Jumat, 18 November 2016

KETAHANAN EKONOMI RAKYAT




Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published Harian Terbit, 8 Januari 2001
Rakyat Indonesia ternyata sangat sukar dipahami dengan akal. Pengakuan ini sering kali diungkapkan para pengamat asing yang pernah berkunjung ke Indonesia. Salah satunya adalah seorang suster Belanda yang baru-baru ini mengadakan riset untuk tesisnya di beberapa rumah sakit Indonesia. Ia merasa heran, sebab menurut beliau orang Indonesia itu, walaupun sudah mau mati (sekarat) masih dapat tersenyum ataupun tertawa, kilahnya dengan mimik serius.
Untuk ukuran sang suster yang berpola pikir Eropa memang agak tidak masuk akal, jika orang yang sudah sekarat atau menghadapi sakratul maut masih dapat tenang dan bisa tersenyum, pada hal penuh dengan pesakitan. Menurut sang suster, setiap orang yang sedang menghadapi sakratul maut biasanya akan mengerang-erang kesakitan dengan linangan air mata menahan rasa sakit yang tiada terkira sebagaimana yang dia lihat di negaranya, atau di Eropa pada umumnya.
Menurut logika, khususnya cara berpikir yang dikembangkan di negara-negara Barat, orang sakit itu sudah pasti kesakitan. Makin berat sakitnya, semakin berat beban yang harus dideritanya. Jadi agak aneh memang bila ada orang yang sakitnya sangat berat tapi masih dapat tersenyum. Analogi lain yang membuat orang asing heran dan takjub terhadap masyarakat Indonesia adalah besarnya tingkat pengangguran dan kemiskinan, dan ajaibnya mereka masih dapat survive (bertahan hidup). Di era Soeharto banyak ilmuwan-ilmuwan asing yang melihat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia sangat tidak masuk akal. Betapa tidak? Mereka masih dapat makan, bepergian, dan melakukan aktifitas lain dalam hidupnya, yang seolah-olah melukiskan tidak ada kemiskinan dinegerinya.
Krisis
Para pengamat asing, semakin heran melihat masyarakat Indonesia saat ini yang terjerumus dalam krisis ekonomi, tetap dapat survive sebagaimana era-era sebelumnya. Seribu kali mengeluhpun nasibnya tidak berubah dan tetap saja hidup. Tiga tahun sudah usia krisis namun ketahanan ekonomi masrakat cenderung tidak bergeming. Kondisi pasar sebagaimana tahun-tahun sebelumnya tetap ramai dikunjungi pembeli. Begitu pula dalam teori ekonomi, yakni “penawaran dan permintaan” tetap tidak mengalami perubahan , bahkan cenderung mengalami peningkatan yang significan.
Peningkatan yang significan terlihat dari jumlah masyarakat yang berbelanja di pasar. Demikian pula sebaliknya, peningkatan barang hasil produksi baru yang dimasukkan para pedagang ke pasar. Menurut riset yang dilakukan sekelompok peneliti, peningkatan aktivitas pasar menjelang hari raya (Natal, Idul Fitri, dan Tahun baru) sekitar 20 persen dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Riset ini dapat dibenarkan bila melihat dari besarnya jumlah pengunjung/konsumen yang datang ke pusat perbelanjaan yang ada di tiap-tiap kota (provinsi), di samping itu juga para pedagang kaki lima yang terus bertambah dalam meningkatkan dagangannya membuat suasana pasar makin marak. Di beberapa tempat, pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta yang ramai dikunjungi menjelang hari raya, seperti Pasar Senen, Tanah Abang, Cipulir Mall, Mangga Dua (ITC), Blok M dan lain-lain sudah penuh sesak oleh animo masyarakat yang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hari raya.
Selain besarnya minat beli masyarakat hal ini berhubungan dengan besarnya jumlah mereka yang akan mudik berlebaran ke daerah asalnya, baik itu di Jawa maupun di luar Jawa, seperti Sumatera, Sulawesi, danberbagai daerah lainnya. Menurut data yang ada, peningkatan arus mudik tahun ini sekitar 20 persen dibandingkan tahun lalu.  Satu hal lagi yang menjadi persoalan dari waktu ke waktu dan tak pernah tuntas adalah masalah transportasi, karena selama ini armada angkutan lebaran yang sudah ada selalu kurang dari jumlah penumpang yang terus meningkat, plus pelayanan yang masih jauh dari memadai dan sistem perhubungan yang tidak profesional.
Struktur transportasi yang tidak sehat ini sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan selalu merugikan konsumen. Ongkos yang di bayar lebih mahal dari harga se hari-hari. Resminya kenaikan ini (toeslah) menurut pemerintah hanyalah sebesar 30 persen, namun pelaksanaannya tetap dilanggar dan tak jarang tarif bisa membengkak hingga 100 persen alias dua kali lipat. Hal ini, semakin runyam mengingat adanya campur tangan para calo. Namun demikian dari tahun ke tahun tradisisi mudik tetap tidak berubah dan jumlah pemudik tetap meningkat. Sesuai dengan motto mereka “biar mahal yang penting sampai”
Di sisi lain yang mebuat kita bertanya-tanya “apakah ada krisis ekonomi atau tidak” dapat kita ukur dengan besarnya minat masyarakat membeli daging, telur, dan terigu. Pada hal harga-harga ketiga bahan pokok ni dari hari ke hari cenderung meningkat.
Ketahanan
Kondisi bangsa Indonesia tampaknya tetap resisten (melawan) terhadap krisis yang dialaminya. Dengan takjub, spektakuler, dan fantastis ada kalangan yang mengatakan mau sepuluh kali, seratus kali bahkan seribu kali krisis atau harga dolar terus naik, namun stamina ekonomi masyarakat kita akan tetap kuat. Soal bagaimana kualitas ketahanan itu, ini yang perlu dipertanyakan. Mengapa dipertanyakan? Sebab kita belum meneliti lebih jauh
Jangan-jangan ketahanan itu adalah semu, yang suatu saat dapat meledak menjadi malapetaka besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar