Kamis, 20 Oktober 2016

TEOLOGI PEMBEBASAN; SUATU PENGANTAR




Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan pada sarasehan GMNI Rangkas Bitung, 9 februari 2008

Judul ini mengingatkan saya ke masa-masa yang lalu, masa-masa aktivis, yakni masa ketika Soeharto masih kuat-kuatnya. Seluruh aktipis yang pro perubahan mencari segala dalih bagaimana agar kekuasaan yang begitu otoriter dan mencekam dapat ditumbangkan. Segala pemikiran yang sesuai dengan semangat perubahan mencuat kepermukaan . tidak terkecuali tentang apa yang akan kita diskusikan sore ini, yaitu “Teologi Pembebasan”. Suatu mazhab yang cukup controversial, karena banyak yang menyetujui, sekaligus  banyak juga yang menentangnya
Bagi yang menyetujui tentunya tidak ada masalah. Namun yang sebaliknya (yang tidak menyetujui) melahirkan pendapat-pendapat, pandangan-pandangan atau tanggapan-tanggapan yang tidak sekedar menolaknya, lebih dari situ mereka mencap sebagai “komunis”. Mereka (yang menolak tersebut) menganggap “Teologi Pembebasan” itu adalah “ajaran yang disusupi komunis”. Apakah yang hadir disini juga akan seperti itu pendapatnya?, marilah sama-sama kita lihat dalam diskusi ini

A r t i
Secara singkat Teologi Pembebasan dapat diartikan sebagai pemikiran keagamaan yang menggunakan konsep-konsep Marxis. Suatu pemikiran yang sungguh-sungguh aneh, sebab mempertemukan dua kutub yang sejak lama dianggap tidak mungkin dipertemukan. Baik tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh Marxis sendiri menganggap kedua ajaran itu saling kontradiktif.
Bagaimana kedua hal ini tidak mungkin dipertemukan dapat dibaca dari pendapat Engels. Engels mengatakan bahwa Kristen primitive mengalamatkan pembebasan pada kehidupan alam akhirat, sementara “sosialisme” menempatkannya pada kehidupan dunia saat ini
Suatu  yang bertolak belakang, yang kontradiktif, namun dalam perkembangannya bisa bekerjasama?
Bung Karno Antara Bingung dan Tidak Bingung
Mungkin kalau dipikir secara mendalam, segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Semua bisa berubah. Yang abadi dan tidak berubah adalah ketidakabadian dan perubahan tersebut. Yang pasti hingga saat ini masih banyak kalangan yang bingung dengan tampilnya kerjasama antara agama dengan kalangan Marxis. Kecuali mungkin Bung Karno. Namun disisi lain juga, Bung Karno juga bingung.
Bung Karno sejak era pergerakan hingga proklamasi sampai ia menghadap Yang Maha Kuasa, tetap yakin bahwa kaum Nasionalis, Kaum Agama dan Kaum Marxis dapat bekerjasama. Kita yang hadir disini sudah tentu membaca tulisannya yang sangat terkenal tentang hal itu yakni “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (DBR jilid I). Kitapun sebagai pengikut beliau, yakin bahwa ketiga Mazhab tersebut dapat bekerjasama
Hanya saja Bung Karnopun akan bingung kalau mengetahui bahwa agama Kristen, khususnya Katolik bisa bekerjasama dengan kaum Marxist. Bung Karno dalam tulisan-tulisannya mengatakan bahwa agama Kristen adalah “agama diatas”, sedangkan Islam adalah agama dibawah. Yang bisa diajak untuk melawan Kolonialisme dan Imperialisme adalah agama dibawah, bukan agama diatas. Singkatnya Bung Karno tidak yakin agama Kristen dapat bekerjasama dengan kaum Marxist melawan kezaliman. Kenyataan kemudian berjalan lain. Malah sebaliknya kaum Katoliklah yang sangat radikal melawan kapitalisme.

Tokoh Tokoh dan Ajaran Teologi Pembebasan
Untuk mengetahui lebih jauh Teologi Pembebasan akan kita perkenalkan siapa-siapa tokohnya dan apa pemikiran-pemikirannya. Mereka adalah tokoh-tokoh gereja Katolik yang progresif-revolusioner, seperti
·         Gustavo Gutierez (Peru)
·         Ruben Alves        (Brazilia)
·         Carlos Maters
·         Hugo Asmann
·         Leonardo
·         Cladovis Boff
·         Jon Sabrino       (El Salvador)
·         Ignacio Ellacuria
·         Segundo Galilea       (Cili)
·         Ronaldo Munoz
·         Jose Miguel Banino    (Argentina)
·         Juan Carlos Scanone
·         Juan Luis Segundo (Uruguay)
·         Dan masih banyak lagi

Meskipun mereka cukup banyak dan latar belakang serta sepak terjangnya berbeda dalam hal hakiki agama tidak sekedar urusan akhirat, namun juga dunia mereka sama Pada intinya ajaran-ajaran atau intisari pemikiran mereka adalah:
1.      gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa structural
2.      penggunaan analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas
3.      pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan
4.      pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja dan sebagai suatu alternative terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis
5.      suatu pembacaan baru pada alkitab yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab Keluaran-sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak
6.      perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama- yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah oleh Firaun-Firaun baru, Caesar-Caesar baru dan Herodes-Herodes Baru: Uang, Kekayaan, Kekuasaan, Keamanan Nasional, Negara, Pasukan Militer, Peradaban Kristen Barat.
7.      sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Kristus, Kerajaan Tuhan.
8.      kecaman terhadap Teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Paltonis, bukan dari tradisi murni Injil- dimana sejarah kemanusiaan dan ketuhanan memang berbeda tapi tak dapat dipisahkan satu sama lain


Asal Muasal: Kepedihan di Amerika Latin
            Mengapa gerakan Teologi Pembebasan muncul di Amerika Latin pada tahun 1960-an? Banyak jawaban atau versinya. Namun yang kiranya mendekati adalah apa yang terjadi dalam gereja itu sendiri, yakni perkembangan baru dalam bentuk-bentuk ajaran sosial Kristen dan  sikap yang lebih maju terhadap pengkajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern. Fatwa-fatwa dari Paus Johannes XXIII (1958-19630 dan terutama Konsili Vatikan  II (1962-1965) mengabsahkan dan mensistimasikan pandangan-pandangan baru tersebut, yang pada akhirnya meletakkan landasan bagi suatu perkembangan baru dalam sejarah Gereja
            Pada saat yang sama, yakni ketika terjadi pembaharuan dalam gereja, terjadi perkembangan yang memilukan di Amerika Latin. Kepiluan yang sungguh-sungguh menyakitkan sebab sejak ditempuhnya pembangunan “industrialisasi” tahun 50-an  dengan motornya Multi National Corporations (MNCs) ternyata tidak membuat kehidupan rakyat semakin baik, malah sebaliknya menimbulkan keterbelakangan, ketergantungan, memperuncing konflik-konflik sosial, mendorong laju perpindahan orang-orang desa,, memacu pertumbuhan kota-kota besar,  menciptakan suatu pemusatan kelas pekerja baru, dan yang paling mengerikan adalah membengkaknya jumlah kaum melarat/terlunta-lunta di daerah perkotaan
Disisi lain adalah meletusnya Revolusi Kuba tahun 1959. Revolusi yang membuat babak baru dalam sejarah Amerika Latin, yang ditandai dengan meningkatnya gerakan-gerakan sosial, munculnya gerakan-gerakan gerilya, terjadinya pergantian pemerintah melalui kudeta-kudeta militer dan krisis legitimasi politik
Perpaduan demikian pada akhirnya melahirkan Gereja Orang Miskin, gereja sesama kaum melarat yang menimbulkan solidaritas sesama mereka, khususnya dalam perjuangan memperbaiki nasibnya. Jalan atau metode yang ditempuh tidak lagi semata-mata sebagaimana yang dikotbahkan para pemimpin-pemimpin agama/romo-romo, melainkan diluarnya, yakni cara-cara radikal. Mereka menafsirkan kembali “injil” sesuai dengan praktek-praktek kehidupan nyata dan dalam beberapa kasus, tak dapat lagi menahan diri untuk menggunakan Marxisme.
Karena gerakan ini langsung ketengah-tengah masyarakat yang memang sedang kesusahan akibat sistem yang diterapkan para kapitalis, membuat prosesnya semakin cepat. Rakyat melihat bahwa gerakan yang dilakukan itu adalah demi kepentingannya. Bukan kepentingan elit atau kekuatan tertentu sebagaimana yang sering terjadi ditempat-tempat lain. Rakyat Amerika Latin yang sepenanggungan akibat korban modal-modal asing dengan segala manifestasinya bersatu padu melawannya. (Cat: coba bandingkan dengan gerakan reformasi di Indonesia, apakah seperti itu?)

Otonomisasi Dinamis dan Dependencia
Gerakan gerakan Teologi Pembebasan yang berhasil mendorong masyarakat untuk melawan sistim yang menyengsarakan mereka bergulir terus bak mesin yang mekanistis. Ibarat air yang mengalir, telah menemukan arusnya sendiri yang terus berjalan dari hulu ke hilir (terciptanya satu sungai pergerakan). Begitu dinamisnya, sehingga Danielle Hervieu  Leger menyebutnya sebagai “Otonomisasi Dinamis”. Ia telah bergerak dengan sendirinya membobol dan menjebol yang merintanginya.
Gerakan-gerakan yang berlangsung karena dinamisnya sering berbenturan dengan “hierarkhi gereja” yang umumnya masih ortodoks. Perbenturan ini tidak dapat dielakkan karena pandangan-pandangan aktipis ini tentang masalah-masalah sosial dan politik tidak lagi (selalu) sejalan dengan doktrin gereja. Mereka tetap sebagai Katolik, namun dalam perjuangannya mereka memakai pisau analisa Marx.
Untuk mempercepat keinginannya aktipis-aktipis Katolik ini, selanjutnya membentuk “organisasi-organisasi atau institusi-institusi” yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Marx, seperti organisasi-organisasi kemahasiswaan, organisasi-organisasi politik dan sejenisnya.
Kelompok lain yang juga memainkan peran kunci dalam Teologi Pembebasan ini, meski mereka tidak langsung terjun mengorganisir masyarakat adalah kelompok cerdik-cendekia. Dengan kecendekiaannya Kelompok ini bekerja membantu para Uskup dan konperensi-konperensi keuskupan, yang mempersiapkan kertas-kertas kerja (makalah) dan usulan-usulan rencana kepastoran, serta mempersiapkan pernyataan-pernyataan umum lembaga kepastoran
Mereka adalah apa yang dikenal kemudian sebagai kelompok-kelompok intelektual yang memperkenalkan perkembangan mutakhir ilmu-ilmu sosial  kepada lembaga-lembaga keagamaan tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan “Dependencia” alias ketergantungan, yakni ilmu ekonomi dan sosial yang didasarkan kepada teori Marxis. Pengaruh mereka sangat besar dalam melakukan perubahan di Amerika Latin. Siapa yang tidak kenal Johan Galtung, Andre Gunder Frank, Santos, Stavenhagen, Cardoso dan lain-lain pemikir kiri lainnya?
Pemikiran-pemikiran mereka sudah mendunia dan menjadi teori suci bagi mereka-mereka yang berjiwa progresif revolusioner melawan kezaliman kapitalisme, kolonialisme dan apa yang popoler saat ini dengan “neo liberal”. Suatu mazhab yang memberhalakan “pasar” menjadi segala-galanya. Suatu hal yang tidak mungkin kita bicarakan saat ini mengingat waktu yang tidak cukup. Selanjutnya kita kembali ke tema tulisan ini, yakni “Teologi Pembebasan”. Untuk memperdalam, ada baiknya kita paparkan sekilas pemikiran dari salah satu tokohnya, yakni Gustavo Gutierez

Sekilas Gustavo Gutierez
Teologi Pembebasan mendapat momentumnya pada tahun 1971, yakni ketika Gustavo Gutierez mengeluarkan buku yang berjudul  “Liberation Theology – Perspektives.  Gutierez mengajukan berbagai gagasan anti kemapanan yang kemudian membawa pengaruh kuat yang tidak terduga sebelumnya terhadap doktrin gereja. Pada tahap pertama, ia menekankan perlunya melepaskan diri dari paham ganda yang terwarisi dari pemikiran Yunani, yakni bahwa tidak ada dua kenyataan seperti yang mereka pradugakan selama ini, yang satu bersifat “fana” (tempral), yang lain bersifat “rohani” (spiritual); dan tidak ada dua wajah sejarah, yang satu “suci” (sacred), yang lainnya “duniawi” (profane)
Hanya ada satu sejarah dan itu terjadi dalam sejarah manusia yang fana, bahwa Penebusan dan Kerajaan Tuhan mesti dapat diwujudkan saat ini juga. Pokok pikirannya adalah bahwa orang tak perlu menunggu datangnya penyelamatan dari atas. Kitab Keluaran dalam Injil memperlihatkan kepada kita bahwa “Manusia  membangun dirinya dengan kekuatannya sendiri melalui perjuangan politik yang bersejarah”. Kitab Keluaran itu juga merupakan contoh nyata bahwa penyelamatan bukanlah suatu upaya yang bersifat pribadi dan perorangan, tapi upaya “komunal dan public”, artinya bukanlah penyelamatan jiwa orang-perorang, tetapi penebusan dan pembebasan keseluruhan rakyat yang diperbudak. Dalam pandangan ini, orang-orang miskin tidak boleh terus menerus menjadi sasaran belas kasihan dan kedermawanan, tetapi, sebagai budak-budak Ibrani, harus menjadi pelaku yang memperjuangkan kebebasan diri mereka
Jadi bagi gereja, hal itu berarti harus berhenti menjadi sebuah gerigi roda penggerak dari system yang berkuasa; harus mengikuti tradisi agung para nabi injil dan contoh pribadi Kristus, yakni harus menentang keserbakuasaan dan mengutuk ketidakadilan sosial
Apa arti semua ini bagi Amerika Latin? Menurut Gutierez, rakyat miskin diseluruh benua itu adalah orang-orang yang terbuang di tanah mereka sendiri, tetapi pada saat bersamaan, berada dalam satu pawai Keluaran kearah penebusan mereka. Menolak ideology Pembangunan yang sebenarnya sama saja dengan reformisme dan modernisasi, dengan berbagi perangkatnya yang seba terbatas, kaku dan tidak efektif serta hanya menciptakan ketergantungan yang kian parah. Dengan tegas Gutierez menyatakan:
Hanya dengan penghapusan tuntas atas seluruh keadaan yang ada sekarang ini, yakni perubahan tegas atas system kepemilikan, dengan pemberian kekuasaan penuh kepada kelas yang terhisap, maka suatu revolusi social akan mampu menghentikan semua ketergantungan ini. Itu saja sudah cukup untuk melakukan suatu peralihan kearah suatu masyarakat sosialis atau, paling tidak, membuatnya memang mungkin.

Suatu pernyataan yang jauh lebih radikal ketimbang apa yang pernah diajukan oleh berbagai aliran kiri saat itu di Amerika Latin.

Dukungan Gereja Terhadap Sosialisme di Amerika Latin
Tidak lama setelah pernyataan Gustavo Gutierez tersebut, tepatnya April 1972 diadakan pertemuan pertama gerakan orang-orang Kristen untuk Sosialisme se Amerika Latin di Santiago Chili. Pertemuan yang dimotori dua orang Yesuit, yakni teolog Pablo Richard dan pakar ekonomi  Gonzalo Arroyo dan di dukung uskup Mexico, Sergio Mendez Arceo, mendorong maju dasar-dasar pemikiran Teologi Pembebasan ke batasnya yang terakhir, yakni mempadukan ajaran Kristen dengan Marxisme untuk mencapai masyarakat sosialis. Salah satu pernyataan mereka pada waktu itu adalah:
Merasakan denyut kehadiran iman dalam jantung praxis revolusioner mengijinkan kita untuk bermanfaat berhubungan dengan mereka. Iman Kristen menjadi sesuatu yang kritis dan dinamis jika hidup dalam revolusi. Iman menekankan pentingnya perjuangan kelas digodok dengan penentuan nasib kea rah pembebasan semua umat manusia-terutama bagi mereka yang menderita oleh berbagai bentuk kekejaman penindasan. Inilah yang memperteguh aspirasi kita untuk memperjuangkan suatu perubahan masyarakat yang secara menyeluruh ketimbang hanya suatu perubahan sederhana dalam tatanan perekonomian. Maka, iman inilah yang membimbing orang-orang Kristen untuk terlibat dalam perjuangan, dan melalui perjuangan tersebut, kita dapat memberikan sumbangsih kearah suatu masyarakat yang secara kualitatif berbeda dengan yang ada sekarang, dan memberikan sumbangsih ke pemunculan Masyarakat Baru…

Lalu  kita mau apa? sekian , Mudah-mudahan ada faedahnya.
Rangkas Bitung, 9 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar