Senin, 10 Oktober 2016

ILMUWAN SOSIAL TERJERAT METODOLOGI BARAT?




Oleh : Reinhard Hutapea
Anggota Kelompok Studi dan Komunikasi Humanitas Medan
Published, Mimbar Umum, 31 Desember 1990
Sekitar medio 70-an terjadi musibah di Karawang, yakni padi diserang hama wereng sehingga lumbung padi terbesar Jawa Barat itu mengalami bencana kelaparan. Kemudian untuk menanggulanginya pemerintah turun tangan memberi bantuan. Di sisi lain juga diterjunkan para pakar dari segala disiplin, profesi termasuk para ilmuwan sosial untuk meneliti sebab musabanya
Hasil penelitian tersebut kemudian dipublisir, baik itu melalui media pers dan atau khususnya kepustakaan. Adam Malik (almarhum) yang terkenal sebagi kutu buku, tak terkecuali ikut membacanya. Tak syak lagi ketika diminta memberi kata sambutan (sebagai ketua DPR/MPR) pada Kongres Himpunan Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) tahun 1978 di Manado beliau mengkritik eksistensi para pakar ilmu-ilmu sosial yang terjebak retorika.
Retorika tersebut adalah semacam permainan kata-kata yang canggih, yang jarang dipakai awam . untuk menyatakan penyakit busung lapar misalnya dikelitkan dengan kurang gizi, agar lebih dahsyat pakai istilah HO dan entah apa lagi. Istilah yang hebat !. namun sesungguhnya bukan itu yang diharapkan (bahasa yang di kemas-kemas), melainkan jalan keluar atau terobosan dari kemelut.
Baru-baru ini Prof Dr Yuwono Sudarsono dengan mengutip alamarhum Syahrir yang merujuk kepada beberapa buku top dunia, seperti Future Shock nya Alvin Toffler, Megatrends 2000 karya John Naisbitt dan Patricia Aburdene serta karya-karya Peter Drucker mensinyalir bahasa kedangkalan yang diperoleh melalui ungkapan-ungkapan serba baru dan serba memukau. Syahrir 60 tahun yang silam dalam salah satu renungannya pernah menulis tentang gejala para pakar yang gemar mengemukakan ungkapan-ungkapan canggih, tanpa mendalami arti sesungguhnya dari tiap-tiap frase yang diluncurkannya. Mengapa sampai terjadi demikian
Kesalahan metodologi
Kalau diperhatikan secara seksama, peran, tingkah laku atau behaviour ilmuwan kita (sarjana, pasca sarjana, atau khususnya yang sudah doktor) adalah orientasi dan pendongakan habis-habisan ke Barat. Thesis atau disertasi yang mereka pertahankan, secara matematis 95% memakai pustaka-pustaka negeri tersebut. konon, kalau tidak Barat tidak ilmiah.
Selanjutnya demikianlah ketika kelompok elit tersebut memberi kuliah di kampus atau dalam kesempatan lain di tengah-tengah masyarakat. Apa yang mereka pentaskan penuh dengan kutipan-kutipan sarjana asing, dengan bahasa yang tak jarang sukar dimengerti. Gaya bahasa yang sulit (dipersulit) entah disengaja atau tidak kiranya menjadi semacam indikator bagi seorang ilmuwan. Semakin sukar dimengerti semakin tinggi tingkat kecendekiaannya?
Sayang dan sangat disayangkan, walau dengan bahasa yang sukar, kacamata minus seribu, kepala botak, sejuta sks, dan studi sampai ke ujung dunia ternyata tidak banyak memberi sumbangan bagi kemajuan rakyat. Teori yang diberikan se akan-akan hanya untuk teori atau ilmu untuk ilmu yang hanya memegahkan menara gading (ivory tower) dan lepas dari kepentingan masyarakat. Konteks seperti inilah yang pernah disinggung Bung Karno ketika memberi amanat pada pertemuan dengan bekas tentara pelajar di Istana negara Jakarta, 26 Maret 1959, yakni “kebekuan intelektualisme” – semacam sifat, yang semata-mata meninjau segala sesuatu hanya dari sudut intelektualisme (Bung Karno dan ABRI, CV Haji Masagung, MCMLXXXIX)
Menurut banyak kalangan keadaan tersebut (seperti yng didiktumkan pada seminar HIPIIS ,Juli 1990 di Yogyakarta) adalah akibat kesalahan metodologi (paradigma,pranata, dan pendekatan) yang tidak berpijak dalam realitas sosial-budaya negeri sendiri. Selain itu juga terjebak pemikiran kapitalis
Pemikiran Kapitalis
Pendekatan yang banyak dilakukan oleh penulis Barat tentang negeri kita bersandar lebih banyak pada pendekatan yang sering disertai prasangka atau disertai dengan perbandingan kepada negeri atau masyarakat yang sama sekali tidak relevan.
Sebagai pendahuluan, dan juga sebagi cermin prasangka yang dimaksudkan, Prof Dr Deliar Noer MA merujuk kepada buku ‘The Myth of the Lazy Native oleh Syed Hussein Alatas yang menyanggah pengamat-pengamat asing tentang sifat-sifat orang Melayu yang mereka sebutkan “pemalas, tumpul (dull), khianat (treachenous), kekanak-kanakan (childish) dan sebagainya. Dengan orang Melayu itu dimaksudkan penulisnya, baik orang-orang Melayu di Malaysia maaupun di Indonesia dan Filifina. Syed Hussein berkesimpulan bahwa sifat-sifat tersebut tumbuh pada pengamat bersangkutan oleh karena penolakan orang kita untuk melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial dan perusahaan Barat. Ia menambahkan bahwa pandangan itu bersandar pada lima sebab, yaitu generaliasasi yang salah, interpretasi tentang sesuatu kejadian tanpa memperhatikan konteksnya, kurang rasa seperasaan, prasangka yang disebabkan oleh fanatisme, sifat angkuh dan sombong, dan dominasi tanpa sadar dari beberapa pengertian pemikiran kapitalis Barat (baca Penelitian Agama, SH, 1982)
Dominasi pemikiran kapitalis kiranya merupakan fakta yang paling klasik untuk ditelaah, mengingat bahwa negeri ini adalah bekas jajahan Belanda dimana hampir semua the founding fathers (pemimpinnya) adalah mantan didikan kolonial, yang secara historis dikenal sebagai “golongan elit modern Indonesia”. Kelompok ini selanjutnya menjadi pionir pejuang kemerdekaan Indonesia yang dicetuskan 17 Agustus 1945
Kemampuan the founding fathers memerdekakan negara ini tidak otomatis membebaskan segala-galanya dari warisan (heritage) penjajah. Sistim pendidikan yang serasi, selaras dan seimbang dengan kebutuhan Indonesia pasca kemerdekaan belum sempat dirumuskan. Oleh karenanya yang diterapkan mentah-mentah masih metodologi kolonial, dengan harapan secara lambat laun dapat disesuaikan dengan kepribadian Bangsa. Demikianlahmisalnya Bung Karno dalam beberapa kesempatan selalu menekankan agar kurikulum yang disampaikan betul-betul ciptaan kita sendiri.
Akan tetapi sebelum tercapai keinginan menciptakan kurikulum yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, tahun 1965 terjadi pergeseran kekuatan/kekuasaan (powershift). Soekarno bersama rezimnya turun dari singgasana kekuasaan dan diganti oleh rezim Orde Baru dengan citra, eksistensi dan sepak terjang yang sama sekali bertolak belakang dengan sebelumnya. Dalam artian lain bidang-bidang seperti, politik, kultur, dan atau khususnya sistim pendidikan menjadi sub ordinat ekonomi
Disamping sebagai sub ordinat (apakah disadari atau tidak) pendidikan kitapun senakin berorientasi ke Barat. Sistem, teori dan lain-lain menjadi Barat sentris. Bahkan pemerintah  kontinyu terus menerus mengirim figur yang berbakat memperdalam ilmunya ke Amerika Serikat atau negara-negara lain di Eropa Barat, dengan harapan kelak setelah kembali mempraktekkan apa yang dipelajarinya demi pembaharuan, kemajuan atau inovasi.
Manfestasinya ternyata adalah “out put” yang dapat kita rasakan seperti sekarang, yakni serba referensi asing, elitist dan tidak langsung menyentuh kehidupan rakyat banyak.
Mungkin konteks demikian inilah yang melatarbelakangi Emil Salim menuding alumnus-alumnus Universitas Indonesia sebagai calon-calon kapitalis yang berorientasi menak. Prof Dr Satjipto Rahardjo menimpali tidak sekedar kapitalis tapi sudah konglomerat.
Ilmuwan Pancasila
Fenomena distorsi ilmuwan sosial Indonesia yang terjebak metodologi Barat, sudah saatnya di kaji ulang. Terbukti  jelas bahwa penulis-penulis Barat pada umumnya tidak memperhatikan ciri-ciri pokok, esensi dan hakikat masyarakat negeri ini. penilaian mereka selalu bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri mereka. Penilaian kita seharusnya bersandar pada nilai-nilai Pancasila.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar