KAJI ULANG
TARIF TRANS MUSI
Oleh :
Reinhard Hutapea
Mahasiswa S3
Agribisnis UNSRI
Pada tanggal 17 September 2013 yang lalu Pusat
studi transportasi Unsri melangsungkan dialog public tentang “Subsidi BBM untuk
transportasi umum” di aula serba guna Pascasarjana Unsri. Peserta , persisnya para narasumber yang hadir cukup kompeten. Ada dari DPR RI, kementerian keuangan, pakar energi,
pakar transportasi, LSM Transportasi, Pemda dan lain-lainnya.
Sebagaimana
suatu dialog, diskusi atau seminar, pada umumnya selalu membahas hal yang
besar-besar, yang gawat-gawat atau yang wah-wah, sehingga sering terjerumus karena tidak focus pada
masalah yang dibahas dan sebagai konsekwensi logisnya tidakmenghasilkan rekomendasi
yang kongkrit.
Pada umumnya mereka
terjebak dalam pembahasan mendalam (karena
terdiri dari para pakar) sekaligus melebar (karena pluralisnya peserta) . Dengan
kegenitan intelektual, plus beragamnya kepentingan, serta menyeruaknya retorika
, mereka tergelicir pada analisis yang
tak berkesudahan.
Apalagi tampilnya para demagog politik, yang
menggunakan setiap forum untuk kepentingannya , jadilah pembahasan yang berputar-putar.
Tak jelas juntrungannya, sampai ke langit ketujuh,
namun kakinya tidak pernah sampai di bumi.
Persoalan-persoalan
real didepan hidung, seperti moda
transportasi kota Internasional Palembang yang bernama “Trans Musi” luput dari
pembicaraan. Tidakkah seharusnya model transportasi baru ini menjadi ilustrasi
menarik untuk dibahas ?. inti permasalahannya jelas, yakni “ sudahkah Trans
Musi dikembangkan sesuai kebutuhan
masyarakat Palembang ?
Aman dan Sejuk
Tak dapat
dipungkiri kehadiran Transmusi , telah memberikan keistimewaan tersendiri,
dibandingkan dengan moda transportasi-transportasi lain. Khususnya dalam hal “kenyamanan,
keamanan dan kesejukan” ia lebih unggul
Dengan bis
yang baru,inovatif, ber ac, kondektur
dan sopir yang professional, halte tersendiri, membuat pengguna dimanjakan.
Masyarakat tidak lagi kepanasan,
berpeluh atau was-was ketakutan sebagaimana pada kenderaan-kenderaan sebelumnya.
Dengan senang
hati para penumpang akan semakin betah
naik kenderaan umum daripada kenderaan lain karena rasa aman, nyaman dan sejuknya
transportasi yang baru.
Begitu pula momok-momok
sebelumnya, seperti seringnya para
penjahat beraksi menjadi hilang, karena pengelolaan yang semakin professional. Derivasi
selanjutnya adalah , kenderaan ini membuat penumpang semakin tertib. Kelebihan-kelebihan ini harus
diapresiasi.
Akan
tetapi disamping kemajuan demikian ada hal-hal yang harus dikaji ulang agar kenyamanan yang terbangun tetap, bahkan meningkat kwalitasnya.
Masalah-masalah seperti harga tiket yang dirasakan terlalu tinggi, bentuknya yang kurang flexible, keterbatasan halte yang
tersedia, kebersihan bis yang kurang, waktu tempuh yang kurang teratur ,adalah beberapa masalah yang dirasakan saat ini.
Masalah Tarif
Agar subsidi BBM tepat sasaran sebagaimana diulas dalam seminar
itu (katanya sih begitu), subsidi utama seharusnya diberikan kepada
pelayanan public. Salah satunya adalah transportasi umum. Tidak kepada
kenderaan-kenderaan pribadi, termasuk motor yang sedang menjamur dewasa ini.
Transportasi
public sangat tepat disubsidi. Selain karena memang kebutuhan utama masyarakat,
juga sebagai perintah konstitusi (Pemb UUD 1945; melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan), yang
kongkritisasinya sudah dituangkan dalam Undang-Undang Pelayanan Publik
Oleh karena
itu tariff yang dibebankan kepada masyarakat tidak mengikuti mekanisme pasar.
Apalagi pasar bebas yang sangat liberal. Sesuai perintah konstitusi yang
beraroma welfare state alias negara kesejahteraan, wujudnya pro masyarakat. Artinya
harga yang dibayar masyarakat (penumpang) harus
murah, kecil atau jika mengijinkan gratis sama sekali.
Tarif transmusi
yang nilainya Rp 4500 sudah waktunya dikaji ulang. Jangan gara-gara harga BBM
naik, tanpa diperintah Organda, pengelola langsung menaikkan tarifnya (dari Rp 4000
menjadi Rp 4500). Apa bedanya dengan pelayanan non public ? apakah harus kembali mengikuti hukum besi pasar
?
Jelas tidak !,
sistim kita sebagaimana ditulis diatas (ketentuan konstitusi) yang diamanatkan
dalam pasal 33 ayat 1,2,3 UUD 1945, terang benderang tidak mengikuti logika
pasar. Mungkin lebih dekat dengan pola Keynesian, yakni pemerintah dapat
intervensi apabila sistim pasar tidak menguntungkan masyarakat
Mengapa
misalnya tidak dibuat saja RP 3000, seperti yang berlaku di Pekan Baru,
Yogyakarta, Bogor atau Busway Jakarta Rp 3500, meski tariff BBM dinaikkan ?. tidakkah
itu fakta bahwa daerah-daerah tersebut bertindak konstitusional i. Artinya “perlindungan,
kesejahteraan dan kecerdasan” masyarakat diutamakan ketimbang kebutuhan pasar.
Atau agar lebih
maju/dramatis lagi, mengapa tidak digratiskan saja ? tidakkah itu selain mensejahterakan
masyarakat, juga menjadi jawaban kemacetan yang fenomenologis dewasa ini ?. Apa
tak kapok mengikuti logika keledai yang selalu
jatuh ke lubang yang sama ?
Cat: saat ini tarifnya Rp 5.000 (3 Sept 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar