MENYONGSONG KONGRES
KNPI KE VI (28 Okt-5 Nov 1990)
Oleh : Reinhard Hutapea
Anggota Kelompok Studi
dan Komunikasi Humanitas Medan
Published, Mimbar Umum, 26 Oktober 1990
Seorang pengusaha sukses karena usia yang semakin tua
terpaksa mewariskan usahanya kepada sang anak. Setelah sang anak mempimpin
perusahaan, tidak berapa lama kemudian mulai menunjukkan titik-titik kelam dan
akhirnya dengan tragis usaha tersebut gulung tikar.
Kehancuran usaha itu konon karena ayah tidak becus mendidik
anak. Sementara yang lain berpendapat bahwa tak tahu diri, dan atau memang
kedua pihak sama-sama keliru. Di atas itu semua yang menarik adalah dalih yang
melihat kegagalan tersebut diakibatkan sang ayah dalam kepemimpinan rumah
tangga cenderung otoriter-totaliter, paternalis dan tidak komunikatip
Barangkali (walau tidak persis sama) demikianlah riwayat
suatu bangsa apabila para pemimpinnya gagal mendidik generasi muda sebagai
pewaris cita-cita perjuangan. Kegagalan tersebut akan mengancam eksistensi
negara sekaligus survival bangsa Indonesia sebagaimana sering diingatkan para
tokoh-tokoh, sesepuh-sesepuh, cendekiawan-cendekiawan yang berjiwa nasionalis
dan patriotik.
Dalam rangka kesinambungan bangsa yang mendasar diperjuangkan
adalah demokrasi dalam segala bidang. Pelembagaan (institutionalized) demokrasi
merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar apabila bangsa ini ingin langgeng.
Konteks ini dikedepankan mengingat generasi muda, khususnya lembaga-lembaga
kepemudaan disinyalir terjerat praktek-praktek yang tidak demokratis, seperti
budaya restu, orientasi vertikal ke atas, jilatisasi dan sebagainya.
Tulisan ini mencoba membahas itu semua secara sederhana
sebagai sumbangan pemikiran bagi Kongres ke VI KNPI yang berlangsung mulai
tanggal 28 oktober hingga 5 november 1990.
Formalitas Organisasi
Dekade ini beredar anggapan bahwa pemuda telah mengalami
erosi nasionalisme, tidak kritis, tumpul kepekaan sosial, tidak kreatip,
idealismenya sudah mengalami polusi dan lain-lain kecaman yang tidak selaras
dengan eksistensi seorang pemuda nan lazimnya berjuang tanpa pamrih dan tidak
mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan masyarakat.
Seiring dengan itu seringkali dikeluhkan bahwa aktipnya
seseorang dalam organisasi-organisasi pemuda atau aktipitas kepemudaan, dilatar
belakangi kepentingan-kepentingan pribadi yang bermantelkan kepentingan
organisasi. Mereka menjadikan itu semua hanyalah sekedar tiket tercapainya
ambisi dan target-target pribadi (vested
interest)
Disisi lain memperlihatkan bahwa mekanisme rekrutmen
kepemimpinan dan seleksi kualitatip terhadap pimpinan puncak ormas pemuda masih
banyak yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair. Kriteria
profesionalitas, kualitas dan integritas moral sering kali hanyalah menjadi
nomor pelengkap, sekedar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan organisasi (Drs
Tatang Sudrajat, 17 Okt 1990)
Rekayasa Sosial
Konteks demikian semata-mata (an sich) bukan kesalahan pemuda (kondisi internal), melainkan
sebaliknya dominan diakibatkan konstalasi yang mengitari (kondisi eksternal).
Konstatasi ini meminjam pendapat para pakar ilmu-ilmu sosial, seperti Talcott Parsons misalnya adalah sistim
sosial yang sedang dipentaskan dalam panggung nasional. tentang ini diskusi
panel Kompas, 16 Agustus 1990 mengetengahkan suatu teori rekayasa sosial.
Menurut diskusi panel tersebut rekayasa sosial masyarakat
Indonesia sekarang ini memperlihatkan betapa demokrasi kita masih termasuk
dalam kategori demokrasi konsensus. Suatu praktek demokrasi yang secara sosiologis
merupakan bentuk manajemen untuk memecahkan segala konflik dari sebuah
masyarakat majemuk fragmentasi.
Asumsinya, karakteristik konfigurasi struktural sebuah
masyarakat pluralistis, termasuk Indonesia ialah kemungkinan timbulnya
kecenderungan perilaku konflik dalam hubungan antara komunitas etnis. Lantas
kehadiran sebuah kekuatan sebagai daya integratif utama mempertahankan kesatuan
dan keutuhan masyarakat dinilai mutlak dan sangat diperlukan.
Manifestasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah
meluasnya sentralisasi dan birokratisasi. Sebagai konsekwensinya lalu muncul
negara pejabat. Selanjutnya manakala muncul pula elit konsumerisme yang
merupakan gaya hidup kelas menengah khas negara industri, maka hal itu sangat
berpengaruh terhadap solidaritas sosial.
Maka terjadilah kesenjangan sosial. Bahkan ciri hubungan
kebudayaan, kekuasaan dan kelompok sosial bisa melahirkan pola hubungan patron-klien yang sering menimbulkan
eksploitasi dan alienasi (keterasingan)
Sebaliknya masyarakat lapisan bawah setiap kali dituntut
tunduk dan menghormati asas konsensus, musyawarah dan mufakat. Dalam
ekstremitasnya, perbedaan pendapat sering seolah-olah sampai dianggap tabu,
sehingga mematikan kreatipitas untuk berpikir alternatif.
Pada hal esensi utama prinsip demokrasi adalah penghormatan
terhadap harkat setiap individu manusia. Manusia menjadi sentral dan tolok
ukur. Atas asas itu, yang diperlukan kondisi struktural yang lebih bisa
menjamin terciptanya sikap partisipatif, antisipatif serta inovatif daripada
sikap yang konformistis. Kondisi demikian hanya dimungkinkan apabila kebebasan
untuk berusaha dan berekspresi dalam bidang politik dan ekonomi semakin
dihargai. Kalau tidak ?
Kepemimpinan Demokrasi
Sebagai konsekwensi logis dari struktur sosial politik yang
mengutamakan pendekatan keamanan (security
approach), sentralisasi, birokratisasi, dan negara kepejabatan adalah
kecenderungan feodalisasi atau minimal paternalisasi dalam seluruh tatanan
sosial. Implemetasinya dapat di lihat dari berkembangnya sifat-sifat hipokrit,
laporan Asal Bapak Senang (ABS), kultur mendongak ke atas dan lain-lain
perilaku (behaviour) bak membadut
atau bersandiwara yang idealnya dipentaskan di panggung-panggung hiburan.
Pemuda sebagai agent of
change kelihatannya seperti sukar menemukan alternatip, bahkan terjebak
mengikuti irama yang kurang sehat. Sudah bukan rahasia lagi apabila seorang
pemuda ingin menjadi top pimpinan organisasi tidak mengutamakan prestasi,
reputasi dan ketulusannya dalam memperjuangkan amanah/aspirasi massa yang diwakilinya.
Bukan pula karena mendapat legitimasi pemilihan melalui mekanisme pemilihan,
seperti tertera dalam AD dan ART melainkan banyak ditentukan oleh
dekat/tidaknya dengan pihak pengambil keputusan, sebab pengangkatan harus
terlebih dahulu mendapat restu atasan.
Situasi yang tidak sehat tersebut tidak relevan lagi bagi
Indonesia menghadapi era tinggal landas. Tantangan bangsa ini di masa yang akan
datang cukup serius sebagaimana disinyalir Prof Dr Sartono Kartodirdjo ada 6
point, yaitu kesenjangan antara pelbagai golongan warga negara, kontrasnya kaum
berada dengan golongan miskin, proses pendewasaan politik mengalami banyak
hambatan, keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam menghadapi
industrialisasi di satu pihak belum tercipta kebudayaan industrial yang
memadai, di pihak lain secara moril dan sosial perlu disiapkan dalam menghadapi
dampak negatipnya, dan tantangan terakhir adalah pembudayaan Pancasila agar menjadi etos bangsa (Resume no 01/15 Nov 1989)
Menghadapi itu tiada lain penegakan demokrasi dalam segala
sendi-sendi kehidupan. Dalam artian lain pemuda sebagai pemegang tongkat
estafet kepemimpinan bangsa dituntut ketabahan dan kemauan politik agar tidak
terjebak praktek restu-restuan, orientasi vertical ke atas, jilatisasi dan
nepotisme yang nyata-nyata lawan daripada sistim demokrasi. KNPI sebagai wadah
resmi pemuda Indonesia yang tersirat dalam GBHN idealnya merupakan
motivator,minimal dalam kongres ke VI yang berlangsung mulai tgl 28 Oktober
hingga 5 November 1990 ini tidak mencuatkan pengurus hasil pesanan sponsor,
sehingga kepemimpian demokrasi segera terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar