Selasa, 13 September 2016

SUMMARY BUKU IMPLIKASI UTANG LUAR NEGERI BAGI PEMBANGUNAN NASIONAL





SUMMARY/RINGKASAN
Buku Implikasi Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Nasional; Pemutihan Bagi Indonesia

Ketika Tsunami menerjang Banda Aceh akhir 2004, simpati seluruh dunia mengalir dengan deras ke kawasan tersebut. Dunia terhentak bagaimana kejamnya alam menghancurkan suatu daerah hanya dalam hitungan menit. Korban-korban bergelimpangan, infrastruktur hancur lebur dan lain-lain dampak yang melahirkan kepiluan. Sungguh tragis
Sebagai empathy kemanusiaan yang tidak mengenal jarak, keyakinan, ras, bangsa bantuan internasional mengalir ke Aceh. Bagaimana kecepatan tsunami menghancurkan, begitu pula kecepatan bantuan sebagai rasa simpati dunia mengalir ke serambi Mekah, apakah itu dari, perorangan, lembaga atau negara.
Namun karena begitu besarnya kerusakan, beberapa negara tergugah untuk memberi bantuan yang lebih dari sekedar bantuan filantropi. Salah satu negara tersebut adalah Amerika Serikat (AS). Negara adidaya ini sampai-sampai mengirim dua mantan presidennya sebagai utusan ke Aceh, yakni George Bush sr dan Bill Clinton. Mereka melihat secara langsung, dan menghitung berapa besar kerugian yang ditimbulkannya.
Akan tetapi yang paling menarik adalah usulan beberapa negara, khususnya Jerman untuk mengurangi beban utang luar negeri Indonesia. Negara yang pernah utangnya diputihkan pasca perang dunia II ini menawarkan moratorium  terhadap utang luar negeri Indonesia
Jerman sebagaimana fakta sejarahnya memang pernah melakukan pemutihan utangnya hingga 50%. Mungkin karena melihat kerusakan Aceh yang begitu besar, negara ini berempathy terhadap utang Indonesia yang cukup besar agar direstrukturisasi.
Akan tetapi diluar dugaan, ajakan Jerman tersebut tidak direspons pemerintahan SBY. Mereka menolak moratorium, apalagi pemutihan. DPR RI yang sempat merespons issu moratorium tersebut, juga hilang ditelan angin
Penulis sendiri heran mengapa ajakan Jerman tersebut tidak direspons. Atas dasar inilah kami ingin meneliti bagaimana sesungguhnya posisi, struktur atau hal-hal lain yang berhubungan dengan utang luar negeri Indonesia. Khususnya bagaimana implikasinya terhadap pembangunan nasional
Sebagai pisau analisis untuk membahas masalah penelitian tersebut,kami menggunakan teori spiral dari Rudolf Strahm. Suatu teori yang dekat dengan teori Dependencia (ketergantungan), yang melihat bagaimana Negara-negara Dunia III yang melaksanakan pembangunan dengan utang luar negeri, akhirnya tergantung kepada krediturnya
Berdasarkan teori demikian, pertama-tama kami menganalisis bagaimana sifat, model atau karakter pembangunan yang dilakukan Indonesia. Model tersebut ternyata adalah model yang mengikuti model yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1950-an, yakni pembangunan ekonomi yang berpusat pada “pertumbuhan”. Meskipun tidak pernah dikatakan dengan jelas model seperti ini adalah model pembangunan yang diteorikan WW. Rostow dengan teori pentahapannya.
Model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan demikian sebagaimana faktanya membutuhkan capital. Tanpa capital pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi. Darimana sumbernya?. Idealnya dari dalam negeri sendiri. Namun karena tabungan dalam negeri sangat minim, dibutuhkan bantuan dari negara-negara yang punya capital. Negara-negara ini pada umumnya adalah negara-negara yang sudah maju, seperti AS, Eropa dan Jepang.  Dengan diplomasi yang alot, bantuan atau utang ini akhirnya diperoleh melalui consorcium IGGI/CGI. Pelita pertama yang dimulai tahun 1971 menyedot hampir 90% utang luar negeri.
Meskipun tidak sebesar pelita pertama, pada pelita-pelita selanjutnya, utang luar negeri mengambil peranan besar. Slogan yang menyatakan bahwa utang luar negeri hanya sebagai pelengkap, dalam faktanya adalah sumber utama. Adapun jenis utang tersebut adalah (a)program, (b) proyek , dan (c) komersil.
Dalam pelita pertama dan kedua, sumber utang dominant masih dalam bentuk utang program (hibah), namun setelah itu yang berperan besar adalah utang dalam  bentuk “proyek dan komersil”.
Dalam perjalanannya, yakni dari pelita ke pelita  utang yang digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut tidak sesuai (jauh panggang dari api) dengan apa yang diharapkan. Tahap-tahap yang dirancang, khususnya bahwa dalam awal pelita keenam Indonesia telah berada pada tahap “tinggal landas” (take off) tinggal sebatas kata-kata yang indah.
Kehidupan rakyat yang seharusnya secara bertahap mulai menunjukkan kemajuan nyaris tanpa perubahan. Kemiskinan, keterbelakangan dan ketimpangan tetap menjadi momok. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Dari penelusuran-penelusuran yang kami lakukan, terbukti bahwa utang-utang tersebut banyak yang salah urus. Utang-utang demikian banyak yang dikorup, banyak yang salah kelola, banyak yang dilarikan keluar Indonesia (capital flight), terimbas suku bunga yang tinggi, terjerat perubahan kurs, dan maksud maksud terselubung dari pemberi pinjaman. Oleh karena itu Utang tidak memberi kemajuan atau semakin berkurang, malah sebaliknya terus membengkak.
Implikasi selanjutnya dari pembengkakan demikian adalah (a) akan menghambat tujuan pembangunan itu sendiri, (b) ketergantungan yang semakin akut dengan pihak asing. Dana yang seharusnya mensubsidi kepentingan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dialihakan untuk membayar “cicilan pokok dan bunga utang” yang jumlahnya sangat besar.
Selanjutnya implikasi yang lebih serius adalah ketergantungan Indonesia kepihak kreditur. Sebagaimana sejarahnya utang itu diberikan setelah Indonesia mentaati syarat-syarat yang mereka inginkan, seperti membuka perekonomian terhadap penetrasi modal asing dan mengintegrasikannya dalam sistim ekonomi dunia (pasar bebas).. begitu pula kepentingan –kepentingan lain pihak kreditur di fora internasional harus didukung pihak pengutang (debitur)
Ketergantungan ini semakin kasat mata, ketika Indonesia meminta bantuan IMF pasca krisis moneter 1997. Dikte-dikte IMF dengan 50 LOI dengan derivasi SAP – SAL nya adalah fakta bahwa lembaga keuangan internasional itu telah sangat mengatur dan menguasai negeri ini.  Akankah Indonesia  terpenjara terus dengan jerat ini? Terobosan radikal sudah waktunya ditempuh.
Pola-pola yang berlaku selama ini, seperti gali lobang tutup lobang, penjadwalan ulang, debt for nature swap, dan lain-lain penyelesaian yang sepotong-sepotong sudah waktunya diakhiri. Metode yang paling tepat ditempuh adalah seperti apa yang ditempuh Argentina pada tahun 2002
Pada tahun 2002, Argentina hanya membayar sedikit dari utangnya yang sangat besar. Dengan kata lain negeri yang terkenal sepakbolanya ini melakukan pemutihan terhadap utang luar negerinya. Kata kuncinya adalah kemauan politik. Nestor Kirchner yang terpilih tahun 2002 memerintahkan cabinet/birokrasinya mengaudit seluruh utang luar negeri, mana yang patut, mana yang tidak.
Dari audit yang ditempuh terbukti, mayoritas utang Argentina adalah utang yang tidak patut. Utang yang hanya diciptakan pihak kreditur dengan elit-elit Argentina yang tidak memihak rakyat
Dengan kelihaian berdiplomasi Argentina merundingkan utang-utang tersebut dengan pihak kreditur. Meskipun sempat ada ancaman bahwa Argentina akan diembargo atau diisolasi , dengan kehebatan perunding-perundingnya, pihak kreditur akhirnya menerima ide pemutihan tersebut. Pola pemutihan ala Argentina ini dapat ditiru Indonesia. Sekian..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar