Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP UNITAS Palembang. Staf ahli DPR RI
1999-2009,
Sedang studi S3 Agribisnis
UNSRI
Published,
Lampung Post, 23 Oktober 2013
Ditengah-tengah
maraknya mega korupsi dan mega oligarchi,
sebagaimana ditunjukkan kasus Akil Mohtar, Andi Mallarangeng dan Atut Chosiah ,
terkesan bahwa kedua penyakit sosial ini sudah sistemik. Artinya korupsi dan oligarchi
adalah bagian dari sistem, tatanan atau pemerintahan, meski tidak akan pernah diakui
secara terang-terangan.
Korupsi
dan oligarchi, tanpa jeda, dari hari ke hari terus mencuat ke permukaan, seiring dengan angin kebebasan yang bertiup kencang pasca
reformasi. Ibarat arisan , sosok-sosok yang terlibat, tinggal menunggu giliran,
yakni giliran dipermalukan oleh media, sebagaimana dialami Akil, Andi dan Atut.
Silih
berganti sampai kita amnesia-lupa bahwa ada masalah yang jauh lebih laten
ketimbang korupsi dan oligarchi. Salah satu asalah ini adalah jerat dan ekses utang luar negeri yang kronis, sehingga daya rusaknya sudah sangat
akut.
Mungkin
karena seperti itu, lama-kelamaan menjadi immun, dan akhirnya menjadi
terlupakan ?. Tulisan ini mengingatkan
kembali
Beban
berat
Pada
awalnya disadari bahwa utang pasti punya ekses. Apalagi utang dari negeri
–lembaga asing. Oleh karena itu, kalaupun harus utang, diharapkan jangan
menjadi primer, cukup sebatas pelengkap. Seiring dengan keberhasilan
pembangunan , jumlahnya semakin lama semakin menurun.
Namun
entah mengapa dalam prakteknya, prinsip agung tersebut dibelokkan dan sebaliknya
malah menjadikan utang luar negeri sebagai pembiayaan utama. Pelita pertama,
porsi pembiayaan luar negeri hampir 80 persen, pelita kedua sekitar 60 persen. Meski
tidak lagi dominan dalam pelita-pelita selanjutnya, porsinya tetap significan,
sebab tetap menjadi andalan.
Kekurangan/defisit
anggaran setiap tahun selalu ditutupi dengan utang. Yakni yang diperoleh dari negara-negara dan
institusi-institusi kreditur dalam Inter
Governmental Group on Indonesia (IGGI). Karena ada sedikit friksi IGGI kemudian berubah menjadi CGI/Consorcium group
on Indonesia
Beberapa
kalangan kritis yang memantau perkembangan tidak sehat tersebut, sesungguhnya telah mengajukan keberatan. Mereka melihat ekses
negative, seperti semakin tergantungnya pembiayaan pembangunan dari luar,
semakin berkuasanya perusahaan-perusahan asing menggerus sumber daya alam, semakin membesarnya korupsi, semakin tergusurnya
kearifan local, semakin teralienasinya rakyat dari kehidupan dan lain-lain
ekses negative yangsud sangat serius.
Namun apakah karena terlalu percaya diri atau
karena Soeharto yang begitu kuat, teknokrat-teknokrat Orde Baru selalu lihay
menangkisnya. Dengan segala dalih pembenarnya mereka selalu berkilah bahwa utang itu untuk kesejahteraan. Tinggal menunggu waktu
saja. Sampai kapan ?
Terlepas
dari retorik- retorik tersebut, realitanya adalah sebaliknya, atau hanya sekedar isapan jempol. Faktanya utang
terus membengkak tak terkendali,
sementara kesejahteraan masyarakat yang
dijanji-janjikan tak urung tiba. Jangan-jangan lebih susah dari ketika utang
tersebut belum ditempuh..
Dari
waktu ke waktu sebagaimana disebut di atas, kwantitasnya terus meroket. Sekedar
tahu saja, ketika Soekarno meninggalkan singgasana kekuasaan, utang yang
diwariskan baru sebesar $ 2,5 M, Soeharto $ 52 M, pasca reformasi bak jet
membelah langit,hingga Agustus 2013 sudah mencapai $ 238 M (K, 21 Agustus
2013). Peningkatan fantastic dalam waktu
yang sangat singkat dan dalam era kebebasan politik yang berhembus kencang pasca
lengsernya Soeharto.
Menurut
Dradjad Wibowo (2005) hanya untuk
membayar “bunga dan cicilan” saja setiap tahun rata-rata harus menyisihkan sekitar 35% dari penerimaan dalam negeri. Atau
dalam rupiah, bunga dan cicilan yang harus dibayar tahun 2013 ini ekitar Rep
420 triliun, sementara untuk pembiayaan infrastruktur hanya Rp 183 triliun,
atau pendidikan Rp 23,5 triliun.
Sebagai
perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN 2010, biaya yang disisihkan untuk
bayar bunga dan cicilan Rp 215,516 triliun, 2011, Rp 240,517 triliun, 2012 Rp
322, 709 triliun (Danny Setiawan, K, 15 Juni 2012)
Suatu
angka yang mencengangkan. Bagaimana pembangunan berjhasil kalau hanya habis untuk bayar bunga
dan cicilan yang semakin tahun semakin besar dan tidak tahu kapan berakhirnya ?
Ketergantungan.
Tidak
cukup hanya menanggung beban yang kian lama kian berat. Lebih dari situ adalah mencuatnya sisi kelam lain, yakni negeri ini
akan terus tergantung alias dependen
terhadap dikte-dikte kreditur
(pemberi pinjaman).
Meski
jarang diakui, kreditur akan meminjamkan kapitalnya setelah
persyaratan-persyaratan lain yang diinginkannya juga telah dipenuhi debitur.
Artinya apa yang mereka harapkan, meski itu diluar eksistensi utang (factor
ekonomi), seperti factor politik, kebudayaan harus dituruti. Itu sudah rahasia
umum
Oleh
karena itu tidak terlalu salah bila kaum
Dependencia menyebutnya sebagai “Neo
imperialism”, alias modus penjajahan baru. Bung Karno dahulu mempopulerkannya
dengan istilah “nekolim”
(neokolonialisme-neoimperialisme). Suatu bentuk penjajahan yang tidak memakai
bedil, melainkan instrument-instrumen ekonomi.
Terserah
apa sebutannya. Yang jelas bangsa ini semakin lama semakin terpuruk. Tidak lagi
“berdaulat, berdikari atau berkepribadian” sebagaimana keberadaan suatu bangsa
yang merdeka. Kalaupun diakui merdeka hanya sebatas de jure. Faktanya secara
sosial, politik, ekonomi, tidak begitu
beda dengan jaman penjajahan.
Mungkin
karena risau terhadap keadaan yang terus
memburuk, tanggal 13-15 Agustus 1994, Widjojo Nitisantro, pada pertemuan
tingkat menteri negara-negara non blok, meminta kepada kreditur untuk menghapuskan
mayoritas utang-utang negara sedang berkembang apabila pembangunan akan
dilanjutkan (Kompas-Gramedia, 2010)
Dengan
tegas peletak dasar ekonomi Orde Baru ini menuding bahwa implikasi utang sudah
begitu serius. Bagaimana pajak, hasil ekspor dan penghasilan lain habis hanya
untuk membayar bunga dan cicilan pokok, sudah sangat irrasional
Namun,
apakah karena pertemuan tersebut hanya sekedar show bahwa Indonesia adalah tuan
rumah yang baik, salah satu dedengkot Non Blok , atau karena takut pada rezim
Soeharto yang begitu otoriter, pesan tersebut kurang bergaung.
Media-media
tidak ada yang memblowupnya menjadi
headline . Kalaupun disinggung, hanya sekilas dalam halaman-halaman
dalam . Pada hal yang menyarankan adalah
Begawan ekonomi yang telah malang-melintang menakhodai perekonomian Indonesia.
Begitu
pula ketika Presiden SBY pada pertemuan
Financing For Development di New York tanggal 14 September 2005 memohon hal
yang sama tidak mendapat sambutan antusias . Lebih jelasnya SBY menyatakan
“there is real need for significant debt reduction…not only for the least
developed countries but also for middle-income developing countries” (Hadar,
IA, K 24 Juni 2009). Sama dengan sebelum-sebelumnya hanya sebatas angin lalu.
Hentikan
dan putihkan
Dari angin lalu ke angin lalu sebagaimana juga yang
berlangsung detik ini. Oleh karenanya hentikan itu semua.Tuntutannya jelas, jika pembangunan akan berhasil,
pengurangan kalau bukan pemutihan utang sudah waktunya ditempuh. Strategi yang
dijalankan Argentina pada tahun 2002 untuk mengatakan tidak kepada utang, dapat
dipertimbangkan (Stiglitz, 2007).
Saat
itu pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Kircner mengaudit seluruh utang
Argentina, mana yang patut dan mana yang najis (odious debt). Ternyata setelah diaudit
mayoritas utangnya adalah utang najis.
Oleh karena itu mereka hanya membayar yang patut, yakni sekitar 10 persen dari
total utang
Dengan
pemecahan masalah yang cerdas dan negosiasi yang piawai, Argentina gemilang
memutihkan utangnya. Suatu model penyelesaaian yang dipuji pemenang Nobel 2001,
Stiglitz, sebagai solusi brilian, yang jarang dimiliki suatu negara. Indonesia
dapat mengadopsinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar