Selasa, 15 November 2016

HENTIKAN BEBAN UTANG LUAR NEGERI




Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP UNITAS Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009,
 Sedang studi S3 Agribisnis UNSRI
Published, Lampung Post, 23 Oktober 2013

Ditengah-tengah maraknya mega korupsi  dan mega oligarchi, sebagaimana ditunjukkan kasus Akil Mohtar, Andi Mallarangeng dan Atut Chosiah , terkesan bahwa kedua penyakit sosial ini  sudah sistemik. Artinya korupsi dan oligarchi adalah bagian dari sistem, tatanan atau pemerintahan, meski tidak akan pernah diakui secara terang-terangan.
Korupsi dan oligarchi, tanpa jeda, dari hari ke hari  terus mencuat ke permukaan, seiring dengan  angin kebebasan yang bertiup kencang pasca reformasi. Ibarat arisan , sosok-sosok yang terlibat, tinggal menunggu giliran, yakni giliran dipermalukan oleh media, sebagaimana  dialami  Akil, Andi dan Atut.
Silih berganti sampai kita amnesia-lupa bahwa ada masalah yang jauh lebih laten ketimbang korupsi dan oligarchi. Salah satu asalah  ini adalah jerat dan ekses  utang luar negeri yang  kronis, sehingga daya rusaknya sudah sangat akut.
Mungkin karena seperti itu, lama-kelamaan menjadi immun, dan akhirnya menjadi terlupakan ?. Tulisan ini mengingatkan  kembali

Beban berat   
Pada awalnya disadari bahwa utang pasti punya ekses. Apalagi utang dari negeri –lembaga asing. Oleh karena itu, kalaupun harus utang, diharapkan jangan menjadi primer, cukup  sebatas  pelengkap. Seiring dengan keberhasilan pembangunan , jumlahnya semakin lama semakin menurun.
Namun entah mengapa dalam prakteknya, prinsip agung tersebut dibelokkan dan sebaliknya malah menjadikan utang luar negeri sebagai pembiayaan utama. Pelita pertama, porsi pembiayaan luar negeri hampir 80 persen, pelita kedua sekitar 60 persen. Meski tidak lagi dominan dalam pelita-pelita selanjutnya, porsinya tetap significan, sebab tetap menjadi andalan.
Kekurangan/defisit anggaran setiap tahun selalu ditutupi dengan utang. Yakni yang  diperoleh dari negara-negara dan institusi-institusi kreditur  dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Karena ada sedikit friksi IGGI  kemudian berubah menjadi CGI/Consorcium group on Indonesia                        
Beberapa kalangan kritis yang memantau perkembangan tidak sehat  tersebut, sesungguhnya telah  mengajukan keberatan. Mereka melihat ekses negative, seperti semakin tergantungnya pembiayaan pembangunan dari luar, semakin berkuasanya perusahaan-perusahan asing menggerus sumber daya alam, semakin  membesarnya korupsi, semakin tergusurnya kearifan local, semakin teralienasinya rakyat dari kehidupan dan lain-lain ekses negative yangsud sangat serius.
 Namun apakah karena terlalu percaya diri atau karena Soeharto yang begitu kuat, teknokrat-teknokrat Orde Baru selalu lihay menangkisnya. Dengan segala dalih pembenarnya mereka selalu berkilah  bahwa utang itu  untuk kesejahteraan. Tinggal menunggu waktu saja. Sampai kapan ?
Terlepas dari retorik- retorik tersebut, realitanya adalah sebaliknya, atau  hanya sekedar isapan jempol. Faktanya utang terus  membengkak tak terkendali, sementara  kesejahteraan masyarakat yang dijanji-janjikan tak urung tiba. Jangan-jangan lebih susah dari ketika utang tersebut belum ditempuh..
Dari waktu ke waktu sebagaimana disebut di atas, kwantitasnya terus meroket. Sekedar tahu saja, ketika Soekarno meninggalkan singgasana kekuasaan, utang yang diwariskan baru sebesar $ 2,5 M, Soeharto $ 52 M, pasca reformasi bak jet membelah langit,hingga Agustus 2013 sudah mencapai $ 238 M (K, 21 Agustus 2013). Peningkatan  fantastic dalam waktu yang sangat singkat dan dalam era kebebasan politik yang berhembus kencang pasca lengsernya Soeharto.
Menurut Dradjad Wibowo (2005)  hanya untuk membayar “bunga dan cicilan” saja setiap tahun rata-rata harus menyisihkan  sekitar 35% dari penerimaan dalam negeri. Atau dalam rupiah, bunga dan cicilan yang harus dibayar tahun 2013 ini ekitar Rep 420 triliun, sementara untuk pembiayaan infrastruktur hanya Rp 183 triliun, atau pendidikan Rp 23,5 triliun.
Sebagai perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN 2010, biaya yang disisihkan untuk bayar bunga dan cicilan Rp 215,516 triliun, 2011, Rp 240,517 triliun, 2012 Rp 322, 709 triliun (Danny Setiawan, K, 15 Juni 2012)
Suatu angka yang mencengangkan. Bagaimana pembangunan  berjhasil kalau hanya habis untuk bayar bunga dan cicilan yang semakin tahun semakin besar dan tidak tahu kapan berakhirnya ?

Ketergantungan.
Tidak cukup hanya menanggung beban yang kian lama kian berat. Lebih   dari situ adalah  mencuatnya sisi kelam lain, yakni negeri ini akan terus tergantung alias dependen  terhadap  dikte-dikte kreditur (pemberi pinjaman).
Meski jarang diakui, kreditur akan meminjamkan kapitalnya setelah persyaratan-persyaratan lain yang diinginkannya juga telah dipenuhi debitur. Artinya apa yang mereka harapkan, meski itu diluar eksistensi utang (factor ekonomi), seperti factor politik, kebudayaan harus dituruti. Itu sudah rahasia umum
Oleh karena itu tidak terlalu salah  bila kaum Dependencia menyebutnya sebagai “Neo imperialism”, alias modus penjajahan baru. Bung Karno dahulu mempopulerkannya dengan istilah “nekolim” (neokolonialisme-neoimperialisme). Suatu bentuk penjajahan yang tidak memakai bedil, melainkan instrument-instrumen ekonomi.
Terserah apa sebutannya. Yang jelas bangsa ini semakin lama semakin terpuruk. Tidak lagi “berdaulat, berdikari atau berkepribadian” sebagaimana keberadaan suatu bangsa yang merdeka. Kalaupun diakui merdeka hanya sebatas de jure. Faktanya secara sosial, politik, ekonomi,   tidak begitu beda dengan jaman penjajahan.
Mungkin  karena risau terhadap keadaan yang terus memburuk, tanggal 13-15 Agustus 1994, Widjojo Nitisantro, pada pertemuan tingkat menteri negara-negara non blok, meminta kepada kreditur untuk menghapuskan mayoritas utang-utang negara sedang berkembang apabila pembangunan akan dilanjutkan (Kompas-Gramedia, 2010)
Dengan tegas peletak dasar ekonomi Orde Baru ini menuding bahwa implikasi utang sudah begitu serius. Bagaimana pajak, hasil ekspor dan penghasilan lain habis hanya untuk membayar bunga dan cicilan pokok, sudah sangat  irrasional
Namun, apakah karena pertemuan tersebut hanya sekedar show bahwa Indonesia adalah tuan rumah yang baik, salah satu dedengkot Non Blok , atau karena takut pada rezim Soeharto yang begitu otoriter, pesan tersebut kurang bergaung.
Media-media tidak ada yang memblowupnya menjadi  headline . Kalaupun disinggung, hanya sekilas dalam halaman-halaman dalam  . Pada hal yang menyarankan adalah Begawan ekonomi yang telah malang-melintang menakhodai perekonomian Indonesia.
Begitu pula ketika Presiden SBY  pada pertemuan Financing For Development di New York tanggal 14 September 2005 memohon hal yang sama tidak mendapat sambutan antusias . Lebih jelasnya SBY menyatakan “there is real need for significant debt reduction…not only for the least developed countries but also for middle-income developing countries” (Hadar, IA, K 24 Juni 2009). Sama dengan sebelum-sebelumnya hanya sebatas angin lalu.

Hentikan dan putihkan
Dari  angin lalu ke angin lalu sebagaimana juga yang berlangsung detik ini. Oleh karenanya hentikan  itu semua.Tuntutannya  jelas, jika pembangunan akan berhasil, pengurangan kalau bukan pemutihan utang sudah waktunya ditempuh. Strategi yang dijalankan Argentina pada tahun 2002 untuk mengatakan tidak kepada utang, dapat dipertimbangkan (Stiglitz, 2007).
Saat itu pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Kircner mengaudit seluruh utang Argentina, mana yang patut dan mana yang najis (odious debt). Ternyata setelah diaudit mayoritas utangnya adalah  utang najis. Oleh karena itu mereka hanya membayar yang patut, yakni sekitar 10 persen dari total utang
Dengan pemecahan masalah yang cerdas dan negosiasi yang piawai, Argentina gemilang memutihkan utangnya. Suatu model penyelesaaian yang dipuji pemenang Nobel 2001, Stiglitz, sebagai solusi brilian, yang jarang dimiliki suatu negara. Indonesia dapat mengadopsinya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar