Minggu, 04 September 2016

KAJI ULANG TARIF TRANS MUSI



KAJI ULANG TARIF TRANS MUSI
Oleh : Reinhard Hutapea
Mahasiswa S3 Agribisnis UNSRI 


Pada tanggal 17 September 2013 yang lalu Pusat studi transportasi Unsri melangsungkan dialog public tentang “Subsidi BBM untuk transportasi umum” di aula serba guna Pascasarjana Unsri. Peserta  , persisnya para narasumber yang hadir  cukup kompeten. Ada  dari DPR RI, kementerian keuangan, pakar energi, pakar transportasi, LSM Transportasi, Pemda dan lain-lainnya.
Sebagaimana suatu dialog, diskusi atau seminar, pada umumnya selalu membahas hal yang besar-besar, yang gawat-gawat atau yang wah-wah, sehingga  sering terjerumus karena tidak focus pada masalah yang dibahas dan sebagai konsekwensi logisnya tidakmenghasilkan rekomendasi yang kongkrit.
Pada umumnya mereka terjebak dalam pembahasan  mendalam (karena terdiri dari para pakar) sekaligus melebar  (karena pluralisnya peserta) . Dengan kegenitan intelektual, plus beragamnya kepentingan, serta menyeruaknya retorika , mereka tergelicir  pada analisis yang tak berkesudahan.
 Apalagi  tampilnya para demagog politik, yang menggunakan setiap forum untuk kepentingannya , jadilah pembahasan yang berputar-putar. Tak   jelas juntrungannya, sampai ke langit ketujuh, namun kakinya tidak pernah sampai di bumi.
Persoalan-persoalan real  didepan hidung, seperti moda transportasi kota Internasional Palembang yang bernama “Trans Musi” luput dari pembicaraan. Tidakkah seharusnya model transportasi baru ini menjadi ilustrasi menarik untuk dibahas ?. inti permasalahannya jelas, yakni “ sudahkah Trans Musi dikembangkan sesuai  kebutuhan masyarakat Palembang ?
Aman dan Sejuk
Tak dapat dipungkiri kehadiran Transmusi , telah memberikan keistimewaan tersendiri, dibandingkan dengan moda transportasi-transportasi lain. Khususnya dalam hal “kenyamanan, keamanan dan kesejukan” ia lebih unggul
Dengan bis yang baru,inovatif,  ber ac, kondektur dan sopir yang professional, halte tersendiri, membuat pengguna dimanjakan. Masyarakat  tidak lagi kepanasan, berpeluh atau was-was ketakutan sebagaimana pada kenderaan-kenderaan sebelumnya.
Dengan senang hati para penumpang  akan semakin betah naik kenderaan umum daripada kenderaan lain karena rasa aman, nyaman dan sejuknya transportasi yang baru.
Begitu pula momok-momok sebelumnya, seperti  seringnya para penjahat beraksi  menjadi hilang, karena  pengelolaan yang semakin professional. Derivasi selanjutnya adalah , kenderaan ini membuat  penumpang  semakin tertib. Kelebihan-kelebihan ini harus diapresiasi.
                Akan tetapi disamping kemajuan demikian ada hal-hal yang  harus dikaji ulang agar  kenyamanan yang terbangun  tetap, bahkan meningkat kwalitasnya. Masalah-masalah seperti harga tiket yang dirasakan  terlalu tinggi, bentuknya  yang kurang flexible, keterbatasan halte yang tersedia, kebersihan bis yang kurang, waktu tempuh  yang kurang teratur ,adalah beberapa masalah  yang dirasakan saat ini.  
Masalah Tarif
Agar  subsidi BBM  tepat sasaran sebagaimana diulas dalam seminar itu (katanya sih begitu), subsidi utama seharusnya diberikan   kepada  pelayanan public. Salah satunya adalah  transportasi umum. Tidak kepada kenderaan-kenderaan pribadi, termasuk motor yang sedang menjamur dewasa ini.
Transportasi public sangat tepat disubsidi. Selain karena memang kebutuhan utama masyarakat, juga sebagai perintah   konstitusi (Pemb UUD 1945; melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan), yang  kongkritisasinya  sudah  dituangkan  dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
Oleh karena itu tariff yang dibebankan kepada masyarakat tidak mengikuti mekanisme pasar. Apalagi pasar bebas yang sangat liberal. Sesuai perintah konstitusi yang beraroma welfare state alias negara kesejahteraan, wujudnya pro masyarakat. Artinya    harga   yang dibayar masyarakat (penumpang) harus murah, kecil atau jika mengijinkan gratis sama sekali.
Tarif transmusi yang nilainya Rp 4500 sudah waktunya dikaji ulang. Jangan gara-gara harga BBM naik, tanpa diperintah Organda, pengelola  langsung menaikkan tarifnya (dari Rp 4000 menjadi Rp 4500). Apa bedanya dengan pelayanan non public ?  apakah harus kembali mengikuti hukum besi pasar ?
Jelas tidak !, sistim kita sebagaimana ditulis diatas (ketentuan konstitusi) yang diamanatkan dalam pasal 33 ayat 1,2,3 UUD 1945, terang benderang tidak mengikuti logika pasar. Mungkin lebih dekat dengan pola Keynesian, yakni pemerintah dapat intervensi apabila sistim pasar tidak menguntungkan masyarakat
Mengapa misalnya tidak dibuat saja RP 3000, seperti yang berlaku di Pekan Baru, Yogyakarta, Bogor atau Busway Jakarta Rp 3500, meski tariff BBM dinaikkan ?. tidakkah itu fakta bahwa daerah-daerah tersebut bertindak konstitusional i. Artinya “perlindungan, kesejahteraan dan kecerdasan” masyarakat diutamakan ketimbang kebutuhan pasar.
Atau agar lebih maju/dramatis lagi, mengapa tidak digratiskan saja ? tidakkah itu selain mensejahterakan masyarakat, juga menjadi jawaban kemacetan yang fenomenologis dewasa ini ?. Apa tak kapok  mengikuti logika keledai yang selalu jatuh ke lubang yang sama ?
Cat: saat ini tarifnya Rp 5.000 (3 Sept 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar