PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MAHASISWA;
MENJADI INTELEKTUAL DAN PEMIMPIN
yang
jujur, kompeten dan militan
Oleh:
Reinhard Hutapea
Cat: Disampaikan pada LDO-Himaseperta
Fak Pertanian Unsri 19 Oktober 2014 dan Ordik Mahasiswa FISIP-Ilmu Pemerintahan
Universitas Taman Siswa Palembang, 12 September 2015
Tahun 1970-an mengemuka suatu pandangan,
tulisan, stigma (mungkin paradigma juga) tentang ciri-kehidupan mahasiswa kita yang
mereka sebut sebagai “ Buku, Pesta dan
Cinta”. Tiga sifat, warna atau nilai
yang melukiskan eksistensi mahasiswa Indonesia saat itu. Begitukah sesungguhnya
? lalu bagaimana dengan mahasiswa saat ini ? apakah seperti itu juga ? atau
lebih khusus, seperti apakah karakter mahasiswa saat ini ?
Pada intinya persfektif demikian melukiskan,
menceritakan atau menggunjingkan citra, sifat, rona atau karakter mahasiswa yang menurut mereka/penulis tersebut mempunyai tiga ciri
dominan, yakni “belajar-study (Buku),
bersenang-senang (Pesta) dan berpacaran (Cinta). Setelah belajar, main-main dan
jika memungkinkan mencari jodoh
Meski bukan karya ilmiah yang sarat
dengan metodologi yang nyelimet, sistemik dan penuh pendekatan, bak skripsi,
thesis atau disertasi yang membuat mata minus seribu dan kepala semakin botak.
Namun secara substantif, hakiki atau seksama, pandangan para-nan citrais tersebut
diakui kebenarannya oleh banyak kalangan
Bahkan kalau tidak keliru karena daya tariknya
begitu memukau, sudah difilmkan pada
tahun 80-an yang menyedot banyak penonton.
Akan tetapi yang paling momental dari
deskripsi demikian, yakni “buku, pesta dan cinta tersebut adalah figur So Hok Gie. Aktifis mahasiswa idealis dari UI yang menjadi idola para
mahasiswa kala itu. Gie sebagaimana sejarahnya meninggal dalam usia muda (27
tahun) sewaktu melakukan pendakian di gunung Semeru pada tahun 1969.
Apakah sekedar rekreasi atau ada
tendensi-tendensi lain, mereka(Gie cs) mengadu ke alam, mewujudkan kebebasan
intelektualnya, ditengah-tengah mulai banyaknya teman-temannya yang mulai
berubah haluan. Dari aktifis yang membela kebenaran menjadi penjilat power
establish demi vested interestnya[1].
Gie adalah aktifis cerdas yang
militan menyampaikan keyakinannya dengan tak sedikitpun memiliki rasa takut[2].
Ia senantiasa tak pernah gentar menuarakan kritik terhadap setiap kebijakan
yang dinilainya merugikan masyarakat. Prinsipnya “lebih baik diasingkan
ketimbang menyerah kepada kemunafikan[3].
Penulis sendiri karena tertarik
dengan nuansa demikian, telah juga mengangkatnya dalam sebuah opini di harian Merdeka
Jakarta pada tahun 1991. Banyak yang membenarkan, banyak yang mentertawakan dan
banyak juga yang mendebat. Yang pasti tulisan itu dapat memancing pembaca untuk
berdiskusi, sebagaimana yang diharapkan pada pertemuan kita hari ini.
Saat itu penulis memang/juga yakin bahwa
seperti itulah “warna, ciri, potret kalau bukan karakter” mahasiswa Indonesia yang sesungguhnya. Belajar sebanyak-banyaknya,
seserius seriusnya, gembira dan berhura-hura sesenang-senangnya dan berpacaran-memadu
kasih se sentimental-sentimental, seasyik-asyik/indah-indahnya
Hanya saja karena penulis juga adalah
aktifis saya tambahkan satu potret lagi, yakni “organisasi/politik”. Lengkapnya menjadi “Mahasiswa antara Buku, Pesta, Cinta dan Politik”. Pada waktu itu
organisasi mahasiswa memang sangat dinamis, mekar, bergemuruh dan turut
mewarnai kehidupan sosial-politik, baik intra maupun extra universiter.
Saat-saat itu dapat dikatakan adalah
suasana yang paling dinamis pada kehidupan mahasiswa. Mahasiswa sungguh membuktikan
dirinya bahwa mereka adalah calon-calon “intelektual dan pemimpin” bangsa ke
depan
Akan tetapi sebagaimana dalam fase/perjalanan
selanjutnya peran demikian secara perlahan, namun pasti mulai menyusut karena
dipreteli power establish. Dikurangi secara sistemik oleh rezim Soeharto yang sangat
otoriter, terutama ketika ditempuhnya SK 028/1974, yakni setiap kegiatan yang
dilakukan mahasiswa harus seizin rektor (Sarwono, Sarlito, 1979).
Sk ini diterbitkan setelah
demonstrasi raksasa mahasiswa tahun 1974, yang dikenal dengan istilah “malapetaka 15 januari”, malari. Pada
waktu mahasiswa mendemo kedatangan PM Jepang Tanaka, karena dominasi ekonomi
Jepang yang begitu besar dalam perekonomian Indonesia.
Setelah itu (SK 028/1974) muncullah
peraturan yang lebih seram, yakni “NKK-BKK”
dengan SK 0156/U/1978, alias, Normalisasi Kehidupan Kampus, yang dijabarkan
lebih detail dalam SK 002/DJ/Inst/1978 (Sarwono, Sarlito, 1979).
Sedangkan untuk merubah lembaga
kemahasiswaan alias memberangus “Dema” dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan” (BKK) pada
tahun 1978 dengan SK........ .lembaga baru ini ditempuh untuk mengubur lembaga
mahasiswa sebelumnya yang bernama Dewan Mahasiswat (Dema) yang populer dengan
predikatnya sebagai “student government”(Sarwono, Sarlito, 1979).
Daoed Yoesoef sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan saat itu dengan berbagai strategi mulai mengeleminir
mahasiswa dari kehidupan politik. Istilah populernya mendepolitisasi kehidupan
politik mahasiswa. Menurut beliau tujuan utama mahasiswa adalah menjadi manusia
penalar (man of analyses). Bukan berpolitik.
Jika mempunyai minat berpolitik
silahkan di luar kampus. Masuk lembaga-lembaga politik alias partai-partai
politik, Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pressure group, Organisasi non
pemerintah (Ornop) dan lain-lain institusi politik. Kampus harus steril dari
gerakan-gerakan politik, karena mengganggu belajar dan predikat-predikat lain
dari dunia akademik yang perlu ketentraman.
Pamungkasnya adalah ketika Nugroho Notosusanto
menggantikannya[4]. Dengan
dalih yang dicari-cari, yang katanya sangat ilmiah dibuatlah konsep pembenaran
bahwa aktifitas mahasiswa murni hanya menjadi mahluk penalar. Mengikuti kuliah
dengan baik, diskusi dengan tuntunan dosen, dan menyampaikan aspirasi juga
dengan tuntunan otoritas kampus. Konsep ini ditulis dengan konseptual dalam wawasan Almater dengan triloginya ”institusionalisasi, professionalisasi dan
transpolitisasi”
Malas baca sebagai
karakter negatif....
Pasca NKK-BKK kehidupan kampus telah
terkebiri. Mahasiswa dijauhkan dari peran-peran kritis, khususnya peran
politik. Mereka diposisikan cukup hanya sebagai pembelajar di ruang kuliah dan
laboratorium saja. Tidak usah mencampuri urusan-urusan diluar kampus, khususnya
yang berbau kekuasaan/politik. Fungsinya hanya sebatas itu
Strategi yang selain sukses menjadikan kampus steril dari masalah-masalah
sosial-politik, jauh diatas itu adalah justru tumpulnya daya nalar mahasiswa.
Disengaja atau tidak itulah konsekwensi-fakta selanjutnya dari kebijakan
depolitisasi yang membuat mahasiswa semakin mandul daya kritisnya.
Sinyalemen tersebut, yakni setelah
berjalan sekian tahun bermuara/terbukti dari penelitian Bertina Syahbadhyni,
dosen/peneliti UI (kira-kira satu dekade kemudian). Bertina menyatakan bahwa
hanya 10% mahasiswa (UI) yang rajin membaca buku teks, dengan kriteria
rata-rata membaca selama 2 jam (atau lebih) setiap harinya (dalam Ki Supriyoko,
Yogya Post, 2 Mei 1990).
Tragis sekali...Lalu mereka ngapain
saja ? hanya berpesta dan bercinta minus
membaca?, seperti apa itu mahasiswa jika tidak berlandaskan buku-buku teks ?,
apa fundasi keilmuannya ?
Sementara perintah SKS[5]
yang dicanangkan dari sananya harus banyak-banyak atau rakus membaca, mengapa
sebaliknya yang terjadi !. Tidakkah peraturan 1 sks mengharuskan mahasiswa membaca
dan menguasai 5 buku teks ?. artinya jika mata kuliahnya berbobot 1 sks, maka
buku teks yang harus dikuasainya 5 buku. kalau 1 mk 3 sks, maka buku teks yang
harus dibaca adalah 3 X 5 = 15 buku. Artinya I mk = 15 buku. Kalau menempuh 6
mk saja dengan bobot masing-masing 3 sks maka buku teks yang harus dibaca
adalah 6 X 15 = 90 buku
Apalagi jika dihubungkan dengan
metode belajarnya, seharusnya tidak ada waktu mahasiswa berleha-leha selain
hanya membaca/belajar. 1 sks tatap muka ditetapkan 50 menit, terstruktur 60
menit dan mandiri 60 menit. Jika 3 sks maka tatap muka menjadi 3 X 50 = 150
menit, terstruktur 3 X 60 = 180 menit,
dan mandiri 3 X 60 menit = 180 menit.
Waktu seharusnya tersita untuk belajar.
Faktanya ? mahasiswa tidak baca buku teks kata Bertina Syahbadhyni. Apa yang
salah ?. Panjang uraiannya. Yang pasti ada something wrong dalam sistim
pendidikan tinggi kita[6]
Melihat realita demikian sontak kalangan
akademis Indonesia geger mendengarnya. Bagaimana mutunya jika hanya 10%
mahasiswa yang rajin membaca ?. kemana yang 90% lagi. Muaranya kemudian adalah
mencuatnya “sks-sks an” .
Bandingkan misalnya dengan negara-negara lain,
atau negara tetangga yang jumlah sksnya hanya sekitar 124 pada S1, namun dari
Senin sampai Sabtu , dari pagi hingga sore mereka seharian belajar di kampus.
Kita 144 sks....hanya 10% yang ........mengerikan.
Namun sebagaimana bangsa, negara dan
masyarakat yang hobby “amnesia”, masalah malas membaca buku teks tersebut hanya
diratapi sekian waktu. Bahasa populernya prihatin, namun tidak ada way outnya.
Prihatin aja. Sedih pilu, begitu terus.
Dan
seiring dengan berjalannya waktu, berlalu juga ratapan dan keprihatinan tersebut.
Malas, malas, malas terus berlangsung.....dan akhirnya karena berjalan demikian
terus menerus, tanpa disadari menjadi tradisi. Tradisi negatif yang selanjutnya
tak perlu dipersoalkan lagi. Tragis !
Dalam segala hal bangsa ini seperti
itu. Selalu prihatin terhadap masalah-masalah yang serius, laten dan krusial, namun
tidak pernah diselesaikan dengan benar.Termasuk yang kita saksikan hari-hari
atau akhir-akhir ini[7]
Pelestarian pembodohan
?
Bagaimana semakin tumpulnya daya
nalar kritis mahasiswa itu berlangsung ditangisi beberapa mahasiswa, pakar atau
kalangan lain yang masih peduli dengan “kebenaran, moral dan kemajuan”.
Kegamangan ini terutama dikawatirkan oleh (pada umumnya) para aktifis. Dengan
semangat idealismenya mereka menghujat kehidupan mahasiswa saat ini yang minim
intelektualitas, karena malas dengan kegiatan yang bersifat akademik, maunya
hanya main-main, pacaran, traveling dan sejenisnya sebagaimana dikatakan Romel
Masykuri dibawah ini;
Bagaimana mahasiswa dapat dikatakan
intelektual sejati, jika ia hanya mementingkan fashion dalam kehidupannya ?.
kegiatan sehari-hari pacaran, main-main, jalan-jalan, hura-hura, dan malas
dengan kegiatan yang bersifat akademik, seperti membaca buku dan diskusi (Romel
Masykuri, Okezone.com, 6 mei 2023)
Namun yang paling menyeramkan,
walaupun dibungkus dengan dagelan lucu adalah yang ditulis oleh Amius Blog,
Januari 2012. Menurut blog tersebut ciri-ciri mahasiswa adalah
·
Merasa
lebih pandai dari orang lain apalagi jika berkumpul dengan teman-temannya yang
bukan mahasiswa[8]
·
Sok
kritis tapi nilai IP jeblok
·
Ikut
organisasi biar keren sekaligus menutupi kekurangan
·
Lebih
takut pada dosen daripada orang tua[9]
·
Nyontek
adalah keharusan, karena itu posisi duduk sangat menentukan[10]
·
Bila
berhasil menyontek merupakan kebanggaan
·
Terlambat
merupakan suatu kebanggan biar dibilang keren
·
Datang
ke kampus hanya sekedar mengisi waktu dari pada bengong di kos[11]
·
Membeli
buku-buku pelajaran bajakan, kalau perlu difotocopy saja
·
Di
kamarnya ada film bajakan
·
Pura-pura
ngerti bila mengerjakan tugas kelompok[12]
·
Tidak
peduli dengan tugas kelompok, toh jika dapat 0 (nol) semua ikut kena
·
Berkumpul
di tempat fotocopy sebelum adanya ujian
·
Berusaha
mencari tempat makan yang paling enak tapi paling murah
·
Di
dompet kartu ATM nya cuma buat gaya-gayaan pada hal nggak ada isi[13]
·
Paling
senang bila ada promo gratisan di kampus
·
Ada
stok super mi di kamar
·
Tidak
percaya dengan ciri-ciri di atas
↓
Anti sikap dan kompetensi ilmiah
Seram benar.......meski belum diuji secara empirik-ilmiah, ciri
yang dibuat Amius Blog tersebut sebagaimana novel “Buku, Pesta dan Cinta” di
atas, kebenarannya cukup valid dan reliable, dan saya sebagai akademisi meyakini potret
tersebut[14].
Yakni tinggal sebatas:
ü Pesta dan
ü Cinta
ü .....minus buku
► Itulah cermin, ciri kalau bukan
(karakter) mahasiswa Indonesia saat ini......jauh dari tujuan semula dan jauh
dari yang diharapkan. Antara das sollen dan das sein, atau value capabilitas an
value expectation terdapat jurang yang dalam. Tentu bukan karakter yang kita inginkan ......
Konsep Karakter
Mahasiswa selalu dipersepsikan sebagai
“calon-calon intelektual dan pemimpin” bagi masa depan bangsa. Mereka
diharapkan menjadi hati nurani masyarakat. Terutama bagi bangsa yang
dikategorikan sedang berkembang. Termasuk Indonesia. Mahasiswa sebagai pelajar
tertinggi diharapkan mewujudkan impian tersebut.
Akan tetapi masalah betul atau tidak harapan tersebut mari sama-sama
kita diskusikan. Benarkah perguruan tinggi kita berikhtiar kesana ?[15]
. Pertanyaan yang vital dipahami, sebab karakter tidak berjalan di ruang hampa.
Ia adalah salah satu unit, bahkan unit vital dalam sistim perguruan tinggi.
Sebagai rujukan singkat dapat dibaca dalam catatan kaki dibawah, sebagaimana
ditulis Daoed Yoesoef dan Rhenald Kasali. Keduanya sepakat bahwa nilai-nilai
yang dipraksisikan di perguruan tinggi kita kelihatannya masih jauh dari
harapan atau tujuan pendidikan itu sendiri dan forum ini tidak mungkin membahas
itu. Oleh karena itu kita kembalikan kepada istilah karakter itu sendiri. Apa
sesungguhnya karakter itu
Menurut Nasir (dalam Yenny Susanna
MPd, hal 4) dalam terminologi psikologi “karakter adalah watak, perangai, sifat
dasar yang khas, suatu sifat atau kualitas yang tetap terus menerus dan kekal
sehingga bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seseorang”.
Suatu kata, kalimat, istilah atau
konsep yang sudah biasa kita dengar dan lakonkan sehari-hari. Secara populer
dapat dikatakan karakter adalah “sifat
dasar yang konsisten dan kekal[16]”.
Sudah biasa kita dengar si A sifatnya plin-plan, mencla-mencle → tidak berprinsip, si B pragmatis → opportunis (tidak berprinsip), si C
sesuai arah angin, kemana angin kesitu ia ikut → tidak berprinsip
Sebaliknya adalah mereka yang sifat
dasarnya sangat berprinsip. Kalangan ini sering disebut sebagai “idealis”, karena
sangat teguh pada prinsip atau pendirian. Kalau “benar katakan benar, salah
katakan salah, merah bilang merah[17].
Jangan ada dusta diantara
kita....jangan benci nyatanya rindu, senandung lagu-lagu melankolik nan klasik
yang kata-katanya terus abadi. Kalangan ini sering juga dikategorikan dengan
berbagai istilah, seperti ► Keras, kaku, extrim, non konformistis . Dimana
karakter mahasiswa ?
Sebelum kita uraikan lebih lanjut apa
yang dimaksud dengan karakter yang seharusnya dimiliki mahasiswa tersebut,
baiklah kita hubungkan dengan satu konsep, yakni konsep kepemimpinan. Mahasiswa
sebagai hakikatnya sering dikonotasikan adalah calon-calon pemimpin.
Menurut Andre Wongso esensi dasar
sukses kepemimpinan adalah “karakter”. Pemimpin yang berhasil adalah yang
memiliki karakter. Tidak ada pemimpin yang tidak berkarakter. Lebih jelasnya ia mengatakan:
....bahkan saya berani mengatakan esensi dasar sukses
kepemimpinan adalah karakter-karakter utama yang dimiliki si pemimpin.
Character is the foundation for leaders all true success (6 Juni 2012)
Timbul pertanyaan karakter yang bagaimana ? Andrie Wongso
menulis...
....kualitas personal dari seorang
pemimpin yang terbentuk melalui akumulasi tindakan-tindakan yang mengacu kepada
nilai-nilai moralitas dan etik yang diyakini oleh seorang pemimpin (6 Juni 2012)
Kualitas demikian adalah;
v pikiran,
v sikap dan
v tindakan
mengikuti nilai-nilai inti universal, seperti;
Kejujuran
Keterpercayaan
Tanggung jawab
Kepedulian kepada
negara
dll
Singkatnya karakter yang dimaksud adalah “kualitas personal yang didasarkan kepada
moral dan etik[18].”
Dalam pengertian lain
→► kepemimpinan = karakter.
▬ ►
Antitese dari pejabat
Beberapa ilustrasi
pemimpin yang berkarakter adalah sebagai berikut:
Ø Ibu Teresa memiliki karakter yang
kuat sebagai pemimpin yang peduli, empathy dan kasih pada orang lain
Ø Marthin Luther King memiliki karakter
kuat sebagai pemimpin yang memiliki keteguhan dalam memegang prinsip dan
memiliki keberanian luar biasa dalam menghadapi tantangan berat[19]
Ø Jack Welch, pemimpin yang berkarakter
karena memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan-keputusan berat dan pelik
Ø Steve Jobs memiliki kepemimpinan yang
unik karena ide-idenya yang inovatif dan kemampuannya melihat masa depan.
Ø Joko Widodo[20]
(jujur, sederhana dan merakyat), Yusuf Kalla (tegas dan rasional), Ahok (idem
dengan Kalla)
Ø Soekarno, Hatta, Syahrir, panglima
Soedirman, teguh membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan
Ø Hamka, Ali Sadikin, Mohtar Lubis
Ø Slank, Iwan Fals, Titik Puspa,
Arswendo Atmowiloto, Christin Hakim
Ø Tokoh mahasiswa 66 seperti Soe Hok
Gie, Arif Rahman Hakim, Harry Chan Silalahi
Ø Tokoh mahasiswa 1974/malari, Hariman
Siregar
Ø ........masih banyak[21]
Menjadi Intelektual dan
Pemimpin
Dari uraian-uraian diatas, eksistensi
yang kita harapkan dari para mahasiswa sesuai dengan arti, fungsi dan hakikinya
adalah menjadi intelektual dan pemimpin bangsa ke depan. Karakter yang
dibutuhkan untuk itu, yakni menjadi intelektual dan pemimpin yang handal itulah
intinya.
Dalam artian lain sebagaimana sering
digaungkan berbagai kalangan mereka harus jadi agent of change[22],
pionir atau inovator dalam perjalanan
bangsa, negara dan masyarakatnya. Terutama bagi negeri-negeri yang
dikategorikan sedang berkembang, seperti Indonesia harapan itu sangat besar.
Antonio Gramschi mengajak mereka
supaya menjadi counter hegemony[23]
untuk melawan berbagai bentuk politik manipulasi, yang senantiasa meletakkan
kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, dengan menyuarakan pembebasan bagi
orang-orang yang tertindas (Dalam Budiman Satar, Serambi Indonesia, 9 okt 2013)
Namun sebagaimana kita uraikan diatas
tantangan-tantangan kecita-cita tersebut tidaklah ringan. Cukup berat,
terjal, cadas dan tajam (anti ilmiah ?). Mahasiswa sadar atau sebaliknya sesungguhnya
telah hidup dalam alam yang jauh dari tradisi keilmuan yang seharusnya menjadi
predikatnya[24].
Kalangan ini sebagaimana disinggung
di depan telah terstruktur, terlembaga atau terinternalisasi dengan
predikat-predikat yang jauh dari kehidupan dunia akademik yang sesungguhnya,
seperti malas baca buku teks, sok tahu, pragmatis-opportunis, konsumtif,
hedonis dan sebagainya (lihat Amius blog diatas)[25].
Masih dapat diuraikan sekian panjang lagi.
Namun apapun dalihnya hakikat
mahasiswa sebagai intelektual dan pemimpin sejati tetaplah harapan kita
bersama. Yakni intelektual dan pemimpin yang berkarakter “jujur, kompeten dan militan” . Karakter seperti ini yang kita harapan kedepan. Mudah-mudahan
kenyataan. Hidup mahasiswa. Merdeka.
Palembang, 12
September 2015
REFERENSI
Badil Rudi dkk, 2009, Soe Hok Gie, Sekali lagi; buku, pesta
dan cinta di alam bangsa, ILUNI-UI-Kompas, Jakarta
Notosusanto, Nugroho, 1985, Wawasan Almamater, UI Press,
Jakarta
Sarwono, Sarlito, 1979, Perbedaan antara Pemimpin Dan Aktifis
Dalam gerakan Protes Mahasiswa, Disertasi, Bulan-Bintang, Jakarta
Budiono, 2012, Pendidikan Kunci Pembangunan, Kompas, 27
Agustus 2012
Kasali, Rhenald, 2014, Pendidikan dan Rantai Kemiskinan,
dalam Kompas, 24 Okt 2014
Supriyoko Ki, 1990, dalam Yogya Post 2 Mei 1990
Suzana, Yenny, 2012, Pengembangan Nilai-Nilai karakter
mahasiswa Dalam pembelajaran Melalui Metode Blended Learning (makalah), LSM,
Aceh
Yoesoef, Daoed, 2014, Misi Perguruan Tinggi Kita, dalam
Kompas, 18 Februari 2014, Jakarta
Wirutomo, Paulus, 2014, Pembangunan Berbasis Nilai, 24 Mei
2014, Kompas, Jakarta
Amius Blog, januari 2012.
[1] Memasuki
kekuasaan Soeharto karena mendapatkan kenikmatan-kenikmatan meski dengan
mengorbankan kebenaran yang diyakininya.
[2] Kisah
kehidupannya ditulis rekan-rekannya dalam satu buku yang berjudul “Soe Hok Gie,
Sekali lagi; buku, pesta dan cinta di alam bangsa. Penulisnya adalah Rudi
Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan. Iluni-UI-Kompas, 2009, Jakarta
[3] Mohtar
Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tahun 1977 menyatakan
bahwa sifat-sifat manusia indonesia adalah “Munafik, Enggan bertanggung jawan,
Feodal, Percaya tahyul dan Wataknya lemah.
[4]Konteks
inilah yang berjalan hingga hari ini. Organisasi mahasiswa yang diterapkan
sekarang adalah warisan dari NKK-BKK dan Wawasan Almamater.
[5] Negeri
ini sudah lupa apa yang menjadi historis,dasar, substansi atau hakiki sks.
Konsep yang diadopsi dari AS yang disana sudah ditinggalkan disini
diagung-agungkan tanpa pendukung memadai. Tertulis sks, namun dalam praktiknya
lebih jelek dari sistim sebelumnya, yakni sistim paket.
[6] Daoed
Yoesoef dalam Kompas 18 Februri 2014 menengarai bahwa fungsi pergurun tinggi di
negeri ini masih jauh dari layak. Perguruan tinggi yang seharusnya merupakan
par exellence dalam memajukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan
peradaban human dan demi pengembangan spirit ilmiah, masih jauh panggang dari
api. Pendapat ini diamini Rhenald Kasali (Kompas, 24 OKTOBER 2014). Dengan
meminjam Heckman, Rhenald Kasali menyatakan bahwa materi, muatan atau substansi
sekolah kita tidak sesuai dengan harapan. Lebih jelasnya ia
mengatakan;...sekolah-sekolah yang sering kita lihat disini (terlalu kognitif
dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif
terlampau mekanistik. Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana
menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Pada hal, mereka tak
kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah
dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 sks (S1). Sementara sarjana
kita menempuh 144-152 sks. Heckman menemukan variabel-variabel non kognitif
yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang
untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah ketrampilan
meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai
kemampuan mengelola daya tahan, menghadapi tekanan, menunda kenikmatan,
ketekunan menghadapi kejenuhan dan kecenderungan untuk menjalankan rencana
[7] Lihat
kejadian dalam pilpres, MK, pemilihan pimpinan DPR/MPR. Tidak pernah ada
penyelesaian yang mendasar. Ramai sebentar lalu
seiring dengan berjalannya waktu hilang ditelan angin yang tak tampak
lagi. Begitu terus-menerus terlembaga, terstruktur atau berlangsung sistemik.
Simak juga masalah-masalah laten dinegeri ini tidak pernah ada penyelesaian
yang tuntas. Bagaimana masalah BLBI, Century,Hambalang,IT Pemilu 2009, KTP
Elektronik dll
[8] Sok tahu
tapi tidak tahu. Sifat doyan berbohong. Suatu sifat yang tentunya jauh dari
harapan sebagai calon-calon cerdik-cendekia.
[9] Melawan
kodrat sebagai manusia.
[10]
Gambaran dari kultur malas, tidak berdisiplin, tidak kerja keras, anti
pembaharuan. Matinya inisiatif, kreatifitas dan inovasi yang seharusnya
merupakan nilai kompetensi ilmiah
[11] Sejauh
itu ? mudah-mudahan hanya suasana sementara, atau hanya fiksi penulisnya.
[12]
Pura-pura atau sering juga disebut dengan “hipokrit” adalah sifat yang sangat
berbahaya. Seakan-akan tahun pada hal sebaliknya. Sekan-akan baik, tidak
tahunya penjahat. Seakan-akan pintar, namun tolol. Masalah ini sangat serius,
tidak mungkin kita diamkan.
[13] Cermin
dari berpikir pendek, atau tidak berpikir sama sekali.
[14] Mari
sama-sama kita renungkan sinyalemen ini. Bila ini benar, atau setidak-tidaknya
dominan kesana, alamat lampu merah dalam kemahasiswaan kita.
[15] Daoed
Yoesoef mensinyalir bahwa perguruan tinggi kita saat ini belum memanfaatkan
ilmu pengetahuan sebagaimana hakikinya ilmu pengetahuan. Lebih jelasnya ia
menyatakan....spesies pembelajaran yang kini disebut “ilmu pengetahuan”
merupakan contoh yang paling tepat dari proposisi (cat: lihat catatan kaki no 5)
tadi sebab kerja dan karya dari ilmuwan kontemporer mengisyaratkan keberadaan
suatu keseluruhan kompleks dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran
dan riset, memedulikan karya orang lain, diskusi interaktif. Apabila semua hal
tersebut tidak ada, yang kita namakan “kegiatan ilmiah” hanya berupa suatu
fatamorgana karena nyaris tak terlaksana. Yang ada hanya sejumlah penyandang
gelar kesarjanaan tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak
kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat (Kompas, 18 februari 2014)
[16]
Pengertian secara umum
[17] Ilustrasi
berprinsip dan tidak berprinsip ini sengaja penulis tekankan, sebab tujuan
akademikus, seperti mahasiswa adalah agar berprinsip. Harus punya prinsip,
sebab itulah karakter utamanya.
[18]
Pengertian yang penulis gunakan. Kemampuan yang didasarkan kepada moral.
Pengertian sebagai antitese dari sosok yang kompeten, namun tidak bermoral.
Kita sebut saja para penjahat, koruptor dan sejenisnya..
[19] Ingat
pidatonya yang sangat terkenal, pidato yang hingga saat ini belum ada
tandingannya...I have a dream
[20] Jokowi menulis
revolusi mental yang akhirnya fenomenal. Mental dalam arti lain adalah
karakter. Jokowi merasa galau melihat perkembangan Indonesia yang telah
menerapkan institusi-institusi modern, seperti konsep pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, pemilihan pemimpin, Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden secara
langsung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, namun mengapa
rakyat semakin galau, marah dan meradang ?. jokowi melihat bahwa pembangunan
yang dilakukan tersebut baru pada tataran pembangunan institusi, yang ternyata
tidak mengubah mental masyarakat (Paulus Wirutomo, Kompas, 24 Mei 2014).
Institusinya modern, perilakunya kampungan. Alternatifnya revolusi mental.
[21]
Biasanya mereka yang berbuat untuk kemanusiaan dalam segala hal adalah mereka
yang punya karakter. Apakah itu pemimpin bangsa, yang dikenal sebagai
negarawan, tokoh seni, budayawan, pekerja sosial, pekerja lingkungan dan
sebagainya
[22] Konsep
sosiologi yang artinya instrumen perubahan. Mahasiswa diharapkan menjadi agent
of change yang membawaa kehidupan lebih berkualitas
[23] Dapat
juga dikatakan sebagai antitese atau alternatif terhadap kekuasaan yang
sewenang-wenang/otoriter. Mahasiswa tidak boleh berpangku tangan bila terjadi
kesewenang-wenangan dan sejenisnya. Mereka harus bergerak untuk memperbaiki
sesuai dengan hakikinya sebagai calon-calon intelektual dan pemimpin ke depan.
Masalah korupsi yang berjamaah dinegeri ini, terutama perilaku-perilaku
politisi kita yang jauh dari kepentingan masyarakat harus dikritisi. Tidak
cukup hanya diomongkan di kantin atau diruang-ruang belajar. Sebagaimana
dikatakan Gramschi mereka sangat tepat menjadi alternatif perlawanan terhadap
kekuasaan yang otoriter.
[24] Lihat
uraian-uraian sebelumnya, seperti yang disinyalir Prof Dr Daoed Yoesoef. Dengan
tidak bermaksud membela mahasiswa, masalah besarnya sesungguhnya ada di luar
mereka. Permasalahan utama ada dalam tatanan pendidikan kita yang kurang tepat
bagi Indonesia. Tradisi-tradisi akademik yang seharusnya dipraksiskan tidak
dilakukan dengan semestinya.
[25] Juga diprihatinkan.Amin
Rais sewaktu melepaskan KKN Mahasiswa UGM tahun 2008. Amin melihat bahwa
mahasiswa saat ini sudah tidak punya empathy terhadap permasalahan dan
ketidakadilan yang terjadi dimasyarakat dan hanya mengurusi kepentingan
pribadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar