KONSISTENSI PEMBANGUNAN MANUSIA INDIA
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi PP PA GMNI
Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke India akhir tahun 2016 ini sepi dari ulasan media. Tidak
seperti biasanya apabila Presiden mengunjungi suatu negara lain, bertebaran opini di media-media nasional. . Kali ini sangat
sepi.. Mengapa demikian?, apakah tidak
ada yang menarik di sana?
Bukankah India
sedang melesat menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan?
Aneh bahasan-bahasan yang seharusnya menghiasi kunjungan
Jokowi tidak
mencuat kepermukaan. Apakah karena tertelan
dengan issu lokal yang terus menghangat hingga memanas?. Kalah pamor dengan
issu penistaan agama Ahok? Menjadi teka teki besar
(Cat: Ulasan dibawah ini adalah ketika SBY mengunjungi India beberapa
tahun lalu, namun karena substansinya sama saya ulang kembali)
Nostalgia
Andi Ghalib
Dalam setiap kunjungan kerja resmi Presiden ke suatu
negara, lazimnya disertai rombongan besar yang selain diikuti kalangan
birokrasi, juga oleh kalangan DPR, pebisnis,
para ilmuwan dan lain-lainnya Suatu hal
yang standard dimanapun di dunia ini, bahwa wakil lembaga-lembaga negara selalu
diikut sertakan. Selain sebagai justifikasi kunjungan adalah legitimasinya
Disamping acara resmi kenegaraan yang dilakukan, yang tak kurang pentingnya adalah
acara diluar itu. Apakah itu dalam bentuk ramah tamah, pertemuan setengah kamar
antara dan lain-lain bentuk pertemuan yang
bersifat tatap muka, alias komunikasi dua arah
Karena sifatnya dua arah sudah pasti ada pembicaraan. Tidak mungkin
saling berhadapan, lalu saling diam-diam. Lain hal kalau itu di dunia
pertapaan, yang hadir berlomba untuk membisu.
Aneh bin ajaib, dalam pertemuan tersebut,
anggota-anggota DPR yang mengikuti rombongan Presiden lebih banyak diam daripada
berbicara. Sebaliknya koleganya dari India aktip mengutarakan
pandangan-pandangannya Komunikasi yang tadinya diharapkan simetris menjadi sebaliknya
Suatu konstatasi yang kontradiktif apabila memperhatikan
lakon mereka di Senayan atau tempat-tempat lain di tanah air yang garang bersuara, membahana bak geledek,membuat pendengarnya terpukau
Namun kali ini mereka sungguh-sungguh mati kutu, diam seribu basa ketika berhadapan dengan
mitranya dari India.
Sampai-sampai Duta Besar Indonesia
untuk negara tersebut, Andi M Ghalib teriak keras bahwa anggota DPR RI hanya mampu
berkoak-koak di Senayan, tapi membisu di India.. Sungguh-sungguh sangat
menyedihkan. Suatu gambaran bahwa kualitas orang Indonesia
memang masih dibawah orang India,
ungkap Ghalib lebih lanjut
Pernyataan yang cukup keras itu, perlu disikapi dengan
arif, alias tidak reaktif Apalagi diutarakan dihadapan Presiden SBY ketika
bertemu dengan masyarakat Indonesia di KBRI New Delhi. Suatu tudingan yang dapat
dikatakan sangat tidak diplomatis, tapi menikam sukma yang terdalam Menyakitkan, namun itulah tudingannya.
Kekesalan ini dikumandangkan Ghalib karena dalam pertemuan kedua pihak tersebut, beliau didorong-dorong oleh anggota DPR berbicara
pada hal demi kepentingan anggota-anggota DPR tersebut. Mengapa anggota-anggota
dewan yang terhormat tidak berani berbicara?.
Kekesalan, tembakan,
atau umpatan yang kalau dirunut dengan seksama sesungguhnya bukan barang baru. Ia
sudah berlangsung lama, terutama sejak Orde Baru berkuasa, dimana peran mereka dikenal
hanya sebatas tukang stempel. D5 adalah cap mereka, yakni: “datang, duduk, dengar, diam, duit” . Cap
ini rupanya terulang lagi ketika
berkunjung ke India.
Anggota DPR yang melakukan penyimpangan ketika
berkunjung keluar negeri, apakah itu kunjungan dinas biasa, pertemuan antar
parlemen dan atau khususnya studi banding, sudah menjadi rahasia umum.
Tidak hanya membisu dalam suatu pertemuan , jauh lebih
menjengkelkan adalah tiada/kurang etika dalam tata karma persidangan. Mereka sungguh-sungguh
tidak etis Masuk ruang pertemuan tanpa terlebih dahulu mematikan hand phone Malah
dengan asyik bermain-main sms., sementara mitra dialognya sangat serius.
Kalau diurai
lebih jauh bagaimana perilaku-perilaku menyimpang anggota DPR yang plesiran ke
luar negeri tidak akan ada habis-habisnya. Penyimpangan kenyataannya sudah menjadi
label mereka. Dengan kata lain distorsi itu sudah terstruktur dan sistemik
terlembaga
Menghujat mereka bagaimanapun
kerasnya hanya kepuasan seketika. Persis seperti menyiram seng yang diterpa
terik matahari. Selesai disiram panas lagi, disiram lagi, panas lagi… demikian
seterusnya. Jadi supaya tidak terus-terusan menyiram dan juga tidak
terus-terusan kepanasan, sengnya yang diganti.
Pemecahan penyakit demikian harus menyeluruh, atau
bahasa sosio-politiknya harus secara “komprehensip-konseptual”. Tidak cukup dengan hanya
menghujat
Pembangunan Karakter dan
Kebangsaan
Ghalib yang
pernah anggota DPR sesungguhnya menyadari betul apa kelemahan DPR. Hanya saja
yang diutarakannya sebagai diplomat kali ini cukup strategis, menyangkut nilai
yang terdalam, yaitu kualitas manusia Indonesia
yang ditengarai dibawah kualitas orang India. Apakah sejauh itu?
Antropolog,
Koentjaraningrat, pada awal 1970-an mensinyalir, lima
kelemahan mentalitas bangsa Indonesia
dalam pembangunan. Pertama; mentalitas yang meremehkan mutu, kedua; mentalitas yang suka menerabas, ketiga; sifat tak percaya kepada diri sendiri,
keempat; sifat tak berdisiplin murni,
dan , kelima; mentalitas yang suka
mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Kelima kelemahan tersebut hingga saat ini tidak pernah
ditanggulangi secara serius. Meski rezim Soeharto nan otoriter telah
diruntuhkan, model pembangunannya masih tetap dipraktekkan. Pembangunan ekonomi
yang berfocus pertumbuhan tetap menjadi panglima.
Karena pola demikian yang dijalankan, dengan sendirinya
pembangunan yang lain hanya jadi sub ordinat. Termasuk pembangunan yang
seharusnya didahulukan, yakni pembangunan mental, sikap, karakter atau wawasan
kebangsaan.(Soekarno menyebutnya dengan
idiom “nation and character building”), menjadi asesoris atau instrument belaka pembangunan
ekonomi.
Konsekwensinya pertumbuhan ekonomi (dapat) melesat,
sebaliknya pembangunan manusianya tertinggal sangat jauh. Negaranya bisa kaya ,
namun manusianya tidak akan cerdas. Sebaliknya dengan India. Negara Hindu ini sejak
merdeka hingga beberapa decade, lebih mengutamakan pembangunan manusia, yaitu
pembangunan karakter dan kebangsaan daripada pembangunan lainnya.
Idiom-idiom yang sudah dikenal di Indonesia, seperti “humanis-sosialisnya Gandhi,
ajaran-Swadesi, patriotisme-Satyagraha”
dan lain-lain variable “karakter dan wawasan kebangsaan” ditanamkan
dengan konsisten .dalam setiap dada
manusia India.
Tampilnya Manusia Cerdas
Setelah pembangunan yang berpusat pada manusia ini
dianggap berhasil akhir 1980-an (era Rajiv Gandhi), barulah ditempuh
pembangunan-pembangunan yang lain. Khususnya pembangunan ekonomi.
Mammohan Singh yang menjadi Menteri Keuangan awal 1990-an
segera melakukan reformasi dalam bidang keuangan dan perdagangan yang membuat
pertumbuhan ekonomi India meningkat dua kali lipat, yaitu dari 3% menjadi 6%
dan sejak tahun 2002 melesat menjadi 8-9% pertahun (Thee Kian Wie, 2009)
Peningkatan itu membuat perekonomian India disejarkan dengan China dan tampil sebagai salah satu
raksasa ekonomi dunia. Suatu konstatasi timbal balik yang membuat kesejahteraan
masyarakat India
semakin meningkat. Wajar kalau manusianya semakin cerdas sebagaimana disinyalir Andi M Ghalib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar