Kamis, 01 September 2016

Pembangunan EKonomi Yang Berpusat Pada Manusia




PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERPUSAT PADA MANUSIA
Oleh: Reinhard Hutapea
 Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.
Ditengah-tengah gemuruhnya issu politik tingkat tinggi, seperti reshufle kabinet jilid ll, yang banyak menimbulkan polemik, pro kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, terobosan pemerintah mengampuni pengemplang pajak melalui tax amnesty, hingga penyunatan APBN sebesar Rp 133,8 T, membuat kita sering amnesia kepada hal-hal yang fundamental.
 Hal-hal strategis demikian adalah untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan. Dengan kata lain apa yang menjadi tujuan utama kita memerdekakan bangsa ini. Hanya sekedar merdeka dari kolonial? Hanya untuk kepentingan segelintir elit?, untuk kembali diexploitasi bangsa lain dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri?. Jawabannya jelas negara ini didirikan untuk melindungi seluruh warga negara dan tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Meski sangat singkat, namun pesannya jelas untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara secara lahir bathin. Meminjam Bung Karno, itulah cerminan dari jembatan emas kemerdekaan yang ditorehkan pada 17 Agustus 1945. Melalui program-program pembangunan, yang di implementasikan pemerintah yang diberi mandat oleh rakyat, tujuan mulia itu diharapkan akan terwujud. Kapan menjadi realitas?  itulah pertanyaan yang menggelitik setelah 71 tahun merdeka.  
Pertanyaan yang mungkin juga menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat kita. Terutama masyarakat yang hidupnya masih jauh dari layak. Jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera dan jauh dari kecerdasan sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945.  Mayoritas masyarakat kita kecenderungannya masih  marjinal,  masih jauh dari  keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Termasuk yang kita hadapi hari-hari ini , ditengah-tengah perlambatan ekonomi yang sedang mencekam.
 Perlambatan yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah Jokowi yang kurang pas menentukan prioritas pembangunan. Terlalu bersemangat  membangun infrastruktur fisik, sementara dana untuk membiayainya belum jelas. Penerimaan pajak yang diharapkan menopangnya jauh dari target. Begitu pula kiat-kiat keuangan lainnya, jauh dari sasaran.
Implikasinya sebagaimana sudah kita lihat adalah pemotongan anggaran yang sangat besar. Anggaran, khususnya yang sangat konsumtif, seperti perjalanan dinas, rapat-rapat, dan pembangunan gedung-gedung/kantor pemerintah dipotong sangat significan. Kebijakan yang akhirnya menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, aka ber ekses ke siklus-siklus selanjutnya, seperti, lesunya pasar, lesunya produsen, lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran, kemiskinan,  ketimpangan atau (mungkin)kepada sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup  telah tertulis dalam text-text book ekonomi maupun ilmu politik.
Tax amnesti
Konstatasi buram demikian kecenderungannya mendorong pemerintah mencari segala ikhtiar/jalan/kiat , termasuk yang tidak populer, seperti melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan  yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri disarankan kembali membawa uangnya  ke Indonesia  tanpa membebani pajak-pajak sebelumnya.
Metode yang secara ekonomis cukup cemerlang(tanda kutif), dapat dibenarkan, namun secara keadilan sukar diterima. Bagaimana para maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira  alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak adil, namun itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar dimedia)  tax amnesti  tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung, Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya sebagai Presiden, Jokowi proaktif  mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya. Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi  media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana perilaku maling itu sampai terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di negeri orang? Tega benar?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali ke tanah air perekonomian kita bisa makmur. Betapa tidak? $ 1 bisa menjadi Rp 3.000. luar biasa. Derivasi atau konsekwensi logisnya harga-harga barang di pasar akan turun dengan sendirinya. Tidakkah itu memakmurkan bangsa?. Apalagi Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang pemerintah telah yakin haqul yakin bahwa, dana yang akan berhasil ditarik konon berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu singkat. Seperti itukah realitanya  biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, andaikan repatriasi/ uang itu  masuk, akankah  membuat perekonomian kita  semakin baik?, sehingga semakin mewujudkan cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah titik krusialnya.
Tidak ada garansi bahwa jika tax amnesty berhasil, kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya. Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah saat ini  belum berubah sejak era Orde Baru. Meski tidak diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang yang sudah gagal itu. Di utak atik sana-sini, substansinya tetap, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Lagu Usang Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari luar. Bukan kepada pengusaha kecil atau koperasi/BUMN/BUMD/BUMDES. Dengan kata lain bukan membangun perekonomian yang didasarkan kepada nilai-nilai kita, seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD 1945, yang bersifat kekeluargaan, gotong royong atau keadilan sosial.
Logika pertumbuhn sebagaimana lazim di kenal adalah persaingan (competition), bukan kerjasama (cooperation) . Setiap individu diberikan ruang untuk bersaing sebebas-bebasnya, karena dengan persaingan tersebut konon akan mencuat barang-barang yang berkualitas dengan harga yang murah sehingga masyarakat akan sejahtera (Adam Smith). Artinya yang berperan itu adalah individu, bukan kumpulan individu-individu alias masyarakat.
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat cerminannya adalah tampilnya pengusaha-pengusaha individu yang lambat laun akan meraksasa, dan akhirnya menjadi penentu. Penentu atau aktor utama dalam perjalanan ekonomi. Sebagaimana teorinya Rostow, mahluk-mahluk ini konon, akan meneteskan hasilnya ke bawah melalui siklus ekonomi sehingga seluruh masyarakat akan mendapatkan kesejahteraannya (WW Rostow dlm Todaro, 2005),
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah berhasil. Yang melesat adalah segelintir manusia yang kaya raya, sisanya nan mayoritas permanen melarat. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebut sistim ini sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau  HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan hegemonik”, yakni rezim yang  mengenyahkan pemerataan.  Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan jasa  akan terus menggandakan komoditasnya hingga  tak terbatas. Begitu terus menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital. Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing, kebijakan ini belum  ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia  semakin dimarjinalkan.  Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan  mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa  semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan dalam konteks pertumbuhan ekonomi hanya angan-angan tukang cendol di kaki lima yang bermimpi akan memiliki “mercy, jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh. Bagaimana mungkin dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja tidak mencukupi, akan menggapai barang-barang mewah. imposible
Berpusat Pada Manusia
Pola usang itu  harus di akhiri. Sistim perekonomian disesuaikan dengan jati diri sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi (UUD 1945). Sistim yang semata-mata tidak sekedar pertumbuhan, melainkan jauh di atas itu. Elemen-elemen lain, seperti pemberdayaan (empower), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustanable) perlu disandingkan bersama elemen pertumbuhan.
Pada model pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), elemen pemberdayaan menempati urutan pertama, disusul keadilan, pertumbuhan,  dan kesinambungan (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutif Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada manusia memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.      Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.      Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar rumah tangga miskin
3.      Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut disusun sebagai berikut:
·         Rakyat harus diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi, punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·         Para penolong pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·         Suatu pembangunan baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·         Pembangunan tidak boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal (Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan negara Republik Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Jk yang bermotto Tri Sakti, yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan, yang dioperasionalkan dalam Nawa Cita akan terwujud apabila model demikian diwujudkan dalam paradigma pembangunannya (01/09/16).




PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERPUSAT PADA MANUSIA
Oleh: Reinhard Hutapea
 Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.
Ditengah-tengah gemuruhnya issu politik tingkat tinggi, seperti reshufle kabinet jilid ll, yang banyak menimbulkan polemik, pro kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, terobosan pemerintah mengampuni pengemplang pajak melalui tax amnesty, hingga penyunatan APBN sebesar Rp 133,8 T, membuat kita sering amnesia kepada hal-hal yang fundamental.
 Hal-hal strategis demikian adalah untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan. Dengan kata lain apa yang menjadi tujuan utama kita memerdekakan bangsa ini. Hanya sekedar merdeka dari kolonial? Hanya untuk kepentingan segelintir elit?, untuk kembali diexploitasi bangsa lain dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri?. Jawabannya jelas negara ini didirikan untuk melindungi seluruh warga negara dan tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Meski sangat singkat, namun pesannya jelas untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara secara lahir bathin. Meminjam Bung Karno, itulah cerminan dari jembatan emas kemerdekaan yang ditorehkan pada 17 Agustus 1945. Melalui program-program pembangunan, yang di implementasikan pemerintah yang diberi mandat oleh rakyat, tujuan mulia itu diharapkan akan terwujud. Kapan menjadi realitas?  itulah pertanyaan yang menggelitik setelah 71 tahun merdeka.  
Pertanyaan yang mungkin juga menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat kita. Terutama masyarakat yang hidupnya masih jauh dari layak. Jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera dan jauh dari kecerdasan sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945.  Mayoritas masyarakat kita kecenderungannya masih  marjinal,  masih jauh dari  keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Termasuk yang kita hadapi hari-hari ini , ditengah-tengah perlambatan ekonomi yang sedang mencekam.
 Perlambatan yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah Jokowi yang kurang pas menentukan prioritas pembangunan. Terlalu bersemangat  membangun infrastruktur fisik, sementara dana untuk membiayainya belum jelas. Penerimaan pajak yang diharapkan menopangnya jauh dari target. Begitu pula kiat-kiat keuangan lainnya, jauh dari sasaran.
Implikasinya sebagaimana sudah kita lihat adalah pemotongan anggaran yang sangat besar. Anggaran, khususnya yang sangat konsumtif, seperti perjalanan dinas, rapat-rapat, dan pembangunan gedung-gedung/kantor pemerintah dipotong sangat significan. Kebijakan yang akhirnya menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, aka ber ekses ke siklus-siklus selanjutnya, seperti, lesunya pasar, lesunya produsen, lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran, kemiskinan,  ketimpangan atau (mungkin)kepada sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup  telah tertulis dalam text-text book ekonomi maupun ilmu politik.
Tax amnesti
Konstatasi buram demikian kecenderungannya mendorong pemerintah mencari segala ikhtiar/jalan/kiat , termasuk yang tidak populer, seperti melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan  yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri disarankan kembali membawa uangnya  ke Indonesia  tanpa membebani pajak-pajak sebelumnya.
Metode yang secara ekonomis cukup cemerlang(tanda kutif), dapat dibenarkan, namun secara keadilan sukar diterima. Bagaimana para maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira  alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak adil, namun itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar dimedia)  tax amnesti  tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung, Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya sebagai Presiden, Jokowi proaktif  mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya. Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi  media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana perilaku maling itu sampai terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di negeri orang? Tega benar?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali ke tanah air perekonomian kita bisa makmur. Betapa tidak? $ 1 bisa menjadi Rp 3.000. luar biasa. Derivasi atau konsekwensi logisnya harga-harga barang di pasar akan turun dengan sendirinya. Tidakkah itu memakmurkan bangsa?. Apalagi Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang pemerintah telah yakin haqul yakin bahwa, dana yang akan berhasil ditarik konon berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu singkat. Seperti itukah realitanya  biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, andaikan repatriasi/ uang itu  masuk, akankah  membuat perekonomian kita  semakin baik?, sehingga semakin mewujudkan cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah titik krusialnya.
Tidak ada garansi bahwa jika tax amnesty berhasil, kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya. Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah saat ini  belum berubah sejak era Orde Baru. Meski tidak diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang yang sudah gagal itu. Di utak atik sana-sini, substansinya tetap, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Lagu Usang Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari luar. Bukan kepada pengusaha kecil atau koperasi/BUMN/BUMD/BUMDES. Dengan kata lain bukan membangun perekonomian yang didasarkan kepada nilai-nilai kita, seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD 1945, yang bersifat kekeluargaan, gotong royong atau keadilan sosial.
Logika pertumbuhn sebagaimana lazim di kenal adalah persaingan (competition), bukan kerjasama (cooperation) . Setiap individu diberikan ruang untuk bersaing sebebas-bebasnya, karena dengan persaingan tersebut konon akan mencuat barang-barang yang berkualitas dengan harga yang murah sehingga masyarakat akan sejahtera (Adam Smith). Artinya yang berperan itu adalah individu, bukan kumpulan individu-individu alias masyarakat.
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat cerminannya adalah tampilnya pengusaha-pengusaha individu yang lambat laun akan meraksasa, dan akhirnya menjadi penentu. Penentu atau aktor utama dalam perjalanan ekonomi. Sebagaimana teorinya Rostow, mahluk-mahluk ini konon, akan meneteskan hasilnya ke bawah melalui siklus ekonomi sehingga seluruh masyarakat akan mendapatkan kesejahteraannya (WW Rostow dlm Todaro, 2005),
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah berhasil. Yang melesat adalah segelintir manusia yang kaya raya, sisanya nan mayoritas permanen melarat. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebut sistim ini sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau  HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan hegemonik”, yakni rezim yang  mengenyahkan pemerataan.  Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan jasa  akan terus menggandakan komoditasnya hingga  tak terbatas. Begitu terus menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital. Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing, kebijakan ini belum  ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia  semakin dimarjinalkan.  Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan  mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa  semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan dalam konteks pertumbuhan ekonomi hanya angan-angan tukang cendol di kaki lima yang bermimpi akan memiliki “mercy, jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh. Bagaimana mungkin dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja tidak mencukupi, akan menggapai barang-barang mewah. imposible
Berpusat Pada Manusia
Pola usang itu  harus di akhiri. Sistim perekonomian disesuaikan dengan jati diri sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi (UUD 1945). Sistim yang semata-mata tidak sekedar pertumbuhan, melainkan jauh di atas itu. Elemen-elemen lain, seperti pemberdayaan (empower), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustanable) perlu disandingkan bersama elemen pertumbuhan.
Pada model pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), elemen pemberdayaan menempati urutan pertama, disusul keadilan, pertumbuhan,  dan kesinambungan (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutif Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada manusia memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.      Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.      Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar rumah tangga miskin
3.      Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut disusun sebagai berikut:
·         Rakyat harus diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi, punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·         Para penolong pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·         Suatu pembangunan baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·         Pembangunan tidak boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal (Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan negara Republik Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Jk yang bermotto Tri Sakti, yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan, yang dioperasionalkan dalam Nawa Cita akan terwujud apabila model demikian diwujudkan dalam paradigma pembangunannya (01/09/16).




PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERPUSAT PADA MANUSIA
Oleh: Reinhard Hutapea
 Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.
Ditengah-tengah gemuruhnya issu politik tingkat tinggi, seperti reshufle kabinet jilid ll, yang banyak menimbulkan polemik, pro kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, terobosan pemerintah mengampuni pengemplang pajak melalui tax amnesty, hingga penyunatan APBN sebesar Rp 133,8 T, membuat kita sering amnesia kepada hal-hal yang fundamental.
 Hal-hal strategis demikian adalah untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan. Dengan kata lain apa yang menjadi tujuan utama kita memerdekakan bangsa ini. Hanya sekedar merdeka dari kolonial? Hanya untuk kepentingan segelintir elit?, untuk kembali diexploitasi bangsa lain dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri?. Jawabannya jelas negara ini didirikan untuk melindungi seluruh warga negara dan tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Meski sangat singkat, namun pesannya jelas untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara secara lahir bathin. Meminjam Bung Karno, itulah cerminan dari jembatan emas kemerdekaan yang ditorehkan pada 17 Agustus 1945. Melalui program-program pembangunan, yang di implementasikan pemerintah yang diberi mandat oleh rakyat, tujuan mulia itu diharapkan akan terwujud. Kapan menjadi realitas?  itulah pertanyaan yang menggelitik setelah 71 tahun merdeka.  
Pertanyaan yang mungkin juga menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat kita. Terutama masyarakat yang hidupnya masih jauh dari layak. Jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera dan jauh dari kecerdasan sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945.  Mayoritas masyarakat kita kecenderungannya masih  marjinal,  masih jauh dari  keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Termasuk yang kita hadapi hari-hari ini , ditengah-tengah perlambatan ekonomi yang sedang mencekam.
 Perlambatan yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah Jokowi yang kurang pas menentukan prioritas pembangunan. Terlalu bersemangat  membangun infrastruktur fisik, sementara dana untuk membiayainya belum jelas. Penerimaan pajak yang diharapkan menopangnya jauh dari target. Begitu pula kiat-kiat keuangan lainnya, jauh dari sasaran.
Implikasinya sebagaimana sudah kita lihat adalah pemotongan anggaran yang sangat besar. Anggaran, khususnya yang sangat konsumtif, seperti perjalanan dinas, rapat-rapat, dan pembangunan gedung-gedung/kantor pemerintah dipotong sangat significan. Kebijakan yang akhirnya menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, aka ber ekses ke siklus-siklus selanjutnya, seperti, lesunya pasar, lesunya produsen, lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran, kemiskinan,  ketimpangan atau (mungkin)kepada sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup  telah tertulis dalam text-text book ekonomi maupun ilmu politik.
Tax amnesti
Konstatasi buram demikian kecenderungannya mendorong pemerintah mencari segala ikhtiar/jalan/kiat , termasuk yang tidak populer, seperti melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan  yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri disarankan kembali membawa uangnya  ke Indonesia  tanpa membebani pajak-pajak sebelumnya.
Metode yang secara ekonomis cukup cemerlang(tanda kutif), dapat dibenarkan, namun secara keadilan sukar diterima. Bagaimana para maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira  alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak adil, namun itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar dimedia)  tax amnesti  tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung, Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya sebagai Presiden, Jokowi proaktif  mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya. Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi  media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana perilaku maling itu sampai terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di negeri orang? Tega benar?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali ke tanah air perekonomian kita bisa makmur. Betapa tidak? $ 1 bisa menjadi Rp 3.000. luar biasa. Derivasi atau konsekwensi logisnya harga-harga barang di pasar akan turun dengan sendirinya. Tidakkah itu memakmurkan bangsa?. Apalagi Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang pemerintah telah yakin haqul yakin bahwa, dana yang akan berhasil ditarik konon berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu singkat. Seperti itukah realitanya  biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, andaikan repatriasi/ uang itu  masuk, akankah  membuat perekonomian kita  semakin baik?, sehingga semakin mewujudkan cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah titik krusialnya.
Tidak ada garansi bahwa jika tax amnesty berhasil, kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya. Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah saat ini  belum berubah sejak era Orde Baru. Meski tidak diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang yang sudah gagal itu. Di utak atik sana-sini, substansinya tetap, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Lagu Usang Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari luar. Bukan kepada pengusaha kecil atau koperasi/BUMN/BUMD/BUMDES. Dengan kata lain bukan membangun perekonomian yang didasarkan kepada nilai-nilai kita, seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD 1945, yang bersifat kekeluargaan, gotong royong atau keadilan sosial.
Logika pertumbuhn sebagaimana lazim di kenal adalah persaingan (competition), bukan kerjasama (cooperation) . Setiap individu diberikan ruang untuk bersaing sebebas-bebasnya, karena dengan persaingan tersebut konon akan mencuat barang-barang yang berkualitas dengan harga yang murah sehingga masyarakat akan sejahtera (Adam Smith). Artinya yang berperan itu adalah individu, bukan kumpulan individu-individu alias masyarakat.
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat cerminannya adalah tampilnya pengusaha-pengusaha individu yang lambat laun akan meraksasa, dan akhirnya menjadi penentu. Penentu atau aktor utama dalam perjalanan ekonomi. Sebagaimana teorinya Rostow, mahluk-mahluk ini konon, akan meneteskan hasilnya ke bawah melalui siklus ekonomi sehingga seluruh masyarakat akan mendapatkan kesejahteraannya (WW Rostow dlm Todaro, 2005),
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah berhasil. Yang melesat adalah segelintir manusia yang kaya raya, sisanya nan mayoritas permanen melarat. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebut sistim ini sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau  HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan hegemonik”, yakni rezim yang  mengenyahkan pemerataan.  Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan jasa  akan terus menggandakan komoditasnya hingga  tak terbatas. Begitu terus menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital. Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya, seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing, kebijakan ini belum  ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia  semakin dimarjinalkan.  Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan  mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa  semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan dalam konteks pertumbuhan ekonomi hanya angan-angan tukang cendol di kaki lima yang bermimpi akan memiliki “mercy, jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh. Bagaimana mungkin dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja tidak mencukupi, akan menggapai barang-barang mewah. imposible
Berpusat Pada Manusia
Pola usang itu  harus di akhiri. Sistim perekonomian disesuaikan dengan jati diri sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi (UUD 1945). Sistim yang semata-mata tidak sekedar pertumbuhan, melainkan jauh di atas itu. Elemen-elemen lain, seperti pemberdayaan (empower), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustanable) perlu disandingkan bersama elemen pertumbuhan.
Pada model pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), elemen pemberdayaan menempati urutan pertama, disusul keadilan, pertumbuhan,  dan kesinambungan (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutif Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada manusia memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.      Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.      Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar rumah tangga miskin
3.      Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut disusun sebagai berikut:
·         Rakyat harus diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi, punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·         Para penolong pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·         Suatu pembangunan baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·         Pembangunan tidak boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal (Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan negara Republik Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Jk yang bermotto Tri Sakti, yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan, yang dioperasionalkan dalam Nawa Cita akan terwujud apabila model demikian diwujudkan dalam paradigma pembangunannya (01/09/16).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar