Oleh;
Reinhard Hutapea
Timsel
Panwaslu 7 Kabupaten Sumsel dan Direktur CEPP PPS Unitas Palembang
Published, Tribun Sumsel, 5 Juni 2015
Keputusan Jokowi
mengangkat semua Pansel KPK dari kaum
perempuan membuat hampir semua kalangan terkejut. Tidakkah itu prematur dan melawan
arah?, trial and error?, sungguh-sungguh jalan keluar cerdas? adalah sebagian
pertanyaan masyarakat, khususnya bagi mereka yang tertawan dengan tradisi patriarkhi, alias
dominasi laki-laki
Sebaliknya bagi pejuang demokrasi, jender atau
khususnya kalangan civil society yang sudah mulai bangkit, kebijakan Jokowi tersebut
adalah keputusan cerdas nan momental. Strategi jitu merespons tuntutan fenomenal, yakni pemerintahan yang bersih dan
berwibawa (demokrasi/good governance).
Masyarakat sebagaimana faktanya sudah jenuh dan capek
dengan tontonan yang hambar, munafik dan menyakitkan dari korupsi yang terus
menggurita. Stop semua itu. Perlu terobosan luar biasa. Cara-cara biasa yang selama
ini di perankan laki-laki tidak lagi menjawab tantangan. Ganti dengan perempuan
yang sejak lama teralienasi.
Dengan kata lain ide cemerlang brilian merespons suasana
politik yang penuh gonjang-ganjing, anarkhis
dan konfliktual. Namun jauh diatas itu adalah
kemampuan prediksinya melihat kepentingan strategis jangka panjang, yakni merealisasikan
program raksasanya yang dinamakan revolusi mental. Minimal merubah mindset yang
selama ini menganggap perempuan sebelah mata
Kiat politik cerdas
Mind set yang asimetris, feodal atau tak demokratis sejak lama. Sekian abad telah terstruktur
dalam pranata sosio-kultural yang terus (sadar atau sebaliknya) memarjinalkan
perempuan hanya sebatas sub ordinat laki-laki.
Peran perempuan
dalam institusi-institusi sosial, khususnya lembaga-lembaga politik, disengaja atau sebaliknya tetap dipentaskan hanya
sebagai pelengkap penderita. Quota 30 persen perempuan yang sudah lama di
dengungkan realitanya masih sekedar formalitas, kalau bukan terpaksa. Hendak
terus dilanggengkan?
Jokowi rupanya menyimak dengan seksama penyakit sosial
tersebut. Suara diam dari kalangan yang dilemahkan dan terlemahkan ini
ditangkapnya dengan sigat. Diam-diam ia mengamati nama-nama pansel KPK yang
mencuat kepermukaan semuanya adalah laki-laki.
Tercatat misalnya nama Jimly Assiddiqiah, Ery Riyana
Hardjapamekas, Imam Prasodjo, Zainal Arifin Mohtar, Chairul Huda, Abdulah
Hehamahua, Saldi Isra, Refli Harun, Jend (polisi) Ogroseno, Tumpak Hatorangan
Panggabean, Romli Atmasasmita,Margaritho Kamis, yang entah mengapa terus
tersorot konfliktual.
Secara
kompetensi semua nama tersebut sesungguhnya telah memadai dalam bidang atau
keahliannya. Namun secara politis (subjektif factor) rupanya tetap saja dianggap tidak netral. Digunjingkan dengan berbagai kepentingan
sempit, seperti memihak satu
kepentingan, kekuatan atau vested interest tertentu sehingga tidak akan
maksimal memberantas korupsi.
Mayoritas dari calon-calon tersebut (sepuluh nama di
depan) meski dianggap cakap dalam bidangnya, tetap saja dianggap sangat dekat
dengan Jokowi, sehingga akan terkooptasi dengan kepentingan sang Presiden yang
konon dibelakangnya (katanya) ngendon para koruptor. Dua nama terakhir
sebaliknya ditengarai berseberangan dengan Jokowi sehingga tidak akan sesuai
dengan misi Presiden. Serba salah. Begini salah, begitu salah, salah terus.
Begitu pula argumen-argumen lain yang tak mungkin kita
uraikan satu-persatu yang antara yang satu dengan lainnya tidak akan ketemu. Singkatnya
selama kandidat-kandidat itu berkelamin laki-laki bagaimanapun kompetensi atau
gantengnya akan tetap bermasalah, yang ujung-unjungnya tidak akan mencapai kesepakatan.
Meminjam pakar politik Orde Baru, alm Alfian (1978), mereka
itu telah terlembaga dalam anarkhisme, yakni suatu tradisi mau menang sendiri,
tidak mau mengakui kebenaran orang, pihak atau kalangan lain/hanya pikiran,
sikap atau tindakannya yang benar.
Derivasi atau konstatasinya sudah pasti konfliktual.
Para elit politik, yang umumnya adalah laki-laki , disadari atau sebaliknya
selalu terbelenggu dengan suasana yang tidak demokratis itu. Gampang
berkonflik, namun sukar konsensus.
Muaranya siapa yang punya kekuasaan (otot) kuat ialah
yang menang/menentukan. Bukan karena kesadaran politik yang etis-demokratis
sebagaimana dikhotbahkan diruang-ruang pendidikan.
Jokowi yang berlatar belakang suku-kultur Jawa yang
kental dengan pola-pola “harmony” dan bertepatan tidak punya beban masa lalu dengan
sendirinya (automaticly) akan menghindari konflik apalagi konfrontasi yang
tidak sehat itu.
Ketimbang semua
kandidat pansel KPK nan laki-laki tersebut di udak-udak terus, yah sudah ganti seluruhnya
dengan perempuan yang relatif lepas dari anarkhisme dan kepentingan sempit.
Apalagi perempuan sebagaimana kata Mitserlich memiliki “weiblich”, yakni sikap
yang lebih dari laki-laki akan “tenggang rasa, toleran ke pihak lemah, bersikap
merawat, memikirkan penderitaan orang lain. Oleh Sita Van Bemmelen (1995)
ditambahkan satu lagi, yakni perempuan Indonesia sangat piawai mengatur duit
Oleh karena itu
selain relatif aman, kebijakan tersebut bagi Jokowi akan mendukung legitimasi
kekuasaannya karena mayoritas kwantitas
masyarakat Indonesia adalah perempuan. Kaum yang sejak lama terpinggirkan ini
akan menyambutnya dengan “berbunga-bunga, anthusias dan penuh harapan”. Sungguh
suatu strategi jitu menjawab tantangan politik praktis nan strategis.
Membongkar Patriarkhi
Masalah ada keraguan terhadap kebijakan tak lazim
demikian, yakni seakan-akan perempuan tak sanggup tidak perlu didramatisir.
Eksperimen Jokowi di Solo telah membuktikan bahwa perempuan yang diberi
kesempatan menjabat kepala satpol PP jauh lebih berhasil ketimbang jabatan itu
dipegang laki-laki.
Dengan kiat yang dimiliknya, pejabat perempuan ini
berhasil membujuk para pedagang yang sebelumnya membangkang tidak mau
direlokasi. Para pedagang dengan damai berhasil dipindahkan ke lokasi yang
lebih baik
Begitu pula
dalam kabinet kerjanya, Menteri yang paling menonjol dan mensiratkan harapan,
ternyata adalah perempuan, yakni Susi Puji Astuti. Menteri perikanan dan
kelautan ini, telah memerankan fungsi, yang selama dijabat laki-laki belum
pernah secemerlaang Susi, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan.
Kiat-kiat demikian kecenderungannya akan diteruskan Jokowi ke
bidang-bidang keras yang jauh lebih keras lagi, yakni pemberantasan korupsi. Jokowi
sebagaimana tuntutan pejuang gender umumnya, yakin apabila diberi kesempatan perempuan akan
sanggup memerankannya (Isbodroini, S, 1995). Bahkan tidak tertutup kemungkinan
lebih sukses dari laki-laki. Selamat tinggal patriarkhi-selamat datang
kesetaraan demokratis.
KIAT JOKOWI
MEMBONGKAR KULTUR PATRIARKHI
Oleh;
Reinhard Hutapea
Timsel
Panwaslu 7 Kabupaten Sumsel dan Direktur CEPP PPS Unitas Palembang
Published, Tribun Sumsel, 5 Juni 2015
Keputusan Jokowi
mengangkat semua Pansel KPK dari kaum
perempuan membuat hampir semua kalangan terkejut. Tidakkah itu prematur dan melawan
arah?, trial and error?, sungguh-sungguh jalan keluar cerdas? adalah sebagian
pertanyaan masyarakat, khususnya bagi mereka yang tertawan dengan tradisi patriarkhi, alias
dominasi laki-laki
Sebaliknya bagi pejuang demokrasi, jender atau
khususnya kalangan civil society yang sudah mulai bangkit, kebijakan Jokowi tersebut
adalah keputusan cerdas nan momental. Strategi jitu merespons tuntutan fenomenal, yakni pemerintahan yang bersih dan
berwibawa (demokrasi/good governance).
Masyarakat sebagaimana faktanya sudah jenuh dan capek
dengan tontonan yang hambar, munafik dan menyakitkan dari korupsi yang terus
menggurita. Stop semua itu. Perlu terobosan luar biasa. Cara-cara biasa yang selama
ini di perankan laki-laki tidak lagi menjawab tantangan. Ganti dengan perempuan
yang sejak lama teralienasi.
Dengan kata lain ide cemerlang brilian merespons suasana
politik yang penuh gonjang-ganjing, anarkhis
dan konfliktual. Namun jauh diatas itu adalah
kemampuan prediksinya melihat kepentingan strategis jangka panjang, yakni merealisasikan
program raksasanya yang dinamakan revolusi mental. Minimal merubah mindset yang
selama ini menganggap perempuan sebelah mata
Kiat politik cerdas
Mind set yang asimetris, feodal atau tak demokratis sejak lama. Sekian abad telah terstruktur
dalam pranata sosio-kultural yang terus (sadar atau sebaliknya) memarjinalkan
perempuan hanya sebatas sub ordinat laki-laki.
Peran perempuan
dalam institusi-institusi sosial, khususnya lembaga-lembaga politik, disengaja atau sebaliknya tetap dipentaskan hanya
sebagai pelengkap penderita. Quota 30 persen perempuan yang sudah lama di
dengungkan realitanya masih sekedar formalitas, kalau bukan terpaksa. Hendak
terus dilanggengkan?
Jokowi rupanya menyimak dengan seksama penyakit sosial
tersebut. Suara diam dari kalangan yang dilemahkan dan terlemahkan ini
ditangkapnya dengan sigat. Diam-diam ia mengamati nama-nama pansel KPK yang
mencuat kepermukaan semuanya adalah laki-laki.
Tercatat misalnya nama Jimly Assiddiqiah, Ery Riyana
Hardjapamekas, Imam Prasodjo, Zainal Arifin Mohtar, Chairul Huda, Abdulah
Hehamahua, Saldi Isra, Refli Harun, Jend (polisi) Ogroseno, Tumpak Hatorangan
Panggabean, Romli Atmasasmita,Margaritho Kamis, yang entah mengapa terus
tersorot konfliktual.
Secara
kompetensi semua nama tersebut sesungguhnya telah memadai dalam bidang atau
keahliannya. Namun secara politis (subjektif factor) rupanya tetap saja dianggap tidak netral. Digunjingkan dengan berbagai kepentingan
sempit, seperti memihak satu
kepentingan, kekuatan atau vested interest tertentu sehingga tidak akan
maksimal memberantas korupsi.
Mayoritas dari calon-calon tersebut (sepuluh nama di
depan) meski dianggap cakap dalam bidangnya, tetap saja dianggap sangat dekat
dengan Jokowi, sehingga akan terkooptasi dengan kepentingan sang Presiden yang
konon dibelakangnya (katanya) ngendon para koruptor. Dua nama terakhir
sebaliknya ditengarai berseberangan dengan Jokowi sehingga tidak akan sesuai
dengan misi Presiden. Serba salah. Begini salah, begitu salah, salah terus.
Begitu pula argumen-argumen lain yang tak mungkin kita
uraikan satu-persatu yang antara yang satu dengan lainnya tidak akan ketemu. Singkatnya
selama kandidat-kandidat itu berkelamin laki-laki bagaimanapun kompetensi atau
gantengnya akan tetap bermasalah, yang ujung-unjungnya tidak akan mencapai kesepakatan.
Meminjam pakar politik Orde Baru, alm Alfian (1978), mereka
itu telah terlembaga dalam anarkhisme, yakni suatu tradisi mau menang sendiri,
tidak mau mengakui kebenaran orang, pihak atau kalangan lain/hanya pikiran,
sikap atau tindakannya yang benar.
Derivasi atau konstatasinya sudah pasti konfliktual.
Para elit politik, yang umumnya adalah laki-laki , disadari atau sebaliknya
selalu terbelenggu dengan suasana yang tidak demokratis itu. Gampang
berkonflik, namun sukar konsensus.
Muaranya siapa yang punya kekuasaan (otot) kuat ialah
yang menang/menentukan. Bukan karena kesadaran politik yang etis-demokratis
sebagaimana dikhotbahkan diruang-ruang pendidikan.
Jokowi yang berlatar belakang suku-kultur Jawa yang
kental dengan pola-pola “harmony” dan bertepatan tidak punya beban masa lalu dengan
sendirinya (automaticly) akan menghindari konflik apalagi konfrontasi yang
tidak sehat itu.
Ketimbang semua
kandidat pansel KPK nan laki-laki tersebut di udak-udak terus, yah sudah ganti seluruhnya
dengan perempuan yang relatif lepas dari anarkhisme dan kepentingan sempit.
Apalagi perempuan sebagaimana kata Mitserlich memiliki “weiblich”, yakni sikap
yang lebih dari laki-laki akan “tenggang rasa, toleran ke pihak lemah, bersikap
merawat, memikirkan penderitaan orang lain. Oleh Sita Van Bemmelen (1995)
ditambahkan satu lagi, yakni perempuan Indonesia sangat piawai mengatur duit
Oleh karena itu
selain relatif aman, kebijakan tersebut bagi Jokowi akan mendukung legitimasi
kekuasaannya karena mayoritas kwantitas
masyarakat Indonesia adalah perempuan. Kaum yang sejak lama terpinggirkan ini
akan menyambutnya dengan “berbunga-bunga, anthusias dan penuh harapan”. Sungguh
suatu strategi jitu menjawab tantangan politik praktis nan strategis.
Membongkar Patriarkhi
Masalah ada keraguan terhadap kebijakan tak lazim
demikian, yakni seakan-akan perempuan tak sanggup tidak perlu didramatisir.
Eksperimen Jokowi di Solo telah membuktikan bahwa perempuan yang diberi
kesempatan menjabat kepala satpol PP jauh lebih berhasil ketimbang jabatan itu
dipegang laki-laki.
Dengan kiat yang dimiliknya, pejabat perempuan ini
berhasil membujuk para pedagang yang sebelumnya membangkang tidak mau
direlokasi. Para pedagang dengan damai berhasil dipindahkan ke lokasi yang
lebih baik
Begitu pula
dalam kabinet kerjanya, Menteri yang paling menonjol dan mensiratkan harapan,
ternyata adalah perempuan, yakni Susi Puji Astuti. Menteri perikanan dan
kelautan ini, telah memerankan fungsi, yang selama dijabat laki-laki belum
pernah secemerlaang Susi, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan.
Kiat-kiat demikian kecenderungannya akan diteruskan Jokowi ke
bidang-bidang keras yang jauh lebih keras lagi, yakni pemberantasan korupsi. Jokowi
sebagaimana tuntutan pejuang gender umumnya, yakin apabila diberi kesempatan perempuan akan
sanggup memerankannya (Isbodroini, S, 1995). Bahkan tidak tertutup kemungkinan
lebih sukses dari laki-laki. Selamat tinggal patriarkhi-selamat datang
kesetaraan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar