunan.
Perspektif yang muncul sebagai alternative dari pertemuan Bretton Woods tahun
1944 ini menyatakan bahwa lalu lintas barang, devisa, perdagangan dan lain-lain
yang berhubungan dengan ekonomi harus dibiarkan bebas. Dengan kata lain
liberal. Perspektif ini menjelma pertama kali dalam program Marshall yang dilakukan AS untuk membantu
Negara-negara Eropa Barat dan Jepang untuk membenahi keporak-porakporandaannya
dari kehancuran PD II. Konstatasi ini selanjutnya menjadi paradigma PBB dalam
tahun Pembangunannya pada tahun 1950-an. Tidak hanya disitu paradigma ini
(meskipun dipaksakan?) akhirnya menjadi paradigma dunia hingga saat ini.
Setelah perspektif
liberal menunjukkan kelemahan-kelemahannya, yakni bahwa hutang luar negeri yang
diteorikan kaum liberal akan membuat kemajuan, kemakmuran bagi Negara peminjam
jauh dari harapan, muncullah paradigma “radical”, paradigma ini menyatakan
bahwa hutang luar negeri merupakan suatu alat bagi imperialisme dan kontrol
sosial , yang ditujukan untuk menghancurkan kebebasan Negara-negara sedang
berkembang (Isaak,R, 1995:278). Dengan bahasa yang lain, namun substansi dan
hakiki yang sama John Edelman Spero (1986) membenarkan pendapat demikian.
Perspektif ini menjadi perspektif dominan dalam mengevaluasi atau lebih jauh
untuk melawan perspektif liberal di seluruh dunia. Pandangan-pandangan kaum ini
telah banyak dipublikasikan.
Dalam Ilmu atau
Teori Hubungan Internasional perspektif radical yang didasari oleh teorinya
Karl Marx dikenal dengan “Dependensia”atau “ketergantungan”. Sebagaimana setiap
paradigma, paradigma ini mempunyai asumsi pokok sebagai berikut. Asumsi pertama
adalah bahwa aktor dominan dalam ekonomi politik adalah kelas trans nasional.
Asumsi kedua, bahwa dalam kelas trans nasional tersebut bertindak berdasar
kepentingan materiil mereka. Asumsi ketiga, dalam mengejar kepentingannya kelas
trans nsaional melakukan eksploitasi dan penetrasi terhadap kelas yang
dihadapinya. Penetrasi ini selanjutnya akan menimbulkan ketergantungan
eksternal yang menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam struktur
ekonomi pinggiran, yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat
dan akhirnya mendorong timbulnya penindasn Negara terhadap rakyat di masyarakat
yang tergantung tersebut.
Paradigma Dependesia
sudah begitu umum. Hampir semua kalangan yang mengamati masalah hutang luar
negeri, membenarkan tesisnya. Penulis sendiri adalah pengikut sekaligus pengagum
paradigma ini. Agak berbeda dengan paradigma Dependensia ditulis ole Rudolf
H.Strahm (1999:80) dengan teori spiralnya.
Menurut Strahm
sebab utama utang Negara-negara dunia III adalah “politik Negara industri” yang
menjual produk ekspornya dengan kredit yang diobral ke Negara-negara tersebut.
Politik ini dilakukan untuk mengatasi over produksi dari industri-industrinya.
Motto atau paradigma mereka adalah “beli sekarang bayar belakangan” (hari ini
utang besok bayar). Produk-produk yang umumnya adalah hasil Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi yang selain harganya sudah sangat mahal (karena tidak jarang
telah digelembungkan), juga adalah bahwa produk-produk demikian sering sudah
kadaluarsa.
Ekonomi Politik
yang seperti itu selanjutnya membawa dampak yang sangat serius pada
Negara-negara dunia III. Dengan sistematis Negara-negara dunia III digiring
Negara-negara maju terperangkap ke dalam jebakan “katastrofi”
(bencana/tragedy). Bunga dan cicilan hutang yang harus dibayar ke Negara-negara
kreditor tidak sebanding
dengan hasil yang didapat. Dalam bahasa ekonomi dapat disebutkan
bahwa pengeluaran selalu lebih besar dari pemasukan (biaya impor lebih besar
dari biaya ekspor). Untuk lebih singkat dan jelasnya proses demikian akan
diuraikan akan diuraikan dalam skema dibawah ini.
|
Skema yang
memberikan urutan-urutan dengan muaranya adalah “keterbelakangan”, menunjukkan
bahwa masalah hutang pada akhirnya tidak saja membebani atau berdampak terhadap
kehidupan ekonomi dan politik, melainkan juaga telah sampai kepada hal yang
lebih luas, yakni masalah cultural dan peradaban. Gunar Myrdall memperkuat
argument ini yang melihat hutang luar negeri secara “moral” tidak dapat
dibenarkan (dalam Isaak R, 1995))
Agak berbeda sedikit
dengan Rudolf Strahm, Ulrich Duchrow (1999) dan mungkin lebih spesifik atau
justru derivasi dari teorinya Strahm menengarai akan peran “ekonomi-politik
moneter”. Menurut Duchrow, tatanan moneter internasional dewasa ini telah
memaksa, memangsa, menggurita Negara-negara atau bangsa-bangsa di luar
Negara-negara maju, kaya dan kuat, yakni Negara-negara yang lemah, miskin dan
terbelakang. Lebih seksama Duchrow mengatakan:
Pemilik asset keuangan dan agen-agen merek, bank-bank, tidak bisa
mendapatkan cukup kesempatan yang menguntungkan untuk investasi dinegara-negara
industri. Maka sebagian dari asset ini mencari peluang yang cocok di pasar
keuangan transnasional. Pada satu sisi (sisi lain akan ada hubungannya dengan
spekulasi di bidang keuangan) bank menemukan kelas penguasa dinegara-negara
berkembang, yang mencari pinjaman dengan tujuan tidak hanya untuk
“memodernisasi” negaranya (seperti industrialisasi di Fordis), tetapi juga agar
mereka sendiri dapat memperoleh keuntungan dari barang-barang konsumen yang
diproduksi besar-besaran, termasuk persenjataan. Bunga yang harus dibayarkan
pada pemilik asset keuangan adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal
ditentukan oleh pasar kredit global. Pembayaran bunga pada pasar kredit global.
Pembayaran bunga pada pasar uang global memaksa semua bangsa di dunia
menyesuaikan diri pada satu sistem yang sama (Duchrow U,1999:82).
Istilah “spekulasi” menjadi satu varian utama dalam
tatanan moneter yang defenisinya belum ada yang baku. Spekulasi adalah salah satu konsep yang
samar namun nyata yang banyak dipakai pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan
dengan jalan yang umumnya tidak etis. Soros sering disebut-sebut sebagai orang
yang paling lihai dalam hal ini (Kompas 15 Januari 2006). Ia sering dituduh
sebagai pengguncang keuangan internasional. Keguncangan-keguncangan moneter
seperti di inggris, Asia dan atau khususnya di Indonesia, nama Soros menjadi acuan
utama. Sebagai pendapat pembanding untuk memperkuat sinyalemen seperti itu
dibawah ini akan diutarakan pendapat pemenang nobel ekonomi 2001, Stiglitz:
Bank-bank barat mendapatkan keuntungan dari melemahnya kontrol pasar
modal di Amerika Latin dan Asia, tetapi wilayah-wilayah tersebut menderita
ketika arus masuk uang panas spekulatif (uang yang masuk dan keluar dari suatu
Negara seringkali dalam waktu semalam, biasanya untuk bertaruh apakah suatu
mata uang akan terapresiasi atau terdepriasi) yang membanjiri negara-negara
tiba-tiba berbalik arah. Keluarnya uang secara tiba-tiba mengakibatkan
terpuruknya uang local dan melemahakan sistem perbankan (Stiglitz, 2003:8)
Selain Ulrich Duchrow, yang melihat sinyalemen demikian
adalah Alvater. Alvater melihat betapa tatanan keuangan itu akhirnya
membelunggu sistem-sistem sosial, politik dan kebudayaan bangsa dan
Negara-negara lain yang memakai pola itu. Lebih jelasnya Alvater mengatakan:
Berbagai tingkatan ekonomi di seluruh dunia, keanekaragaman metode
produksi dan gaya hidup di pelbagai daerah di dunia, dan sikap terhadap waktu
dalam berbagai jenis masyarakat, semuanya tunduk dalam batasan yang sama
“pembatasan anggaran moneter yang ketat” yang menuntut dan menekankan suatu
moneter khusus dan efisiensi ekonomi konkrit (yang secara sederhana adalah
sesuatu yang menguntungkan bagi investasi modal), bersama dengan sistematisasi
dengan kreasi – sama dengan batasan anggaran yang sulit - dari lembaga-lembaga
sosial (Alvater, 1992:170)
Cara berpikir demikian yakni khususnya pendekatan yang
digunakan oleh Rudof Strahm dan Ulrich Duchrow akan digunakan dalam penelitian
ini.
Metode Penelitian
Penelitian ini dapat diklarifikasikan
ke dalam penelitian “deskriptik – analitik”.
Cara atau metode yang digunakan adalah (1) studi literature, (2) jika
mengijinkan akan melakukan wawancara dengan beberapa pakar atau tokoh yang
mempunyai kompetensi mengenai utang luar negeri . Data-data yang didapat dari
cara atau metode penelitian ini akan dipilah-pilah sesuai dengan “masalah
penelitian”. Setelah itu akan digunakan dalam “pembahasan” sesuai dengan
tuntunan “teori” atau tinjauan pustaka” yang digunakan.
Sistematika Laporan Penulisan
Setelah selesai melakukan
penelitian sebagaimana tuntunan yang tertera dalam project proposal, penelitian
ini direncanakan akan menempuh pelaporan penulisan sebagai berikut:
Pertama (bab 1) Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
fokus masalah, tujuan, faedah, dan kerangka teori/metodologi.
Kedua (bab 2) Penguraian Variabel penelitian 1, yakni arti,
substansi, hakiki, dan perkembangan hutang luar negeri Indonesia.
Ketiga (bab 3) Penguraian Variabel 2, yakni arti, sejarah, fungsi
dan pernik-pernik pembangunan Indonesia.
Keempat (bab 4) Pembahasan fokus masalah, yakni sejauh mana beban
dan dampak hutang luar negeri bagi pembangunan Indonesia.
Kelima (bab 5) Kesimpulan
BAB II
CIRI, SIFAT DAN KARAKTERISTIK
PEMBANGUNAN INDONESIA
Diskursus atau wacana tentang kosakata, istilah, konsep
atau hal-hal lain yang berhubungan dengan “pembangunan” tidak pernah lepas dari
kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap saat masyarakat selalu mewacanakannya.
Tiada hari tanpa pembicaraan pembangunan. Dari mulai bangun sampai tidur
seluruh masyarakat terus memperbincangkannya, sebab pembangunan adalah predikat
yang langsung menyentuh kehidupannya. Namun apabila ditanyakan apa sebenarnya
yang dimaksud dengan pembangunan, apa sasaran, hakikat dan tujuannya, bagaimana
bentuknya, mengapa ia dibutuhkan, bagaimana sejarah perkembangannyanya dan
sekian pertanyaan lagi yang menyangkut pembangunan sudah pasti tidak akan mendapatkan
jawaban yang memuaskan semua pihak. Masing-masing pihak atau kalangan akan
mengeluarkan pendapatnya, dimana antara pendapat yang satu dan yang lain tidak
jarang saling bertolak belakang. Penelitian ini akan mencoba menelusuri hal-hal
demikian menurut teori-teori tertentu yang akan dideskripsikan dalam sub-sub
bab sebagai berikut. Yakni Sub bab a tentang “arti, sasaran, hakikat dan tujuan
pembangunan”, sub bab b sejarah dan konsep-konsep pembangunan”, dan sub bab c
ciri-ciri atau karakteristik pembangunan Indonesia.
A.Arti dan Tujuan
Pembangunan
Michael P.Todaro (1983) seorang pakar ekonomi
pembangunan Dunia lll dalam bukunya yang terkenal, yakni “Pembanguna Ekonomi di
Dunia III” sebagaimana penulis kenamaan pada umumnya tidak langsung memberikan
definisi pembangunan. Dua bab sebelum sampai dalam pemberian pengertian atau
suatu definisi pembangunan., Todaro terlebih dahulu memberikan berbagai
ilustrasi-ilustrasi yang cukup panjang, rumit dan cenderung berat. Ilustrasi-ilustrasi
ini adalah persfektif dunia tentang
kelembagaan, ekonomi dan pembangunan, pada bab satu. Berbagai struktur dan
karakteristik umum Negara-negara sedang berkembang, pada bab dua. Baru pada bab
tiga, Todaro memberikan definisi, itupun dalam bentuk pertanyaan.
Metode ini mungkin ditempuh betapa pengertian atau
definisi pembangunan itu tidak sederhana dan cukup abstrak. Tidak sebagaimana pengertian-pengertian
atau konsep-konsep lain . seperti ilmu eksak yang umumnya sedrhana dan kongkrit.
Meminjam pendapatnya Prof Mulyarto (1995) pengertian atau definisi pembangunan
bukanlah konsep yang netral, bukanlah konsep yang bebas nilai. Pembangunan adalah
suatu konsep yang sarat nilai atau value loaded. Artinya pembangunan terkait
dengan apa yang dianggap baik dan buruk menurut pengalaman sejarah suatu
bangsa. Dengan demikian, konsep pembangunan bersifat culture specific, yakni
dapat didefinisikan secara berbeda oleh dua Negara yang lingkungannya berbeda.
Disisi lain pembangunan juga bersifat time specific, yakni dalam suatu Negara
pun pembangunan dapat didefinisikan secara berbeda.
Akan tetapi meskipun tidak mungkin mendefinisikan
pembangunan dengan memuaskan semua pihak, untuk kepentingan penelitian ini akan
didekati dengan beberapa konsep atau persfektif yang dianggap paling netral dan
mungkin bebas nilai. Pendefinisian pertama akan diambil dari pendapat Prof Saul
M Katz. Kedua dari Michael P.Todaro.. Menurut Saul M.Katz pembangunan adalah:
Pergeseran dari satu kondisi nasional yang satu menuju ke kondisi
nasional yang lain, yang dipandang lebih baik, tetapi apa yang disebut lebih
baik/lebih berharga, berbeda dari satu Negara ke Negara lain atau dari satu
period eke periode lain (Katz dalam Tjokrowinoto, 1995:8)
Menurut Michael P.Todaro:
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang menyangkut
reorganisasi dan reorientasi sistim ekonomi dan sistem sosial sebagai
keseluruhan. Disamping peningkatan pendapatan dan out put, pembangunan
menyangkut pula perubahan radikal struktur kelembagaan, struktur sosial serta
struktur administrasi serta perubahan sikap, adat kebiasaan serta kepercayaan.
Definisi demikian memberikan pengertian bahwa
pembangunan itu adalah ikhtiar, reorganisasi, reorientasi atau upaya untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih sejahtera dari
kehidupan-kehidupan sebelumnya.
Akan tetapi sebagaimana
dalam setiap “kebijakan” selalu ada yang diprioritaskan. Tidak mungkin semua
dilakukan secara simultan. Dalam konteks pembangunan ini yang menjadi skala
prioritas atau yang lebih didahulukan adalah “bidang ekonomi”, sebab bidang ini
adalah dimensi yang paling mendasar dari
setiap pembangunan, sebab menyangkut kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan. Bersamaan dengan dilakukannya pengentasan terhadap
ketiga penyakit masyarakat ini selanjutnya dilakukan perombakan dalam
bidang-bidang yang lain, yakni struktur
kelembagaan, struktur sosial, politik, administrasi hingga kebidang yang lebih
luas yakni perombakan dalam sikap, adat/tradisi/kebudayaan hingga kepercayaan.
Singkatnya pembangunan, membangun semua sendi-sendi kehidupan secara
sistimatis, logis dan objektif.
Definisi atau Pengertian demikian dikemukakan mengingat
ada pihak-pihak atau kalangan tertentu yang mengertikan pembangunan secara
sempit, tidak menyeluruh, tidak konseptual atau tidak komprehensif. Pengertian
pembangunan diartikan sepotong-sepotong sesuai kepentingannya, yang mana pada
akhirnya justru bermuara pada “anti pembangunan” itu sendiri sebagaimana yang
dititahkan oleh PBB pada tahun 1950-an.
PBB pada tahun itu mendefinisikan pembangunan hanya
sebatas “pertumbuhan ekonomi” bukan dalam arti holistik. Bila pertumbuhan telah
mencapai angka 5% maka pembangunan itu dianggap berhasil. Kenyataannya banyak negara
yang mencapai atau bahkan melebihi angka tersebut, namun tidak menggambarkan
yang sesungguhnya. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan bukannya semakin
berkurang. Malah sebaliknya yang terjadi yakni semakin membesar.
Dari uraian
tersebut jelas dan terbukti bahwa pembangunan yang hanya mengutamakan
pertumbuhan adalah penyimpangan atau kesesatan. Bagaimana ekses negative dari
pola ini telah banyak diulas para pakar di seluruh dunia. Salah satunya adalah
Mahbub Ul Haq, seorang ekonom yang pada mulanya sangat yakin dengan “filsafat
pertumbuhan”, namun setelah melihat prakteknya tidak seperti yang diharapkan, beliau
akhirnya berubah arah.
Bagaimana akhirnya
Mahbub Ul Haq melihat betapa pola pertumbuhan yang dipraktekkan di negerinya, Pakistan
membuat kehidupan ekonomi semakin suram, timpang yang membuat kehidupan
mayoritas masyarakat semakin sengsara dapat dibaca dibawah ini:
Saya peringatkan negeri saya terhadap gejala makin terpusatnya
kekayaan dan pendapatan industri tergenggam dalam tangan hanya 2 2 kelompok
keluarga. Saya kemukakan betapa kelompok keluarga ini menguasai sekitar 2/3
kekayaan perindustrian, 80% bidang perbankan, dan 70% bidang asuransi di
Pakistan. Saya tekankan pula akibat politik dan akibat social yang terkandung
dalam pola pembangunan semacam ini, pola yang selama dasawarsa sebelumnya
mengakibatkan bertambah lebarnya jurang perbedaan pendapatan perkepala antara
Pakistan Timur dan Pakistan Barat, dan yang mengakibatkan turunnya upah nyata
pekerja industri, yang terpusat di beberapa kota besar, sebesar 1/3. Jelas
sekali, bagian terbesar rakyat banyak tidak tersentuh sama sekali oleh
kekuatan-kekuatan pembawa perubahan ekonomi, karena pembangunan ekonomi timpang
dan menguntungkan segelintir orang saja (Haq MU, 1983:16)
Pendapat Mahbub Ul Haq ini meskipun dalam kasus Pakistan
adalah cerminan umum dari seluruh negara-negara dunia ketiga yang melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan focus pertumbuhan. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
yang seharusnya pertama-tama dihilangkan, malah sebaliknya semakin membesar,
semakin tidak terkendali yang melahirkan ekses-ekses yang lebih buruk
. Oleh karena itulah pembangunan yang titik sentralnya
pertumbuhan ini akhirnya dikoreksi. Berbagai pakar mengeluarkan pendapat betapa
pembangunan yang hanya berdasarkan kwantitas itu itu sangat jauh dari harapan
atau kenyataan. Salah satu pakar yang paling menolak model pembanguan seperti
itu adalah Dudley Seers. Beliau tidak henti-hentinya menyatakan bahwa Pembangunan
akan berhasil hanya apabila kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan dapat
dihilangkan.
Salah satu atau apalagi dua-duanya dari penyakit ini
tidak bisa diberantas maka pembangunan gagal. Lebih jelasnya Prof Dr Dudley
Seers menyatakan:
Oleh karena itu persoalan-persoalan yang perlu ditanyakan mengenai
pembangunan suatu Negara itu ialah, apa yang telah dilakukan terhadap
kemiskinan?. Apa yang telah dilakukan terhadap pengangguran?. Apa yang telah
dilakukan dengan ketimpangan?. Jika ketiga pertanyaan ini memberikan jawaban
yang positif, dengan kata lain, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan itu
ada tanda-tanda menurun, maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan itu sudah
berjalan dinegara yang bersangkutan. Jika satu atau dua dari problema sentral
ini semakin jelek, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka agak aneh untuk
mengatakan pembangunan itu berhasil, kendatipun pendapatan perkapita meningkat
dua kali (dalam Todaro,1983:123)
Bukan angka pertumbuhan sebagaimana yang disarankan oleh
PBB, sebab angka pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pendapatan perkapita
tidak menggambarkan kemajuan yang sesungguhnya. Disisi lain angka pertumbuhan
itu adalah upaya mengejar yang palsu. Bagaimana mungkin suatu Negara yang baru
membangun dengan angka pertumbuhan 5% dapat mengejar kemajuan negara yang sudah
maju dengan angka pertumbuhan yang juga sama-sama 5%.
Pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan semata
sebagaimana yang disarankan PBB tidak akan menjawab nilai-nilai hakiki dari
pembangunan itu sendiri, yakni:
1.
kebutuhan hidup
2.
harga diri dan
3.
kebebasan (Goulet dalam Todaro,
1983:125)
Sebab hanya melakukan sebagian kecil saja dari ketiga nilai itu Oleh
karena itu agar pembangunan tersebut berjalan sesuai dengan yang sebenarnya,
maka yang seharusnya menjadi sasaran pembangunan adalah:
- meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan
- mengangkat taraf hidup, termasuk menambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan manusiawi, semuanya itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata-mata, tetapi juga untuk mengangkat kesadaran akan harga diri, baik individual maupun nasional
- memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individual dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap-sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya dalam hubungannya dengan orang lain dan Negara-negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan manusia.(Todaro, 1983:128)
Indonesia
yang melakukan pembangunan, khususnya sejak Orde Baru dicanangkan telah
mengadopsi nilai-nilai demikian dalam blue print pembangunannya. Hal ini dapat
dilihat dalam pengertian , maksud, tujuan pembangunan yang tertulis dalam
GBHN/Pelita. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan
rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh
kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengertian pembangunan dalam definisi
tersebut adalah “rangkaian upaya”. Rangkaian upaya yang seperti apa? adalah
pertanyaan yang kemudian mengemuka mengingat definisi itu sangat umum dan
mempunyai interpretasi yang banyak. Ibarat suatu tujuan, jalan dan kenderaan
yang akan digunakan mencapai tujuan tersebut dapat berbagai jenis. Untuk
mengetahui jalan atau kenderaan yang digunakan Indonesia mencapai tujuan
bernegaranya akan ditulis dibawah ini.
B. Model-Model
Pembangunan.
Model-model
pembangunan yang ada di dunia cukup beragam. Namun kalau ditilik dengan seksama
sesungguhnya model itu hanya dua jenis, yang lain adalah turunan-turunan dari
kedua model tersebut. Kedua model ini adalah pembangunan yang didasarkan kepada
ideologi liberal dan ideologi sosialis. Pembangunan yang didasarkan kepada
ideology liberal dikenal dengan sebutan paradigma pertumbuhan. Pembangunan yang
didasarkan kepada ideology sosialis dengan paradigma dependensi.. berbagai
paradigma ini akan dideskripsikan secara singkat berdasarkan tulisannya Prof Dr
Muljarto Tjokrowinoto (1995)
B1.Model Pertumbuhan.
Model ini memandang
tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit,
yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang
lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan
peningkatan GNP pertahun pada angka lima
sampai tujuh persen atau lebih. PBB dalam decade Pembangunan Pertama
91960-1970) memandang pembangunan dalam arti pencapaian angka pertumbuhan per
tahun GNP 6%
Guna mencapai angka
pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti itu, maka pemilihan struktur produksi
dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan
manufaktur, serta mengurangi porsi sektor pertanian secara berimbang,
barangkali tidak dapat dihindari. Karena itu proses pembangunan, terpusat pada
produksi, sedangkan penghapusan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
menduduki urutan kepentingan kedua terutama dicapai melalui “tricle down
effect”
Model ini juga
mengasumsikan bahwa angka pertumbuhan suatu Negara terutama tergantung pada
tingkat investasi tertentu. Hal ini direalisir melalui peningkatan tabungan
dalam negeri, investasi swasta asing dan atau bantuan asing. Adalah tanggung
jawab pokok pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang akan
memungkinkan negeri tersebut meraih
titik kritis tingkat investasi guna mendorong tinggal landas, serta untuk
melampaui tahap-tahap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Karena itu peranan
pemerintah sejak semula bersifat entrepreneurial
Diperlukan beberapa waktu sebelum pembuat kebijaksanaan menyadari
bahwa pembangunan ekonomi seperti itu semata-mata akan gagal meningkatkan
kesejahteraan rakyat, kecuali sebagian kecil penduduk. Pada masa lalu,
pertumbuhan telah memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, asset dan
kekuasaan yang menyebabkan tidak dimungkinkannya penyebaran
keuntungan-keuntungan yang diperoleh, baik secara ekonomi maupun politis. Suatu
studi komprehensif antara bangsa yang meliputi 74 negara menunjukkan bahwa
kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relative
pendapatan nasional yang diterima oleh bagian penduduk termiskin. Hasil
penelitian para ahli lainnya juga menunjukkan konklusi yang sama, demikian pula
dalam cakupan ketimpangan secara global.
B2.Model Kebutuhan Dasar.
Model pembangunan nasional kebutuhan dasar atau
kesejahteraan muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan
nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan diri pada
bagian penduduk yang miskin dinegara-negara berkembang, dan menandaskan bahwa
masalah kemiskinan dinegara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya
bukanlah merupakan kemubaziran ekonomi perse, akan tetapi masalah kemiskinan
tadi pada hakekatnya merupakan pengalaman kerja keras dan tidak produktif
selama berjam-jam dalam rangka membiayai kehidupan subsistensi dan marjinal
mereka. Jadi problem utamanya adalah mengupayakan peningkatan kualitas kerja
mereka lebih daripada kuantitas kerja mereka. Model pembangunan nasional yang
berorientasi kebutuhan dasar atau kesejahteraan, mencoba memecahkan masalah
kemiskinan melalui mekanisme “tricle down effect”
Pada dasarnya model ini merupakan suatu program
kesejahteraan atau bantuan bagi orang yang sangat miskin melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, yang mencakup tidak hanya kesempatan memperoleh penghasilan
akan tetapi juga akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan,
air bersih, transportasi umum dan lain-lain.
Model ini didasarkan pada tiga argumentasi pokok
- banyak dari kaum miskin tidak memiliki asset-aset produktif selain kekuatan fisik mereka, keinginan kerja mereka dan inteleigensi dasar mereka. Pemeliharaan asset tersebut tergantung pada peningkatan akses terhadap pelayanan public seperti pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan air pada umumnya.
- peningkatan pendapatan kaum miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup mereka kalau barang-barang dan jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia
- peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan produktipitas mereka memerlukan waktu yang sangat lama, dan dalam porsi tertentu karena satu dan lain hal mereka barangkali tetap tidak dapat bekerja. Paling tidak program subsidi janka pendek, dan barangkali program subsidi permanent diperlukan agar rakyat mendapat bagian dari hasil pembangunan.
Rakyatlah yang menjadi orientasi utama model ini. Tugas
pemerintah dalam model pembangunan nasional ini adalah pelayan.
Lahir dari
prakarsa Gunnar Myrdall dalam karya agungnya, Asian Drama, model kebutuhan
dasar kemudian menemukan dorongan barunya dalam ILO World Employment Conference
yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1976. konferensi ini menekankan arti
penting proses pembangunan guna menemukan kebutuhan dasar dari si miskin yang
mencakup persyaratan tertentu dari keluarga untuk konsumsi pribadi, yakni
makanan yang layak, pemukiman, pelayanan, perkakas, rumah tangga, perabot dan
lain-lain serta pelayanan esensial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
luas, seperti air minum, sanitasi, transportasi umum, kesehatan dan fasilitas
pendidikan. Konfrensi ini sepakat bahwa dalam keadaan bagaimanapun kebutuhan
pokok tidak boleh diartikan hanya sebagai kebutuhan minimum untuk subsistensi.
Namun, konfernsi ini juga menyadari bahwa konsep kebutuhan pokok ini dapat
berbeda antara satu negara dengan yang lain dan bersifat dinamis. Ia harus
ditempatkan di dalam suatu konteks pembangunan ekonomi dan sosial bangsa secara
menyeluruh.
B3.Model Yang
Berpusat Pada Manusia
Model pembangunan nasional ini
berwawasan lebih jauh daripada sekadar angka pertumbuhan GNP atau pengadaan
pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia,
persamaan dan suistanability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan,
pelaksana pembangunan yang menetukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan untuk
mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Persfektif baru pembangunan tersebut
memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah, yang jelas berbeda dengan
peranan pemerintah pada dua model pembangunan nasional yang pertama. Peranan
pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan social yang memungkinkan
untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia
dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.
Penciptaan lingkungan sosial
memerlukan sistim belajar mengorganisasikan diri, yakni dengan mengorientasikan
jaringan informasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi
local sebagai pelengkap dari sistim komando yang lebih formal. Berfungsinya
pengaturan strauktural tersebut sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk
berkreasi pada sumber informasi yang tidak pernah kering. Keduanya menentukan
input-input sumber utama model tersebut.
B4.Model
Dependensia
Model pembangunan ini bertolak
belakang dengan ketiga model pembangunan sebelumnya. Kalau ketiga model
sebelumnya berasal dari satu ideologi, model dependensia ini berasal dari
ideologi lain. Dua aliran, filsafat atau model yang saling berlawanan dan tak
mungkin diketemukan
Salah satu tesis utama paradigma
dependencia adalah bahwa keterbelakangan (underdevelopment) bukanlah suatu
kondisi asli yang harus diakhiri melalui proses pembangunan, akan tetapi
merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang merupakan akibat dari penetrasi
kapitalis dikawasan tadi. Negara atau kawasan tadi mungkin mempunyai kondisi
awal “underdeveloped” akan tetapi bukan “underdeveloped” (Paul Baran dalam
Tjokrowinoto, 1995:51).
Model dependensia dengan demikian,
melihat development dan underdevelopment bukan merupakan produk proses social
yang berbeda, akan tetapi merupakan dua sisi dari proses social yang sama, yang
berawal dari diintegrasikannya Negara atau kawasan pra kapitalis ke dalam
system kapitalisme internasional. Baik melalui kolonialisme maupun melalui
perdagangan internasional. Proses development dan under development berawal
pada waktu Negara-negara Eropa melakukan ekspansi merkantilis dan kapitalisnya
ke berbagai dunia lain.
Sistem kapitalisme yang diterapkan
dinegara-negara Barat telah menghasilkan “actual surplus” melalui proses
eksploitasi yang menghasilkan akumulasi surplus, yang kemudian diekspor ke
bagian dunia lain yang kebanyakan masih berupa wilayah jajahan. Di wilayah
jajahan tadi diinvestasikan. Akan tetapi wilayah jajahan tadi mengalami
perampasan surplus ekonomi karena adanya eksploitasi, yang dilakukan oleh kaum
penjajah dengan bekerjasama dengan elit local yang disebut komprador. Proses
yang demikian inilah yang menjadikan Negara kapitalis makin developed, sedang
Negara bekas jajahan tadi underdeveloped. Jadi imperialisme dan kapitalisme
berfungsi sebagai promoter development dinegara-negara centre (Negara-negara
kapitalis) dan creator under development dinegara-negara peripheri
(Negara-negara pra kapitalis atau wilayah jajahan). Proses tadilah yang
menyebabkan timbulnya hubungan dependensi Negara peripheri terhadap Negara centre.
Karena kapitalisme nasional dan
internasional melalui penetrasinya ke Negara prakapitalis atau wilayah jajahan
telah menimbulkan, melestarikan, dan memperdalam underdevelopment, maka
satu-satunya jalan bagi Negara prakapitalis untuk dapat membangun adalah dengan
melepaskan sama sekali keterkaitannya dengan Negara-negara kapitalis.
C.Karakter Pembangunan Indonesia.
Setelah Soekarno dijatuhkan dari
takhta kekuasaan terjadi perubahan yang sangat radikal. Tatanan-tatanan yang
ada sebelumnya dirubah dengan drastis. Semboyannya pada waktu itu adalah
“politik no – ekonomi yes”, atau “pembangunan yes – politik no”. Kehidupan politik
yang berlangsung dalam era Soekarno dianggap sebagai biang kehancuran ekonomi,
sehingga rakyat terus menderita, sengsara dan kelaparan. Oleh karena itu Orde
baru dibawah pimpinan jenderal Soeharto berketetapan hati mengakhiri semua itu
dengan melakukan pembangunan ekonomi.
Adapun pembanguan ekonomi yang
ditempuh pemerintahan Soeharto ini adalah pembanguan ekonomi dengan titik sentral
pertumbuhan. Artinya model pembangunannya adalah model pertumbuhan sebagaimana
yang dipersyaratkan PBB pada tahun 1960-an. Pembanguan ini sebagaimana faktanya
adalah pembangunan yang terbuka, khususnya kepada bantuan atau modal asing.
Tidak seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya yang cenderung tertutup
kepada bantuan dan modal luar negeri
Walaupun tidak pernah dikatakan secara
langsung, pembangunan nasional seperti itu didasarkan kepada teorinya WW.Rostow
yang membagi kehidupan masyarakat dalam tahapan-tahapan sebagai berikut
. Tahap pertama adalah keadaan
masyarakat yang masih tradisional. Tahap kedua persiapan tinggal landas. Tahap
ketiga, tinggal landas (take off). Tahap empat, melaju dengan kekuatan sendiri
(self sustaining growth). Tahap kelima, dorongan menuju ke kematangan (drive to
maturity) (Moeljarto, 1995:18)
Pembangunan yang dijalankan
pemerintahan Soeharto dengan trilogi pembangunannya dengan jelas mengutamakan
pertumbuahan ekonomi disamping stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan.
Bagaimana mengejar pertumbuhan yang setinggi-tingginya menjadi tujuan utama.
Sebab dengan pertumbuhan yang tinggilah dapat dilakukan pemerataan melalui efek
tetesan kebawah (trickle down effect).
Pertumbuhan sebagaimana hakikinya ditentukan
oleh tiga faktor, yakni fungsi saving, strategi investasi dan capital out put
ratio. Sedangkan fungsi pemerintah dalam pola pertumbuahn seperti ini adalah
“memperbesar saving”, seperti perpajakan, memperbesar ekspor non migas, bantuan
luar negeri dan sebagainya. Dalam sejarahnya pemerintahan Soeharto untuk
memperbesar saving ini lebih mengutamakan bantuan luar negeri.
Pengutamaan bantuan luar negeri ini
dapat dilihat dari tahapan-tahapan pembangunan yang tercermin dalam
pelita-pelita. Dalam pelita pertama pinjaman luar negeri mencapai 55,45% dari
total anggaran. Pelita ll 36,1%, pelita lll 30,45%, pelita lV 56,88%, pelita V
rata-rata 54%, awal pelitaVI 36,55% (lihat bab lll)
Pemerintahan Soeharto berkeyakinan
bahwa apabila tahap-tahap pembangunan yang tercermin dalam pelita-pelita itu
dilaksanakan, Indonesia
akan mencapai apa yang diinginkan sebagaimana yang tertulis dalam GBHN:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan
spiritual berdasarkanPancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana perikehidupan bangsa yang aman tenteram, tertib, dan dinamis dalam
lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Untuk
atau atas dasar inilah ditetapkan dalam pembangunan jangka panjang tahap I (lima pelita), Indonesia sudah siap memasuki era
tinggal landas yang diperkirakan akan dimulai pada pembanguan jangka panjang
tahap ll, yakni permulaan pelita VI.
Akan tetapi pengertian atau tujuan “tinggal
landas” yang dimaksudkan Indonesia
mempunyai interpretasi tersendiri. Tidak persis sama sebagaimana diteorikan
oleh Rostow. Interpretasi ini dapat dilihat dalam buku Repelita V. meskipun
masih bersifat umum pengertian proses tinggal landas itu mempunyai beberapa ciri,
yakni.
Pertama, dijumpai disana pengertian
bahwa tinggal landas pada hakekatnya adalah proses transformasi jangka panjang
dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan. Secara lebih
rinci cirri-ciri proses transformasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Dari segi tingkat perkembangan dan
struktur ekonomi, proses tersebut meliputi antara lain:
·
peningkatan pendapatan nyata
perjiwa yang cukup tinggi disertai dengan pembagiannya yang makin merata
·
peranan sektor industri yang
makin dominan sebagai penggerak utama laju pembangunan
·
keterkaitan dan keterpaduan
antar sektor, terutama antara sektor pertanian dan industri, antara kegiatan
serta antar wilayah yang makin mantap, sehingga memperkokoh ketahanan nasional.
Dari segi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki bangsa,
proses tersebut meliputi antara lain:
·
peningkatan mutu sumber daya
manusia yang dicerminkan antara lain oleh adanya peningkatan kesehatan dan
kecerdasan rakyat.
·
Partisipasi aktif yang makin
luas oleh rakyat di berbagai bidang pembangunan
·
Pemanfaatan sumber alam yang
makin rasional, efisien dan berwawasan jangka panjang.
Dari segi kelembagaan dalam arti
luas, tahap tinggal landas diwarnai oleh berkembangnya lembaga-lembaga dibidang
ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang semakin
efektif menjalankan fungsinya dan makin peka terhadap tuntutan pembangunan.
Dari segi ideologis, mental dan
spiritual masyarakat Indonesia
yang tinggal landas diwarnai oleh:
·
Penghayatan dan pengamalan
Pancasila yang meresap, mendalam dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari
·
Kehidupan beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin mantap dan serasi.
Kedua. Pada bagian lain dari buku repelita V tersirat
satu pengertian yang melengkapi pengertian sebelumnya. Disebutkan bahwa dalam
tahap tinggal landas, peningkatan efisiensi, produktipitas, kreatifitas dan
partisipasi sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor
penggerak utama pembangunan. Sedangkan ketergantungan kepada sumber alam semakin
berkurang. Sementara itu proses tersebut juga akan diiringi oleh semakin
menonjolnya sumber-sumber dinamika pembangunan yang berasal dari dalam negeri
sendiri sehingga pembangunan Indonesia
semakin kurang tergantung pada, dan semakin kurang dipengaruhi oleh
perkembangan dan gejolak dari luar.
Apabila
ditelaah lebih jauh mengenai proses transformasi yang diuraikan diatas, menurut
Moeljarto Tjokrowinoto (1995:22-23) ada dua hal penting yang perlu
digarisbawahi. Pertama esensi dari proses tinggal landas adalah terjadinya
percepatan pembangunan yang mempunyai sifat khusus, yaitu percepatan
pembangunan yang bersumber dari peningkatan produktipitas dan efisiensi secara
menyeluruh. Dalam artian lain dalam proses tinggal landas terkandung pengertian
adanya transformasi kualitatif diberbagai bidang. Yang terjadi atau yang
diharapkan, bukan hanya indikator-indikator ekonomi yang menjadi lebih besar
atau menjadi lebih banyak, tetapi juga harus menjadi lebih baik dan lebih
tinggi tingkatannya secara kualitatif. Yang kita harapkan bukan hanya
peningkatan produksi tetapi peningkatan produktipitas; bukan hanya efektifitas
tetapi efisiensi; bukan hanya peningkatan investasi tetapi investasi yang
semakin produktif; bukan hanya langkah-langkah yang berupa replikasi dari apa
yang telah ada tetapi inovasi dan terobosan-terobosan baru
Ciri
kedua adalah bahwa proses tersebut harus dapat mempertahankan momentumnya
sendiri atau bersifat “self sustaining”. Ini adalah salah satu tafsiran
pengertian dari asas “tumbuh dengan kekuatan sendiri”. Konotasi lain dari dari
cirri self sustaining ini adalah bahwa proses tersebut harus semakin merupakan
interaksi dinamis dari sumber-sumber pembangunan yang berasal dari dalam
negeri. Ini antara lain berarti bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam negeri
harus diusahakan meningkat cepat dan makin dominan, bahan-bahan mentah hasil
dalam negeri harus semakin menjadi andalan utama bagi kegiatan-kegiatan
produksi, tenaga-tenaga trampil dalam negeri harus semakin berperan dalam
kegiatan-kegiatan produksi dan sebagainya.
Akan tetapi bagaimana kenyatannya,
sangat jauh dari harapan. Cita-cita tinggal cita-cita. Pasak besar dari tiang
(Mubyarto,2003, Basri F, 2004). Indonesia
terjerumus dalam krisis pertengahan tahun 1997. kenapa dan mengapa bisa terjadi
seperti itu akan dibahas dalam bab IV..
BAB III
JENIS, KOMPOSISI DAN
BESARAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan sekilas latar
belakang dan perkembangan utang Indonesia
sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian . Hal ini ditekankan mengingat
bahwa utang luar negeri Indonesia
cukup kompleks dan juga mempunyai sejarah yang cukup panjang sehingga tidak mungkin
terangkum dalam bab ini. Oleh karena itu dalam garis besarnya yang akan
diuraikan adalah kebijakan utang yang ditempuh sejak pemerintahan Orde Baru
berkuasa.
Orde Baru
sebagaimana fakta sejarahnya telah menempuh kebijakan pembangunan yang bertolak
belakang dengan era sebelumnya. Kalau pada era Soekarno politik menjadi
panglima, sebaliknya pada era Orde Baru, ekonomi menjadi panglima atau tujuan
utama pemerintahan Orde Baru. Suatu model pembangunan yang dalam manifestasinya
membutuhkan bantuan atau utang luar negeri.
Pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto telah
berketetapan hati melaksanakan pola pembangunan seperti itu, yakni pembangunan
ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan,dimana untuk merealisasikannya
membutuhkan hutang. Sebagai bentuk atau pola mewujudkannyaUntuk dilakukan
ikhtiar diplomasi untuk menarik bantuan atau utang dari investor, baik itu negara
(state) maupun swasta (dunia usaha) atau kalangan-kalangan lain.
Meskipun dengan
jalan yang berliku diplomasi pembangunan ini akhirnya berhasil menarik negara-negara
kaya tersebut memberikan bantuan dalam bentuk hutang luar negeri kepada Indonesia.
Negara-negara kaya ini populer dengan
sebutan Paris Club atau IGGI.
Namun karena ada persoalan IGGI kemudian dibubarkan dan
diganti dengan CGI. Kelompok ini bersama dunia usaha – dunia usaha di negara-negara
tersebut terus memberikan hutang hingga saat ini. Untuk lebih jelas dan rincianya
akan diuraiakan dalam sub-sub bab di bawah ini. Sub bab pertama akan
menguraikan latar belakang, apa, mengapa dan bagaimana akhirnya ditempuh pola
pembangunan ekonomi yang berfokus pertumbuhan. Sub bab kedua akan menguraikan
ikhtiar diplomasi yang dijalankan untuk menarik hutang. Sub bab ketiga
menguraikan komposisi besaran dari jumlah hutang luar negeri Indonesia. Pada akhir 2006 hutang
luar negeri Indonesia
diperkirakan telah mencapai US $ 147,2 milyar.
A. Ekonomi Sebagai Panglima.
Sejak Indonesia
merdeka thun 1945 tidak pernah luput dari masalah-masalah besar. Masalah ini
khususnya adalah munculnya pemberontakan-pemberontakan di daerah. Selain itu
adalah gangguan dari Negara-negara lain, khususnya tarik menarik dari dua adikuasa
yang terlibat perang dingin. Soekarno yang dikenal sangat nasionalis ingin
membangun negerinya dengan kekuatan sendiri. Untuk melakukan pola ini cara yang
ditempuh adalah terlebih dahulu membangun politik (political building) dengan
instrument-instrumen utamanya, seperti “character
and nation building”, berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang
ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Pola pembangunan
yang mengutamakan pembangunan politik ini, selain ada yang tidak menyukainya
adalah kenyataan bahwa keadaan perekonomian dari tahun ke tahun mengalami
krisis. Krisis yang dipicu oleh pemberontakan-pemberontakan dan lain-lain yang
menguras devisa Negara. Keadan perekonomian rakyat semakin hari semakin berat.
Lawan-lawan Soekarno yang tidak setuju dengan kebijakannya itu dengan dibantu
Negara-negara yang ingin berperan di Indonesia perlahan tapi pasti terus
berupaya mendongkelnya dari kursi kekuasaan.
Upaya itu kemudian
berhasil. Dengan dalih G30 S/PKI, Soekarno digulingkan dari kekuasaan dan
diganti rezim atau pemerintahan yang pola, strateginya bertolak belakang dengan
kebijakan sebelumnya. Ekonomi menggantikan politik sebagai panglima. Bagi
rakyat yang berkali-kali kecewa akibat krisis ekonomi yang beruntun, slogan
baru modernisasi ekonomi tersebut sangat menarik. Slogan tersebut dengan mudah
memperoleh dukungan dikalangan anggota koalisi anti komunis maupun rakyat pada
umumnya. Lebih dari itu, slogan tersebut telah melahirkan pandangan yang
disebarkan secara meluas dan gencar selama akhir 1965 sampai 1966 tentang
akibat buruk dari penekanan pemerintah Orde Lama pada kebijakan mendukung
program “nation and character building” dan lain-lain slogan Sukarno.
Ringkasnya, suatu pendapat umum baru yang sangat mengutamakan pembanguanan
ekonomi berhasil diciptakan oleh pimpinan Orde Baru tanpa banyak kesulitan.
Pada bulan November
1965, sekelompok intelektual dari Umiversitas Indonesia, sebagian besar ekonom,
menerbitkan buku yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah Soekarno
(Widjojo, 1965). Para ekonom itu menyatakan bahwa kelalaian pemerintah
menangani masalah ekonomi telah membawa Indonesia ke tepi jurang
kebangkrutan. Kelalaian itu menurut mereka, tidak hanya mengakibatkan krisis
inflasi dan deficit neraca pembayaran yang waktu itu sedang melanda ekonomi Indonesia,
tetapi juga memperburuk situasi keterbelakangan dan ketergantungan. Salah
seorang ekonom itu mengatakan bahwa:
Dalam medan persaingan ekonomi
internasional, posisi kita semakin ketinggalan jiaka dibandingkan dengan
Negara-negara yang tadinya lebih terbelakang dibandingkan Indonesia. Menurunnya penerimaan
dalam neraca perdagangan luar negeri selama puluhan tahun akhir-akhir ini
adalah pertanda menurunnya kita dalam posisi perdagangan luar negeri (bahkan
lebih jelek lagi), lambat laun kiata semakin bergantung pada kredit-kredit luar
negeri, untuk kelangsungan hidup ekonomi kita (Emil, 1965:115).
Diagnosa mereka tentang penyakit ekonomi Indonesia lebih terinci dan
mendapat lebih banyak pendukung yang antusias ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) memberi kesempatan kepada mereka untuk mendiskusikan
masalah-masalah ekonomi dalam suatu seminar tentang ekonomi Indonesia, yang
diberitakan secara meluas, (KAMI 1966). Saran-saran yang muncul dari seminar
tersebut jelas tercermin dalam pernyataan kebijakn ekonomi 12 April 1966 yang
dikelurkan oleh kabinet Dwikora yang disempurnakan (DEPPEN, 1966), dan sekali
lagi dalam ketetapan MPRS No XXIII, 5Juli 1966 tentang pembaharuan ekonomi
(DEPPEN, 1966).
Kredibilitas
komitmen pimpinan Orde Baru pada pemecahan masalah ekonomi semakin diperkuat
ketika TNI AD menyelenggarakan seminarnya yang kedua, tanggal 25 sampai 31
Agustus 1966, yang sebagian besar topik diskusinya menyangkut masalah-masalah
non militer (Angkatan Darat, 1966). Dengan menyediakan forum baru kepada
kelompok intelektual yang sama untuk menyebarkan pendapat mereka tentang
bagaaimana memodernisasikan ekonomi dan politik Indonesia, TNI AD ingin
menunjukkan kepada masyarakat dalam negeri maupun internasional, bahwa ia
dengan tegas mendukung kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh rezim baru
tersebut. Dukungan itu sangat penting kalau kebijakan itu ingin dilaksanakan
dengan efektif, mengingat TNI AD adalah satu-satunya pemegang kekuasaan yang
dapat menjamin penerapan kebijakan secara efektif. Dukungan para perwira itu
juga sangat bermanfaat dalam meyakinkan para kreditor dan investor potensial
tentang kesungguhan hati rezim Orde Baru dalam memecahkan masalah ekonominya.
Tetapi baru pada 3 Oktober 1966 para elit penguasa baru itu benar-benar
mengambil langkah-langkah konkrit untuk menerapkan program stabilsasi.
Program stabilisasi
tersebut diawali dengan mendiagnosa penyakit ekonomi Indonesia. Penyakit ini menurut
para ekonom tersebut adalah inflasi yang membubung tinggi, defisit neraca
pembayaran, terkurasnya cadangan devisa, dan kesulitan membayar hutang luar
negeri. Mereka menganggap kekacauan ekonomi itu bermula dari dalam. Yang
dianggap sebagai penyebab utamanya adalah: pertama, defisit anggaran belanja
dan pendapatan pemerintah yang terus meningkat; dan kedua, ekspansi kredit bank
yang terlalu cepat.
Pembengkakan
anggaran belanja pemerintah yang jauh melampaui peningkatan pendapatannya
mengakibatkan defisit APBN besar-besaran sejak awal 1960-an. Yang paling
memberatkan, sebagian besar defisit itu ditutup bukan dengan menarik pajak,
melainkan dengan mengambil dana dari Bank Sentral dan seringkali dengan
mencetak uang baru. Sementara itu, kebijakan keuangan pemerintah juga
memungkinkan perluasan kredit bank pada masa itu. Dan akibatnya, seperti telah
ditunjukkan diatas, volume uang meningkat secara mencolok selama paruh pertama
1960-an. Tindakan pemerintah itu jelas memberi tekanan inflasioner yang kuat
terhadap ekonomi. Selain itu tindakan tersebut juga menimbulkan kesenjangan yang
begitu besar terhadap uang dengan penawaran yang ada, sehingga harga-harga
barang dan jasa dalam dalam negeri serta impor terus meningkat.
Melonjaknya biaya
dan harga dalam negeri digabung dengan memburuknya infrastruktur ekonomi serta
merosotnya produksi menyebabkan penurunan pendapatan ekspor, yang selanjutnya
menyebabkan penurunan pendapatan ekspor secara tajam. Sementara itu, impor
tidak mudah dikurangi karena dua hal. Pertama, karena konfrontasi ganyang Malaysia mengesahkan impor barang-barang untuk
mendukung kampanye militer itu: dan kedua, karena Indonesia memang benar-benar
membutuhkan banyak barang impor, mulai dari mesin dan suku cadangnya sampai
pada beras dan tekstil. Ringkasnya menurut para ekonom itu, pada pertengahan
1960-an itu masalah pokoknya adalah memburuknya neraca pembayaran dan
merosotnya cadangan devisa, yang sebagian besar merupakan akibat dari defisit
APBN.
Disamping diagnosa
mereka tentang faktor politik dan krisis ekonomi itu, interpretasi ekonom itu
tentang masalah yang dihadapi Indonesia
menyiratkan bahwa yang paling utama harus ditangani adalah masalah keuangan.
Untuk mengembalikan ekonomi ke keadaan keseimbangannya, yaitu menstabilkannya,
pemerintah baru itu perlu menyediakan barang-barang konsumsi pokok seperti
beras dan tekstil, serta suku cadang dan bahan mentah. Karena kebanyakan
barang-barang ini harus diimpor, maka pemerintah menangani masalah kekurangan
penyediaan devisa yang besar. Sementara pendapatan ekspor untuk 1966
diperkirakan berjumlah US $ 600 juta, impor untuk pengencangan ikat pinggang
jangka pendek tahun 1966 itu diperlukan antara US $ 600 sampai US $ 700 juta
dan pembayaran hutang luar negeri memerlukan sekitar US $ 530 juta dalam tahun 1966 dan US $ 270
juta dalam tahun 1967 (Panglaykim & Thomas, 1967: 689-690)
Guna menutupi
kesenjangan itu pemerintah harus mencari kredit baru, khususnya pinjaman tidak
komersial. Praktis, dalam hal ini harus mencari dari sumber yang ada; yaitu
pemerintah Negara-negara Barat dan Jepang. Sepanajang syarat-syaratnya dipenuhi,
mereka dapat membantu Indonesia
untuk mengatur penundaan dan penjadwalan kembali pembayaran hutang-hutangnya
serta memberi kredit baru. Namun untuk tujuan pembangunan ekonomi jangaka
panjang, Indonesia
memerlukan lebih dari bantuan luar negeri yang hanya sekedar menutup kekurangan
devisa. Ia perlu menrik penanaman modal asing. Berhubung tabungan dalam negeri
sangat rendah, Indonesia tidak akan dapat paling tidak untuk jangka waktu dekat
melakukan investasi pembangunan yang besar dari sumber-sumber sendiri tanpa
melakuakan perombakan struktur sosial ekonominya secara besar-besaran, cara
yang paling layak untuk menutupi kekurangan tabungan dalam negeri adalah
mengerahkan modal asing, yang dapat disediakan oleh masyarakat bisnis
internasional. Singkatnya, Indonesia memerlukan dukungan, baik
dari pemerintah kapitalis asing maupun dari masyarakat bisnis internasional
pada umumnya, yakni para bankir dan perusahaan multi nasional. Untuk ini
dilakukan ikhtiar diplomasi ke luar negeri.
B. Diplomasi Mencari
Hutang
Kebijakan
pemerintah Orde Baru menempuh pola pembangunan yang memerlukan hutang tidak
serta merta dapat direalisasikan. Hal ini mengingat kebijakan pemerintahan
Soekarno yang sangat anti kepada hutang dan bantuan luar negeri. Akan tetapi
karena tekad Orde Baru sudah begitu kuat untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi, maka upaya untuk itu ditempuh dengan sekuat tenaga.
Ofensif
kebijaksanaan ekonomi luar negeri rezim baru ini dimulai sangat cepat. Tanggal
4 April 1966, yakni seminggu setelah pelantikannya sebagai menteri luar negeri,
Adam Malik mengumumkan bahwa Indonesia
akan meninjau kebijaksanaan luar negerinya dengan penekanan: pertama, perluasan
kerjasama internasional dengan sebanyak mungkin bangsa dalam kegiatan politik,
ekonomi, social dan kebudayaan: kedua, keikutsertaan dalam
organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan badan-badannya: ketiga,
penyelesaian masalah Malaysia
secara damai. Pada hari yang sama, wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi,
Sultan Hamengkubuwono IX, juga mengumumkan bahwa Indonesia akan mengusahakan
penundaan dan penjadwalan pembayaran hutangnya dan mencari bantuan luar negeri
yang baru tanpa ikatan-ikatan politik.
Pada tanggal 6 Mei,
menteri luar negeri berbicara di depan DPR tentang niat Indonesia untuk memperbaiki
hubungan dengan Amerika Serikat. Seminggu kemudian Indonesia mengirim misi teknik
resmi pertama yang dipimpin oleh Umarjadi Notowijono ke beberapa Negara Eropa
untuk mengusahakan penjadwalan kembali hutang dan memperoleh kredit baru. Pada
minggu terakhir bulan yang sama Sultan sendiri mengirim delegasi yang lain ke
Jepang untuk tujuan yang serupa, dengan hasil pemerintah Jepang setuju untuk
mengadakan suatu konferensi buat para kreditur Indonesia untuk membicarakan
kembali hutangnya (FEER, 16-6-1966:519) misi-misi lain dikirim untuk
membicarakan penyelesaian damai masalah Malaysia. Hasilnya adalah penandatangan
suatu perjanjian damai pada tanggal 11 Agustus 1966 antara dua Negara tersebut.
Langkah yang sama juga menghasilkan pengakuan terhadap Singapura pada bulan
Juni. Normalisasi hubungan dengan Singapura adalah langkah yang sangat penting
dalam arti kebijaksanaan ekonomi. Para
pengusaha Cina di Singapura memainkan peran penting dalam perdagangan
internasional di Asia Tenggara. Mereka tidak hanya mengekspor barang dagangan
ke dan mengimpor dari Indonesia,
tetapi mereka juga adalah sumber kredit bagi masyarakat bisnis Cina Indonesia
(Panglaykim dan Thomas, 1967:108)
Sementara itu,
berbagai tanggapan dari kreditur asing terhadap langkah-langkah diplomasi Indonesia
belum jelas benar. Tanggal 4 April 1966 untuk menanggapi himbauan Sultan,
pemerintah Belanda dilaporkan sebagai mengatakan bahwa ia “tidak akan
membiarkan pintu ditutup” bagi Indonesia untuk memperoleh bantuan asing melalui
badan multilateral (Antara, 1967:100). Pada tanggal 18 April. Amerika Serikat
setuju memberikan pinjaman lain, untuk pembelian 75.000 bal kapas bernilai US $
10,5 juta, keduanya dibawah program PL-480 (FEER, 9-3-1967:459). Dari
pemerintah Jerman Barat misi Umarjadi memperoleh US $ 7,5 juta untuk digunakan
membayar uang muka kepada para eksportir swasta Jerman. Jepang juga memberikan
US $ 30 juta bantuan darurat ketika Sultan berkunjung kesana bulan Mei (FEER
Year Book 1967:222). Selain itu, Indonesia memperoleh berbagai
bantuan bagi korban bencana alam dari berbagai Negara senilai US $ 11 juta,
sesudah terjadi banjir besar di Jawa Tengah pada tahun itu.
Namun
kenyataan-kenyataan tersebut bukan merupakan bukti dukungan sungguh-sungguh
para kreditor asing terhadap Indonesia.
Pertama, kebanyakan pinjaman itu semata-mata transaksi komersial. Pinjaman
pertama Amerika Serikat itu harus dibayar kembali dengan dollar, bukan mata
uang lokal seperti yang biasa dilakukan dalam program PL-480, satu tahun
setelah pengiriman terakhir, dalam lima
kali angsuran tahunan, dengan tingkat bunga 4,9% (FEER, 9-3-1967:460). Untuk
pinjaman oleh pemerintah tingkat bunga ini sangat tinggi. Lagi pula beras itu
harus diangkut oleh kapal-kapal Amerika yang menarik ongkos lebih mahal. Untuk
pengapalan 50.000 ton pertama biayanya lebih dari US $ 1,2 juta (Sullivan,
1969:309). Pinjaman yang diberikan Jepang bahkan dibebanai tingkat bunga yang
lebih tinggi, yaitu 5,5 %, dan harus dibayar kembali dalam lima kali angsuran tahunan yang kira-kira
sama, setelah masa tenggang empat tahun. walaupun pinjaman PL-480 kedua dari
Amerika Serikat bersyarat lebih lunak, tingkat bunganya tetap 3,5% dan harus
dibayar dengan dollar setelah masa tenggang dua tahun dalam lima kali angsuran
tahunan. Lebih dari itu, pemerintah Amerika Serikat berusaha mengecilkan arti
penting politik pinjaman tersebut dan menekankan bahwapemberian pinjaman bukan
berarti pemberian kembali bantun secara regular (Sullivan, 1969:310).
Misi-misi diplomasi
mencari hutang ini ternyata tidak mulus. Dalam perjalanan selanjutnya ke
Jepang, pemerintah Jepang tidak setuju penjadwalan kembali hutang. Begitu pula
Negara-negara kreditor lainnya. Mereka ingin melihat bahwa pemerintah Orde Baru
harus sungguh-sungguh merehabilitasi ekonominya. Soekarno sendiri mengingatkan
dalam pidatonya pada 1 September 1966 memperingatkan bahwa nilai kemerdekaan
yang paling tinggi adalah berdiri di kaki sendiri dan karena itu tidak boleh
meminta-minta dalam usaha merehabilitasi ekonomi (FEER, 15-9-1966:472). Namun
peringatan seperti itu tidak membuat pemimpin Orde Baru mengendurkan upaya
mencari bantuan asing untuk memecahkan masalah hutang-hutang yang mereka warisi
dari rezim Soekarno. Dan hanya beberapa jam setelah pidato Presiden Soekarno
itu berangka lagi dua misi melakukan puataran berikut dalam diplomasi bantuan.
Salah satu delegasi
itu, diketuai Sultan, berangkat ke Belanda, Inggris, Italy, Jerman Barat,
Amerika Serikat, Jepang dan India. Misi yang lain dipimpin Adam Malik
dijadwalkan mengunjungi kreditor-kreditor Indonesia di blok komunis. Tetapi,
hanya satu hari menjelang keberangkatan Adam Malik, pemerintah Soviet
memberitahukan Indonesia
bahwa pemimpin Soviet tidak dapat menerimanya sampai bulan Oktober. Ketika
tindakan yang sama diambil oleh Polandia dan Cekoslowakia, Adam Malik menunda
kunjungannya ke tiga Negara itu. Setelah mengunjungi India, Mesir, Aljazair dan
Yogoslavia untuk memperkokoh hubungan dengan Negara-negara non blok lainnya, ia
meneruskan perjalanannya ke Amerika Serikat dan Jepang (FEER, 15-9-1966:473).
Berbeda dengan
delegasi Adam Malik, misi Sultan lebih beruntung. Misi itu berhasil memperoleh
pinjaman dari Jerman Barat senilai US$ 12,5 juta. Pemerintah Inggris juga
memberi sekitar US $ 240.000 sebagai uang muka pembayaran ganti rugi atas harta
milik Inggris yang rusak akibat huru-hara anti Inggris selama bulan September
1963 di Jakarta. Untuk pembicaraan lebih lanjut tentang ganti rugi bagi
perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan, Sultan mengundang pihak-pihak
yang terlibat untuk datang ke Jakarta
(FEER, Year Book, 1967:222).
Pemerintah Belanda
juga menunjukkan sikap kerjasama selama kunjungan Sultan. Setelah dua kali
menolak permintaan bantuan misi Umarjadi, karena ketidaksepakatan mengenai
tuntutan ganti rugi bagi perkebunan-perkebunan milik Belanda lainnya yang
dinasionalisasikan rezim Orde Lama, pada bulan September Belanda setuju
menerima penyelesaian tuntutan ganti rugi sebesar US $ 157 juta yang dapat
dibayar selam 30 tahun mulai dari tahun 1973 dan, saat yang sama, menawarkan
bantuan sejumlah US $ 18 juta (Arndt, 1967:137).
Sementara, Adam
Malik berda di New York memimpin delegasi Indonesia masuk kembali ke PBB,
Sultan berembug dengan para pejabat IMF dan Bank Dunia di Washington untuk memasukkan
kembali Indonesia ke kedua organisasi itu. Kedua pemimpin Orde Baru tersebut
juga mendatangi beberapa pejabat teras pemerintah Amerika Serikat. Menteri Luar
Negeri Adam Malik mengunjungi Presiden Lyndon B.Johnson, Wakil Presiden Hubert
Humprey dan menteri luar negeri Dean Rusk. Para
anggota kongres yang didatangimya termasuk Senator William Fullbright, Ketua Komite
Hubungan Luar Negeri Senat, dan Clement I. Zablocky, Ketua sub komite DPR
Urusan Asia Pasifik. Sultan juga dilaporkan telha menemui pejabat pemerintah
Amerika lainnya (Sullivan, 1969:357).
Deskripsi diatas
menunjukkan bahwa para kreditur asing di Barat maupun di Timur, sangat
berhati-hati dan enggan menanggapi permintaan Indonesia akan penjadwalan kembali
hutang dan kredit lunak baru, walaupun mereka memberi sedikit bantuan hibah.
Sikap para kreditur itu menimbulkan kekecewaan di kalangan pemimpin Orde Baru.
Namun , meskipun kecewa seperti apapun, mereka harus menghadapinya. Merka tidak
melihat cara lain yang layak untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi itu
kecuali pergi ke Barat dan mencari bantuan untuk menstabilkan ekonomi. Sebagai
manifestasinya para pemimpin Orde Baru bertekad untuk bermain sesuai dengan
aturan main yang ditetapkan oleh para kreditor tersebut.
Tekad demikian
akhirnya sungguh-sungguh diterapkan. Dalam pertemuan Tokyo yang dihadiri para Negara-negara
kreditor pola itu diwujudkan. Pertama-tama adalah menghadapi negara yang paling
kuat, yakni Amerika Serikat. Dengan mengikuti semua keinginan negara adikuasa
ini, Indonesia
mendapat tempat kembali dalam hubungan bilateral kedua Negara. Dalam suatu
memorandum untuk presiden Johnson, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
mengusulkan diberinya bantuan kepada Indonesia dalam jumlah besar.
Memorandum itu menyebutkan beberapa perkembangan baik di Indonesia, seperti penyelesaian konflik secara
damai dengan Malaysia
dan perubahan secara umum haluan politik luar negerinya serta merosotnya
kekuasaan Soekarno (Sullivan, 1969:342).
Memorandum itu
menggerakkan proses yang mengakibatkan kebangkitan kerjasama ekonomi bilateral
Amerika Serikat Indonesia,
dimana pemerintah Amerika menambah beberapa pinjaman dan hibah yang kira-kira
US $ 40 juta pada akhir 1966. termasuk didalamnya pinjaman besar yang
ditandatangani tanggal 30 september untuk pembelian Beras dan benang senilai
lebibh dari US $ 26 juta yang harus dibayar kembali dalam dollar dua tahun
setelah tanggal penyerahan terakhir, dalam 19 kali angsuran tahunan, dengan
tingkat bunga 2,5 %. Syarat-syarat pinjaman ini jauh lebih lunak dibanding
dengan dua pinjaman PL 480 yang pertama. Pinjaman besar kedua yang diberikan
untuk membayar suku cadang dan bahan mentah sejumlah US $ 10 juta yang akan
dibayar kembali dalam 20 tahun dengan tingkat bunga 3,5 %. Sisanya adalah
pinjaman dan hibah untuk bantuan pangan darurat, beasiswa, barang-barang
perpustakaan dan lain-lain (FEER, 9-3-1967:459).
Sesuai dengan
pendekatan Amerika yang low profile, sebuah konsorsium tujuh negara kreditor
Indonesia, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Itali,
Belanda dan Jepang dan Negara non kreditor seperti Australia, Canada, Selandia
Baru, dan Swiss, serta IMF bersidang di
Tokyo tanggal 19-20 September 1966 untuk membicarakan masalah Indonesia. Dalam
delegasi Indonesia,
turut Dr Widjojo Nitisastro, penasihat ekonomi Jenderal Soeharto. Pada
proses-proses selanjutnya, khususnya pada pertemuannya di Paris, para Kreditor
inilah yang dikenal dengan nama IGGI, International Government Group for
Indonesian. Pinjaman-pinjaman untuk Indonesia selalu dinilai dan
diputuskan oleh konsorsium ini.
Namun perlu juga
dikemukakan disini bahwa sebelum IGGI terbentuk, lembaga yang cukup berperan
untuk memberikan pertimbangan kepada para kreditor agar diberikan hutang kepada
Indonesia
adalah IMF. IMF paska pertemuan Tokyo, atas
permintaan Indonesia telah
menempatkan staf-stafnya di Jakarta/Bank Indonesia. Setelah bekerja sekian
lama, lembaga ini memberikan informasi kepada para kreditor bahwa Indonesia
layak mendapat pinjaman. Sejak itu uterus mengalir hutang ke Indonesia.
C. Komposisi dan Besaran
Hutang Luar Negeri Indonesia
Sejak IGGI
terbentuk hutang luar negeri Indonesia
kepada anggota-anggota IGGI terus berjalan tanpa rintangan. Setiap tahun IGGI
bersidang memutuskan jenis, sifat dan berapa junlah yang akan diberikan. Dalam
garis besarnya hutang dapat dikelompokkan dalam dua jenis yaitu:
1.
Hutang Program
2.
Hutang Proyek
Hutang program adalah hutang dalam bentuk devisa, sedangkan hutang
proyek adalah hutang dalam bentuk barang dan jasa. Sebagai ilustrasi atau
contoh, apa dan bagaimana hubungan antara hutang program dan proyek dalam
hubungannya dengan tabungan pemerintah, pengeluaran pembangunan akan ditulis
dalam table dibawah ini:
Table
III,1
Tabungan,
pengeluaran dan Pinjaman.
Tahun
|
Tabungan Pemerintah
|
Pengeluaran Pemerintah Pembangunan
|
Pinjaman Luar Negeri
|
||
Bantuan Program
|
Bantuan Proyek-proyek
|
Jumlah
|
|||
Repelita
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974
Jumlah
Repelita II
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
Jumlah
Repelita III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984
Jumlah
Repelita IV
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
Jumlah
Repelita V
1989/1990
1990/1991
1991/1992
1992/1993
1993/1994
Jumlah
Repelita VI
1994/1995
|
27,2
56,4
78,9
152,5
254,4
569,4
737,6
909,3
1.276.2
1.385,5
1.522,4
5.832,0
2.635,0
4.427,0
5.235,0
5.422,0
6.020,9
23.739,9
6.476,5
7.301,3
2.581,3
3.321,8
2.265,0
21.946,2
4.408,7
4.935,5
9.626,2
13.311,8
15.674,1
17.386,3
|
118,2
169,6
195,9
298,2
450,9
1.278,0
961,8
1.397,7
2.054,5
2.156,8
2.555,6
9.126,4
4.014,2
5.916,1
6.940,0
7.359,6
9.899,2
34.129,2
9.951,9
10.873,1
8.332,0
9.477,4
12.251,6
50,885,1
13.838,0
16,225,0
19.997,7
22.912,0
25.227,2
27.398,3
|
65,7
78,9
90,5
95,5
89,8
420,8
36,1
20,2
10,2
35,8
48,2
150,5
64,8
64,1
45,1
15,1
14,9
204,0
69,3
69,2
1.957,5
727,8
2.040,7
4.864,5
1.007,2
2.885,3
1.537,5
501,2
426,8
-
|
25,3
41,5
45,0
62,3
114,1
288,2
195,9
471,4
773,6
737,6
987,3
3.168,8
1.316,3
1.429,7
1.663,9
1.924,9
3.867,5
10.202,3
3.408,7
3.503,4
3.794,7
5.430,2
7.950,0
24.087,0
8.422,1
8.404,2
8.834,0
9.099,0
9.226,3
10.012,0
|
91,0
120,4
135,5
157,8
203,9
708,6
232,0
491,6
783,8
773,4
1.035,5
3.316,3
1.381,2
1493,8
1.709,0
1.940,0
3.882,4
10.406,3
3.478,0
3.572,6
5.752,2
6.158,0
9.990,7
28.951,5
9.429,3
11.289,5
10.371,5
9.600,2
9.553,1
10.012,0
|
Sumber : Zulkarnain Djamin, 1995:18-19
Sedangkan pembagian yang lain adalah:
- program resmi
- kredit ekspor
- pinjaman swasta
Program resmi atau sering juga disebut dengan Officisl
Development Assistance (ODA) adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu Negara
donor untuk membantu pembangunan Negara-negara berkembang yang disalurkan
melalui lembaga keuangan bilateral Negara yang bersangkutan dan atau melalui
lembaga dan bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia, IMF, ADB dan
lain-lain. Program ini pada umumnya dibagai dua, yakni bilateral dan
multilateral.
Untuk lebih rincinya apa yang dimaksud dengan utang
bilateral akan dibuat dalam table dibawah ini
Tabel III,2
Jenis Utang Bilateral
Negara Kraditur
|
Consultative Group for Indonesia
(CGI)
|
Creditor
|
||||||
1998/99
|
1999/00
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
||
Bilateral
AS
Australia
Austria
Belanda
Belgia
Denmark
Inggris
Italia
Jepang
Jerman
Kanada
Perancis
s. baru
swiss
finlandia
spanyol
Korsel
Norwegia
Kuwait
Portugal
|
2.305,0
250,0
75,0
20,0
-
6,0
9,0
46,0
5,0
1.500,0
300,0
25,0
-
3,0
1,0
-
25,0
30,0
10,0
-
-
|
1.633,7
184,5
78,0
20,0
-
-
10,7
38,5
10,0
1.200,0
39,7
19,6
-
2,7
4,1
1,0
10,0
9,2
5,7
-
-
|
2.006,0
145,0
59,0
15,0
-
-
5,0
33,0
1,0
1.560,0
102,0
11,0
-
3,0
4,0
-
59,0
9,0
-
-
-
|
2.339,7
280,0
64,7
20,0
-
-
7,0
15,3
-
1.794,0
54,8
4,7
-
2,1
1,0
-
73,0
23,1
-
-
-
|
971,0
-
-
15,0
60,0
6,4
-
-
10,0
720,0
78,7
-
-
-
-
-
57,0
23,0
-
-
0,9
|
964,0
-
-
10,0
67,0
7,0
2,0
-6,0
730,0
83,0
-
30,0
-
-
-
9,0
20,0
-
-
-
|
887,0
7,0
-
5,0
61,0
9,0
-
-
7,0
659,0
96,0
-
12,0
-
-
-
10,0
20,0
1,0
-
-
|
|
Sumber: Zulkarnain Djamin, 1995:64
Sedangkan apa dan bagaimana bentuk utang Multilateral
dapat dilihat dalam table dibawah ini
Tabel III,3
Jenis Utang Multilateral
Baqdan Kraditur
|
Consultative Group for Indonesia
(CGI)
|
Creditor
|
||||||
1998/99
|
1999/00
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
||
Multilateral
|
5.589,0
|
4.224,0
|
2.721,0
|
3.034,30
|
2.169,7
|
1,765,0
|
1.951,0
|
Multilateral
|
ADB
IDA
IBRD
UNDP
IDB
NIB
IFAD
PBB
UNICEF
UE
EIB
KWAIT.F
SAUDI F
|
2.200,0
-
2.700,0
-
400,0
30,0
25,0
144,0
-
-
40,0
25,0
25,0
|
1.600,0
-
2.384,0
-
50,0
10,0
10,0
107,0
-
-
63,0
-
-
|
1.065,0
-
1.500,0
-
-
-
-
106,0
-
40,0
10,0
-
-
|
1.515
-
1.300,0
-
20,0
19,9
-
146,8
-
-
26,2
-
6,4
|
1.150,0
-
1.000,0
-
-
19,7
-
-
-
-
-
-
-
|
800
-
850
-
26
-
8,0
2,0
-
-
79,0
-
-
|
925,0
-
825,0
-
150,0
-
7,0
-
-
-
44,0
-
-
|
|
Sumber: Zulkarnain Djamin, 1995:65
Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan persyaratan
setengah lunak yang dananya berasal dari Negara donor atau yang bersumber dari
pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh
pemerintah Negara donor.Jaminan itu diberikan terhadap resiko perubahan politik
dan resiko komersial biasa. Kredit ini umumnya disalurkan melalui bank ekspor
dan impor Negara donor, seperti US Exim Bank di Amerika Serikat dan Japan Exim
Bank di Jepang. Untuk lebih jelasnya siapa-siapa atau lembaga-lembaga penyalur
kredit ekspor dapat dilihat dibawah ini
·
Amerika Serikat
US Exim Bank
·
Australia EFIC
·
Jepang Japan Exim Bank
·
Canada EDC
·
Italia Mediocreditio Centrale
·
Belgia Generale Bank
·
Jerman KFW
·
Inggris Lloyds Bank, Midland Bank, ANZ,Barylas Bank
·
Swedia Scandinaviska Enskilda Banken
·
Belanda ABN, Amro Bank, ING Bank
·
Norwegia Export Finance Oslo
·
Perancis Sindikasi Bank bank Perancis
·
Korea Korean Exim Bank
·
Finlandia Finish Expoert Kredit
·
Denmark Uni Bank
·
Austria Oster-Landerba
(Sumber: Zulkarnain Djamin, 1995:70-71)
Pinjaman swasta adalah pinjaman yang berasal dari bank-bank dan
lembaga keuangan swasta yang diberikan atas dasar pertimbangan komersil
sehingga berbeda dari kredit ekspor yang ditujukan untuk membantu pembangunan
dinegara-negara berkembang sekaligus menunjang peningkatan ekspor Negara-negara
industri.
Pinjaman tersebut telah ditempuh sejak Orde Baru. Sedangkan jumlah
hutang luar negeri Indonesia
hingga tahun 2006 adalah sebesar US $ 147,2 miliar sebagai berikut:
Tabel III,4
Perkembangan
jumlah Utang
Tahun
|
Jumlah Hutang (US$ Milyar)
|
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
20006
|
91,0 milyar
120,4 milar
135,5 milyar
157,8 milyar
203,9 milyar
232,0 milyar
491,6 milyar
783,8 milyar
773,4 milyar
1035,5 milyar
1381,2 milyar
1493,8 milyar
1709,0 milyar
1940,0 milyar
3.882,4 milyar
3.478,0 milyar
3.572,6 milyar
5.752,2 milyar
6.158 milyar
9.990,7 milyar
9.429,3 milyar
11.289,5 milyar
10.371,5 milyar
9.600,2 milyar
9.553,1 milyar
10.012,0 milyar
148,098 milyar
141,694 milyar
133,073 milyar
131,343 milyar
135,401 milyar
136,140 milyar
142,9 milyar
147,2 milyar
|
Sumber: Zulkarnain Djamin, Statistik Indonesia
dan Media Indonesia, 29 Januari 2007
BAB IV
KETERGANTUNGAN KEPIHAK ASING DAN BEBAN
BERAT PEMBANGUNAN INDONESIA
Setelah pada bab-bab sebelumnya dideskripsikan latar
belakang masalah, pengertian pembangunan dan kwantitas utang luar negeri Indonesia, pada bab ini penulis akan membahas
beban dan dampak dari utang luar negeri
terhadap pembangunan Indonesia.
Adapun konsep, teori atau pendekatan yang digunakan, sebagaimana tertulis dalam
pendahuluan adalah jalan berpikir yang diutarakan Rudolf Strahm. Strahm
mengatakan bahwa terjadinya keterbelakangan dinegara-negara yang melaksanakan
pembangunan adalah karena negara tersebut melakukan pola deficit anggaran
belanja, yakni melakukan pembelanjaan barang dan jasa untuk pembangunan
melebihi dana, capital dan kemampuan yang tersedia.
Untuk menutupi
deficit tersebut digunakan kredit luar negeri. Akan tetapi karena satu dan lain
hal kredit ini tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal, yakni semakin lama kredit
tersebut seharusnya semakin kecil. Malah sebaliknya yang terjadi yakni
membengkaknya jumlah utang. Karena jumlah hutang yang terus membengkak dan
akhirnya tidak mampu melunasi hutang, atas inisiatif negara-negara yang memberi
kredit dan Negara pengutang meminta bantuan IMF. Lembaga ini selanjutnya
memberi syarat-syarat yang ternyata tidak membuat suasana lebih baik. Resep
yang diberikan akhirnya membuat daya beli masyarakat menurun dan selanjutnya
menimbulkan berbagai ekses-ekses negative, yang bermuara kepada
keterbelakangan.
A.Kebijakan Anggaran
Deficit dan Membengkaknya Utang.
Dalam bab II
diuraikan bahwa sejak Orde Baru berkuasa di Indonesia, pola pembangunan berubah
dengan drastis. Pola yang sebelumnya berorientasi pada politik, dirubah menjadi
berorientasi pada ekonomi. Modelnya adalah pembanguan ekonomi dengan titik
sentralnya adalah “pertumbuhan ekonomi”. Ukuran keberhasilannya adalah
“persentasi”, semakin tinggi persentasinya semakin baik pertumbuhan ekonominya.
PBB telah membuat tolok ukur keberhasilan itu adalah 5% ke atas. Jika
GNP/GDPnya telah mencapai 5% dianggap telah berhasil (Moeljarto Tj, 1995).
Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, model pembanguian
seperti itu sesungguhnya adalah model pembangunan dinegara-negara yang sudah
maju, Negara-negara yang sudah industrialized.. suatu model yang banyak
ditentang karena tidak mencerminkan atau memperjuangkan yang sesungguhnya. Indonesia
berharap (bermimpi) suatu waktu akan menjadi negara yang ditirunya, yakni negara
yang sudah maju atau industrialized.
Mahbub Ul Haq menggambarkan pola pembangunan seperti itu
sebagai model pembangunan yang palsu (the catching up fallacy). Bagaimana
mungkin negara-negara berkembang dengan mengandalkan hutang akan menyamai negara-negara
kaya. Haq memberi ilustrasi dengan angka pertumbuhan yang palsu. Negara-negara
kaya yang tumbuh dengan 5% tidak akan bisa dikejar dengan Negara pengutang yang
pertumbuhan ekonominya juga 5%. Negara penghutang tersebut akan terus
ketinggalan terhadap negara pemberi kredit.
Pada kenyataannya apa yang dikatakan Mahbub Ul Haq
demikian tidak saja sangat benar, malah jauh dari itu suasananya semakin suram.
Sejak Indonesia
memulai pola pembangunan yang didasarkan kepada utang luar negeri , utang itu
semakin lama bukannya semakin berkurang . Sebaliknya utang itu semakin besar.
Bagaimana besarnya utang ini dapat dilihat pada table…pada bab III. Dari table
tersebut dapat dilihat pada awal Orde
Baru melakukan pembangunan, yakni Pelita pertama, 1969/1970 utang luar negeri
Indonesia masih ……dan tahun 2006 sebesar US $ 147,2.
Khusus perkembangan utang pemerintah (tanpa swasta)
Siswono Yudo Husodo, membuat perhitungan sebagai berikut. Pada akhir
pemerintahan Soekarno utang luar negeri Indonesia masih berjumlah US $ 2,5
milyar. Di akhir pemerintahan Soeharto US $ 54 milyar, diakhir pemerintahan
Habibie US $ 74 milyar, diakhir pemerintahan Megawati US $ 76 milyar, tahun
2006 US $ 74,13 milyar. Pembengkakan yang sangat significan
Mengapa utang ini terus membengkak. Secara umum jawabannya
adalah karena pola atau strategi pembangunan yang diterapkan tidak tepat
sebagaimana disinyalir oleh Mahbub Ul Haq. Selain itu Pola pembangunan ekonomi
dengan titik sentral pertumbuhan tidak cocok dengan sosio cultural Indonesia
yang cenderung kekeluargaan, gotong royong dan spiritualist. Sangat bertolak
belakang dengan negara-negara Barat yang
cenderung individualistic-materialistis. Namun secara khusus membengkaknya
utang ini diakibatkan beberapa hal, seperti:
1.
faktor korupsi
2.
faktor salah kelola
3.
faktor capital flight
4.
faktor bunga yang terlalu
tinggi
5.
maksud terselubung dari
kekuatan besar/adi daya.
Untuk mengetahui betapa korupsi membuat utang luar
negeri Indonesia
terus membengkak dapat kita lihat pada pendapat beberapa pakar, seperti Fuad
Bawazier, Jeffrey Winters dan Faisal Basri. Fuad Bawazier menengarai bahwa
utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai deficit anggaran belanja yang
diterapkan pemerintahan Soeharto sejak berkuasa adalah motif dari menjamurnya
korupsi oleh segelintir kalangan berkuasa, yaitu pejabat, kontraktor dan
konsultan. Korupsi ini selanjutnya membuat utang terus membesar. Lebih
lengkapnya Fuad Bawazier menyatakan:
Defisit anggaran Negara selama 40 tahun terakhir telah mengantarkan Indonesia
sebagai Negara yang dililit dan kecanduan utang tanpa berhasil memakmurkan
rakyatnya. Keuntungan dari kebijakan utang ini dinikmati kreditor luar negeri
dan mereka yang mendapatkan rezeki dari proyek yang dibiayai utang tersebut,
yakni pejabat kontraktor dan konsultan. Jadi, keuntungan dari kebijakan deficit
hanya dinikmati oleh mereka yang mengelola anggaran korup dan boros itu.
Persoalan deficit anggaran ini semakin jelas yakni akibat banyak proyek-proyek
yang takperlu. (Rakyat Merdeka, 14 Agustus, 2007)
Lebih jelas dan kongkrit bahwa terjadi korupsi dalam
pengelolaan utang luar negeri diketengahkan oleh Jeffrey Winters:
Salah satu aspek yang paling mengganggu dari kedekatan hubungan Bank
Dunia dengan Pemerintah Indonesia adalah bahwa selama tiga dasawarsa, Bank
Dunia telah membiarkan sejumlah besar dana pinjamannya bocor dan lenyak kedalam
birokrasi pemerintah. Walaupun staf Bank Dunia mengalami bencana bila mengakui
terus terang bahwa dana pinjamannya dicuri secara rutin di Indonesia, tetapi mereka cukup siap
mengakui secara pribadi bahwa tingkat kebocorannya cukup besar. Dalam sebuah
wawancara pada tanggal 3 Januari 1990 dengan Atilla Sonmez, kepala misi perwakilan
Bank Dunia di Jakarta, saya bertanya: “berapa banyak dana pinjaman BANK Dunia
kepada Indonesia yang menghilang tak tentu rimbanya?”. Jawab Mr Sonmez, sekitar
sepertiganya (Winters, J, 1999:53)
Ketika Jeffrey Winters kembali mengecek pendapat Sonmez
ini ke markas Bank Dunia di Washington
DC pada tahun 1996, pendapatnya
tetap sama, yakni bahwa dana yang dikorup sekitar sepertiganya (Winters J,
1999:54). Angka seperti ini dibenarkan Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo ( dalam
Dr AR.Karseno ,Suara Pembaruan,4 februari 2003) namun tidak mendapat tanggapan,
bahkan dianggap hanya sekedar trik politik Dengan mengutip laporan Bank Dunia
dan dalam bahasa yang lain, Faisal Basri mengakui akan korupsi ini:
Laporan Bank Dunia sendiri pada bulan Oktober 1997 memperkirakan
bahwa sekitar 20 – 30 persen pinjaman untuk Indonesia telah digelapkan oleh
beberapa pejabat dan politisi pemerintah. Keprihatinan terus meluas karena,
walaupun era Orde Baru telah berakhir, praktik penggelapan dana ini masih terus
berlangsung. Bahkan, menurut laporan terakhir Bank Dunia pada tanggal 17
Desember 1998, sebagian dana gelap itu dicurigai digunakan untuk mempengaruhi
jalannya pemilihan umum pertama pada era sesudah kejatuhan Soeharto yang akan
dilaksanakan pada bulan Juni 1999. laporan terakhir tersebut menunjukkan bahwa
kebocoran sangat besar dari bantuan yang diterima karena adanya praktik korupsi
dalam tubuh pemerintah Indonesia.
(Basri, F,2003:264)
Pernyataan-pernyataan atau angka-angka seperti ini
banyak ditulis oleh para pemerhati utang, seperti Revrisond Baswir, Kwik Kian
Gie, INFID, Koalisi Anti Utang dan lain-lain kalangan yang peduli dengan
perkembangan utang luar negeri Indonesia
Sementara itu menurut ekonom dari Klemens, Johannes
Sitanggang (Suara Pembaruan, 21 Mei 2004) kegagalan pemerintah mengelola utang
luar negeri disebabkan ketidakmampuan menghitung kelayakan proyek-proyek
berdasarkan parameter yang ditetapkan Organization for Economic Cooperation
Development (OECD). Parameter tersebut adalah tentang kelayakan ekonomi, teknik,
keuangan, social dan distribusi, serta institusi dan lingkungan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap
laporan-laporan studi kelayakan penyelesaian proyek-proyek dan audit kinerja
proyek dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara donor lainnya,
ternyata proyek-proyek pembangunan ekonomi Indonesia yang dibiayai utang luar
negeri belum mengacu pada Guidance In Preparing Aid Quality Assesments yang
ditetapkan OECD.
Faktor lain yang juga membuat utang luar negeri terus
membengkak adalah faktor pelarian uang ke luar negeri. Uang utang tersebut
banyak yang dilarikan kenegara-negara yang dianggap aman dan juga ada yang
dimasukkan dalam perusahaan-perusahaan asing yang dianggap bonafid. Untuk ini
Sritua Arif memberi pendapat:
Saya sungguh terkejut, tertegun dan terharu takkala diperlihatkan
hasil study yang berkaitan dengan hutang luar negeri Indonesia. Seorang ekonom muda dari
Center for Policy and Implementation Studies (CPIS) menunjukkan bahwa kasus Argentina telah terjadi di Indonesia. Orang-orang yang
menumpuk harta pribadi di luar negeri melalui pelarian modal dari Indonesia
telah meninggalkan beban hutang luar negeri bagi nusa dan bangsa (Arif, S,
1999:114)
Karena utang luar negeri Indonesia tidak semua berbentuk
hibah atau program yang relative berbungan kecil, namun juga adalah utang yang
dalam kategori setengah komersil, seperti kredit ekspor, hingga yang komersil,
seperti pinjaman-pinjaman swasta yang berbunga cukup besar (8 sampai 10 persen)
dan jangka waktu pembayarannya yang sangat dekat (8 sampai 10 tahun) membuat
utang luar negeri Indonesia terus membengkak.
Di atas itu semua yang membuat utang luar negeri Indonesia terus bertambah besar adalah faktor
eksternal, yakni adanya keinginan negara-negara besar untuk mengeksploitasi hingga
membangkrutkan Indonesia.
Seorang eks agen CIA yang sudah pensiun dan telah bertobat menulis buku yang
isinya bagaimana penguasa Amerika Serikat sejak lama sudah melakukan rencana
jahat untuk membangkrutkan Indonesia
(Peter Rosler Garcia, Kompas, 6 April 2005)
John Perkins, anggota CIA yang dimaksud, dalam bukunya
Confessions of an economic hit man (2004), membeberkan dengan terbuka bagaimana
segelintir elit Washington, dengan pengusaha-pengusaha dan para bankir merancang
jerat hutang, dengan maksud menguras kekayaan negara-negara Dunia III khususnya
Indonesia. Pernyataan ini diperkuat John Pilger dalam bukunya “the new ruler of
the world” (dalam Kwik Kian Gie, 2004). Pilger menyatakan bahwa sekitar tahun
1967 para pengusaha-pengusaha AS telah membuat suatu rencana untuk menghabiskan
sumber sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Pertemuan untuk menghabiskan SDA Indonesia ini dilakukan
di Geneva. Para
pesertanya adalah pengusaha-pengusaha kelas dunia, seperti David Rockefeller, General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, Americans Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporations, US Steel.
Para pengusaha ini akhirnya membagi-bagi atau
mengkapling-kapling seluruh SDA yang ada di Indonesia untuk perusahaan mereka.
Berdasarkan keterangan Pilger, Indonesia sesungguhnya sudah dihabisi sejak 1967
dengan tuntunan para elit Indonesia
sendiri yang sedang berkuasa kala itu. Mereka (para elit tersebut) hingga saat
ini masih tetap dalam panggung kekuasaan. Setiap tahun mereka berutang terus,
KKN yang sudah lama menggejala tidak diberantas, malah sebaliknya dibiarkan
merajalela dan berkembang dengan hebatnya (Gie Kwik Kian, 2004:32)
Pendapat-pendapat yang sama dengan pendapat demikian masih
dapat ditulis sekian banyak lagi. Namun untuk kebutuhan penelitian ini,
faktor-faktor demikian dianggap sudah memadai., sebab sudah bisa menunjukkan
betapa bahwa hutang luar negeri terus membengkak.
Tulisan ini
selanjutnya akan diteruskan kepada beban pembangunan, yakni betapa utang luar
negeri yang terus-menerus membengkak tersebut akan menghambat pembangunan,
sebab dananya habis untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Lebih
rincinya akan diteruskan dibawah ini.
B. Menghambat Pembangunan
Melihat
perkembangan utang luar negeri Indonesia
yang terus menerus membengkak dari waktu ke waktu, sudah pasti akan mengganggu,
bahkan menghambat pembangunan yang sedang dilaksanakan. Cita cita semula pembangunan
untuk memakmurkan atau mensejahterakan rakyat tinggal sebatas cita-cita yang
indah, yang enak di dengar, namun sukar
dipraktekkan.
Utang luar negeri yang sebelumnya diharapkan menjadi “stimulus
pembangunan” tidak dapat dikelola dengan baik. Sebab sebagaimana sudah
disinggung diatas utang luar negerii tersebut banyak yang disalahgunakan, banyak
yang bocor, dan lain-lain penyalahgunaan, karena dikorupsi, salah pengelolaan,
capital flight dan lain-lain miss manajemen. Oleh karena itu Utang luar negeri Indonesia
sungguh-sungguh sudah diluar batas kewajaran, diluar batas keamanan dan
cenderung sudah pada tahap kebangkrutan. Bagaimana sampai kepada pendapat
demikian akan dibuktikan pada fakta-fakta dibawah ini, seperti:
·
Rasio terhadap PDB
·
Rasio terhadap DSR
·
Rasio pembayaran utang
·
Menyedot penerimaan dalam
negeri.
B1.Rasio Terhadap PDB.
Yang dimaksud dengan rasio utang terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) adalah suatu ukuran , parameter atau indikator yang
menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi suatu negara untuk membayar kembali
utang-utangnya dalam jangka panjang. Angka psikologis yang umumnya aman akan rasio
utang terhadap PDB adalah sekitar 30% - 40% diatas itu sudah pasti tidak aman
Terpenuhinya batas aman tersebut supaya keberlangsungan
anggaran pemerintah tetap terjaga. Artinya, pemerintah tetap mampu membayar
beban utang-utangnya tanpa menimbulkan tambahan utang baru maupun harus mengurangi
porsi anggaran untuk sektor lainnya.
Sebelum krisis moneter tahun 1997, rasio utang luar
negeri pemerintah Indonesia
terhadap PDB rata-rata masih berkisar di bawah 40%. Artinya masih berada dalam
batas aman Bahkan pada tahun 1996 rasio
utang pemerintah mencapai 24,7%. (angka yang bagus/moderat) Selama periode
1990-1996 rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB masih berada
di bawah kriteria aman yang ditetapkan Bank Dunia (Dradjad Wibowo et al,
2006:53)
Akan tetapi setelah krisis moneter 1997 terjadi
peningkatan rasio yang tajam. Krisis ekonomi telah mendorong peningkatan rasio
posisi utang luar negeri pemerintah terhadap PDB lebih dari dua kali lipat.
Puncaknya tahun 2000 rasio ini mencapai 56,8%, tertinggi selama 30 tahun.
Dengan gambaran tersebut, terlihat posisi utang luar
negeri Indonesia
dalam jangka panjang ternyata sudah melampaui batas aman. Hal ini didorong oleh
depresiasi tajam nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada periode krisis dan
juga penambahan sejumlah utang baru dari IMF selama periode krisis. Untuk
melihat lebih rinci bagaimana perkembangan rasio utang terhadap PDB dapat dilihat
dalam tabel dibawah ini:
Table
IV.1
Jumlah
Utang, Rasio GDP – DSR
Tahun
|
Hutang Pemerintah (US$ Milyar)
|
Hutang Swasta (US$ Milyar)
|
Total Hutang (US$ Milyar)
|
Rasio Terhadap GDP
|
Debt Service Rasio
|
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
|
49,084
53,285
57,521
63,688
64,41
59,045
63,462
60,449
75,863
74,917
71,377
74,661
81,666
82,269
79,56
74,13
|
23,9
30,6
32
37,8
43,39
55,4
73,962
83,572
72,235
66,777
61,696
56,682
53,735
53,871
|
72,984
83,885
89,521
101,488
107,8
114,445
137,424
144,021
148,098
141,694
133,073
131,343
135,401
136,14
142,90
147,20
|
62,5
57,3
61,9
57,4
53,6
50,3
63,9
167,9
116,9
93,7
84,7
67,8
58,6
|
45
44
44
46
43
41
46
52
56,80
41,1
41,40
33,10
33,80
|
Diolah dari: Rom
Toppatimasng 1999:173, Statistik Ekonomi Indonesia,2005, Business news, 2
mei 2007 dan S. Bahagijo, 2006
B2.Rasio terhadap DSR
Rasio pembayaran
utang Negara atau disebut Debt Service Ratio (DSR) merupakan rasio antara beban
pembayaran utang luar negeri dengan kemampuan ekspor suatu negara. Indikator DSR
mencerminkan kemampuan suatu negara untuk membayar kembali utang-utangnya dalam
jangka pendek atau menunjukkan likuiditas perekonomian. Bagaimana perkembangan
atau fluktuatif rasio pembayaran utang dengan DSR ini dapat dilihat dalam table
IV, 1 diatas.
Rasio ini menjadi
parameter seberapa besar hasil ekspor yang harus disisihkan untuk menanggung
beban pembayaran utang luar negeri baik cicilan pokok maupun bunganya.
Sampai dengan tahun
2003, DSR utang luar negeri Indonesia
masih berada pada kisaran 33,8%. Tingkat ini melampaui tingkatan yang wajar
sesuai dengan kriteria Bank Dunia yang sebesar 20%. Dengan DSR diatas 30%,
utang luar negeri masih menjadi beban yang berat bagi perekonomian Indonesia
dan bahkan berada dalam tingkatan yang mengkhawatirkan.
B3.Rasio Pembayaran Utang
Indikator yang juga
sangat tepat untuk menggambarkan bahwa utang luar negeri Indonesia sudah tidak lagi wajar
adalah rasio pembayaran utang dan penarikannya. Sejak tahun 1980 sesungguhnya
pembayaran utang dibandingkan dengan penarikannya sudah sangat timpang.
Pemasukan sudah lebih kecil dari pengeluaran, sebaliknya pengeluaran semakin
besar, dan semakin jauh diatas angka 1. Rasio pembayaran dan penarikan pada
tahun 2003 sudah mencapai 2,23 dan pada tahun 2004 sebesar 2,43, sudah lebih
buruk dibanding krisis 1997/1998 sebesar 2,05.
Rasio pembayaran
utang luar negeri pemerintah dengan penarikan utang pada 2004 merupakan rasio
paling buruk sejak 1969/1970. sebelumnya pada tahun 1995/1996 juga mencapai
rekor terburuk, yaitu dengan rasio 2,27. Dalam artian lain, masuk 1 keluar 2,27,
atau kenaikan sekitar 225%. Angka yang sungguh-sungguh tidak normal
Perbandingan antara jumlah pembayaran dengan penarikan
utang luar negeri pemerintah merupakan suatu indikator penentu seberapa besar
aliran dana yang masuk ke dalam negeri dengan yang keluar negeri kembali.
Dengan rasio diatas 1, menunjukkan bahwa beban pembayaran utang pokok berikut
bunganya jauh lebih besar dibandingkan dengan pinjaman yang diterima.
Pembayaran cicilan
dan bunga utang luar negeri pemerintah pada tahun 1969-2003 sebesar US $ 56,52
miliar, sementara penarikan utang luar negeri pemerintah 1969-2003 hanya
sebesar US $ 37,68 miliar. Kelebihan pembayaran cicilan dan bunga terhadap
penarikan utang luar negeri pemerintah 1969-2003 adalah US $ 18,84 miliar atau
sekitar Rp 170 triliun.
Pemerintah Indonesia
telah membayar cicilan dan bunga lebih besar dari utang luar negeri pemerintah
baru, tapi anehnya stok utang justru bertambah sangat fantastis atau tidak
masuk akal, yaitu dari US $ 2,24 miliar menjadi US $ 80,86 miliar. Angka ini
kelihatannya akan sukar turun, sebab pada tahun 2007 pun, pemerintah masih
terus memakai deficit anggaran dan untuk menutupinya kembali meminjam ke luar
negeri. Menurut Paskah Suzetta sesuai dengan APBN 2007 kebutuhan pinjaman
program, dibutuhkan sebesar US & 1,75 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan
program 2008 masih dihitung sesuai dengan optimalisasi perhitungan penerbitan
obligasi dalam negeri dan obligasi internasional (Suara Pembaruan, 20 April
2007)
B4. Menyedot Penerimaan
Dalam Negeri.
Ekses selanjutnya
dari B1,2,3 adalah tersedotnya biaya yang seharusnya untuk membiayai
pembangunan kepada “cicilan pokok dan bunga utang “ dan sebagai konsekwensi
logisnya mengurangi porsi anggaran pembangunan. Dari tahun ke tahun, pola ini
yang terus berlangsung sehingga kehidupan rakyat semakin lama semakin terpuruk,
karena anggaran yang seharusnya diberikan kepada mereka, seperti anggaran
pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya tidak lagi terpenuhi.
Pada tahun 2000,
sekitar 15,4% penerimaan dalam negeri pemerintah dipakai untuk membayar pokok
dan bunga utang luar negeri setelah dikurangi dengan nilai utang yang dijadwal
ulang. Pada periode 2001-2004 rasio ini mengalami kenaikan yang significan,
berkisar antara 13%-20% (Wibowo, D, 2006:64)
Pada tahun 2003
pemerintah mengalokasikan Rp 43,5 triliun untuk membayar pokok dan bunga utang
luar negeri atau bila dihitung porsinya dari total penerimaan pajak penghasilan
(PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), selama tahun 2001 hingga 2003 utang
luar negeri Indonesia berada pada level 21%-26%, atau sekitar seperlima hingga
seperempat dari penerimaan PPh dan PPN. (Wibowo, D, 2006:64)
Pada tahun 2004,
alokasi pemerintah untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri semakin
besar menjadi Rp 68,8 triliun atau menyerap sekitar 31% dari porsi total penerimaan
PPh dan PPN pada tahun tersebut. Ini berarti PPh dan PPN yang dibebankan kepada
masyarakat sebagian besar hanya habis dipakai untuk membayar utang luar negeri
pemerintah (Wibowo, D, 2006:64)
Tahun-tahun sebelumnya (sebelum tahun 2000) hal inipun
sudah berlangsung, seperti pada tahun 1986 sampai 1999 porsi untuk membayar utang luar negeri
sekitar 30% dari penerimaan dalam negeri. Puncaknya pada tahun 1999 hampir
separoh, yakni 46,8% penerimaan dalam negeri digunakan untuk membayar utang.
Konsekwensinya, proporsi penerimaan Negara yang bisa
disisihkan untuk membayar gaji pegawai, subsidi bagi penduduk miskin, subsidi
BBM, pembiayaan proyek-proyek social, seperti pendidikan dan kesehatan akan
semakin berkurang. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dibawah ini:
·
Cicilan dan bunga utang luar
negeri 37%
·
Subsidi BBM 11%
·
Subsidi Otonomi Daerah 8%
·
Subsidi Pangan dan Obat 15%
·
Lain-lain 13%
Sumber : Roem Toppatimasang, 1999:173
Tidak begitu berbeda dengan perhitungan INFID tahun
2001. menurut lembaga ini, pembayaran bunga atas hutang pada tahun 2001
diperkirakan sekitar 35% dari pengeluaran pemerintah pusat. Sebagai
perbandingan, pengeluaran pembangunan yang sangat dibutuhkan terhitung hanya
sekitar 17,5% dari pengeluaran dalam negeri pemerintah, dan lebih dari separuh
dari jumlah ini berasal dari proyek pembangunan yang didanai donor. Pengeluaran
sosial juga menurun tajam, sekitar 40% secara riil dibawah pengeluaran tahun
1995/1996.
C. Ketergantungan Kepada
Ekonomi-Politik Asing
Uraian-uraian diatas menunjukkan bahwa Indonesia sudah begitu tergantung
kepada utang luar negeri. Keinginan-keinginan untuk menghentikan utang hanya
sekedar lip service. Diutak-utik sana
sini, ujung-ujungnya tetap melaksanakan deficit anggaran dan defisitnya
ditutupi dengan utang luar negeri. Sinyalemen ini terlihat dari pernyataan
menteri-menteri terkait bidang ekonomi, seperti Paskah Suzeta, yang sebelumnya
begitu anti utang, namun pada akhirnya butuh utang. Paskah menyatakan bahwa
untuk menutupi deficit APBN 2007 akan dilakukan dengan pinjaman luar negeri
(Kompas, 9 April 2007). Ngutang kecenderungannya tidak lagi sekedar kebutuhan,
namun sudah menjadi candu (HS.Dillon, Suara Pembaruan, 12 Februari 2002). Lebih
jelasnya Dillon mengatakan:
Sudah lama utang merupakan narkoba yang paling digandrungi para
pemimpin kita. Baik pemerintah maupun swasta sudah lama mempertontonkan
ketagihan utang secara gila-gilaan, menghambur-hamburkannya tanpa mempedulikan
segala akibatnya. Kecanduan kronis ini telah membawa perekonomian nasional ke
dalam keadaan teller. Oleh beberapa kalangan secara euphemistis keadaan itu
dinamakan krisis (Suara Pembaruan, 12 Februari, 2002)
Inilah faktanya, Indonesia tetap saja utang. Tidak
berlebihan bila Dillon menyatakan itu sebagai krisis. Krisis yang tidak sekedar
krisis ekonomi, melainkan jauh dari itu adalah krisis sosial politik atau krisis
mentalitas.
Pendapat-pendapat seperti itu, yakni yang menganggap
bahwa membengkaknya utang luar negeri adalah karena faktor internal, yakni
kesalahan elit-elit yang berkuasa dikemukakan beberapa pakar lain, seperti
Faisal Basri, Kwik Kian Gie dan Francis Lemoine. Faisal Basri selalu mengatakan
bahwa hancurnya perekonomian Indonesia,
khususnya membengkaknya utang luar negeri adalah karena pengelolaan yang lebih
besar pasak dari tiang oleh pelaku-pelaku Negara:
Sungguh ironis disini, karena masyarakat harus menanggung beban
akibat kesalahan segelintir orang yang membuat Negara ini terperosok dalam
jurang krisis ekonomi. Segelintir orang tersebut adalah penguasa rezim Orde
Baru yang telah mengelola Negara ini dengan berlumuran korupsi sehingga
kebijakan-kebijakan yang diambil bias deni menguntungkan kroni-kroni saja
(Basri, F, 2003:261)
Beban yang dimaksud Faisal Basri adalah ekses dari
membengkaknya utang luar negeri yang dilakukan segelintir elit penguasa Orde
Baru yang melakukan pengelolaan ekonomi/utang lebih besar pasak dari tiang,
sehingga mengakibatkan kehidupan rakyat semakin terpuruk. Kwik kian Gie dengan
nada yang lain, namun substansi yang sama membenarkan pendapat Faisal Basri.
Kwik selalu mengatakan, biarpun bagaimana hebat dan lihainya pihak asing
menggoda atau mengintervensi kita, jika kita tidak mau mereka tidak bisa
berbuat apa-apa. lebih jauh Kwik mengatakan:
Siapa yang salah?. Jelas para pemimpin Indonesia sendiri, baik dimasa
lampau maupun saat ini. Mengapa mereka mau menurut terus?, mengapa tidak mau
bersikap dan berperilaku seperti pimpinan bangsa yang merdeka dan berdaulat?.
Sedangkan Soekarno dan kawan-kawan telah memberikan kemerdekaan dan kedaulatan
itu. Ini merupakan teka teki buat banyak orang, apa sebabnya?. Apakah mereka
tidak mengerti tentang hal-hal yang sangat tidak adil dan sudah merusak
perekonomian kita ataukah karena mereka punya kepentingan dan apa
kepentingannya (Gie KK, 2004:36-37)
Francis Lemoine dengan nada yang lain, namun substansi
yang sama memperkuat argumen Faisal Basri dan Kwik Kian Gie:
Tidak bisa disangkal lagi, masalah utang yang mengemuka seiring
dengan krisis ekonomi Indonesia
berakar dari maraknya korupsi dan praktek nepotisme sepanjang kekuasaan rezim
Orde Baru dibawah Soeharto. Selama 32 tahun, sumberdaya politik dan ekonomi
dikuasai oleh lingkaran elit birokrasi dan bisnis yang menggunakan praktek
korupsi dan koneksi politik guna menggerogoti kekayaan Negara (Lemoine dalam
Suhud, Muhammad,2003:45)
Intinya kesalahan itu adalah karena KKN oleh rezim yang
berkuasa, yakni rezimnya Soeharto. Dalam artian lain, faktor yang membuat
hutang itu semakin membengkak adalah faktor domestik, bukan faktor diluar itu.
Dengan tidak mengurangi pendapat yang demikian penulis sebaliknya melihat
pembengkakan utang itu adalah karena faktor eksternal. Faktor domestik hanyalah
dampak dari kekuatan eksternal, asing yang kuat dan kaya. Kekuatan asing ini
sudah lama ingin menerkam Indonesia
yang letaknya strategis, iklimnya yang bagus dan kekayaan alamnya yang
berlimpah sebagaimana yang sudah disinggung oleh Pilger di atas..
Demikian pula ketika Indonesia melakukan diplomasi
mencari hutang diawal berkuasanya Orde Baru adalah karena peranan Amerika
Serikat dan IMF (lihat bab III hal 47-48). Hutang itu diberikan setelah
prasyarat-prasyarat untuk itu diberikan Indonesia.
Prasyarat-prasyarat itu antara lain adalah membuka kembali perekonomian
terhadap penetrasi modal asing, dan mengintegrasikannya ke dalam sisitim
ekonomi dunia, yakni, sistim kapitalis. Dengan menempatkan staf-stafnya di
Departemen Keuangan, Bank Indonesia
, Bappenas, IMF mulai menuntun Indonesia
sesuai dengan yang mereka harapkan.
Namun sebelum sampai kepada bagaimana akhirnya IMF
menjerumuskan Indonesia
kepada kegagalannya terlebih dulu akan diuraikan satu peristiwa besar yang
dilakukan AS untuk menggulingkan Indonesia pada tahun 1950-an
sebagaimana yang ditulis George Kahin dan Audrey Kahin:
Pada 1950-an pemerintah Eisenhower menylut dan sangat mendorong
timbulnya pemberontakan dan perang saudara besar-besaran di Indonesia, yang mengakibatkan Indonesia terpecah belah. Dengan
tujuan mengganti dan mengubah pimpinan politiknya, pemerintahannya melancarkan
suatu gerakan rahasia terbesar yang pernah dilakukan Amerika Serikat sejak
Perang Dunia II, yang tidak saja melibatkan Central
Intellegence Agency (CIA), tetapi juga Angkatan Laut Amerika Serikat dan
Angkatan Udara rahasia Amerika Serikat. Gerakan itu tidak saja lebih besar,
tetapi berlangsung relative lebih lama serta mengakibatkan korban jiwa yang
lebih besar bila dibandingkan dengan kegagalan di Teluk Babi, Kuba yang terkenal
itu. Namun, kalau yang terakhir itu terjadi 90 mil dari pantau Florida, dan
sedikitnya secara garis besar diberitakan segera setelah terjadi, maka public
dan Kongres Amerika Serikat tidak pernah mengetahui lebih dari puncak gunung es
mengenai intervensi Amerika Serikat di Indonesia. Hal itu merupakan suatu
gerakan rahasia yang paling dirahasiakan dalam sejarah gerakan rahasia Amerika
Serikat diseberang lautan (Kahin & Kahin,1997:1)
Hal ini dilakukan karena AS sejak lama tidak dapat
membujuk-bujuk Soekarno masuk kedalam orbit mereka dalam suasana perang dingin.
Disisi lain dan ini yang terpenting pada era-era itupun sudah ada
permintaan-permintaan AS dan IMF agar mengikuti jalan ekonomi-politik yang
diterapkan di Barat. Dengan berbagai rayuan Soekarno dipengaruhi, namun tidak
mempan. Dalam hal tawaran-tawaran bantuan atau utang luar negeri, Soekarno
menolak dengan tegas. Penolakannya terkenal dengan istilah “go to hell your aid”.
Soekarno yang sangat nasionalis sangat anti terhadap modal asing. Ia berpendapat,
jika modal itu masuk dan perangkat-perangkat pendukungnya belum ada, maka modal
itu akan menguasai. Begitu pula pendapatnya dengan teknologi, ia tidak anti
teknologi, namun jangan sampai teknologi atau mesin itu menguasai.
Sikapnya yang sangat nasionalistik itu sudah tentu tidak
disukai Barat, khususnya Amerika Serikat yang berkepentingan dengan Indonesia
dalam perang dingin dan khususnya kepentingan-kepentingan terselubung ekonominya.
Dengan segala cara negara besar ini melakukan penggulingan terhadap Soekarno,
supaya bisa mengganti figure yang menjadi bonekanya. Kenyataan kemudian
Soekarno digulingkan dari kekuasaan dan tatanan ekonomi politik Indonesia
selanjutnya semakin mengorbit ke Barat.
Sebagaimana dikatakan diatas, pemerintahan Soeharto
akhirnya meminta bantuan Barat, khususnya Amerika Serikat dan IMF untuk
membantu pembangunan Indonesia.
Dengan kata lain pembangkrutan Indonesia
sesungguhnya tidak dimulai ketika Orde
Baru dibawah Soeharto berkuasa, jauh dari situ, yakni sejak akhir 1950-an sebagaimana
ditulis oleh Audrey Kahin dan George McT. Kahin.
Kembali kepada peran IMF di Indonesia sebagaimana yang
disebutkan diatas sejak Orde Baru berkuasa sangat besar. Mereka langsung
menangani pembenahan-pembenahan melalui staf-stafnya di departemen-departemen
yang terkait dengan bidang perekonomian. Meskipun pembenahan ini dominan dalam
bidang ekonomi, tidak berarti
bidang-bidang lain tidak terpengaruh. Bidang-bidang lain, khususnya
bidang ekonomi dengan sendirinya mengikuti pola-pola yang mendukung pembangunan
ekonomi ala IMF.
Hanya saja bidang politik ini tidak langsung ditangai
IMF melainkan langsung oleh elit-elit Orde Baru. Elit-elit Orde Baru
sebagaimana faktanya telah merubah tatanan politik di era Soekarno 180 derajat.
Bagaimana perubahan politik ini bukanlah tujuan penelitian. Yang pasti bahwa
politik yang berlangsungpun sesuai dengan keinginan IMF.
IMF yang berperan dibalik layar, namun sangat besar
pengaruhnya terus menancapkan kukunya dengan tajam. Mereka terus menggiring
perekonomian sesuai dengan keinginan para kreditor. Kalau sebelum tahun 1980-an
mereka masih memakai ideology Keynesian, yakni diizinkannya Negara intervensi,
sebaliknya paska 1980-an mereka sama sekali tidak lagi mengizinkan Negara
intervensi, melainkan kebebasan penuh pada pasar. Ideology baru ini dikenal
dengan sebutan “neo liberal”. Suatu ideology yang lahir dari kesepakatan IMF,
Bank Dunia dan Departemen Keuangan Amerika Serikat pada tahun 1980, yang juga
dikenal sebagai consensus Washington (Stiglitz J, 2003:21). Pokok-pokok
pikirannya adalah:
1.
Aturan Pasar.
2.
Memotong pengeluaran Publik
dalam hal Pelayanan Sosial
3.
Deregulasi
4.
Privatisasi
5.
Menghapus Konsep Barang-Barang
Publik (Setiawan, Bonnie, 2001:8-9)
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di IMF, juga
Bank Dunia, maka program neo liberal mengambil bentuk sebagai berikut:
·
Paket kebijakan Structural
Adjustment Policy, terdiri dari (a) liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran
uang yang bebas; (b) devaluasi, (c) kebijakan moneter dan fiscal dalam bentuk:
pembatasan kredit, peningkatan suku bungan kredit, penghapusan subsidi,
peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak
menaikkan upah dan gaji
·
Paket kebijakan deregulasi,
yaitu: (a) i9ntervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena
dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnya dalam
ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai Negara; (c)
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis
proteksi; (d)memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan
fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar
·
Paket kebijakan yang
direkomendasikan kepada beberapa Negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi
akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakan
gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini
(Setiawan, B, 2001:9)
Indonesia telah mengadopsi paham neo liberal sejak tahun 1980-an. Hal ini
terlihat ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan
ekonomi., yang berujud dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Puncaknya adalah ketika badai moneter menimpa
Indonesia pada tahun 1997, dimana Indonesia akhirnya menyerah minta bantuan
kepada IMF dan lembaga ini menerapkan SAP dalam bentuk Structural Adjustment Loan (SAL) untuk
mendapatkan pinjaman baru. Menurut Bello dengan menerima SAL maka Negara
tersebut berada dalam kontrol ekonomi IMF. Tuduhan lebih keras dikemukakan Kwik
Kian Gie.. Menurut beliau, dengan masuknya kembali IMF menata perekonomian Indonesia sejak krisis moneter yang
diimplementasikan dengan 50 LOI (Letter of Intent) telah merusak tatanan
ekonomi Indonesia.
Lebih jelasnya ia mengatakan:
Dalam rangka melaksanakan programnya, entah dengan agenda busuk atau
tidak, tata kelola ekonomi Indonesia
dirusak dengan dahsyatnya melalui program-program yang tidak masuk akal.
Pertama, melalui Letter Of Intent dari IMF sampai dengan 18 Maret 2003.
keseluruhan LOI dapat dibagi sebagai berikut: 327 tindakan dalam bidang
restrukturisasi perbankan yang dipaksakan, 114 dalam bidang restrukturisasi
utang perbankan, 41 dalam bidang desentralisasi, 44 dalam bidang lingkungan
hidup, 168 dalam bidang fiscal, 82 dalam bidang perdagangan luar negeri, 59
deregulasi dan perbankan, 131 dalam bidang pinjaman dan pemulihan asset, 105
dalam kebijakan moneter dan Bank Sentral, 26 lain-lain, dan 120 dalam bidang
privatisasi BUMN (Gie, KK,2004:32)
Intervensi IMF tersebut ternyata tidak hanya dalam
bidang keuangan atau ekonomi, melainkan telah melewatinya hingga
kebidang-bidang lain yang sangat jauh, seperti politik, kebudayaan dan
lain-lain. Berdasarkan laporan tahunan yang diberi nama Countries Strategies
Reform oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank, tidak terbantahkan lagi
bahwa yang memerintah bangsa Indonesia bukan pemerintah Indonesia lagi tetapi
IMF (Gie,KK,2004:32).
Argumen demikian
masih dapat diuraikian lebih panjang lagi. Namun untuk penelitian atau
pembuktian bahwa Indonesia memang sejak lama telah
bergantung kepada ekonomi dan politik pihak asing dianggap sudah memadai. Yang pasti
ketergantungan demikian akan mendatangkan dampak-dampak turunannya yang cukup
serius, seperti ; distorsi pada perekonomian nasional, munculnya pemerintahan
yang tidak demokratis dan lain-lain ekses
yang akhirnya membuat Indonesia
semakin terbelakang. Beberapa pakar bahkan melihatnya sudah lebih dari itu.
Jared Diamond menulis bahwa Indonesia
adalah Negara gagal (failure state) yang cenderung akan hilang dari peta bumi.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian pada
bab-bab sebelumnya yakni dari bab I , II, III dan IV sampailah penelitian ini
kepada kesimpulan sebagai berikut:
- Setelah Orde Baru berkuasa dan melakukan pemerintahan di Indonesia tatanan ekonomi dan politik dirubah dengan mendasar. Kalau pada era Orde Lama orientasi pembangunannya dominan adalah politik, maka pada era Orde Baru orientasi pembangunannya adalah ekonomi. Suatu model pembangunan ekonomi dengan titik sentral (focus) “pertumbuhan” yang banyak diterapkan negara-negara sedang berkembang pasca tahun 1950-an. Dengan pertumbuhan yang kontinyu atau terus menerus, yakni minimal 5% sebagaimana yang dipersyaratkan PBB pembangunan demikian dianggap berhasil.
- Untuk memenuhi model pembanguan seperti itu dibutuhkan investasi, modal dan kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak dimiliki Indonesia. Investasi ini antara lain adalah uang, barang-barang, teknologi dan tenaga akhli yang umumnya dimiliki negara-negara yang sudah maju, kaya dan kuat. Pemerintahan Orde Baru yang telah berketetapan hati melaksanakan pembangunan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan, melihat negara-negara Barat, yakni Eropa , Amerika Serikat dan Jepang sebagai sumber pinjaman. Dengan diplomasi yang intens, Negara-negara tersebut pada akhirnya memberikan pinjaman.
- Akan tetapi dalam perjalanannya, pola pembangunan yang mengandalkan utang luar negeri ini tidak mencapai sasarannnya. Efek tetesan atau tricle down effect yang diharapkan memeratakan hasil-hasil pembangunan tidak terjadi. Pembangunan itu hanya berhasil bagi segelintir elit dan Negara atau pihak kreditor. Hutang semakin lama bukan semakin berkurang, malah sebaliknya semakin membengkak. Adapun factor-faktor yang membuat utang terus membengkak adalah (a) karena dikorupsi (KKN), (b) salah kelola, (c) pelarian uang keluar negeri (capital flight), (d) bunga yang terlalu tinggi, dan (e) maksud-maksud jahat pihak atau Negara asing.
- Beban dan dampak utang luar negeri yang terus menerus membengkak itu menjadi beban bagi pembangunan, sebab dana-dana yang seharusnya digunakan untuk pos-pos pembangunan sebagaimana yang dituangkan dalam APBN semakin mengecil. Pembayaran pembayaran cicilan pokok dan bunga sudah tidak sebanding dengan pos-pos pembangunan, seperti pos kesehatan, pos pendidikan, subsidi BBM, subsidi pangan,, gaji guru dan pensiun,infra strukur ekonomi, dan lain-lain kebutuhan rakyat. Disisi lain dampak dari pola ini adalah membuat Indonesia akan terus menerus tergantung kepada kekuatan ekonomi dan politik asing, yang pada turunannya akan semakin mendistorsi perekonomian nasional, dan membuat kehidupan politik yang semakin jauh dari kedaulatan rakyat. Semua ini pada akhirnya akan membuat Indonesia semakin terbelakang.
REFERENSI
Aryoso, Arif, 1999, Saat Tepat
Untuk Keluar Dari Jeratan Utang Luar Negeri,
dalam Roem Topatimasang. Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Barnett, Richard J& Ronald E. Muller, 1974, Menguak Kekuasaan Perusahaan Tans Nasional, LP3 ES Jakarta
Djamin, Zulkarnaen, 1995, Sumber Luar Negeri Bagi Pembangunan Indonesia, UIP, Jakarta.
Duchrow, Ulrich, 1999, Mengubah Kapitalisme Dunia, BPK Jakarta.
Fisher, I,1993, The Debt Deflation Theory of Great Depresion, Econometrica, vol 1.
Gilpin, Robert, 1987, The Political Economy of International
Relations, Princeton UP, New
Jersey.
Hallberg, Kristin, 1989, International Debt, 1985: Origins and Issues for The Future, Ballinger, New
Jersey.
Haq, Mahbub UI, 1983, The Poverty Curtain, Columbia University
Press, Columbia.
Hill, Hall, 1988, Foreign Investment and Industrialization in
Indonesia, Oxford University Press pte ltd, Singapore,
New York.
Isaak Robert, 1995, Ekonomi Politik Internasional, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Jhamtany Hira, 1999, Krisis Hutang: Apa Yang Perlu Kita Lakukan?
Dalam Roem Topatimasang.
Kahin , Audrey & Kahin, George
McT, 1997, Subversif Sebagai Politik Luar Negeri, Grafiti Jakarta.
Mubyarto, 1997, Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta.
Pastor, Manuel, 1989, Current Account Defisits and Debt
Accumulation in Latin America, Journal of Development Economics, vol 31.
Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man,
Berret Kohler, San Fransisco,
USA.
Rachbini, Didik, 2002, Ekonomi Utang, Pengukuhan Guru Besar,
Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Sangmeister, Hartmut, 1993, Lessons from the Decade of Debt: Reform
Policy in Latin America, Economics no 4.
Setiawan Bonnie, 2001, Menggugat
Globalisasi, INFID dan IGJ, Jakarta
Setiawan Bonnie, 2000, Stop WTO,
INFID, Jakarta
Sing, Kavaljit, 1998, A Citizen Guide To The Globalization of
Finance, Madyam Books, New Delhi.
Siregar, Muchtarudin, 1991, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan
Indonesia, FEUI, Jakarta.
Spero, JE, 1986, The Politics of International Economic
Relations, St.Martin Press, New
York.
Sritua, Arif dan Adi Sasono, 1987, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan
Ekonomi Indonesia, UI Press,
Jakarta.
Stiglitz, Joseph, 2001, Globalization and its Discontents,
Penguins Books, New York.
Strahm, Rudolf, 1999, Kemiskinan Dunia Ketiga, CIDES, Jakarta.
Suhud, Muhammad, 2003, Arbitrase
Utang, INFID, Jakarta
Supriyanto &Sampurna Agung,
1999, Utang Luar Negeri Indonesia,Djambatan,
Jakarta
Thurow, Lester E, 1996, The Future Capitalism.
Todaro, Michael, 1997, Economics for a Developing World,
Longman Group, UK, Limited.
Topatimasang, Roem, 1999, Hutang Itu Hutang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wibowo, Dradjad H, 2006, Jebakan
Utang dan Solusinya. INFID-IMDR ,Jakarta.
Winter, Jeffrey, 1999, Dosa-dosa Politik Orde Baru, Djambatan, Jakarta.
Sumber Lain
Kompas, 23 Oktober 2004: Utang,
Subsidi BBM & Krisis Fiskal.
Kompas, 12 Januari 2005 :
Restrukturisasi Utang RI disetujui Paris Club.
Kompas, 13 Januari 2005 : Bantuan
Tsunami itu tidak gratis.
Kompas, 15 Januari 2005 :
Kesepakatan Paris Club Tak Sesuai Janji Kreditor.
Kompas, 20 Januari 2005 : CGI dan
Utang Kita
Kompas, 31 Januari 2007
Kompas, 26 Maret 2007
Suara Pembaruan, 9 April 2007
Suara Pembaruan, 20 April 2007.
Rakyat Merdeka, 14 Agustus 2007
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Saya memiliki skor kredit yang sangat rendah sehingga upaya saya untuk meminjam dari Bank ditolak. Saya merasa bangkrut sampai-sampai saya tidak mampu membeli tiga kali sehari, dan saya benar-benar bangkrut karena nama saya identik dengan kemiskinan. saya berhutang baik dari teman-teman saya dan juga dari rentenir hidup saya di bawah ancaman saya harus melarikan diri dari rumah dan saya membawa anak-anak saya untuk bertemu ibu mertua saya karena sifat ancaman yang saya terima dari mereka yang meminjamkan saya uang Jadi saya harus mencari cara cepat dan mendesak untuk membayar kembali uang itu dan juga memulai bisnis baru usaha pertama saya sangat mengerikan karena saya ditipu sebesar Rp5.390.020,00 saya harus pindah juga dua minggu kemudian saya kehilangan Rp300.500,00 kepada pemberi pinjaman yang curang jadi saya turun secara finansial dan emosional karena ini yang paling tidak saya harapkan sehingga seorang teman saya memberi tahu saya untuk menghubungi email ini: :( iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com) bahwa saya harus meminta jumlah berapa pun berharap agar Bunda Iskandar selalu menjadi kembali untuk memberikan bantuan keuangan kepada siapa pun yang membutuhkan sehingga saya meminta untuk jumlah Rp850.000.000,00 dalam waktu 24 jam cerita saya berubah untuk selamanya saya membayar semua hutang saya dan saya juga memiliki cukup uang untuk membiayai sendiri bisnis semua terima kasih kepada teman saya yang memperkenalkan saya kepada ibu khususnya dan juga kepada Ibu Iskandar pada umumnya untuk mengubah rasa malu saya menjadi terkenal
BalasHapusAtas perkenan: ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY
Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut