SUMMARY/RINGKASAN
Buku Implikasi
Utang Luar Negeri Bagi Pembangunan Nasional; Pemutihan Bagi Indonesia
Ketika Tsunami menerjang Banda Aceh akhir 2004, simpati
seluruh dunia mengalir dengan deras ke kawasan tersebut. Dunia terhentak
bagaimana kejamnya alam menghancurkan suatu daerah hanya dalam hitungan menit.
Korban-korban bergelimpangan, infrastruktur hancur lebur dan lain-lain dampak
yang melahirkan kepiluan. Sungguh tragis
Sebagai empathy kemanusiaan yang tidak mengenal jarak,
keyakinan, ras, bangsa bantuan internasional mengalir ke Aceh. Bagaimana
kecepatan tsunami menghancurkan, begitu pula kecepatan bantuan sebagai rasa
simpati dunia mengalir ke serambi Mekah, apakah itu dari, perorangan, lembaga
atau negara.
Namun karena begitu besarnya kerusakan, beberapa negara
tergugah untuk memberi bantuan yang lebih dari sekedar bantuan filantropi.
Salah satu negara tersebut adalah Amerika Serikat (AS). Negara adidaya ini
sampai-sampai mengirim dua mantan presidennya sebagai utusan ke Aceh, yakni
George Bush sr dan Bill Clinton. Mereka melihat secara langsung, dan menghitung
berapa besar kerugian yang ditimbulkannya.
Akan tetapi yang paling menarik adalah usulan beberapa negara,
khususnya Jerman untuk mengurangi beban utang luar negeri Indonesia. Negara yang pernah
utangnya diputihkan pasca perang dunia II ini menawarkan moratorium terhadap utang luar negeri Indonesia
Jerman sebagaimana fakta sejarahnya memang pernah
melakukan pemutihan utangnya hingga 50%. Mungkin karena melihat kerusakan Aceh
yang begitu besar, negara ini berempathy terhadap utang Indonesia yang cukup besar agar
direstrukturisasi.
Akan tetapi diluar dugaan, ajakan Jerman tersebut tidak
direspons pemerintahan SBY. Mereka menolak moratorium, apalagi pemutihan. DPR RI
yang sempat merespons issu moratorium tersebut, juga hilang ditelan angin
Penulis sendiri heran mengapa ajakan Jerman tersebut
tidak direspons. Atas dasar inilah kami ingin meneliti bagaimana sesungguhnya
posisi, struktur atau hal-hal lain yang berhubungan dengan utang luar negeri Indonesia.
Khususnya bagaimana implikasinya terhadap pembangunan nasional
Sebagai pisau analisis untuk membahas masalah penelitian
tersebut,kami menggunakan teori spiral dari Rudolf Strahm. Suatu teori yang
dekat dengan teori Dependencia (ketergantungan), yang melihat bagaimana
Negara-negara Dunia III yang melaksanakan pembangunan dengan utang luar negeri,
akhirnya tergantung kepada krediturnya
Berdasarkan teori demikian, pertama-tama kami
menganalisis bagaimana sifat, model atau karakter pembangunan yang dilakukan Indonesia.
Model tersebut ternyata adalah model yang mengikuti model yang dideklarasikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1950-an, yakni pembangunan ekonomi yang
berpusat pada “pertumbuhan”. Meskipun tidak pernah dikatakan dengan jelas model
seperti ini adalah model pembangunan yang diteorikan WW. Rostow dengan teori
pentahapannya.
Model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan
demikian sebagaimana faktanya membutuhkan capital. Tanpa capital pertumbuhan
ekonomi tidak akan terjadi. Darimana sumbernya?. Idealnya dari dalam negeri
sendiri. Namun karena tabungan dalam negeri sangat minim, dibutuhkan bantuan
dari negara-negara yang punya capital. Negara-negara ini pada umumnya adalah
negara-negara yang sudah maju, seperti AS, Eropa dan Jepang. Dengan diplomasi yang alot, bantuan atau
utang ini akhirnya diperoleh melalui consorcium IGGI/CGI. Pelita pertama yang
dimulai tahun 1971 menyedot hampir 90% utang luar negeri.
Meskipun tidak sebesar pelita pertama, pada
pelita-pelita selanjutnya, utang luar negeri mengambil peranan besar. Slogan
yang menyatakan bahwa utang luar negeri hanya sebagai pelengkap, dalam faktanya
adalah sumber utama. Adapun jenis utang tersebut adalah (a)program, (b) proyek
, dan (c) komersil.
Dalam pelita pertama dan kedua, sumber utang dominant
masih dalam bentuk utang program (hibah), namun setelah itu yang berperan besar
adalah utang dalam bentuk “proyek dan
komersil”.
Dalam perjalanannya, yakni dari pelita ke pelita utang yang digunakan untuk membiayai
pembangunan tersebut tidak sesuai (jauh panggang dari api) dengan apa yang
diharapkan. Tahap-tahap yang dirancang, khususnya bahwa dalam awal pelita
keenam Indonesia
telah berada pada tahap “tinggal landas” (take off) tinggal sebatas kata-kata
yang indah.
Kehidupan rakyat yang seharusnya secara bertahap mulai
menunjukkan kemajuan nyaris tanpa perubahan. Kemiskinan, keterbelakangan dan
ketimpangan tetap menjadi momok. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Dari penelusuran-penelusuran yang kami lakukan, terbukti
bahwa utang-utang tersebut banyak yang salah urus. Utang-utang demikian banyak
yang dikorup, banyak yang salah kelola, banyak yang dilarikan keluar Indonesia
(capital flight), terimbas suku bunga yang tinggi, terjerat perubahan kurs, dan
maksud maksud terselubung dari pemberi pinjaman. Oleh karena itu Utang tidak memberi
kemajuan atau semakin berkurang, malah sebaliknya terus membengkak.
Implikasi selanjutnya dari pembengkakan demikian adalah
(a) akan menghambat tujuan pembangunan itu sendiri, (b) ketergantungan yang
semakin akut dengan pihak asing. Dana yang seharusnya mensubsidi kepentingan
rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dialihakan untuk
membayar “cicilan pokok dan bunga utang” yang jumlahnya sangat besar.
Selanjutnya implikasi yang lebih serius adalah ketergantungan
Indonesia
kepihak kreditur. Sebagaimana sejarahnya utang itu diberikan setelah Indonesia
mentaati syarat-syarat yang mereka inginkan, seperti membuka perekonomian
terhadap penetrasi modal asing dan mengintegrasikannya dalam sistim ekonomi
dunia (pasar bebas).. begitu pula kepentingan –kepentingan lain pihak kreditur
di fora internasional harus didukung pihak pengutang (debitur)
Ketergantungan ini semakin kasat mata, ketika Indonesia
meminta bantuan IMF pasca krisis moneter 1997. Dikte-dikte IMF dengan 50 LOI
dengan derivasi SAP – SAL nya adalah fakta bahwa lembaga keuangan internasional
itu telah sangat mengatur dan menguasai negeri ini. Akankah Indonesia terpenjara terus dengan jerat ini? Terobosan
radikal sudah waktunya ditempuh.
Pola-pola yang berlaku selama ini, seperti gali lobang
tutup lobang, penjadwalan ulang, debt for nature swap, dan lain-lain
penyelesaian yang sepotong-sepotong sudah waktunya diakhiri. Metode yang paling
tepat ditempuh adalah seperti apa yang ditempuh Argentina pada tahun 2002
Pada tahun 2002, Argentina hanya membayar sedikit
dari utangnya yang sangat besar. Dengan kata lain negeri yang terkenal
sepakbolanya ini melakukan pemutihan terhadap utang luar negerinya. Kata
kuncinya adalah kemauan politik. Nestor Kirchner yang terpilih tahun 2002
memerintahkan cabinet/birokrasinya mengaudit seluruh utang luar negeri, mana
yang patut, mana yang tidak.
Dari audit yang ditempuh terbukti, mayoritas utang Argentina
adalah utang yang tidak patut. Utang yang hanya diciptakan pihak kreditur
dengan elit-elit Argentina
yang tidak memihak rakyat
Dengan kelihaian berdiplomasi Argentina merundingkan utang-utang
tersebut dengan pihak kreditur. Meskipun sempat ada ancaman bahwa Argentina
akan diembargo atau diisolasi , dengan kehebatan perunding-perundingnya, pihak
kreditur akhirnya menerima ide pemutihan tersebut. Pola pemutihan ala Argentina ini dapat ditiru Indonesia. Sekian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar