Kamis, 08 September 2016

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MAHASISWA; MENJADI INTELEKTUAL DAN PEMIMPIN YANG JUJUR, KOMPETEN DAN MILITAN








 PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MAHASISWA;
MENJADI INTELEKTUAL DAN PEMIMPIN yang
 jujur, kompeten dan militan

Oleh: Reinhard Hutapea
Cat: Disampaikan pada LDO-Himaseperta Fak Pertanian Unsri 19 Oktober 2014 dan Ordik Mahasiswa FISIP-Ilmu Pemerintahan Universitas Taman Siswa Palembang, 12 September 2015

Tahun 1970-an mengemuka suatu pandangan, tulisan, stigma (mungkin paradigma juga) tentang ciri-kehidupan mahasiswa kita yang mereka  sebut sebagai “ Buku, Pesta dan Cinta”.  Tiga sifat, warna atau nilai yang melukiskan eksistensi mahasiswa Indonesia saat itu. Begitukah sesungguhnya ? lalu bagaimana dengan mahasiswa saat ini ? apakah seperti itu juga ? atau lebih khusus, seperti apakah karakter mahasiswa saat ini ?
 Pada intinya persfektif demikian melukiskan, menceritakan atau menggunjingkan citra, sifat, rona atau karakter  mahasiswa yang menurut  mereka/penulis tersebut mempunyai tiga ciri dominan, yakni  “belajar-study (Buku), bersenang-senang (Pesta) dan berpacaran (Cinta). Setelah belajar, main-main dan jika memungkinkan mencari jodoh
Meski bukan karya ilmiah yang sarat dengan metodologi yang nyelimet, sistemik dan penuh pendekatan, bak skripsi, thesis atau disertasi yang membuat mata minus seribu dan kepala semakin botak. Namun secara substantif, hakiki atau seksama, pandangan para-nan citrais tersebut  diakui kebenarannya oleh banyak kalangan   Bahkan kalau tidak keliru karena daya tariknya begitu memukau,  sudah difilmkan pada tahun 80-an yang menyedot banyak penonton.
Akan tetapi yang paling momental dari deskripsi demikian, yakni “buku, pesta dan cinta tersebut  adalah figur So Hok Gie. Aktifis mahasiswa  idealis dari UI yang menjadi idola para mahasiswa kala itu. Gie sebagaimana sejarahnya meninggal dalam usia muda (27 tahun) sewaktu melakukan pendakian di gunung Semeru pada tahun 1969.
 Apakah sekedar rekreasi atau ada tendensi-tendensi lain, mereka(Gie cs) mengadu ke alam, mewujudkan kebebasan intelektualnya, ditengah-tengah mulai banyaknya teman-temannya yang mulai berubah haluan. Dari aktifis yang membela kebenaran menjadi penjilat power establish demi vested interestnya[1].
Gie adalah aktifis cerdas yang militan menyampaikan keyakinannya dengan tak sedikitpun memiliki rasa takut[2]. Ia senantiasa tak pernah gentar menuarakan kritik terhadap setiap kebijakan yang dinilainya merugikan masyarakat. Prinsipnya “lebih baik diasingkan ketimbang menyerah kepada kemunafikan[3].
Penulis sendiri karena tertarik dengan nuansa demikian, telah juga  mengangkatnya dalam sebuah opini di harian Merdeka Jakarta pada tahun 1991. Banyak yang membenarkan, banyak yang mentertawakan dan banyak juga yang mendebat. Yang pasti tulisan itu dapat memancing pembaca untuk berdiskusi, sebagaimana yang diharapkan pada pertemuan kita hari ini.
Saat itu penulis memang/juga yakin bahwa seperti itulah “warna, ciri, potret kalau bukan karakter” mahasiswa Indonesia yang sesungguhnya. Belajar sebanyak-banyaknya, seserius seriusnya, gembira dan berhura-hura sesenang-senangnya dan berpacaran-memadu kasih se sentimental-sentimental, seasyik-asyik/indah-indahnya
Hanya saja karena penulis juga adalah aktifis saya tambahkan satu potret lagi, yakni “organisasi/politik”. Lengkapnya menjadi “Mahasiswa antara Buku, Pesta, Cinta dan Politik”. Pada waktu itu organisasi mahasiswa memang sangat dinamis, mekar, bergemuruh dan turut mewarnai kehidupan sosial-politik, baik intra maupun extra universiter.
Saat-saat itu dapat dikatakan adalah suasana yang paling dinamis pada kehidupan mahasiswa. Mahasiswa sungguh membuktikan dirinya bahwa mereka adalah calon-calon “intelektual dan pemimpin” bangsa ke depan
Akan tetapi sebagaimana dalam fase/perjalanan selanjutnya peran demikian secara perlahan, namun pasti mulai menyusut karena dipreteli power establish. Dikurangi  secara sistemik oleh rezim Soeharto yang sangat otoriter, terutama ketika ditempuhnya SK 028/1974, yakni setiap kegiatan yang dilakukan mahasiswa harus seizin rektor (Sarwono, Sarlito, 1979).
Sk ini diterbitkan setelah demonstrasi raksasa mahasiswa tahun 1974, yang dikenal dengan istilah “malapetaka 15 januari”, malari. Pada waktu mahasiswa mendemo kedatangan PM Jepang Tanaka, karena dominasi ekonomi Jepang yang begitu besar dalam perekonomian Indonesia.
Setelah itu (SK 028/1974) muncullah peraturan yang lebih seram, yakni  “NKK-BKK” dengan SK 0156/U/1978, alias, Normalisasi Kehidupan Kampus, yang dijabarkan lebih detail dalam SK 002/DJ/Inst/1978 (Sarwono, Sarlito, 1979).
Sedangkan untuk merubah lembaga kemahasiswaan alias memberangus “Dema” dibentuk  Badan Koordinasi Kemahasiswaan” (BKK) pada tahun 1978 dengan SK........ .lembaga baru ini ditempuh untuk mengubur lembaga mahasiswa sebelumnya yang bernama Dewan Mahasiswat (Dema) yang populer dengan predikatnya sebagai “student government”(Sarwono, Sarlito, 1979).  
Daoed Yoesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu dengan berbagai strategi mulai mengeleminir mahasiswa dari kehidupan politik. Istilah populernya mendepolitisasi kehidupan politik mahasiswa. Menurut beliau tujuan utama mahasiswa adalah menjadi manusia penalar (man of analyses). Bukan berpolitik.
Jika mempunyai minat berpolitik silahkan di luar kampus. Masuk lembaga-lembaga politik alias partai-partai politik, Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pressure group, Organisasi non pemerintah (Ornop) dan lain-lain institusi politik. Kampus harus steril dari gerakan-gerakan politik, karena mengganggu belajar dan predikat-predikat lain dari dunia akademik yang perlu ketentraman.
 Pamungkasnya adalah ketika Nugroho Notosusanto menggantikannya[4]. Dengan dalih yang dicari-cari, yang katanya sangat ilmiah dibuatlah konsep pembenaran bahwa aktifitas mahasiswa murni hanya menjadi mahluk penalar. Mengikuti kuliah dengan baik, diskusi dengan tuntunan dosen, dan menyampaikan aspirasi juga dengan tuntunan otoritas kampus. Konsep ini ditulis dengan konseptual  dalam wawasan Almater dengan triloginya ”institusionalisasi, professionalisasi dan transpolitisasi
Malas baca sebagai karakter negatif....
Pasca NKK-BKK kehidupan kampus telah terkebiri. Mahasiswa dijauhkan dari peran-peran kritis, khususnya peran politik. Mereka diposisikan cukup hanya sebagai pembelajar di ruang kuliah dan laboratorium saja. Tidak usah mencampuri urusan-urusan diluar kampus, khususnya yang berbau kekuasaan/politik. Fungsinya hanya sebatas itu
Strategi yang selain sukses  menjadikan kampus steril dari masalah-masalah sosial-politik, jauh diatas itu adalah justru tumpulnya daya nalar mahasiswa. Disengaja atau tidak itulah konsekwensi-fakta selanjutnya dari kebijakan depolitisasi yang membuat mahasiswa semakin mandul daya kritisnya.
Sinyalemen tersebut, yakni setelah berjalan sekian tahun bermuara/terbukti dari penelitian Bertina Syahbadhyni, dosen/peneliti UI (kira-kira satu dekade kemudian). Bertina menyatakan bahwa hanya 10% mahasiswa (UI) yang rajin membaca buku teks, dengan kriteria rata-rata membaca selama 2 jam (atau lebih) setiap harinya (dalam Ki Supriyoko, Yogya Post, 2 Mei 1990).
Tragis sekali...Lalu mereka ngapain saja ? hanya berpesta dan bercinta  minus membaca?, seperti apa itu mahasiswa jika tidak berlandaskan buku-buku teks ?, apa fundasi keilmuannya ?
Sementara perintah SKS[5] yang dicanangkan dari sananya harus banyak-banyak atau rakus membaca, mengapa sebaliknya yang terjadi !. Tidakkah peraturan 1 sks mengharuskan mahasiswa membaca dan menguasai 5 buku teks ?. artinya jika mata kuliahnya berbobot 1 sks, maka buku teks yang harus dikuasainya 5 buku. kalau 1 mk 3 sks, maka buku teks yang harus dibaca adalah 3 X 5 = 15 buku. Artinya I mk = 15 buku. Kalau menempuh 6 mk saja dengan bobot masing-masing 3 sks maka buku teks yang harus dibaca adalah 6 X 15 = 90 buku
Apalagi jika dihubungkan dengan metode belajarnya, seharusnya tidak ada waktu mahasiswa berleha-leha selain hanya membaca/belajar. 1 sks tatap muka ditetapkan 50 menit, terstruktur 60 menit dan mandiri 60 menit. Jika 3 sks maka tatap muka menjadi 3 X 50 = 150 menit, terstruktur  3 X 60 = 180 menit, dan mandiri 3 X 60 menit = 180 menit.
 Waktu seharusnya tersita untuk belajar. Faktanya ? mahasiswa tidak baca buku teks kata Bertina Syahbadhyni. Apa yang salah ?. Panjang uraiannya. Yang pasti ada something wrong dalam sistim pendidikan tinggi kita[6]
Melihat realita demikian sontak kalangan akademis Indonesia geger mendengarnya. Bagaimana mutunya jika hanya 10% mahasiswa yang rajin membaca ?. kemana yang 90% lagi. Muaranya kemudian adalah mencuatnya  “sks-sks an” .
 Bandingkan misalnya dengan negara-negara lain, atau negara tetangga yang jumlah sksnya hanya sekitar 124 pada S1, namun dari Senin sampai Sabtu , dari pagi hingga sore mereka seharian belajar di kampus. Kita 144 sks....hanya 10% yang ........mengerikan.
Namun sebagaimana bangsa, negara dan masyarakat yang hobby “amnesia”, masalah malas membaca buku teks tersebut hanya diratapi sekian waktu. Bahasa populernya prihatin, namun tidak ada way outnya. Prihatin aja. Sedih pilu, begitu terus.
 Dan  seiring dengan berjalannya waktu, berlalu juga ratapan dan keprihatinan tersebut. Malas, malas, malas terus berlangsung.....dan akhirnya karena berjalan demikian terus menerus, tanpa disadari menjadi tradisi. Tradisi negatif yang selanjutnya tak perlu dipersoalkan lagi. Tragis !
Dalam segala hal bangsa ini seperti itu. Selalu prihatin terhadap masalah-masalah yang serius, laten dan krusial, namun tidak pernah diselesaikan dengan benar.Termasuk yang kita saksikan hari-hari atau akhir-akhir ini[7]
Pelestarian pembodohan ?
Bagaimana semakin tumpulnya daya nalar kritis mahasiswa itu berlangsung ditangisi beberapa mahasiswa, pakar atau kalangan lain yang masih peduli dengan “kebenaran, moral dan kemajuan”. Kegamangan ini terutama dikawatirkan oleh (pada umumnya) para aktifis. Dengan semangat idealismenya mereka menghujat kehidupan mahasiswa saat ini yang minim intelektualitas, karena malas dengan kegiatan yang bersifat akademik, maunya hanya main-main, pacaran, traveling dan sejenisnya sebagaimana dikatakan Romel Masykuri dibawah ini;
Bagaimana mahasiswa dapat dikatakan intelektual sejati, jika ia hanya mementingkan fashion dalam kehidupannya ?. kegiatan sehari-hari pacaran, main-main, jalan-jalan, hura-hura, dan malas dengan kegiatan yang bersifat akademik, seperti membaca buku dan diskusi (Romel Masykuri, Okezone.com, 6 mei 2023)
Namun yang paling menyeramkan, walaupun dibungkus dengan dagelan lucu adalah yang ditulis oleh Amius Blog, Januari 2012. Menurut blog tersebut ciri-ciri mahasiswa adalah
·         Merasa lebih pandai dari orang lain apalagi jika berkumpul dengan teman-temannya yang bukan mahasiswa[8]
·         Sok kritis tapi nilai IP jeblok
·         Ikut organisasi biar keren sekaligus menutupi kekurangan
·         Lebih takut pada dosen daripada orang tua[9]
·         Nyontek adalah keharusan, karena itu posisi duduk sangat menentukan[10]
·         Bila berhasil menyontek merupakan kebanggaan
·         Terlambat merupakan suatu kebanggan biar dibilang keren
·         Datang ke kampus hanya sekedar mengisi waktu dari pada bengong di kos[11]
·         Membeli buku-buku pelajaran bajakan, kalau perlu difotocopy saja
·         Di kamarnya ada film bajakan
·         Pura-pura ngerti bila mengerjakan tugas kelompok[12]
·         Tidak peduli dengan tugas kelompok, toh jika dapat 0 (nol) semua ikut kena
·         Berkumpul di tempat fotocopy sebelum adanya ujian
·         Berusaha mencari tempat makan yang paling enak tapi paling murah
·         Di dompet kartu ATM nya cuma buat gaya-gayaan pada hal nggak ada isi[13]
·         Paling senang bila ada promo gratisan di kampus
·         Ada stok super mi di kamar
·         Tidak percaya dengan ciri-ciri di atas
                                                              
                                 Anti sikap dan kompetensi ilmiah
Seram benar.......meski belum diuji secara empirik-ilmiah, ciri yang dibuat Amius Blog tersebut sebagaimana novel “Buku, Pesta dan Cinta” di atas, kebenarannya cukup valid dan reliable, dan  saya sebagai akademisi meyakini potret tersebut[14].
Yakni tinggal sebatas:
ü Pesta dan
ü Cinta
ü .....minus buku
Itulah cermin, ciri kalau bukan (karakter) mahasiswa Indonesia saat ini......jauh dari tujuan semula dan jauh dari yang diharapkan. Antara das sollen dan das sein, atau value capabilitas an value expectation terdapat jurang yang dalam. Tentu bukan  karakter yang  kita inginkan ......
Konsep Karakter
Mahasiswa selalu dipersepsikan sebagai “calon-calon intelektual dan pemimpin” bagi masa depan bangsa. Mereka diharapkan menjadi hati nurani masyarakat. Terutama bagi bangsa yang dikategorikan sedang berkembang. Termasuk Indonesia. Mahasiswa sebagai pelajar tertinggi diharapkan mewujudkan impian tersebut.
Akan tetapi masalah betul  atau tidak harapan tersebut mari sama-sama kita diskusikan. Benarkah perguruan tinggi kita  berikhtiar kesana ?[15] . Pertanyaan yang vital dipahami, sebab karakter tidak berjalan di ruang hampa. Ia adalah salah satu unit, bahkan unit vital dalam sistim perguruan tinggi. Sebagai rujukan singkat dapat dibaca dalam catatan kaki dibawah, sebagaimana ditulis Daoed Yoesoef dan Rhenald Kasali. Keduanya sepakat bahwa nilai-nilai yang dipraksisikan di perguruan tinggi kita kelihatannya masih jauh dari harapan atau tujuan pendidikan itu sendiri dan forum ini tidak mungkin membahas itu. Oleh karena itu kita kembalikan kepada istilah karakter itu sendiri. Apa sesungguhnya karakter itu
Menurut Nasir (dalam Yenny Susanna MPd, hal 4) dalam terminologi psikologi “karakter adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas, suatu sifat atau kualitas yang tetap terus menerus dan kekal sehingga bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seseorang”.
Suatu kata, kalimat, istilah atau konsep yang sudah biasa kita dengar dan lakonkan sehari-hari. Secara populer dapat dikatakan karakter adalah “sifat dasar yang konsisten dan kekal[16]”. Sudah biasa kita dengar si A sifatnya plin-plan, mencla-mencle tidak berprinsip, si B pragmatis opportunis (tidak berprinsip), si C sesuai arah angin, kemana angin kesitu ia ikut tidak berprinsip
Sebaliknya adalah mereka yang sifat dasarnya sangat berprinsip. Kalangan ini sering disebut sebagai “idealis”, karena sangat teguh pada prinsip atau pendirian. Kalau “benar katakan benar, salah katakan salah, merah bilang merah[17].
Jangan ada dusta diantara kita....jangan benci nyatanya rindu, senandung lagu-lagu melankolik nan klasik yang kata-katanya terus abadi. Kalangan ini sering juga dikategorikan dengan berbagai istilah, seperti Keras, kaku, extrim, non konformistis . Dimana karakter mahasiswa ?
Sebelum kita uraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan karakter yang seharusnya dimiliki mahasiswa tersebut, baiklah kita hubungkan dengan satu konsep, yakni konsep kepemimpinan. Mahasiswa sebagai hakikatnya sering dikonotasikan adalah calon-calon pemimpin.
Menurut Andre Wongso esensi dasar sukses kepemimpinan adalah “karakter”. Pemimpin yang berhasil adalah yang memiliki karakter. Tidak ada pemimpin yang tidak berkarakter.  Lebih jelasnya ia mengatakan:
....bahkan saya berani mengatakan esensi dasar sukses kepemimpinan adalah karakter-karakter utama yang dimiliki si pemimpin. Character is the foundation for leaders all true success (6 Juni 2012)
Timbul pertanyaan karakter yang bagaimana ? Andrie Wongso menulis...
....kualitas personal dari seorang pemimpin yang terbentuk melalui akumulasi tindakan-tindakan yang mengacu kepada nilai-nilai moralitas dan etik yang diyakini oleh seorang pemimpin  (6 Juni 2012)
Kualitas demikian adalah;
v  pikiran,
v   sikap dan
v   tindakan
mengikuti nilai-nilai inti universal, seperti;
*      Kejujuran
*      Keterpercayaan
*      Tanggung jawab
*      Kepedulian kepada negara
*    dll
Singkatnya karakter yang dimaksud adalah “kualitas personal yang didasarkan kepada moral dan etik[18].”  
Dalam pengertian lain
kepemimpinan = karakter.
     Antitese dari pejabat
 Beberapa ilustrasi pemimpin yang berkarakter adalah sebagai berikut:
Ø  Ibu Teresa memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin yang peduli, empathy dan kasih pada orang lain
Ø  Marthin Luther King memiliki karakter kuat sebagai pemimpin yang memiliki keteguhan dalam memegang prinsip dan memiliki keberanian luar biasa dalam menghadapi tantangan berat[19]
Ø  Jack Welch, pemimpin yang berkarakter karena memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan-keputusan berat dan pelik
Ø  Steve Jobs memiliki kepemimpinan yang unik karena ide-idenya yang inovatif dan kemampuannya melihat masa depan.
Ø  Joko Widodo[20] (jujur, sederhana dan merakyat), Yusuf Kalla (tegas dan rasional), Ahok (idem dengan Kalla)
Ø  Soekarno, Hatta, Syahrir, panglima Soedirman, teguh membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan
Ø  Hamka, Ali Sadikin, Mohtar Lubis
Ø  Slank, Iwan Fals, Titik Puspa, Arswendo Atmowiloto, Christin Hakim
Ø  Tokoh mahasiswa 66 seperti Soe Hok Gie, Arif Rahman Hakim, Harry Chan Silalahi
Ø  Tokoh mahasiswa 1974/malari, Hariman Siregar
Ø  ........masih banyak[21]
Menjadi Intelektual dan Pemimpin
Dari uraian-uraian diatas, eksistensi yang kita harapkan dari para mahasiswa sesuai dengan arti, fungsi dan hakikinya adalah menjadi intelektual dan pemimpin bangsa ke depan. Karakter yang dibutuhkan untuk itu, yakni menjadi intelektual dan pemimpin yang handal itulah intinya.
Dalam artian lain sebagaimana sering digaungkan berbagai kalangan mereka harus jadi agent of change[22], pionir  atau inovator dalam perjalanan bangsa, negara dan masyarakatnya. Terutama bagi negeri-negeri yang dikategorikan sedang berkembang, seperti Indonesia harapan itu sangat besar.
Antonio Gramschi mengajak mereka supaya menjadi counter hegemony[23] untuk melawan berbagai bentuk politik manipulasi, yang senantiasa meletakkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, dengan menyuarakan pembebasan bagi orang-orang yang tertindas (Dalam Budiman Satar, Serambi Indonesia, 9 okt 2013)
Namun sebagaimana kita uraikan diatas tantangan-tantangan kecita-cita tersebut tidaklah ringan. Cukup   berat, terjal, cadas dan tajam (anti ilmiah ?). Mahasiswa sadar atau sebaliknya sesungguhnya telah hidup dalam alam yang jauh dari tradisi keilmuan yang seharusnya menjadi predikatnya[24].
Kalangan ini sebagaimana disinggung di depan telah terstruktur, terlembaga atau terinternalisasi dengan predikat-predikat yang jauh dari kehidupan dunia akademik yang sesungguhnya, seperti malas baca buku teks, sok tahu, pragmatis-opportunis, konsumtif, hedonis dan sebagainya (lihat Amius blog diatas)[25]. Masih dapat diuraikan sekian panjang lagi.
Namun apapun dalihnya hakikat mahasiswa sebagai intelektual dan pemimpin sejati tetaplah harapan kita bersama. Yakni intelektual dan pemimpin yang berkarakter “jujur, kompeten dan militan” . Karakter seperti ini yang kita harapan kedepan. Mudah-mudahan kenyataan. Hidup mahasiswa. Merdeka.
                                                                                             Palembang, 12 September 2015








REFERENSI
Badil Rudi dkk, 2009, Soe Hok Gie, Sekali lagi; buku, pesta dan cinta di alam bangsa, ILUNI-UI-Kompas, Jakarta
Notosusanto, Nugroho, 1985, Wawasan Almamater, UI Press, Jakarta
Sarwono, Sarlito, 1979, Perbedaan antara Pemimpin Dan Aktifis Dalam gerakan Protes Mahasiswa, Disertasi, Bulan-Bintang, Jakarta
Budiono, 2012, Pendidikan Kunci Pembangunan, Kompas, 27 Agustus 2012
Kasali, Rhenald, 2014, Pendidikan dan Rantai Kemiskinan, dalam Kompas, 24 Okt 2014
Supriyoko Ki, 1990, dalam Yogya Post 2 Mei 1990
Suzana, Yenny, 2012, Pengembangan Nilai-Nilai karakter mahasiswa Dalam pembelajaran Melalui Metode Blended Learning (makalah), LSM, Aceh
Yoesoef, Daoed, 2014, Misi Perguruan Tinggi Kita, dalam Kompas, 18 Februari 2014, Jakarta
Wirutomo, Paulus, 2014, Pembangunan Berbasis Nilai, 24 Mei 2014, Kompas, Jakarta
Amius Blog, januari 2012.



[1] Memasuki kekuasaan Soeharto karena mendapatkan kenikmatan-kenikmatan meski dengan mengorbankan kebenaran yang diyakininya.
[2] Kisah kehidupannya ditulis rekan-rekannya dalam satu buku yang berjudul “Soe Hok Gie, Sekali lagi; buku, pesta dan cinta di alam bangsa. Penulisnya adalah Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan. Iluni-UI-Kompas, 2009, Jakarta
[3] Mohtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tahun 1977 menyatakan bahwa sifat-sifat manusia indonesia adalah “Munafik, Enggan bertanggung jawan, Feodal, Percaya tahyul dan Wataknya lemah.
[4]Konteks inilah yang berjalan hingga hari ini. Organisasi mahasiswa yang diterapkan sekarang adalah warisan dari NKK-BKK dan Wawasan Almamater.


[5] Negeri ini sudah lupa apa yang menjadi historis,dasar, substansi atau hakiki sks. Konsep yang diadopsi dari AS yang disana sudah ditinggalkan disini diagung-agungkan tanpa pendukung memadai. Tertulis sks, namun dalam praktiknya lebih jelek dari sistim sebelumnya, yakni sistim paket.
[6] Daoed Yoesoef dalam Kompas 18 Februri 2014 menengarai bahwa fungsi pergurun tinggi di negeri ini masih jauh dari layak. Perguruan tinggi yang seharusnya merupakan par exellence dalam memajukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan demi pengembangan spirit ilmiah, masih jauh panggang dari api. Pendapat ini diamini Rhenald Kasali (Kompas, 24 OKTOBER 2014). Dengan meminjam Heckman, Rhenald Kasali menyatakan bahwa materi, muatan atau substansi sekolah kita tidak sesuai dengan harapan. Lebih jelasnya ia mengatakan;...sekolah-sekolah yang sering kita lihat disini (terlalu kognitif dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik. Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Pada hal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 sks (S1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 sks. Heckman menemukan variabel-variabel non kognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah ketrampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan, menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan dan kecenderungan untuk menjalankan rencana
[7] Lihat kejadian dalam pilpres, MK, pemilihan pimpinan DPR/MPR. Tidak pernah ada penyelesaian yang mendasar. Ramai sebentar lalu  seiring dengan berjalannya waktu hilang ditelan angin yang tak tampak lagi. Begitu terus-menerus terlembaga, terstruktur atau berlangsung sistemik. Simak juga masalah-masalah laten dinegeri ini tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas. Bagaimana masalah BLBI, Century,Hambalang,IT Pemilu 2009, KTP Elektronik dll
[8] Sok tahu tapi tidak tahu. Sifat doyan berbohong. Suatu sifat yang tentunya jauh dari harapan sebagai calon-calon cerdik-cendekia.
[9] Melawan kodrat sebagai manusia.
[10] Gambaran dari kultur malas, tidak berdisiplin, tidak kerja keras, anti pembaharuan. Matinya inisiatif, kreatifitas dan inovasi yang seharusnya merupakan nilai kompetensi ilmiah
[11] Sejauh itu ? mudah-mudahan hanya suasana sementara, atau hanya fiksi penulisnya.
[12] Pura-pura atau sering juga disebut dengan “hipokrit” adalah sifat yang sangat berbahaya. Seakan-akan tahun pada hal sebaliknya. Sekan-akan baik, tidak tahunya penjahat. Seakan-akan pintar, namun tolol. Masalah ini sangat serius, tidak mungkin kita diamkan.
[13] Cermin dari berpikir pendek, atau tidak berpikir sama sekali.
[14] Mari sama-sama kita renungkan sinyalemen ini. Bila ini benar, atau setidak-tidaknya dominan kesana, alamat lampu merah dalam kemahasiswaan kita.
[15] Daoed Yoesoef mensinyalir bahwa perguruan tinggi kita saat ini belum memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagaimana hakikinya ilmu pengetahuan. Lebih jelasnya ia menyatakan....spesies pembelajaran yang kini disebut “ilmu pengetahuan” merupakan contoh yang paling tepat dari proposisi (cat: lihat catatan kaki no 5) tadi sebab kerja dan karya dari ilmuwan kontemporer mengisyaratkan keberadaan suatu keseluruhan kompleks dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, memedulikan karya orang lain, diskusi interaktif. Apabila semua hal tersebut tidak ada, yang kita namakan “kegiatan ilmiah” hanya berupa suatu fatamorgana karena nyaris tak terlaksana. Yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat (Kompas, 18 februari 2014)
[16] Pengertian secara umum
[17] Ilustrasi berprinsip dan tidak berprinsip ini sengaja penulis tekankan, sebab tujuan akademikus, seperti mahasiswa adalah agar berprinsip. Harus punya prinsip, sebab itulah karakter utamanya.
[18] Pengertian yang penulis gunakan. Kemampuan yang didasarkan kepada moral. Pengertian sebagai antitese dari sosok yang kompeten, namun tidak bermoral. Kita sebut saja para penjahat, koruptor dan sejenisnya..
[19] Ingat pidatonya yang sangat terkenal, pidato yang hingga saat ini belum ada tandingannya...I have a dream
[20] Jokowi menulis revolusi mental yang akhirnya fenomenal. Mental dalam arti lain adalah karakter. Jokowi merasa galau melihat perkembangan Indonesia yang telah menerapkan institusi-institusi modern, seperti konsep pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemilihan pemimpin, Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden secara langsung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, namun mengapa rakyat semakin galau, marah dan meradang ?. jokowi melihat bahwa pembangunan yang dilakukan tersebut baru pada tataran pembangunan institusi, yang ternyata tidak mengubah mental masyarakat (Paulus Wirutomo, Kompas, 24 Mei 2014). Institusinya modern, perilakunya kampungan. Alternatifnya revolusi mental.
[21] Biasanya mereka yang berbuat untuk kemanusiaan dalam segala hal adalah mereka yang punya karakter. Apakah itu pemimpin bangsa, yang dikenal sebagai negarawan, tokoh seni, budayawan, pekerja sosial, pekerja lingkungan dan sebagainya
[22] Konsep sosiologi yang artinya instrumen perubahan. Mahasiswa diharapkan menjadi agent of change yang membawaa kehidupan lebih berkualitas
[23] Dapat juga dikatakan sebagai antitese atau alternatif terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang/otoriter. Mahasiswa tidak boleh berpangku tangan bila terjadi kesewenang-wenangan dan sejenisnya. Mereka harus bergerak untuk memperbaiki sesuai dengan hakikinya sebagai calon-calon intelektual dan pemimpin ke depan. Masalah korupsi yang berjamaah dinegeri ini, terutama perilaku-perilaku politisi kita yang jauh dari kepentingan masyarakat harus dikritisi. Tidak cukup hanya diomongkan di kantin atau diruang-ruang belajar. Sebagaimana dikatakan Gramschi mereka sangat tepat menjadi alternatif perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter.
[24] Lihat uraian-uraian sebelumnya, seperti yang disinyalir Prof Dr Daoed Yoesoef. Dengan tidak bermaksud membela mahasiswa, masalah besarnya sesungguhnya ada di luar mereka. Permasalahan utama ada dalam tatanan pendidikan kita yang kurang tepat bagi Indonesia. Tradisi-tradisi akademik yang seharusnya dipraksiskan tidak dilakukan dengan semestinya.
[25] Juga diprihatinkan.Amin Rais sewaktu melepaskan KKN Mahasiswa UGM tahun 2008. Amin melihat bahwa mahasiswa saat ini sudah tidak punya empathy terhadap permasalahan dan ketidakadilan yang terjadi dimasyarakat dan hanya mengurusi kepentingan pribadinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar