Rabu, 14 Desember 2016

KONSISTENSI PEMBANGUNAN MANUSIA INDIA




KONSISTENSI PEMBANGUNAN MANUSIA INDIA
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi PP PA GMNI

Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke India akhir tahun 2016 ini sepi dari ulasan media. Tidak seperti biasanya apabila Presiden mengunjungi suatu negara lain, bertebaran opini  di media-media nasional. . Kali ini sangat sepi.. Mengapa  demikian?, apakah tidak ada yang menarik   di sana? Bukankah India sedang melesat menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan?
Aneh bahasan-bahasan yang seharusnya menghiasi kunjungan Jokowi tidak mencuat kepermukaan. Apakah karena tertelan dengan issu lokal yang terus menghangat hingga memanas?. Kalah pamor dengan issu penistaan agama Ahok? Menjadi teka teki besar 
(Cat: Ulasan dibawah ini adalah ketika SBY mengunjungi India beberapa tahun lalu, namun karena substansinya sama saya ulang kembali)

Nostalgia Andi Ghalib
Dalam setiap kunjungan kerja resmi Presiden ke suatu negara, lazimnya disertai rombongan besar yang selain diikuti kalangan birokrasi, juga oleh kalangan DPR,  pebisnis, para ilmuwan dan lain-lainnya  Suatu hal yang standard dimanapun di dunia ini, bahwa wakil lembaga-lembaga negara selalu diikut sertakan. Selain sebagai justifikasi kunjungan adalah  legitimasinya
Disamping acara resmi kenegaraan yang  dilakukan, yang tak kurang pentingnya adalah acara diluar itu. Apakah itu dalam bentuk ramah tamah, pertemuan setengah kamar antara  dan lain-lain bentuk pertemuan yang bersifat tatap muka, alias komunikasi dua arah
Karena sifatnya dua arah  sudah pasti ada pembicaraan. Tidak mungkin saling berhadapan, lalu saling diam-diam. Lain hal kalau itu di dunia pertapaan, yang hadir berlomba untuk membisu.
Aneh bin ajaib, dalam pertemuan tersebut, anggota-anggota DPR yang mengikuti rombongan Presiden lebih banyak diam daripada berbicara. Sebaliknya koleganya dari India aktip mengutarakan pandangan-pandangannya Komunikasi yang  tadinya diharapkan simetris menjadi sebaliknya
Suatu konstatasi yang kontradiktif apabila memperhatikan lakon mereka di Senayan atau tempat-tempat lain di tanah air yang garang  bersuara, membahana  bak geledek,membuat pendengarnya terpukau
Namun kali ini mereka sungguh-sungguh mati kutu,  diam seribu basa ketika berhadapan dengan mitranya dari India. Sampai-sampai Duta Besar Indonesia untuk negara tersebut, Andi M Ghalib teriak keras bahwa anggota DPR RI hanya mampu berkoak-koak di Senayan, tapi membisu di India.. Sungguh-sungguh sangat menyedihkan. Suatu gambaran bahwa kualitas orang Indonesia memang masih dibawah orang India, ungkap Ghalib lebih lanjut
Pernyataan yang cukup keras itu, perlu disikapi dengan arif, alias tidak reaktif Apalagi diutarakan dihadapan Presiden SBY ketika bertemu dengan masyarakat Indonesia di KBRI New Delhi. Suatu tudingan yang dapat dikatakan sangat tidak diplomatis, tapi menikam sukma yang terdalam  Menyakitkan, namun itulah tudingannya.
Kekesalan ini  dikumandangkan  Ghalib karena  dalam pertemuan  kedua pihak tersebut,  beliau didorong-dorong oleh anggota DPR berbicara pada hal demi kepentingan anggota-anggota DPR tersebut. Mengapa anggota-anggota dewan yang terhormat tidak berani berbicara?.
 Kekesalan, tembakan, atau umpatan yang kalau dirunut dengan seksama sesungguhnya bukan barang baru. Ia sudah berlangsung lama, terutama sejak Orde Baru berkuasa, dimana peran mereka dikenal hanya sebatas tukang stempel. D5 adalah cap mereka, yakni: “datang, duduk, dengar, diam, duit” . Cap  ini rupanya terulang lagi ketika berkunjung ke India.
Anggota DPR yang melakukan penyimpangan ketika berkunjung keluar negeri, apakah itu kunjungan dinas biasa, pertemuan antar parlemen dan atau khususnya studi banding, sudah menjadi rahasia umum. 
Tidak hanya membisu dalam suatu pertemuan , jauh lebih menjengkelkan adalah tiada/kurang etika dalam tata karma persidangan. Mereka sungguh-sungguh tidak etis Masuk ruang pertemuan tanpa terlebih dahulu mematikan hand phone Malah dengan asyik bermain-main sms., sementara mitra dialognya sangat serius.
 Kalau diurai lebih jauh bagaimana perilaku-perilaku menyimpang anggota DPR yang plesiran ke luar negeri tidak akan ada habis-habisnya. Penyimpangan kenyataannya sudah menjadi label mereka. Dengan kata lain distorsi itu sudah terstruktur dan sistemik terlembaga
 Menghujat mereka bagaimanapun kerasnya hanya kepuasan seketika. Persis seperti menyiram seng yang diterpa terik matahari. Selesai disiram panas lagi, disiram lagi, panas lagi… demikian seterusnya. Jadi supaya tidak terus-terusan menyiram dan juga tidak terus-terusan kepanasan, sengnya yang diganti.  
Pemecahan penyakit demikian harus menyeluruh, atau bahasa sosio-politiknya harus secara “komprehensip-konseptual”. Tidak cukup dengan hanya menghujat

Pembangunan Karakter dan Kebangsaan
 Ghalib yang pernah anggota DPR sesungguhnya menyadari betul apa kelemahan DPR. Hanya saja yang diutarakannya sebagai diplomat kali ini cukup strategis, menyangkut nilai yang terdalam, yaitu kualitas manusia Indonesia yang ditengarai dibawah kualitas orang India. Apakah  sejauh itu?
 Antropolog, Koentjaraningrat, pada awal 1970-an mensinyalir, lima kelemahan mentalitas bangsa Indonesia dalam pembangunan. Pertama; mentalitas yang meremehkan mutu, kedua;   mentalitas yang suka menerabas, ketiga;  sifat tak percaya kepada diri sendiri, keempat;  sifat tak berdisiplin murni, dan , kelima;  mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Kelima kelemahan tersebut hingga saat ini tidak pernah ditanggulangi secara serius. Meski rezim Soeharto nan otoriter telah diruntuhkan, model pembangunannya masih tetap dipraktekkan. Pembangunan ekonomi yang berfocus pertumbuhan tetap menjadi panglima.
Karena pola demikian yang dijalankan, dengan sendirinya pembangunan yang lain hanya jadi sub ordinat. Termasuk pembangunan yang seharusnya didahulukan, yakni pembangunan mental, sikap, karakter atau wawasan kebangsaan.(Soekarno menyebutnya dengan idiom “nation and character building”), menjadi  asesoris atau instrument belaka pembangunan ekonomi.
Konsekwensinya pertumbuhan ekonomi (dapat) melesat, sebaliknya pembangunan manusianya tertinggal sangat jauh. Negaranya bisa kaya , namun manusianya tidak akan cerdas. Sebaliknya dengan India. Negara Hindu ini sejak merdeka hingga beberapa decade, lebih mengutamakan pembangunan manusia, yaitu pembangunan karakter dan kebangsaan daripada pembangunan lainnya.
Idiom-idiom yang sudah dikenal di Indonesia, seperti “humanis-sosialisnya Gandhi, ajaran-Swadesi, patriotisme-Satyagraha”  dan lain-lain variable “karakter dan wawasan kebangsaan” ditanamkan dengan konsisten .dalam  setiap dada manusia India.  

Tampilnya Manusia Cerdas
Setelah pembangunan yang berpusat pada manusia ini dianggap berhasil akhir 1980-an (era Rajiv Gandhi), barulah ditempuh pembangunan-pembangunan yang lain. Khususnya pembangunan ekonomi.
Mammohan Singh yang menjadi Menteri Keuangan awal 1990-an segera melakukan reformasi dalam bidang keuangan dan perdagangan yang membuat pertumbuhan ekonomi India meningkat dua kali lipat, yaitu dari 3% menjadi 6% dan sejak tahun 2002 melesat menjadi 8-9% pertahun (Thee Kian Wie, 2009)
Peningkatan itu membuat perekonomian India disejarkan dengan China dan tampil sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia. Suatu konstatasi timbal balik yang membuat kesejahteraan masyarakat India semakin meningkat. Wajar kalau manusianya semakin cerdas  sebagaimana disinyalir Andi M Ghalib.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar