Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published Harian Terbit, 8 Januari 2001
Rakyat Indonesia
ternyata sangat sukar dipahami dengan akal. Pengakuan ini sering kali
diungkapkan para pengamat asing yang pernah berkunjung ke Indonesia. Salah
satunya adalah seorang suster Belanda yang baru-baru ini mengadakan riset untuk
tesisnya di beberapa rumah sakit Indonesia. Ia merasa heran, sebab menurut
beliau orang Indonesia itu, walaupun sudah mau mati (sekarat) masih dapat
tersenyum ataupun tertawa, kilahnya dengan mimik serius.
Untuk ukuran sang
suster yang berpola pikir Eropa memang agak tidak masuk akal, jika orang yang
sudah sekarat atau menghadapi sakratul maut masih dapat tenang dan bisa
tersenyum, pada hal penuh dengan pesakitan. Menurut sang suster, setiap orang
yang sedang menghadapi sakratul maut biasanya akan mengerang-erang kesakitan
dengan linangan air mata menahan rasa sakit yang tiada terkira sebagaimana yang
dia lihat di negaranya, atau di Eropa pada umumnya.
Menurut logika,
khususnya cara berpikir yang dikembangkan di negara-negara Barat, orang sakit
itu sudah pasti kesakitan. Makin berat sakitnya, semakin berat beban yang harus
dideritanya. Jadi agak aneh memang bila ada orang yang sakitnya sangat berat tapi
masih dapat tersenyum. Analogi lain yang membuat orang asing heran dan takjub
terhadap masyarakat Indonesia adalah besarnya tingkat pengangguran dan
kemiskinan, dan ajaibnya mereka masih dapat survive (bertahan hidup). Di era
Soeharto banyak ilmuwan-ilmuwan asing yang melihat pengangguran dan kemiskinan
di Indonesia sangat tidak masuk akal. Betapa tidak? Mereka masih dapat makan,
bepergian, dan melakukan aktifitas lain dalam hidupnya, yang seolah-olah
melukiskan tidak ada kemiskinan dinegerinya.
Krisis
Para pengamat asing,
semakin heran melihat masyarakat Indonesia saat ini yang terjerumus dalam
krisis ekonomi, tetap dapat survive sebagaimana era-era sebelumnya. Seribu kali
mengeluhpun nasibnya tidak berubah dan tetap saja hidup. Tiga tahun sudah usia krisis
namun ketahanan ekonomi masrakat cenderung tidak bergeming. Kondisi pasar
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya tetap ramai dikunjungi pembeli. Begitu pula
dalam teori ekonomi, yakni “penawaran dan permintaan” tetap tidak mengalami
perubahan , bahkan cenderung mengalami peningkatan yang significan.
Peningkatan yang
significan terlihat dari jumlah masyarakat yang berbelanja di pasar. Demikian
pula sebaliknya, peningkatan barang hasil produksi baru yang dimasukkan para
pedagang ke pasar. Menurut riset yang dilakukan sekelompok peneliti,
peningkatan aktivitas pasar menjelang hari raya (Natal, Idul Fitri, dan Tahun
baru) sekitar 20 persen dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Riset ini
dapat dibenarkan bila melihat dari besarnya jumlah pengunjung/konsumen yang
datang ke pusat perbelanjaan yang ada di tiap-tiap kota (provinsi), di samping
itu juga para pedagang kaki lima yang terus bertambah dalam meningkatkan
dagangannya membuat suasana pasar makin marak. Di beberapa tempat, pusat-pusat
perbelanjaan di Jakarta yang ramai dikunjungi menjelang hari raya, seperti
Pasar Senen, Tanah Abang, Cipulir Mall, Mangga Dua (ITC), Blok M dan lain-lain
sudah penuh sesak oleh animo masyarakat yang berbelanja untuk memenuhi
kebutuhan hari raya.
Selain besarnya minat
beli masyarakat hal ini berhubungan dengan besarnya jumlah mereka yang akan
mudik berlebaran ke daerah asalnya, baik itu di Jawa maupun di luar Jawa,
seperti Sumatera, Sulawesi, danberbagai daerah lainnya. Menurut data yang ada,
peningkatan arus mudik tahun ini sekitar 20 persen dibandingkan tahun
lalu. Satu hal lagi yang menjadi
persoalan dari waktu ke waktu dan tak pernah tuntas adalah masalah
transportasi, karena selama ini armada angkutan lebaran yang sudah ada selalu kurang
dari jumlah penumpang yang terus meningkat, plus pelayanan yang masih jauh dari
memadai dan sistem perhubungan yang tidak profesional.
Struktur transportasi
yang tidak sehat ini sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan selalu
merugikan konsumen. Ongkos yang di bayar lebih mahal dari harga se hari-hari.
Resminya kenaikan ini (toeslah) menurut pemerintah hanyalah sebesar 30 persen,
namun pelaksanaannya tetap dilanggar dan tak jarang tarif bisa membengkak
hingga 100 persen alias dua kali lipat. Hal ini, semakin runyam mengingat
adanya campur tangan para calo. Namun demikian dari tahun ke tahun tradisisi
mudik tetap tidak berubah dan jumlah pemudik tetap meningkat. Sesuai dengan
motto mereka “biar mahal yang penting
sampai”
Di sisi lain yang
mebuat kita bertanya-tanya “apakah ada
krisis ekonomi atau tidak” dapat kita ukur dengan besarnya minat masyarakat
membeli daging, telur, dan terigu. Pada hal harga-harga ketiga bahan pokok ni
dari hari ke hari cenderung meningkat.
Ketahanan
Kondisi bangsa
Indonesia tampaknya tetap resisten (melawan) terhadap krisis yang dialaminya.
Dengan takjub, spektakuler, dan fantastis ada kalangan yang mengatakan mau
sepuluh kali, seratus kali bahkan seribu kali krisis atau harga dolar terus
naik, namun stamina ekonomi masyarakat kita akan tetap kuat. Soal bagaimana
kualitas ketahanan itu, ini yang perlu dipertanyakan. Mengapa dipertanyakan?
Sebab kita belum meneliti lebih jauh
Jangan-jangan ketahanan
itu adalah semu, yang suatu saat dapat meledak menjadi malapetaka besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar