Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan pada sarasehan GMNI Rangkas Bitung, 9
februari 2008
Judul ini mengingatkan saya ke masa-masa yang lalu, masa-masa
aktivis, yakni masa ketika Soeharto masih kuat-kuatnya. Seluruh aktipis yang
pro perubahan mencari segala dalih bagaimana agar kekuasaan yang begitu
otoriter dan mencekam dapat ditumbangkan. Segala pemikiran yang sesuai dengan
semangat perubahan mencuat kepermukaan . tidak terkecuali tentang apa yang akan
kita diskusikan sore ini, yaitu “Teologi Pembebasan”. Suatu mazhab yang cukup
controversial, karena banyak yang menyetujui, sekaligus banyak juga yang menentangnya
Bagi yang menyetujui tentunya tidak ada masalah. Namun
yang sebaliknya (yang tidak menyetujui) melahirkan pendapat-pendapat,
pandangan-pandangan atau tanggapan-tanggapan yang tidak sekedar menolaknya,
lebih dari situ mereka mencap sebagai “komunis”.
Mereka (yang menolak tersebut) menganggap “Teologi Pembebasan” itu adalah
“ajaran yang disusupi komunis”. Apakah yang hadir disini juga akan seperti itu
pendapatnya?, marilah sama-sama kita lihat dalam diskusi ini
A r t i
Secara singkat Teologi Pembebasan dapat diartikan
sebagai pemikiran keagamaan yang
menggunakan konsep-konsep Marxis. Suatu pemikiran yang sungguh-sungguh
aneh, sebab mempertemukan dua kutub yang sejak lama dianggap tidak mungkin
dipertemukan. Baik tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh Marxis sendiri
menganggap kedua ajaran itu saling kontradiktif.
Bagaimana kedua hal ini tidak mungkin dipertemukan dapat
dibaca dari pendapat Engels. Engels
mengatakan bahwa Kristen primitive mengalamatkan pembebasan pada kehidupan alam
akhirat, sementara “sosialisme” menempatkannya pada kehidupan dunia saat ini
Suatu yang
bertolak belakang, yang kontradiktif, namun dalam perkembangannya bisa
bekerjasama?
Bung Karno Antara Bingung
dan Tidak Bingung
Mungkin kalau dipikir secara mendalam, segala sesuatu yang
ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Semua bisa berubah. Yang abadi dan tidak
berubah adalah ketidakabadian dan perubahan tersebut. Yang pasti hingga saat
ini masih banyak kalangan yang bingung dengan tampilnya kerjasama antara agama
dengan kalangan Marxis. Kecuali mungkin Bung Karno. Namun disisi lain juga,
Bung Karno juga bingung.
Bung Karno sejak era pergerakan hingga proklamasi sampai
ia menghadap Yang Maha Kuasa, tetap yakin bahwa kaum Nasionalis, Kaum Agama dan
Kaum Marxis dapat bekerjasama. Kita yang hadir disini sudah tentu membaca
tulisannya yang sangat terkenal tentang hal itu yakni “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme (DBR jilid I). Kitapun sebagai pengikut beliau, yakin bahwa ketiga
Mazhab tersebut dapat bekerjasama
Hanya saja Bung Karnopun akan bingung kalau mengetahui
bahwa agama Kristen, khususnya Katolik bisa bekerjasama dengan kaum Marxist.
Bung Karno dalam tulisan-tulisannya mengatakan bahwa agama Kristen adalah “agama diatas”, sedangkan Islam adalah agama dibawah. Yang bisa diajak untuk
melawan Kolonialisme dan Imperialisme adalah agama dibawah, bukan agama diatas.
Singkatnya Bung Karno tidak yakin agama Kristen dapat bekerjasama dengan kaum
Marxist melawan kezaliman. Kenyataan kemudian berjalan lain. Malah sebaliknya
kaum Katoliklah yang sangat radikal melawan kapitalisme.
Tokoh Tokoh dan Ajaran Teologi
Pembebasan
Untuk mengetahui lebih jauh Teologi Pembebasan akan kita
perkenalkan siapa-siapa tokohnya dan apa pemikiran-pemikirannya. Mereka adalah
tokoh-tokoh gereja Katolik yang progresif-revolusioner, seperti
·
Gustavo Gutierez (Peru)
·
Ruben Alves (Brazilia)
·
Carlos Maters
·
Hugo Asmann
·
Leonardo
·
Cladovis Boff
·
Jon Sabrino (El Salvador)
·
Ignacio Ellacuria
·
Segundo Galilea (Cili)
·
Ronaldo Munoz
·
Jose Miguel Banino (Argentina)
·
Juan Carlos Scanone
·
Juan Luis Segundo (Uruguay)
·
Dan masih banyak lagi
Meskipun mereka cukup banyak dan latar belakang serta
sepak terjangnya berbeda dalam hal hakiki agama tidak sekedar urusan akhirat,
namun juga dunia mereka sama Pada intinya ajaran-ajaran atau intisari pemikiran
mereka adalah:
1.
gugatan moral dan sosial yang
amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang
tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa structural
2.
penggunaan analisis Marxisme
dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam
tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas
3.
pilihan khusus bagi kaum miskin
dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan
4.
pengembangan basis
kelompok-kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai suatu
bentuk baru Gereja dan sebagai suatu alternative terhadap cara hidup individualis
yang dipaksakan oleh sistem kapitalis
5.
suatu pembacaan baru pada
alkitab yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab
Keluaran-sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak
6.
perlawanan menentang pemberhalaan
sebagai musuh utama agama- yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah
oleh Firaun-Firaun baru, Caesar-Caesar baru dan Herodes-Herodes Baru: Uang,
Kekayaan, Kekuasaan, Keamanan Nasional, Negara, Pasukan Militer, Peradaban
Kristen Barat.
7.
sejarah pembebasan manusia
adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Kristus, Kerajaan Tuhan.
8.
kecaman terhadap Teologi
tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Paltonis,
bukan dari tradisi murni Injil- dimana sejarah kemanusiaan dan ketuhanan memang
berbeda tapi tak dapat dipisahkan satu sama lain
Asal Muasal: Kepedihan di
Amerika Latin
Mengapa gerakan
Teologi Pembebasan muncul di Amerika Latin pada tahun 1960-an? Banyak jawaban
atau versinya. Namun yang kiranya mendekati adalah apa yang terjadi dalam
gereja itu sendiri, yakni perkembangan baru dalam bentuk-bentuk ajaran sosial
Kristen dan sikap yang lebih maju
terhadap pengkajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern. Fatwa-fatwa dari Paus
Johannes XXIII (1958-19630 dan terutama Konsili Vatikan II (1962-1965) mengabsahkan dan
mensistimasikan pandangan-pandangan baru tersebut, yang pada akhirnya meletakkan landasan bagi suatu perkembangan
baru dalam sejarah Gereja
Pada saat yang sama,
yakni ketika terjadi pembaharuan dalam gereja, terjadi perkembangan yang
memilukan di Amerika Latin. Kepiluan yang sungguh-sungguh menyakitkan sebab
sejak ditempuhnya pembangunan “industrialisasi” tahun 50-an dengan motornya Multi National Corporations (MNCs) ternyata tidak membuat kehidupan
rakyat semakin baik, malah sebaliknya menimbulkan keterbelakangan,
ketergantungan, memperuncing konflik-konflik sosial, mendorong laju perpindahan
orang-orang desa,, memacu pertumbuhan kota-kota besar, menciptakan suatu pemusatan kelas pekerja
baru, dan yang paling mengerikan adalah membengkaknya jumlah kaum
melarat/terlunta-lunta di daerah perkotaan
Disisi lain adalah meletusnya Revolusi Kuba tahun 1959.
Revolusi yang membuat babak baru dalam sejarah Amerika Latin, yang ditandai
dengan meningkatnya gerakan-gerakan sosial, munculnya gerakan-gerakan gerilya,
terjadinya pergantian pemerintah melalui kudeta-kudeta militer dan krisis
legitimasi politik
Perpaduan demikian pada akhirnya melahirkan Gereja Orang Miskin, gereja sesama kaum
melarat yang menimbulkan solidaritas sesama mereka, khususnya dalam perjuangan
memperbaiki nasibnya. Jalan atau metode yang ditempuh tidak lagi semata-mata
sebagaimana yang dikotbahkan para pemimpin-pemimpin agama/romo-romo, melainkan
diluarnya, yakni cara-cara radikal.
Mereka menafsirkan kembali “injil” sesuai
dengan praktek-praktek kehidupan nyata dan dalam beberapa kasus, tak dapat lagi
menahan diri untuk menggunakan Marxisme.
Karena gerakan ini langsung ketengah-tengah masyarakat
yang memang sedang kesusahan akibat sistem yang diterapkan para kapitalis,
membuat prosesnya semakin cepat. Rakyat melihat bahwa gerakan yang dilakukan
itu adalah demi kepentingannya. Bukan kepentingan elit atau kekuatan tertentu
sebagaimana yang sering terjadi ditempat-tempat lain. Rakyat Amerika Latin yang
sepenanggungan akibat korban modal-modal asing dengan segala manifestasinya bersatu
padu melawannya. (Cat: coba bandingkan dengan gerakan reformasi di Indonesia,
apakah seperti itu?)
Otonomisasi Dinamis dan
Dependencia
Gerakan gerakan Teologi Pembebasan yang berhasil
mendorong masyarakat untuk melawan sistim yang menyengsarakan mereka bergulir
terus bak mesin yang mekanistis. Ibarat air yang mengalir, telah menemukan
arusnya sendiri yang terus berjalan dari hulu ke hilir (terciptanya satu sungai
pergerakan). Begitu dinamisnya, sehingga Danielle Hervieu Leger menyebutnya sebagai “Otonomisasi Dinamis”. Ia telah bergerak
dengan sendirinya membobol dan menjebol yang merintanginya.
Gerakan-gerakan yang berlangsung karena dinamisnya
sering berbenturan dengan “hierarkhi gereja” yang umumnya masih ortodoks.
Perbenturan ini tidak dapat dielakkan karena pandangan-pandangan aktipis ini
tentang masalah-masalah sosial dan politik tidak lagi (selalu) sejalan dengan
doktrin gereja. Mereka tetap sebagai Katolik, namun dalam perjuangannya mereka memakai
pisau analisa Marx.
Untuk mempercepat keinginannya aktipis-aktipis Katolik
ini, selanjutnya membentuk “organisasi-organisasi atau institusi-institusi”
yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Marx, seperti organisasi-organisasi
kemahasiswaan, organisasi-organisasi politik dan sejenisnya.
Kelompok lain yang juga memainkan peran kunci dalam
Teologi Pembebasan ini, meski mereka tidak langsung terjun mengorganisir
masyarakat adalah kelompok cerdik-cendekia.
Dengan kecendekiaannya Kelompok ini bekerja membantu para Uskup dan
konperensi-konperensi keuskupan, yang mempersiapkan kertas-kertas kerja
(makalah) dan usulan-usulan rencana kepastoran, serta mempersiapkan
pernyataan-pernyataan umum lembaga kepastoran
Mereka adalah apa yang dikenal kemudian sebagai
kelompok-kelompok intelektual yang memperkenalkan perkembangan mutakhir
ilmu-ilmu sosial kepada lembaga-lembaga
keagamaan tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan “Dependencia” alias
ketergantungan, yakni ilmu ekonomi dan sosial yang didasarkan kepada teori
Marxis. Pengaruh mereka sangat besar dalam melakukan perubahan di Amerika
Latin. Siapa yang tidak kenal Johan Galtung, Andre Gunder Frank, Santos, Stavenhagen,
Cardoso dan lain-lain pemikir kiri lainnya?
Pemikiran-pemikiran mereka sudah mendunia dan menjadi
teori suci bagi mereka-mereka yang berjiwa progresif revolusioner melawan
kezaliman kapitalisme, kolonialisme dan apa yang popoler saat ini dengan “neo
liberal”. Suatu mazhab yang memberhalakan “pasar” menjadi segala-galanya. Suatu
hal yang tidak mungkin kita bicarakan saat ini mengingat waktu yang tidak
cukup. Selanjutnya kita kembali ke tema tulisan ini, yakni “Teologi
Pembebasan”. Untuk memperdalam, ada baiknya kita paparkan sekilas pemikiran
dari salah satu tokohnya, yakni Gustavo Gutierez
Sekilas Gustavo Gutierez
Teologi Pembebasan mendapat momentumnya pada tahun 1971,
yakni ketika Gustavo Gutierez mengeluarkan buku yang berjudul “Liberation Theology – Perspektives. Gutierez mengajukan berbagai gagasan anti
kemapanan yang kemudian membawa pengaruh kuat yang tidak terduga sebelumnya
terhadap doktrin gereja. Pada tahap pertama, ia menekankan perlunya melepaskan
diri dari paham ganda yang terwarisi dari pemikiran Yunani, yakni bahwa tidak
ada dua kenyataan seperti yang mereka pradugakan selama ini, yang satu bersifat
“fana” (tempral), yang lain bersifat “rohani” (spiritual); dan tidak ada dua
wajah sejarah, yang satu “suci” (sacred), yang lainnya “duniawi” (profane)
Hanya ada satu sejarah dan itu terjadi dalam sejarah
manusia yang fana, bahwa Penebusan dan Kerajaan Tuhan mesti dapat diwujudkan
saat ini juga. Pokok pikirannya adalah bahwa orang tak perlu menunggu datangnya
penyelamatan dari atas. Kitab Keluaran dalam Injil memperlihatkan kepada kita
bahwa “Manusia membangun dirinya dengan
kekuatannya sendiri melalui perjuangan politik yang bersejarah”. Kitab Keluaran
itu juga merupakan contoh nyata bahwa penyelamatan bukanlah suatu upaya yang
bersifat pribadi dan perorangan, tapi upaya “komunal dan public”, artinya
bukanlah penyelamatan jiwa orang-perorang, tetapi penebusan dan pembebasan
keseluruhan rakyat yang diperbudak. Dalam pandangan ini, orang-orang miskin
tidak boleh terus menerus menjadi sasaran belas kasihan dan kedermawanan,
tetapi, sebagai budak-budak Ibrani, harus menjadi pelaku yang memperjuangkan
kebebasan diri mereka
Jadi bagi gereja, hal itu berarti harus berhenti menjadi
sebuah gerigi roda penggerak dari system yang berkuasa; harus mengikuti tradisi
agung para nabi injil dan contoh pribadi Kristus, yakni harus menentang keserbakuasaan
dan mengutuk ketidakadilan sosial
Apa arti semua ini bagi Amerika Latin? Menurut Gutierez,
rakyat miskin diseluruh benua itu adalah orang-orang yang terbuang di tanah
mereka sendiri, tetapi pada saat bersamaan, berada dalam satu pawai Keluaran
kearah penebusan mereka. Menolak ideology Pembangunan yang sebenarnya sama saja
dengan reformisme dan modernisasi, dengan berbagi perangkatnya yang seba
terbatas, kaku dan tidak efektif serta hanya menciptakan ketergantungan yang
kian parah. Dengan tegas Gutierez menyatakan:
Hanya dengan penghapusan
tuntas atas seluruh keadaan yang ada sekarang ini, yakni perubahan tegas atas
system kepemilikan, dengan pemberian kekuasaan penuh kepada kelas yang
terhisap, maka suatu revolusi social akan mampu menghentikan semua
ketergantungan ini. Itu saja sudah cukup untuk melakukan suatu peralihan kearah
suatu masyarakat sosialis atau, paling tidak, membuatnya memang mungkin.
Suatu pernyataan yang jauh lebih radikal ketimbang apa
yang pernah diajukan oleh berbagai aliran kiri saat itu di Amerika Latin.
Dukungan Gereja Terhadap
Sosialisme di Amerika Latin
Tidak lama setelah pernyataan Gustavo Gutierez tersebut,
tepatnya April 1972 diadakan pertemuan pertama gerakan orang-orang Kristen
untuk Sosialisme se Amerika Latin di Santiago Chili. Pertemuan yang dimotori
dua orang Yesuit, yakni teolog Pablo Richard dan pakar ekonomi Gonzalo Arroyo dan di dukung uskup Mexico,
Sergio Mendez Arceo, mendorong maju dasar-dasar pemikiran Teologi Pembebasan ke
batasnya yang terakhir, yakni mempadukan ajaran Kristen dengan Marxisme untuk
mencapai masyarakat sosialis. Salah satu pernyataan mereka pada waktu itu
adalah:
Merasakan denyut kehadiran iman dalam jantung praxis revolusioner
mengijinkan kita untuk bermanfaat berhubungan dengan mereka. Iman Kristen
menjadi sesuatu yang kritis dan dinamis jika hidup dalam revolusi. Iman
menekankan pentingnya perjuangan kelas digodok dengan penentuan nasib kea rah
pembebasan semua umat manusia-terutama bagi mereka yang menderita oleh berbagai
bentuk kekejaman penindasan. Inilah yang memperteguh aspirasi kita untuk
memperjuangkan suatu perubahan masyarakat yang secara menyeluruh ketimbang
hanya suatu perubahan sederhana dalam tatanan perekonomian. Maka, iman inilah
yang membimbing orang-orang Kristen untuk terlibat dalam perjuangan, dan
melalui perjuangan tersebut, kita dapat memberikan sumbangsih kearah suatu
masyarakat yang secara kualitatif berbeda dengan yang ada sekarang, dan
memberikan sumbangsih ke pemunculan Masyarakat Baru…
Lalu kita mau
apa? sekian , Mudah-mudahan ada faedahnya.
Rangkas Bitung, 9 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar