Jumat, 14 Oktober 2016

TANTANGAN PEMUDA MEWUJUDKAN KEPEMIMPINAN DEMOKRASI




MENYONGSONG KONGRES KNPI KE VI (28 Okt-5 Nov 1990)
Oleh : Reinhard Hutapea
Anggota Kelompok Studi dan Komunikasi Humanitas Medan
Published, Mimbar Umum, 26 Oktober 1990

Seorang pengusaha sukses karena usia yang semakin tua terpaksa mewariskan usahanya kepada sang anak. Setelah sang anak mempimpin perusahaan, tidak berapa lama kemudian mulai menunjukkan titik-titik kelam dan akhirnya dengan tragis usaha tersebut gulung tikar.
Kehancuran usaha itu konon karena ayah tidak becus mendidik anak. Sementara yang lain berpendapat bahwa tak tahu diri, dan atau memang kedua pihak sama-sama keliru. Di atas itu semua yang menarik adalah dalih yang melihat kegagalan tersebut diakibatkan sang ayah dalam kepemimpinan rumah tangga cenderung otoriter-totaliter, paternalis dan tidak komunikatip
Barangkali (walau tidak persis sama) demikianlah riwayat suatu bangsa apabila para pemimpinnya gagal mendidik generasi muda sebagai pewaris cita-cita perjuangan. Kegagalan tersebut akan mengancam eksistensi negara sekaligus survival bangsa Indonesia sebagaimana sering diingatkan para tokoh-tokoh, sesepuh-sesepuh, cendekiawan-cendekiawan yang berjiwa nasionalis dan patriotik.
Dalam rangka kesinambungan bangsa yang mendasar diperjuangkan adalah demokrasi dalam segala bidang. Pelembagaan (institutionalized) demokrasi merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar apabila bangsa ini ingin langgeng. Konteks ini dikedepankan mengingat generasi muda, khususnya lembaga-lembaga kepemudaan disinyalir terjerat praktek-praktek yang tidak demokratis, seperti budaya restu, orientasi vertikal ke atas, jilatisasi dan sebagainya.
Tulisan ini mencoba membahas itu semua secara sederhana sebagai sumbangan pemikiran bagi Kongres ke VI KNPI yang berlangsung mulai tanggal 28 oktober hingga 5 november 1990.
Formalitas Organisasi
Dekade ini beredar anggapan bahwa pemuda telah mengalami erosi nasionalisme, tidak kritis, tumpul kepekaan sosial, tidak kreatip, idealismenya sudah mengalami polusi dan lain-lain kecaman yang tidak selaras dengan eksistensi seorang pemuda nan lazimnya berjuang tanpa pamrih dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan masyarakat.
Seiring dengan itu seringkali dikeluhkan bahwa aktipnya seseorang dalam organisasi-organisasi pemuda atau aktipitas kepemudaan, dilatar belakangi kepentingan-kepentingan pribadi yang bermantelkan kepentingan organisasi. Mereka menjadikan itu semua hanyalah sekedar tiket tercapainya ambisi dan target-target pribadi (vested interest)
Disisi lain memperlihatkan bahwa mekanisme rekrutmen kepemimpinan dan seleksi kualitatip terhadap pimpinan puncak ormas pemuda masih banyak yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair. Kriteria profesionalitas, kualitas dan integritas moral sering kali hanyalah menjadi nomor pelengkap, sekedar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan organisasi (Drs Tatang Sudrajat, 17 Okt 1990)
Rekayasa Sosial
Konteks demikian semata-mata (an sich) bukan kesalahan pemuda (kondisi internal), melainkan sebaliknya dominan diakibatkan konstalasi yang mengitari (kondisi eksternal). Konstatasi ini meminjam pendapat para pakar ilmu-ilmu sosial, seperti Talcott Parsons misalnya adalah sistim sosial yang sedang dipentaskan dalam panggung nasional. tentang ini diskusi panel Kompas, 16 Agustus 1990 mengetengahkan suatu teori rekayasa sosial.
Menurut diskusi panel tersebut rekayasa sosial masyarakat Indonesia sekarang ini memperlihatkan betapa demokrasi kita masih termasuk dalam kategori demokrasi konsensus. Suatu praktek demokrasi yang secara sosiologis merupakan bentuk manajemen untuk memecahkan segala konflik dari sebuah masyarakat majemuk fragmentasi.
Asumsinya, karakteristik konfigurasi struktural sebuah masyarakat pluralistis, termasuk Indonesia ialah kemungkinan timbulnya kecenderungan perilaku konflik dalam hubungan antara komunitas etnis. Lantas kehadiran sebuah kekuatan sebagai daya integratif utama mempertahankan kesatuan dan keutuhan masyarakat dinilai mutlak dan sangat diperlukan.
Manifestasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah meluasnya sentralisasi dan birokratisasi. Sebagai konsekwensinya lalu muncul negara pejabat. Selanjutnya manakala muncul pula elit konsumerisme yang merupakan gaya hidup kelas menengah khas negara industri, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap solidaritas sosial.
Maka terjadilah kesenjangan sosial. Bahkan ciri hubungan kebudayaan, kekuasaan dan kelompok sosial bisa melahirkan pola hubungan patron-klien yang sering menimbulkan eksploitasi dan alienasi (keterasingan)
Sebaliknya masyarakat lapisan bawah setiap kali dituntut tunduk dan menghormati asas konsensus, musyawarah dan mufakat. Dalam ekstremitasnya, perbedaan pendapat sering seolah-olah sampai dianggap tabu, sehingga mematikan kreatipitas untuk berpikir alternatif.
Pada hal esensi utama prinsip demokrasi adalah penghormatan terhadap harkat setiap individu manusia. Manusia menjadi sentral dan tolok ukur. Atas asas itu, yang diperlukan kondisi struktural yang lebih bisa menjamin terciptanya sikap partisipatif, antisipatif serta inovatif daripada sikap yang konformistis. Kondisi demikian hanya dimungkinkan apabila kebebasan untuk berusaha dan berekspresi dalam bidang politik dan ekonomi semakin dihargai. Kalau tidak ?
Kepemimpinan Demokrasi
Sebagai konsekwensi logis dari struktur sosial politik yang mengutamakan pendekatan keamanan (security approach), sentralisasi, birokratisasi, dan negara kepejabatan adalah kecenderungan feodalisasi atau minimal paternalisasi dalam seluruh tatanan sosial. Implemetasinya dapat di lihat dari berkembangnya sifat-sifat hipokrit, laporan Asal Bapak Senang (ABS), kultur mendongak ke atas dan lain-lain perilaku (behaviour) bak membadut atau bersandiwara yang idealnya dipentaskan di panggung-panggung hiburan.
Pemuda sebagai agent of change kelihatannya seperti sukar menemukan alternatip, bahkan terjebak mengikuti irama yang kurang sehat. Sudah bukan rahasia lagi apabila seorang pemuda ingin menjadi top pimpinan organisasi tidak mengutamakan prestasi, reputasi dan ketulusannya dalam memperjuangkan amanah/aspirasi massa yang diwakilinya. Bukan pula karena mendapat legitimasi pemilihan melalui mekanisme pemilihan, seperti tertera dalam AD dan ART melainkan banyak ditentukan oleh dekat/tidaknya dengan pihak pengambil keputusan, sebab pengangkatan harus terlebih dahulu mendapat restu atasan.
Situasi yang tidak sehat tersebut tidak relevan lagi bagi Indonesia menghadapi era tinggal landas. Tantangan bangsa ini di masa yang akan datang cukup serius sebagaimana disinyalir Prof Dr Sartono Kartodirdjo ada 6 point, yaitu kesenjangan antara pelbagai golongan warga negara, kontrasnya kaum berada dengan golongan miskin, proses pendewasaan politik mengalami banyak hambatan, keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam menghadapi industrialisasi di satu pihak belum tercipta kebudayaan industrial yang memadai, di pihak lain secara moril dan sosial perlu disiapkan dalam menghadapi dampak negatipnya, dan tantangan terakhir adalah pembudayaan Pancasila agar  menjadi etos bangsa (Resume no 01/15 Nov 1989)
Menghadapi itu tiada lain penegakan demokrasi dalam segala sendi-sendi kehidupan. Dalam artian lain pemuda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa dituntut ketabahan dan kemauan politik agar tidak terjebak praktek restu-restuan, orientasi vertical ke atas, jilatisasi dan nepotisme yang nyata-nyata lawan daripada sistim demokrasi. KNPI sebagai wadah resmi pemuda Indonesia yang tersirat dalam GBHN idealnya merupakan motivator,minimal dalam kongres ke VI yang berlangsung mulai tgl 28 Oktober hingga 5 November 1990 ini tidak mencuatkan pengurus hasil pesanan sponsor, sehingga kepemimpian demokrasi segera terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar