Oleh : Reinhard Hutapea
Anggota Kelompok Studi
dan Komunikasi Humanitas Medan
Published, Mimbar Umum, 31 Desember 1990
Sekitar medio 70-an terjadi musibah di Karawang, yakni padi
diserang hama wereng sehingga lumbung padi terbesar Jawa Barat itu mengalami
bencana kelaparan. Kemudian untuk menanggulanginya pemerintah turun tangan
memberi bantuan. Di sisi lain juga diterjunkan para pakar dari segala disiplin,
profesi termasuk para ilmuwan sosial untuk meneliti sebab musabanya
Hasil penelitian tersebut kemudian dipublisir, baik itu
melalui media pers dan atau khususnya kepustakaan. Adam Malik (almarhum) yang
terkenal sebagi kutu buku, tak terkecuali ikut membacanya. Tak syak lagi ketika
diminta memberi kata sambutan (sebagai ketua DPR/MPR) pada Kongres Himpunan
Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) tahun 1978 di Manado beliau
mengkritik eksistensi para pakar ilmu-ilmu sosial yang terjebak retorika.
Retorika tersebut adalah semacam permainan kata-kata yang
canggih, yang jarang dipakai awam . untuk menyatakan penyakit busung lapar
misalnya dikelitkan dengan kurang gizi, agar lebih dahsyat pakai istilah HO dan
entah apa lagi. Istilah yang hebat !. namun sesungguhnya bukan itu yang
diharapkan (bahasa yang di kemas-kemas), melainkan jalan keluar atau terobosan
dari kemelut.
Baru-baru ini Prof Dr Yuwono Sudarsono dengan mengutip
alamarhum Syahrir yang merujuk kepada beberapa buku top dunia, seperti Future
Shock nya Alvin Toffler, Megatrends 2000 karya John Naisbitt dan Patricia
Aburdene serta karya-karya Peter Drucker mensinyalir bahasa kedangkalan yang
diperoleh melalui ungkapan-ungkapan serba baru dan serba memukau. Syahrir 60
tahun yang silam dalam salah satu renungannya pernah menulis tentang gejala
para pakar yang gemar mengemukakan ungkapan-ungkapan canggih, tanpa mendalami
arti sesungguhnya dari tiap-tiap frase yang diluncurkannya. Mengapa sampai
terjadi demikian
Kesalahan metodologi
Kalau diperhatikan secara seksama, peran, tingkah laku atau
behaviour ilmuwan kita (sarjana, pasca sarjana, atau khususnya yang sudah
doktor) adalah orientasi dan pendongakan habis-habisan ke Barat. Thesis atau
disertasi yang mereka pertahankan, secara matematis 95% memakai pustaka-pustaka
negeri tersebut. konon, kalau tidak Barat tidak ilmiah.
Selanjutnya demikianlah ketika kelompok elit tersebut memberi
kuliah di kampus atau dalam kesempatan lain di tengah-tengah masyarakat. Apa
yang mereka pentaskan penuh dengan kutipan-kutipan sarjana asing, dengan bahasa
yang tak jarang sukar dimengerti. Gaya bahasa yang sulit (dipersulit) entah
disengaja atau tidak kiranya menjadi semacam indikator bagi seorang ilmuwan.
Semakin sukar dimengerti semakin tinggi tingkat kecendekiaannya?
Sayang dan sangat disayangkan, walau dengan bahasa yang
sukar, kacamata minus seribu, kepala botak, sejuta sks, dan studi sampai ke
ujung dunia ternyata tidak banyak memberi sumbangan bagi kemajuan rakyat. Teori
yang diberikan se akan-akan hanya untuk teori atau ilmu untuk ilmu yang hanya
memegahkan menara gading (ivory tower) dan lepas dari kepentingan masyarakat.
Konteks seperti inilah yang pernah disinggung Bung Karno ketika memberi amanat
pada pertemuan dengan bekas tentara pelajar di Istana negara Jakarta, 26 Maret
1959, yakni “kebekuan intelektualisme” – semacam sifat, yang semata-mata
meninjau segala sesuatu hanya dari sudut intelektualisme (Bung Karno dan ABRI,
CV Haji Masagung, MCMLXXXIX)
Menurut banyak kalangan keadaan tersebut (seperti yng
didiktumkan pada seminar HIPIIS ,Juli 1990 di Yogyakarta) adalah akibat kesalahan
metodologi (paradigma,pranata, dan pendekatan) yang tidak berpijak dalam
realitas sosial-budaya negeri sendiri. Selain itu juga terjebak pemikiran
kapitalis
Pemikiran Kapitalis
Pendekatan yang banyak dilakukan oleh penulis Barat tentang
negeri kita bersandar lebih banyak pada pendekatan yang sering disertai
prasangka atau disertai dengan perbandingan kepada negeri atau masyarakat yang
sama sekali tidak relevan.
Sebagai pendahuluan, dan juga sebagi cermin prasangka yang
dimaksudkan, Prof Dr Deliar Noer MA merujuk kepada buku ‘The Myth of the Lazy
Native oleh Syed Hussein Alatas yang menyanggah pengamat-pengamat asing tentang
sifat-sifat orang Melayu yang mereka sebutkan “pemalas, tumpul (dull), khianat
(treachenous), kekanak-kanakan (childish) dan sebagainya. Dengan orang Melayu
itu dimaksudkan penulisnya, baik orang-orang Melayu di Malaysia maaupun di
Indonesia dan Filifina. Syed Hussein berkesimpulan bahwa sifat-sifat tersebut
tumbuh pada pengamat bersangkutan oleh karena penolakan orang kita untuk melibatkan
diri dalam perkembangan ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial
dan perusahaan Barat. Ia menambahkan bahwa pandangan itu bersandar pada lima
sebab, yaitu generaliasasi yang salah, interpretasi tentang sesuatu kejadian
tanpa memperhatikan konteksnya, kurang rasa seperasaan, prasangka yang
disebabkan oleh fanatisme, sifat angkuh dan sombong, dan dominasi tanpa sadar
dari beberapa pengertian pemikiran kapitalis Barat (baca Penelitian Agama, SH,
1982)
Dominasi pemikiran kapitalis kiranya merupakan fakta yang
paling klasik untuk ditelaah, mengingat bahwa negeri ini adalah bekas jajahan
Belanda dimana hampir semua the founding fathers (pemimpinnya) adalah mantan
didikan kolonial, yang secara historis dikenal sebagai “golongan elit modern
Indonesia”. Kelompok ini selanjutnya menjadi pionir pejuang kemerdekaan
Indonesia yang dicetuskan 17 Agustus 1945
Kemampuan the founding fathers memerdekakan negara ini tidak
otomatis membebaskan segala-galanya dari warisan (heritage) penjajah. Sistim
pendidikan yang serasi, selaras dan seimbang dengan kebutuhan Indonesia pasca
kemerdekaan belum sempat dirumuskan. Oleh karenanya yang diterapkan
mentah-mentah masih metodologi kolonial, dengan harapan secara lambat laun
dapat disesuaikan dengan kepribadian Bangsa. Demikianlahmisalnya Bung Karno
dalam beberapa kesempatan selalu menekankan agar kurikulum yang disampaikan
betul-betul ciptaan kita sendiri.
Akan tetapi sebelum tercapai keinginan menciptakan kurikulum
yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, tahun 1965 terjadi pergeseran
kekuatan/kekuasaan (powershift). Soekarno bersama rezimnya turun dari
singgasana kekuasaan dan diganti oleh rezim Orde Baru dengan citra, eksistensi
dan sepak terjang yang sama sekali bertolak belakang dengan sebelumnya. Dalam
artian lain bidang-bidang seperti, politik, kultur, dan atau khususnya sistim
pendidikan menjadi sub ordinat ekonomi
Disamping sebagai sub ordinat (apakah disadari atau tidak)
pendidikan kitapun senakin berorientasi ke Barat. Sistem, teori dan lain-lain
menjadi Barat sentris. Bahkan pemerintah
kontinyu terus menerus mengirim figur yang berbakat memperdalam ilmunya
ke Amerika Serikat atau negara-negara lain di Eropa Barat, dengan harapan kelak
setelah kembali mempraktekkan apa yang dipelajarinya demi pembaharuan, kemajuan
atau inovasi.
Manfestasinya ternyata adalah “out put” yang dapat kita
rasakan seperti sekarang, yakni serba referensi asing, elitist dan tidak
langsung menyentuh kehidupan rakyat banyak.
Mungkin konteks demikian inilah yang melatarbelakangi Emil
Salim menuding alumnus-alumnus Universitas Indonesia sebagai calon-calon
kapitalis yang berorientasi menak. Prof Dr Satjipto Rahardjo menimpali tidak
sekedar kapitalis tapi sudah konglomerat.
Ilmuwan Pancasila
Fenomena distorsi ilmuwan sosial Indonesia yang terjebak
metodologi Barat, sudah saatnya di kaji ulang. Terbukti jelas bahwa penulis-penulis Barat pada
umumnya tidak memperhatikan ciri-ciri pokok, esensi dan hakikat masyarakat
negeri ini. penilaian mereka selalu bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh
dalam diri mereka. Penilaian kita seharusnya bersandar pada nilai-nilai
Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar