Oleh:
Reinhard Hutapea
Kompartemen
Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.
Ditengah-tengah gemuruhnya issu politik tingkat
tinggi, seperti reshufle kabinet jilid ll, yang banyak menimbulkan polemik, pro
kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, terobosan pemerintah
mengampuni pengemplang pajak melalui tax amnesty, hingga penyunatan APBN
sebesar Rp 133,8 T, membuat kita sering amnesia kepada hal-hal yang fundamental.
Hal-hal strategis
demikian adalah untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan. Dengan kata lain
apa yang menjadi tujuan utama kita memerdekakan bangsa ini. Hanya sekedar
merdeka dari kolonial? Hanya untuk kepentingan segelintir elit?, untuk kembali
diexploitasi bangsa lain dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri?.
Jawabannya jelas negara ini didirikan untuk melindungi seluruh warga negara dan
tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa
(Alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Meski sangat singkat, namun pesannya jelas untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negara secara lahir bathin. Meminjam Bung Karno, itulah
cerminan dari jembatan emas kemerdekaan yang ditorehkan pada 17 Agustus 1945.
Melalui program-program pembangunan, yang di implementasikan pemerintah yang
diberi mandat oleh rakyat, tujuan mulia itu diharapkan akan terwujud. Kapan
menjadi realitas? itulah pertanyaan yang
menggelitik setelah 71 tahun merdeka.
Pertanyaan yang mungkin juga menjadi pertanyaan
sebagian besar masyarakat kita. Terutama masyarakat yang hidupnya masih jauh
dari layak. Jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera dan jauh dari kecerdasan
sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945. Mayoritas masyarakat kita kecenderungannya
masih marjinal, masih jauh dari keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Termasuk yang kita hadapi hari-hari ini , ditengah-tengah perlambatan ekonomi
yang sedang mencekam.
Perlambatan
yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah
Jokowi yang kurang pas menentukan prioritas pembangunan. Terlalu bersemangat membangun infrastruktur fisik, sementara dana
untuk membiayainya belum jelas. Penerimaan pajak yang diharapkan menopangnya
jauh dari target. Begitu pula kiat-kiat keuangan lainnya, jauh dari sasaran.
Implikasinya sebagaimana sudah kita lihat adalah
pemotongan anggaran yang sangat besar. Anggaran, khususnya yang sangat
konsumtif, seperti perjalanan dinas, rapat-rapat, dan pembangunan
gedung-gedung/kantor pemerintah dipotong sangat significan. Kebijakan yang akhirnya
menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, aka ber ekses ke
siklus-siklus selanjutnya, seperti, →
lesunya pasar,→ lesunya produsen,→
lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran,
kemiskinan, ketimpangan atau (mungkin)kepada
sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup telah tertulis dalam text-text book ekonomi
maupun ilmu politik.
Tax amnesti
Konstatasi buram demikian kecenderungannya mendorong
pemerintah mencari segala ikhtiar/jalan/kiat , termasuk yang tidak populer,
seperti melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri
disarankan kembali membawa uangnya ke
Indonesia tanpa membebani pajak-pajak
sebelumnya.
Metode yang secara ekonomis cukup cemerlang(tanda
kutif), dapat dibenarkan, namun secara keadilan sukar diterima. Bagaimana para
maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha
disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak
adil, namun itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan
sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar
dimedia) tax amnesti tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung,
Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya
sebagai Presiden, Jokowi proaktif mensosialisasikannya ke tengah-tengah
masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya.
Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut
sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana perilaku maling itu sampai
terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di
negeri orang? Tega benar?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali
ke tanah air perekonomian kita bisa makmur. Betapa tidak? $ 1 bisa menjadi Rp
3.000. luar biasa. Derivasi atau konsekwensi logisnya harga-harga barang di
pasar akan turun dengan sendirinya. Tidakkah itu memakmurkan bangsa?. Apalagi
Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang pemerintah telah yakin haqul yakin bahwa, dana
yang akan berhasil ditarik konon berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu
singkat. Seperti itukah realitanya
biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, andaikan repatriasi/ uang
itu masuk, akankah membuat perekonomian kita semakin baik?, sehingga semakin mewujudkan
cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah titik
krusialnya.
Tidak ada garansi bahwa jika tax amnesty berhasil,
kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya.
Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma
pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah saat ini belum berubah sejak era Orde Baru. Meski tidak
diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang yang sudah gagal itu. Di
utak atik sana-sini, substansinya tetap, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Lagu Usang Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha
besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari
luar. Bukan kepada pengusaha kecil atau koperasi/BUMN/BUMD/BUMDES. Dengan kata
lain bukan membangun perekonomian yang didasarkan kepada nilai-nilai kita,
seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD 1945, yang bersifat kekeluargaan,
gotong royong atau keadilan sosial.
Logika pertumbuhn sebagaimana lazim di kenal adalah
persaingan (competition), bukan kerjasama (cooperation) . Setiap individu
diberikan ruang untuk bersaing sebebas-bebasnya, karena dengan persaingan
tersebut konon akan mencuat barang-barang yang berkualitas dengan harga yang
murah sehingga masyarakat akan sejahtera (Adam Smith). Artinya yang berperan
itu adalah individu, bukan kumpulan individu-individu alias masyarakat.
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
cerminannya adalah tampilnya pengusaha-pengusaha individu yang lambat laun akan
meraksasa, dan akhirnya menjadi penentu. Penentu atau aktor utama dalam
perjalanan ekonomi. Sebagaimana teorinya Rostow, mahluk-mahluk ini konon, akan
meneteskan hasilnya ke bawah melalui siklus ekonomi sehingga seluruh masyarakat
akan mendapatkan kesejahteraannya (WW Rostow dlm Todaro, 2005),
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah
berhasil. Yang melesat adalah segelintir manusia yang kaya raya, sisanya nan
mayoritas permanen melarat. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebut sistim ini
sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan
yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian
panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan
pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan
hegemonik”, yakni rezim yang mengenyahkan pemerataan. Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi
pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan
jasa akan terus menggandakan komoditasnya
hingga tak terbatas. Begitu terus
menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja
akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital.
Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya,
seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang
lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat
merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing,
kebijakan ini belum ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya
alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia semakin dimarjinalkan. Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar
dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya
sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas
itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di
luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan
semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan dalam konteks pertumbuhan ekonomi hanya
angan-angan tukang cendol di kaki lima yang bermimpi akan memiliki “mercy,
jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh. Bagaimana
mungkin dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja
tidak mencukupi, akan menggapai barang-barang mewah. imposible
Berpusat Pada Manusia
Pola usang itu harus di akhiri. Sistim perekonomian
disesuaikan dengan jati diri sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi (UUD
1945). Sistim yang semata-mata tidak sekedar pertumbuhan, melainkan jauh di
atas itu. Elemen-elemen lain, seperti pemberdayaan (empower), keadilan (equity)
dan keberlanjutan (sustanable) perlu disandingkan bersama elemen pertumbuhan.
Pada model pembangunan yang berpusat pada manusia
(people centered development), elemen pemberdayaan menempati urutan pertama,
disusul keadilan, pertumbuhan, dan
kesinambungan (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutif Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada
manusia memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya
pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai
tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.
Penekanan akan
dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.
Kesadaran bahwa
walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional,
tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar
rumah tangga miskin
3.
Kebutuhan akan
kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima
bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan
sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut
disusun sebagai berikut:
·
Rakyat harus
diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi,
punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·
Para penolong
pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur
dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·
Suatu pembangunan
baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga
proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·
Pembangunan tidak
boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu
pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun
kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan
yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal
(Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat
pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan
negara Republik Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Jk yang bermotto Tri Sakti,
yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam bidang kebudayaan, yang dioperasionalkan dalam Nawa Cita akan
terwujud apabila model demikian diwujudkan dalam paradigma pembangunannya
(01/09/16).
PEMBANGUNAN
EKONOMI YANG BERPUSAT PADA MANUSIA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kompartemen
Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.
Ditengah-tengah gemuruhnya issu politik tingkat
tinggi, seperti reshufle kabinet jilid ll, yang banyak menimbulkan polemik, pro
kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, terobosan pemerintah
mengampuni pengemplang pajak melalui tax amnesty, hingga penyunatan APBN
sebesar Rp 133,8 T, membuat kita sering amnesia kepada hal-hal yang fundamental.
Hal-hal strategis
demikian adalah untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan. Dengan kata lain
apa yang menjadi tujuan utama kita memerdekakan bangsa ini. Hanya sekedar
merdeka dari kolonial? Hanya untuk kepentingan segelintir elit?, untuk kembali
diexploitasi bangsa lain dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri?.
Jawabannya jelas negara ini didirikan untuk melindungi seluruh warga negara dan
tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa
(Alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Meski sangat singkat, namun pesannya jelas untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negara secara lahir bathin. Meminjam Bung Karno, itulah
cerminan dari jembatan emas kemerdekaan yang ditorehkan pada 17 Agustus 1945.
Melalui program-program pembangunan, yang di implementasikan pemerintah yang
diberi mandat oleh rakyat, tujuan mulia itu diharapkan akan terwujud. Kapan
menjadi realitas? itulah pertanyaan yang
menggelitik setelah 71 tahun merdeka.
Pertanyaan yang mungkin juga menjadi pertanyaan
sebagian besar masyarakat kita. Terutama masyarakat yang hidupnya masih jauh
dari layak. Jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera dan jauh dari kecerdasan
sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945. Mayoritas masyarakat kita kecenderungannya
masih marjinal, masih jauh dari keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Termasuk yang kita hadapi hari-hari ini , ditengah-tengah perlambatan ekonomi
yang sedang mencekam.
Perlambatan
yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah
Jokowi yang kurang pas menentukan prioritas pembangunan. Terlalu bersemangat membangun infrastruktur fisik, sementara dana
untuk membiayainya belum jelas. Penerimaan pajak yang diharapkan menopangnya
jauh dari target. Begitu pula kiat-kiat keuangan lainnya, jauh dari sasaran.
Implikasinya sebagaimana sudah kita lihat adalah
pemotongan anggaran yang sangat besar. Anggaran, khususnya yang sangat
konsumtif, seperti perjalanan dinas, rapat-rapat, dan pembangunan
gedung-gedung/kantor pemerintah dipotong sangat significan. Kebijakan yang akhirnya
menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, aka ber ekses ke
siklus-siklus selanjutnya, seperti, →
lesunya pasar,→ lesunya produsen,→
lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran,
kemiskinan, ketimpangan atau (mungkin)kepada
sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup telah tertulis dalam text-text book ekonomi
maupun ilmu politik.
Tax amnesti
Konstatasi buram demikian kecenderungannya mendorong
pemerintah mencari segala ikhtiar/jalan/kiat , termasuk yang tidak populer,
seperti melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri
disarankan kembali membawa uangnya ke
Indonesia tanpa membebani pajak-pajak
sebelumnya.
Metode yang secara ekonomis cukup cemerlang(tanda
kutif), dapat dibenarkan, namun secara keadilan sukar diterima. Bagaimana para
maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha
disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak
adil, namun itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan
sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar
dimedia) tax amnesti tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung,
Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya
sebagai Presiden, Jokowi proaktif mensosialisasikannya ke tengah-tengah
masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya.
Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut
sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana perilaku maling itu sampai
terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di
negeri orang? Tega benar?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali
ke tanah air perekonomian kita bisa makmur. Betapa tidak? $ 1 bisa menjadi Rp
3.000. luar biasa. Derivasi atau konsekwensi logisnya harga-harga barang di
pasar akan turun dengan sendirinya. Tidakkah itu memakmurkan bangsa?. Apalagi
Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang pemerintah telah yakin haqul yakin bahwa, dana
yang akan berhasil ditarik konon berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu
singkat. Seperti itukah realitanya
biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, andaikan repatriasi/ uang
itu masuk, akankah membuat perekonomian kita semakin baik?, sehingga semakin mewujudkan
cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah titik
krusialnya.
Tidak ada garansi bahwa jika tax amnesty berhasil,
kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya.
Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma
pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah saat ini belum berubah sejak era Orde Baru. Meski tidak
diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang yang sudah gagal itu. Di
utak atik sana-sini, substansinya tetap, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Lagu Usang Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha
besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari
luar. Bukan kepada pengusaha kecil atau koperasi/BUMN/BUMD/BUMDES. Dengan kata
lain bukan membangun perekonomian yang didasarkan kepada nilai-nilai kita,
seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD 1945, yang bersifat kekeluargaan,
gotong royong atau keadilan sosial.
Logika pertumbuhn sebagaimana lazim di kenal adalah
persaingan (competition), bukan kerjasama (cooperation) . Setiap individu
diberikan ruang untuk bersaing sebebas-bebasnya, karena dengan persaingan
tersebut konon akan mencuat barang-barang yang berkualitas dengan harga yang
murah sehingga masyarakat akan sejahtera (Adam Smith). Artinya yang berperan
itu adalah individu, bukan kumpulan individu-individu alias masyarakat.
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
cerminannya adalah tampilnya pengusaha-pengusaha individu yang lambat laun akan
meraksasa, dan akhirnya menjadi penentu. Penentu atau aktor utama dalam
perjalanan ekonomi. Sebagaimana teorinya Rostow, mahluk-mahluk ini konon, akan
meneteskan hasilnya ke bawah melalui siklus ekonomi sehingga seluruh masyarakat
akan mendapatkan kesejahteraannya (WW Rostow dlm Todaro, 2005),
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah
berhasil. Yang melesat adalah segelintir manusia yang kaya raya, sisanya nan
mayoritas permanen melarat. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebut sistim ini
sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan
yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian
panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan
pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan
hegemonik”, yakni rezim yang mengenyahkan pemerataan. Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi
pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan
jasa akan terus menggandakan komoditasnya
hingga tak terbatas. Begitu terus
menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja
akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital.
Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya,
seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang
lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat
merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing,
kebijakan ini belum ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya
alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia semakin dimarjinalkan. Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar
dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya
sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas
itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di
luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan
semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan dalam konteks pertumbuhan ekonomi hanya
angan-angan tukang cendol di kaki lima yang bermimpi akan memiliki “mercy,
jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh. Bagaimana
mungkin dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja
tidak mencukupi, akan menggapai barang-barang mewah. imposible
Berpusat Pada Manusia
Pola usang itu harus di akhiri. Sistim perekonomian
disesuaikan dengan jati diri sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi (UUD
1945). Sistim yang semata-mata tidak sekedar pertumbuhan, melainkan jauh di
atas itu. Elemen-elemen lain, seperti pemberdayaan (empower), keadilan (equity)
dan keberlanjutan (sustanable) perlu disandingkan bersama elemen pertumbuhan.
Pada model pembangunan yang berpusat pada manusia
(people centered development), elemen pemberdayaan menempati urutan pertama,
disusul keadilan, pertumbuhan, dan
kesinambungan (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutif Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada
manusia memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya
pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai
tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.
Penekanan akan
dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.
Kesadaran bahwa
walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional,
tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar
rumah tangga miskin
3.
Kebutuhan akan
kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima
bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan
sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut
disusun sebagai berikut:
·
Rakyat harus
diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi,
punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·
Para penolong
pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur
dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·
Suatu pembangunan
baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga
proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·
Pembangunan tidak
boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu
pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun
kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan
yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal
(Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat
pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan
negara Republik Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Jk yang bermotto Tri Sakti,
yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam bidang kebudayaan, yang dioperasionalkan dalam Nawa Cita akan
terwujud apabila model demikian diwujudkan dalam paradigma pembangunannya
(01/09/16).
PEMBANGUNAN
EKONOMI YANG BERPUSAT PADA MANUSIA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kompartemen
Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI.
Ditengah-tengah gemuruhnya issu politik tingkat
tinggi, seperti reshufle kabinet jilid ll, yang banyak menimbulkan polemik, pro
kontra pencalonan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, terobosan pemerintah
mengampuni pengemplang pajak melalui tax amnesty, hingga penyunatan APBN
sebesar Rp 133,8 T, membuat kita sering amnesia kepada hal-hal yang fundamental.
Hal-hal strategis
demikian adalah untuk apa sesungguhnya negara ini didirikan. Dengan kata lain
apa yang menjadi tujuan utama kita memerdekakan bangsa ini. Hanya sekedar
merdeka dari kolonial? Hanya untuk kepentingan segelintir elit?, untuk kembali
diexploitasi bangsa lain dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri?.
Jawabannya jelas negara ini didirikan untuk melindungi seluruh warga negara dan
tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa
(Alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Meski sangat singkat, namun pesannya jelas untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negara secara lahir bathin. Meminjam Bung Karno, itulah
cerminan dari jembatan emas kemerdekaan yang ditorehkan pada 17 Agustus 1945.
Melalui program-program pembangunan, yang di implementasikan pemerintah yang
diberi mandat oleh rakyat, tujuan mulia itu diharapkan akan terwujud. Kapan
menjadi realitas? itulah pertanyaan yang
menggelitik setelah 71 tahun merdeka.
Pertanyaan yang mungkin juga menjadi pertanyaan
sebagian besar masyarakat kita. Terutama masyarakat yang hidupnya masih jauh
dari layak. Jauh dari rasa aman, jauh dari sejahtera dan jauh dari kecerdasan
sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945. Mayoritas masyarakat kita kecenderungannya
masih marjinal, masih jauh dari keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Termasuk yang kita hadapi hari-hari ini , ditengah-tengah perlambatan ekonomi
yang sedang mencekam.
Perlambatan
yang konon mengemuka akibat lesunya perekonomian dunia, plus kebijakan pemerintah
Jokowi yang kurang pas menentukan prioritas pembangunan. Terlalu bersemangat membangun infrastruktur fisik, sementara dana
untuk membiayainya belum jelas. Penerimaan pajak yang diharapkan menopangnya
jauh dari target. Begitu pula kiat-kiat keuangan lainnya, jauh dari sasaran.
Implikasinya sebagaimana sudah kita lihat adalah
pemotongan anggaran yang sangat besar. Anggaran, khususnya yang sangat
konsumtif, seperti perjalanan dinas, rapat-rapat, dan pembangunan
gedung-gedung/kantor pemerintah dipotong sangat significan. Kebijakan yang akhirnya
menurunkan daya beli masyarakat
Dengan lemahnya daya beli, aka ber ekses ke
siklus-siklus selanjutnya, seperti, →
lesunya pasar,→ lesunya produsen,→
lesunya petani di desa, yang tali temali menjurus kepada pengangguran,
kemiskinan, ketimpangan atau (mungkin)kepada
sakratul maut. Konsep “Lingkaran setan” yang lebih dari cukup telah tertulis dalam text-text book ekonomi
maupun ilmu politik.
Tax amnesti
Konstatasi buram demikian kecenderungannya mendorong
pemerintah mencari segala ikhtiar/jalan/kiat , termasuk yang tidak populer,
seperti melegalkan “tax amnesty” alias pengampunan pajak. Kalangan-kalangan yang menyimpan atau melarikan uangnya keluar negeri
disarankan kembali membawa uangnya ke
Indonesia tanpa membebani pajak-pajak
sebelumnya.
Metode yang secara ekonomis cukup cemerlang(tanda
kutif), dapat dibenarkan, namun secara keadilan sukar diterima. Bagaimana para
maling ekonomi kok diberi pengampunan. Itulah kira-kira alasan sederhananya. Enak benar? Cari uang/berusaha
disini, kok nyimpan uang di luar (meminjam Jokowi). Apa itu adil? Jelas tidak
adil, namun itulah faktanya.
Meski banyak yang menentang, (namun jangan-jangan
sesungguhnya lebih banyak lagi yang setuju, hanya saja tidak berkoar-koar
dimedia) tax amnesti tetap diimplementasikan. Tidak tanggung-tanggung,
Presiden sendiri turun tangan mengoperasionalkannya. Tanpa peduli jabatannya
sebagai Presiden, Jokowi proaktif mensosialisasikannya ke tengah-tengah
masyarakat
Menurut kabar burung sudah mulai menunjukkan hasilnya.
Perlahan uangnya sudah mulai masuk. Menurut informasi media, konon uang yang parkir di luar negeri tersebut
sangat fantastis. Jumlahnya mencapai Rp 7000 T. Bagaimana perilaku maling itu sampai
terjadi?, dimanakah moral mereka tega-teganya memarkir duit sebesar itu di
negeri orang? Tega benar?
Menurut para pengamat keuangan, jika jumlah itu kembali
ke tanah air perekonomian kita bisa makmur. Betapa tidak? $ 1 bisa menjadi Rp
3.000. luar biasa. Derivasi atau konsekwensi logisnya harga-harga barang di
pasar akan turun dengan sendirinya. Tidakkah itu memakmurkan bangsa?. Apalagi
Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang pemerintah telah yakin haqul yakin bahwa, dana
yang akan berhasil ditarik konon berjumlah sekitar Rp 3000 T dalam waktu
singkat. Seperti itukah realitanya
biarlah waktu yang menjawab. Mudah-mudahan tidak melenceng.
Pertanyaan kemudian adalah, andaikan repatriasi/ uang
itu masuk, akankah membuat perekonomian kita semakin baik?, sehingga semakin mewujudkan
cita-cita kita bernegara, bermasyarakat dan berbangsa?. Disinilah titik
krusialnya.
Tidak ada garansi bahwa jika tax amnesty berhasil,
kehidupan rakyat akan semakin makmur dan sejahtera. Apalagi sebaliknya.
Persoalannya bukan disitu. Menurut hemat penulis, cara, model atau paradigma
pembangunan ekonomi yang ditempuh pemerintah saat ini belum berubah sejak era Orde Baru. Meski tidak
diakui, nyatanya masih tetap menerapkan pola usang yang sudah gagal itu. Di
utak atik sana-sini, substansinya tetap, yakni “pertumbuhan ekonomi” an sich.
Lagu Usang Pertumbuhan
Masih tetap berorientasi pada pengusaha
besar/konglomeraat, para pemilik teknologi mutakhir, terutama yang berasal dari
luar. Bukan kepada pengusaha kecil atau koperasi/BUMN/BUMD/BUMDES. Dengan kata
lain bukan membangun perekonomian yang didasarkan kepada nilai-nilai kita,
seperti yang tertulis dalam Pancasila dan UUD 1945, yang bersifat kekeluargaan,
gotong royong atau keadilan sosial.
Logika pertumbuhn sebagaimana lazim di kenal adalah
persaingan (competition), bukan kerjasama (cooperation) . Setiap individu
diberikan ruang untuk bersaing sebebas-bebasnya, karena dengan persaingan
tersebut konon akan mencuat barang-barang yang berkualitas dengan harga yang
murah sehingga masyarakat akan sejahtera (Adam Smith). Artinya yang berperan
itu adalah individu, bukan kumpulan individu-individu alias masyarakat.
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
cerminannya adalah tampilnya pengusaha-pengusaha individu yang lambat laun akan
meraksasa, dan akhirnya menjadi penentu. Penentu atau aktor utama dalam
perjalanan ekonomi. Sebagaimana teorinya Rostow, mahluk-mahluk ini konon, akan
meneteskan hasilnya ke bawah melalui siklus ekonomi sehingga seluruh masyarakat
akan mendapatkan kesejahteraannya (WW Rostow dlm Todaro, 2005),
Fakta empirik menunjukkan bahwa pola itu tidak pernah
berhasil. Yang melesat adalah segelintir manusia yang kaya raya, sisanya nan
mayoritas permanen melarat. Dengan vulgar Mahbub Ul Haq menyebut sistim ini
sebagai “upaya mengejar yang palsu” (the catching up fallacy, 1970). Atau HW Arndt (1980) mendendangkannya sebagai “pertumbuhan
yang menyengsarakan”. Pendapat yang mendukung masih dapat diuraikan sekian
panjang lagi, namun intinya tetap, yakni pertumbuhan tidak akan menghasilkan
pemerataan.
Sekali pertumbuhan ditempuh ia akan menjadi “rezim nan
hegemonik”, yakni rezim yang mengenyahkan pemerataan. Itu sudah kodrat atau hukum besi bagi
pendekatan hegemonik seperti itu. Pemilik kapital yang menghasilkan barang dan
jasa akan terus menggandakan komoditasnya
hingga tak terbatas. Begitu terus
menerus, sehingga yang muncul kepermukaan adalah akumulasi capital.
Unsur-unsur pendukung perusahaan, seperti para pekerja
akan tetap diperhatikan, namun hanya sebatas memperkuat keuntungan kapital.
Selama mereka dirasakan menguntungkan perusahaan, mereka akan dipakai. Jika sebaliknya,
seperti produktivitasnya sudah menurun, akan segera diganti dengan tenaga yang
lebih segar. Dalam konteks inilah ditempuh kebijakan “out sourching” yang sangat
merugikan para pekerja. Meski mendapat kecaman, pro kontra atau gonjang-ganjing,
kebijakan ini belum ada titik temunya.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi, yakni ditemukannya
alat-alat kerja baru yang lebih efektif-efisien, tenaga kerja manusia semakin dimarjinalkan. Orientasi atau sikluasnya akan berputar-putar
dilingkaran setan tersebut. Tidak berlebihan kalau Karl Marx dulu menyebutnya
sebagai pengasingan manusia dari habitatnya.
Meski tidak se extrim narasi demikian, yang jelas
itulah logika pertumbuhan kapital. Kapital akan mengutamakan kapital itu sendiri. Tidak di
luar itu (kesejahteraan pekerja). Janji-janji yang diumbar para kapitalis, bahwa semakin tinggi pertumbuhan/produktivitas akan
semakin sejahtera pekerja tidak akan pernah empirik.
Pemerataan dalam konteks pertumbuhan ekonomi hanya
angan-angan tukang cendol di kaki lima yang bermimpi akan memiliki “mercy,
jaguar atau ferrary, pesawat jet atau villa di langit ketujuh. Bagaimana
mungkin dengan penghasilan yang hanya untuk kebutuhan rumah tangganya saja
tidak mencukupi, akan menggapai barang-barang mewah. imposible
Berpusat Pada Manusia
Pola usang itu harus di akhiri. Sistim perekonomian
disesuaikan dengan jati diri sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi (UUD
1945). Sistim yang semata-mata tidak sekedar pertumbuhan, melainkan jauh di
atas itu. Elemen-elemen lain, seperti pemberdayaan (empower), keadilan (equity)
dan keberlanjutan (sustanable) perlu disandingkan bersama elemen pertumbuhan.
Pada model pembangunan yang berpusat pada manusia
(people centered development), elemen pemberdayaan menempati urutan pertama,
disusul keadilan, pertumbuhan, dan
kesinambungan (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutif Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada
manusia memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya
pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai
tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.
Penekanan akan
dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.
Kesadaran bahwa
walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional,
tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar
rumah tangga miskin
3.
Kebutuhan akan
kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima
bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan
sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut
disusun sebagai berikut:
·
Rakyat harus
diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi,
punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·
Para penolong
pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur
dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·
Suatu pembangunan
baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga
proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·
Pembangunan tidak
boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu
pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun
kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan
yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal
(Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat
pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan
negara Republik Indonesia. Pemerintahan Jokowi-Jk yang bermotto Tri Sakti,
yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam bidang kebudayaan, yang dioperasionalkan dalam Nawa Cita akan
terwujud apabila model demikian diwujudkan dalam paradigma pembangunannya
(01/09/16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar