Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP FISIP UNITAS, Palembang. Staf Ahli DPR RI 2000-2009
Pada tahun 1980-an John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya
Megatrends 2000 menyatakan bahwa abad ke 21 adalah abadnya wanita. Wanita atau
Kaum Hawa dalam abad tersebut akan mulai tampil cemerlang. Ia tidak lagi
sebagai subordinat pria sebagaimana telah lama berlangsung.
Dominasi dunia pria/maskulin secara perlahan , namun pasti akan
tergeser oleh tampilnya kekuatan wanita dalam seluruh dimensi kehidupan. Kodrat
wanita seperti hanya sebagai ibu rumah tangga, atau yang sering diplesetkan
dengan predikat “sumur, kasur, dapur, atau menstruasi, menjadi hamil,
melahirkan, dan menyusui, akan terpatahkan dengan tampilnya kaum hawa dalam
dunia yang selama ini didominasi kalangan pria
Perubahan yang tak terelakkan, selain karena gerakan kaum feminis
liberal yang menuntut persamaan hak di Barat, khususnya di AS, secara alami tak
mungkin lagi dihambat. Pandangan-pandangan atau mythologi yang menyudutkan
peran wanita sejak berabad-abad, terpatahkan atau tidak mungkin dihempang
dengan kemajuan sains dan teknologi. Minimal inilah argumen Naisbitt dan
Aburdene dalam bukunya yang pernah best seller itu.
Relevansinya Dengan Indonesia
Apa secara kebetulan (anomi), alamiah atau rekayasa, ramalan
demikian mendapat tempatnya di Indonesia.
Wanita yang sering dipersepsikan secara socio-cultural lemah tidak mungkin akan
menjadi pemimpin yang menentukan, apalagi menjadi orang nomor satu. Kasus
Megawati Soekarniputri adalah contohnya. Meski dengan berbagai tantangan,
hambatan, dan ancaman, beliau tampil menjadi Presiden Indonesia pada awal tahun 2000-an.
Suatu lompatan yang sangat jauh ke depan. AS sekalipun yang sering di
elu-elukan..sebagai negara paling egaliter/demokratis, yang memberikan hak sama
antara pria dan wanita belum pernah memilih seorang wanita jadi Presiden. Ada anggapan meski jarang
dipublisir, masyarakat Amrik belum yakin
bahwa seorang wanita belum sanggup menakhoda dunia keras, seperti “pertahanan/keamanan,
ekonomi/moneter, politik luar negeri, public service” dan lain-lainnya, yang
hingga kini masih dikuasai kalangan pria
Konteks demikian ternyata telah dilewati Indonesia. Tidak hanya mendudukkan
wanita jadi presiden. Derivasi kemudian adalah dalam seluruh sendi-sendi kehidupan
yang sering dikonotasikan dunia keras seperti ekonomi dan politik. Dalam bidang
keuangan, tampilnya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri keuangan yang sukses
melakukan reformasi birokrasi dikementeriannya, Rini S Suwandi/Mari Elka
Pangestu yang berhasil meningkatkan pertumbuhan perdagangan, Miranda Gultom
yang gemilang sebagai deputy Gubernur BI, Karen Agus Setiawan yang lugas menakhodai
Pertamina, adalah beberapa dimensi yang sebelumnya didominasi kaum pria dan ternyata
sukses ditangan wanita
Dalam bidang politik ditetapkannya UU Pemilu yang mengalokasikan
minimal 30% caleg harus wanita adalah terobosan besar. UU ini menjadi pemicu
tampilnya kalangan wanita jadi pemimpin-pemimpin politik. Terbukti kemudian,
tampilnya kaum hawa sebagai legislator-legislator handal di parlemen. Sosok-sosok
seperti Aisyah Aminy, Khofifah Indar Parawansa, Ida Fauziah, Andi Yuliani
Paris, Lily Wahid, Dyiah Rika Pitaloka (Oneng), Eva Kusuma Sundari, Nurul
Arifin, Puan Maharani, Wa Ode Nurhayati adalah beberapa contoh yang
kemampuannya sebagai legislator tidak kalah dengan pria.
Puncaknya (kalau bisa dikatakan demikian) adalah dari lima anggota Lembaga
Pengawas Pemilu (Bawaslu), tiga diantaranya adalah wanita (60%). Pencapaian nan
fantastis. Bagaimana suatu lembaga pengawas pemilu, yang sering dikonotasikan
dengan dunia keras didominasi kaum hawa. Wanita telah menjadi pengawas pria ,
tidak saja di dalam rumah tangga, namun juga dalam pentas politik yang sejak
lama didominasi kaum pria.
Kisah Andi Nurpati yang diindikasikan memalsukan surat
Mahkamah Konstitusi, adalah fakta yang menunjukkan bagaimana peran seorang
wanita Indonesia
tidak saja sama dengan pria, namun telah melewatinya. Ia diserang dari berbagai
penjuru (yang umumnya adalah politisi pria), namun tenang, tidak tergoyahkan,
dan hampir tak bergeming menanggapainya. Sampai saat ini, ia tetap anteng
sebagai salah satu DPP Partai Demokrat, setelah melarikan diri/loncat dari KPU
Kartini, pejuang emansipasi mungkin sudah tersenyum di tempat
peristirahatannya. Perjuangannya yang lama dan disertai penderitaan telah membuahkan hasil yang berarti. Akan
tetapi , ia mungkin was-was melihat kasus-kasus yang menimpa Wa Ode Nurhayati, Miranda
Gultom, Nunun Nurbaety, Mindo Rosalina Manullang, Yulianis, Dhanarwaty, Neneng
Sri Wahyuni dan terutama bintangnya, yakni Angelina Sondakh
Melewati Pria?
Nama-nama tersebut adalah nama yang tiap hari mewarnai media cetak
saat ini. Mereka menjadi tersangka dalam kasus-kasus yang berbau penyalahgunaan
keuangan, seperti penyuapan, kongkalikong hingga korupsi. Begitu fantastis
perannya. Dengan gaya bak mafia di film-film ,Mindo Rosa Manullang, Angelina
Sondakh dan Yulianis, mempengaruhi para
pengambil keputusan untuk menggolkan proyek-proyek yang ditengarai penuh dengan
korupsi. Idem dengan Nunun Nurbaety yang dituding menyuap anggota-anggota DPR
menggolkan Miranda Gultom, untuk Deputy Gubernur BI
Sebaliknya bagaimana peran Wa Ode Nurhayati membongkar
paktek-praktek penyalahgunaan keuangan di BadanAnggaran (Banggar) DPR,
sangatlah mencengangkan. Bagaimana seorang wanita memporakporandakan salah satu
Institusi Negara, yang semuanya dipimpin para pria, adalah suatu bukti
keperkasaan wanita
Terlepas bagaimana kelanjutan kasus yang menimpa elite-elite wanita
tersebut, apakah mereka sesungguhnya actor utama atau bukan, apakah berakhir
happy atau sebaliknya, yang pasti, paling tidak untuk saat ini peran mereka
tidak mungkin lagi dihiraukan
Peran demikian akan semakin cemerlang, melihat perkembangan era yang
semakin demokratis, plus keistimewaan wanita Indonesia yang dikenal piawai
mengelola keuangan (Sita Van Bemmelen,1993). Secara kwantitas, jumlah mereka
mungkin masih kurang dibandingkan jumlah pria, namun secara kualitas mereka
telah menunjukkan bahwa mereka bisa menyamai, bahkan tidak tertutup kemungkinan
melewatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar