Sabtu, 08 Oktober 2016

KIAT JOKOWI MEMBONGKAR KULTUR PATRIARKHI



 
Oleh; Reinhard Hutapea
Timsel Panwaslu 7 Kabupaten Sumsel dan Direktur CEPP PPS Unitas Palembang
Published, Tribun Sumsel, 5 Juni 2015
  
Keputusan Jokowi mengangkat semua  Pansel KPK dari kaum perempuan membuat hampir semua kalangan terkejut. Tidakkah itu prematur dan melawan arah?, trial and error?, sungguh-sungguh jalan keluar cerdas? adalah sebagian pertanyaan masyarakat, khususnya bagi mereka yang  tertawan dengan tradisi patriarkhi, alias dominasi laki-laki
Sebaliknya bagi pejuang demokrasi, jender atau khususnya kalangan civil society yang sudah mulai bangkit, kebijakan Jokowi tersebut adalah keputusan cerdas nan momental. Strategi jitu   merespons tuntutan  fenomenal, yakni pemerintahan yang bersih dan berwibawa (demokrasi/good governance).
Masyarakat sebagaimana faktanya sudah jenuh dan capek dengan tontonan yang hambar, munafik dan menyakitkan dari korupsi yang terus menggurita. Stop semua itu. Perlu terobosan luar biasa. Cara-cara biasa yang selama ini di perankan laki-laki tidak lagi menjawab tantangan. Ganti dengan perempuan yang sejak lama teralienasi.
Dengan kata lain ide cemerlang brilian merespons suasana politik yang penuh  gonjang-ganjing, anarkhis dan  konfliktual. Namun jauh diatas itu adalah kemampuan prediksinya melihat kepentingan strategis jangka panjang, yakni merealisasikan program raksasanya yang dinamakan revolusi mental. Minimal merubah mindset yang selama ini menganggap perempuan sebelah mata
Kiat politik cerdas
Mind set yang asimetris, feodal atau tak demokratis  sejak lama. Sekian abad telah terstruktur dalam pranata sosio-kultural yang terus (sadar atau sebaliknya) memarjinalkan perempuan hanya sebatas sub ordinat laki-laki.
 Peran perempuan dalam institusi-institusi sosial, khususnya lembaga-lembaga politik, disengaja  atau sebaliknya tetap dipentaskan hanya sebagai pelengkap penderita. Quota 30 persen perempuan yang sudah lama di dengungkan realitanya masih sekedar formalitas, kalau bukan terpaksa. Hendak terus dilanggengkan?
Jokowi rupanya menyimak dengan seksama penyakit sosial tersebut. Suara diam dari kalangan yang dilemahkan dan terlemahkan ini ditangkapnya dengan sigat. Diam-diam ia mengamati nama-nama pansel KPK yang mencuat kepermukaan semuanya adalah laki-laki.
Tercatat misalnya nama Jimly Assiddiqiah, Ery Riyana Hardjapamekas, Imam Prasodjo, Zainal Arifin Mohtar, Chairul Huda, Abdulah Hehamahua, Saldi Isra, Refli Harun, Jend (polisi) Ogroseno, Tumpak Hatorangan Panggabean, Romli Atmasasmita,Margaritho Kamis, yang entah mengapa terus tersorot konfliktual.
            Secara kompetensi semua nama tersebut sesungguhnya telah memadai dalam bidang atau keahliannya. Namun secara politis (subjektif factor)  rupanya tetap saja dianggap  tidak netral. Digunjingkan dengan berbagai kepentingan sempit, seperti  memihak satu kepentingan, kekuatan atau vested interest tertentu sehingga tidak akan maksimal memberantas korupsi.
Mayoritas dari calon-calon tersebut (sepuluh nama di depan) meski dianggap cakap dalam bidangnya, tetap saja dianggap sangat dekat dengan Jokowi, sehingga akan terkooptasi dengan kepentingan sang Presiden yang konon dibelakangnya (katanya) ngendon para koruptor. Dua nama terakhir sebaliknya ditengarai berseberangan dengan Jokowi sehingga tidak akan sesuai dengan misi Presiden. Serba salah. Begini salah, begitu salah, salah terus.
Begitu pula argumen-argumen lain yang tak mungkin kita uraikan satu-persatu yang antara yang satu dengan lainnya tidak akan ketemu. Singkatnya selama kandidat-kandidat itu berkelamin laki-laki bagaimanapun kompetensi atau gantengnya akan tetap bermasalah, yang ujung-unjungnya tidak akan mencapai kesepakatan.
Meminjam pakar politik Orde Baru, alm Alfian (1978), mereka itu telah terlembaga dalam anarkhisme, yakni suatu tradisi mau menang sendiri, tidak mau mengakui kebenaran orang, pihak atau kalangan lain/hanya pikiran, sikap atau tindakannya yang benar.
Derivasi atau konstatasinya sudah pasti konfliktual. Para elit politik, yang umumnya adalah laki-laki , disadari atau sebaliknya selalu terbelenggu dengan suasana yang tidak demokratis itu. Gampang berkonflik, namun sukar konsensus.
Muaranya siapa yang punya kekuasaan (otot) kuat ialah yang menang/menentukan. Bukan karena kesadaran politik yang etis-demokratis sebagaimana dikhotbahkan diruang-ruang pendidikan.
Jokowi yang berlatar belakang suku-kultur Jawa yang kental dengan pola-pola “harmony” dan bertepatan tidak punya beban masa lalu dengan sendirinya (automaticly) akan menghindari konflik apalagi konfrontasi yang tidak sehat itu.
 Ketimbang semua kandidat pansel KPK nan laki-laki tersebut  di udak-udak terus, yah sudah ganti seluruhnya dengan perempuan yang relatif lepas dari anarkhisme dan kepentingan sempit. Apalagi perempuan sebagaimana kata Mitserlich memiliki “weiblich”, yakni sikap yang lebih dari laki-laki akan “tenggang rasa, toleran ke pihak lemah, bersikap merawat, memikirkan penderitaan orang lain. Oleh Sita Van Bemmelen (1995) ditambahkan satu lagi, yakni perempuan Indonesia sangat piawai mengatur duit
 Oleh karena itu selain relatif aman, kebijakan tersebut bagi Jokowi akan mendukung legitimasi kekuasaannya karena  mayoritas kwantitas masyarakat Indonesia adalah perempuan. Kaum yang sejak lama terpinggirkan ini akan menyambutnya dengan “berbunga-bunga, anthusias dan penuh harapan”. Sungguh suatu strategi jitu menjawab tantangan politik praktis nan strategis.
Membongkar Patriarkhi
Masalah ada keraguan terhadap kebijakan tak lazim demikian, yakni seakan-akan perempuan tak sanggup tidak perlu didramatisir. Eksperimen Jokowi di Solo telah membuktikan bahwa perempuan yang diberi kesempatan menjabat kepala satpol PP jauh lebih berhasil ketimbang jabatan itu dipegang laki-laki.
Dengan kiat yang dimiliknya, pejabat perempuan ini berhasil membujuk para pedagang yang sebelumnya membangkang tidak mau direlokasi. Para pedagang dengan damai berhasil dipindahkan ke lokasi yang lebih baik
 Begitu pula dalam kabinet kerjanya, Menteri yang paling menonjol dan mensiratkan harapan, ternyata adalah perempuan, yakni Susi Puji Astuti. Menteri perikanan dan kelautan ini, telah memerankan fungsi, yang selama dijabat laki-laki belum pernah secemerlaang Susi, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan.
Kiat-kiat demikian  kecenderungannya akan diteruskan Jokowi ke bidang-bidang keras yang jauh lebih keras lagi, yakni pemberantasan korupsi. Jokowi sebagaimana tuntutan pejuang gender umumnya,  yakin apabila diberi kesempatan perempuan akan sanggup memerankannya (Isbodroini, S, 1995). Bahkan tidak tertutup kemungkinan lebih sukses dari laki-laki. Selamat tinggal patriarkhi-selamat datang kesetaraan demokratis.



  KIAT JOKOWI MEMBONGKAR KULTUR PATRIARKHI
Oleh; Reinhard Hutapea
Timsel Panwaslu 7 Kabupaten Sumsel dan Direktur CEPP PPS Unitas Palembang
Published, Tribun Sumsel, 5 Juni 2015
 Keputusan Jokowi mengangkat semua  Pansel KPK dari kaum perempuan membuat hampir semua kalangan terkejut. Tidakkah itu prematur dan melawan arah?, trial and error?, sungguh-sungguh jalan keluar cerdas? adalah sebagian pertanyaan masyarakat, khususnya bagi mereka yang  tertawan dengan tradisi patriarkhi, alias dominasi laki-laki
Sebaliknya bagi pejuang demokrasi, jender atau khususnya kalangan civil society yang sudah mulai bangkit, kebijakan Jokowi tersebut adalah keputusan cerdas nan momental. Strategi jitu   merespons tuntutan  fenomenal, yakni pemerintahan yang bersih dan berwibawa (demokrasi/good governance).
Masyarakat sebagaimana faktanya sudah jenuh dan capek dengan tontonan yang hambar, munafik dan menyakitkan dari korupsi yang terus menggurita. Stop semua itu. Perlu terobosan luar biasa. Cara-cara biasa yang selama ini di perankan laki-laki tidak lagi menjawab tantangan. Ganti dengan perempuan yang sejak lama teralienasi.
Dengan kata lain ide cemerlang brilian merespons suasana politik yang penuh  gonjang-ganjing, anarkhis dan  konfliktual. Namun jauh diatas itu adalah kemampuan prediksinya melihat kepentingan strategis jangka panjang, yakni merealisasikan program raksasanya yang dinamakan revolusi mental. Minimal merubah mindset yang selama ini menganggap perempuan sebelah mata
Kiat politik cerdas
Mind set yang asimetris, feodal atau tak demokratis  sejak lama. Sekian abad telah terstruktur dalam pranata sosio-kultural yang terus (sadar atau sebaliknya) memarjinalkan perempuan hanya sebatas sub ordinat laki-laki.
 Peran perempuan dalam institusi-institusi sosial, khususnya lembaga-lembaga politik, disengaja  atau sebaliknya tetap dipentaskan hanya sebagai pelengkap penderita. Quota 30 persen perempuan yang sudah lama di dengungkan realitanya masih sekedar formalitas, kalau bukan terpaksa. Hendak terus dilanggengkan?
Jokowi rupanya menyimak dengan seksama penyakit sosial tersebut. Suara diam dari kalangan yang dilemahkan dan terlemahkan ini ditangkapnya dengan sigat. Diam-diam ia mengamati nama-nama pansel KPK yang mencuat kepermukaan semuanya adalah laki-laki.
Tercatat misalnya nama Jimly Assiddiqiah, Ery Riyana Hardjapamekas, Imam Prasodjo, Zainal Arifin Mohtar, Chairul Huda, Abdulah Hehamahua, Saldi Isra, Refli Harun, Jend (polisi) Ogroseno, Tumpak Hatorangan Panggabean, Romli Atmasasmita,Margaritho Kamis, yang entah mengapa terus tersorot konfliktual.
            Secara kompetensi semua nama tersebut sesungguhnya telah memadai dalam bidang atau keahliannya. Namun secara politis (subjektif factor)  rupanya tetap saja dianggap  tidak netral. Digunjingkan dengan berbagai kepentingan sempit, seperti  memihak satu kepentingan, kekuatan atau vested interest tertentu sehingga tidak akan maksimal memberantas korupsi.
Mayoritas dari calon-calon tersebut (sepuluh nama di depan) meski dianggap cakap dalam bidangnya, tetap saja dianggap sangat dekat dengan Jokowi, sehingga akan terkooptasi dengan kepentingan sang Presiden yang konon dibelakangnya (katanya) ngendon para koruptor. Dua nama terakhir sebaliknya ditengarai berseberangan dengan Jokowi sehingga tidak akan sesuai dengan misi Presiden. Serba salah. Begini salah, begitu salah, salah terus.
Begitu pula argumen-argumen lain yang tak mungkin kita uraikan satu-persatu yang antara yang satu dengan lainnya tidak akan ketemu. Singkatnya selama kandidat-kandidat itu berkelamin laki-laki bagaimanapun kompetensi atau gantengnya akan tetap bermasalah, yang ujung-unjungnya tidak akan mencapai kesepakatan.
Meminjam pakar politik Orde Baru, alm Alfian (1978), mereka itu telah terlembaga dalam anarkhisme, yakni suatu tradisi mau menang sendiri, tidak mau mengakui kebenaran orang, pihak atau kalangan lain/hanya pikiran, sikap atau tindakannya yang benar.
Derivasi atau konstatasinya sudah pasti konfliktual. Para elit politik, yang umumnya adalah laki-laki , disadari atau sebaliknya selalu terbelenggu dengan suasana yang tidak demokratis itu. Gampang berkonflik, namun sukar konsensus.
Muaranya siapa yang punya kekuasaan (otot) kuat ialah yang menang/menentukan. Bukan karena kesadaran politik yang etis-demokratis sebagaimana dikhotbahkan diruang-ruang pendidikan.
Jokowi yang berlatar belakang suku-kultur Jawa yang kental dengan pola-pola “harmony” dan bertepatan tidak punya beban masa lalu dengan sendirinya (automaticly) akan menghindari konflik apalagi konfrontasi yang tidak sehat itu.
 Ketimbang semua kandidat pansel KPK nan laki-laki tersebut  di udak-udak terus, yah sudah ganti seluruhnya dengan perempuan yang relatif lepas dari anarkhisme dan kepentingan sempit. Apalagi perempuan sebagaimana kata Mitserlich memiliki “weiblich”, yakni sikap yang lebih dari laki-laki akan “tenggang rasa, toleran ke pihak lemah, bersikap merawat, memikirkan penderitaan orang lain. Oleh Sita Van Bemmelen (1995) ditambahkan satu lagi, yakni perempuan Indonesia sangat piawai mengatur duit
 Oleh karena itu selain relatif aman, kebijakan tersebut bagi Jokowi akan mendukung legitimasi kekuasaannya karena  mayoritas kwantitas masyarakat Indonesia adalah perempuan. Kaum yang sejak lama terpinggirkan ini akan menyambutnya dengan “berbunga-bunga, anthusias dan penuh harapan”. Sungguh suatu strategi jitu menjawab tantangan politik praktis nan strategis.
Membongkar Patriarkhi
Masalah ada keraguan terhadap kebijakan tak lazim demikian, yakni seakan-akan perempuan tak sanggup tidak perlu didramatisir. Eksperimen Jokowi di Solo telah membuktikan bahwa perempuan yang diberi kesempatan menjabat kepala satpol PP jauh lebih berhasil ketimbang jabatan itu dipegang laki-laki.
Dengan kiat yang dimiliknya, pejabat perempuan ini berhasil membujuk para pedagang yang sebelumnya membangkang tidak mau direlokasi. Para pedagang dengan damai berhasil dipindahkan ke lokasi yang lebih baik
 Begitu pula dalam kabinet kerjanya, Menteri yang paling menonjol dan mensiratkan harapan, ternyata adalah perempuan, yakni Susi Puji Astuti. Menteri perikanan dan kelautan ini, telah memerankan fungsi, yang selama dijabat laki-laki belum pernah secemerlaang Susi, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan.
Kiat-kiat demikian  kecenderungannya akan diteruskan Jokowi ke bidang-bidang keras yang jauh lebih keras lagi, yakni pemberantasan korupsi. Jokowi sebagaimana tuntutan pejuang gender umumnya,  yakin apabila diberi kesempatan perempuan akan sanggup memerankannya (Isbodroini, S, 1995). Bahkan tidak tertutup kemungkinan lebih sukses dari laki-laki. Selamat tinggal patriarkhi-selamat datang kesetaraan demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar