PANCASILA SEMAKIN JAUH ?
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar MIP Unitas Palembang
Published, Tribun Sumsel, 1 Juni 2016
Setiap tanggal 1 Juni negeri ini selalu konsisten memperingati
hari lahirnya Pancasila. Dari sejak dilahirkan hingga hari ini, peringatannya
selalu dirayakan secara meriah, yang tak jarang begitu dramatis. Bagaimana
penggalinya, yakni Bung Karno membidani lahirnya dasar negara tersebut pada
tanggal 1 Juni 1945 adalah puncak dramatisasinya.
Akan tetapi
selesai acara tersebut, seketika itu
juga hilang dramatisasinya. Dramatis bahkan sakral di acara, sebaliknya setelah
di luar acara. Begitulah pengalaman penulis selama mengikuti acara-acara
peringatan hari lahirnya Pancasila sejak era Orde Baru yang dikenal sangat
otoriter, hingga era reformasi yang terus terjebak transisional. Mungkin
demikian juga tahun ini dan barangkali ke tahun-tahun yang akan datang, yakni hanya
ramai ketika dirayakan, sepi setelahnya.
Mengapa bisa seperti itu? jawabannya sangat sederhana.
Tidak ada hubungan perayaan dengan realitas sehari-hari. Perayaan tinggal
perayaan, realita tetap realita, kehidupan rakyat, bangsa dan negara nyaris
tanpa perubahan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan pasca
proklamasi tetap hanya sebatas slogan dan tulisan yang indah.
Oleh karena itu tidak berlebihan bila ada kalangan
yang berpendapat bahwa negeri ini sesungguhnya belum pernah merdeka. Ia hanya
pernah teriak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sesudahnya kembali terjajah
lagi. Bagaimana sampai kepada sinyalemen ini akan diuraikan dibawah ini.
Jurang Harapan dan Kenyataan
Setelah
merdeka, negeri ini harus menghadapi agresi kolonial Belanda yang tidak
rela Indonesia merdeka. Dengan segala kelicikannya Belanda terus melakukan
agresi dan politik pecah belah hingga berakhir tahun 1949 dengan perjanjian
meja bundar. Anehnya dalam perjanjian tersebut
kita disuruh Belanda mengganti kerugian yang mereka alami, meski Bung
Karno tak pernah membayarnya.
Tidak cukup disitu yang lebih gawat adalah merebaknya perang dingin antara dua
kubu yang bertolak belakang. Kubu Liberal-Kapitalis yang dimotori Amerika
Serikat dan sekutu-sekutunya berhadapan dengan kubu Sosialis-Komunis yang
dipelopori Uni Soviet dan Republik Rakyat China yang mempengaruhi seluruh
negara-negara di dunia ini, tidak terkecuali Indonesia.
Indonesia ditarik kesana-kemari, ke Timur, ke Barat
hingga membuat pemerintahan yang masih baru terbentuk kalang kabut
menghadapinya. Apalagi saat itu masih
banyak pihak yang belum dapat menerima kenyataan terhadap kemerdekaan maupun
para pemimpinnya, yang bermuara kepada separatisme (PRRI/Permesta dan DI/TII)
membuat pemerintah hampir-hampir tidak bisa melakukan pembangunan.
Pemerintah hanya sibuk memadamkan kebakaran yang
dilakukan pihak separatis plus menghadapi ancaman perang dingin yang dimotori
AS dan Uni Soviet. Puncaknya adalah krisis 1965 yang dikenal dengan G 30 S,
yang membuat perubahan radikal dalam pemerintahan Indonesia. Bung Karno
digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Soeharto yang betul-betul merubah
tatanan ekonomi-politik secara significan. Apa yang diterapkan pada era Bung
Karno nyaris berubah 180 derajad.
Dengan slogan “politik no ekonomi yes” rezim Soeharto
mempraksiskan pembangunan ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan (growth).
Suatu model pembangunan ekonomi yang lebih mengutamakan pertumbuhan kapital
dengan mengorbankan pemerataan. Dengan bertumbuhnya kapital seperti
pengusaha-pengusaha besar diharapkan akan meneteskan hasilnya ke bawah,
sehingga seluruh rakyat nantinya akan sejahtera. Bagaimana kenyataannya sudah
sama-sama kita ketahui, konsep itu gagal total.
Yang menikmati hasil pembangunan demikian konon
hanyalah segelintir elit yakni para pengusaha-pengusaha yang populer dengan
sebutan konglomerat dan segelintir para birokrat. Selebihnya , yakni mayoritas
masyarakat terbelit kemiskinan, kesengsaraan dan ketidakadilan. Sesuai dengan
teori Peter Evans (1980), Tripple Alliance alias persekutuan segitiga, yakni MNCs, State and Local Bourgeoise, rakyat tidak
mendapat tempat dalam pola tersebut.
Sebagaimana setting historisnya pola demikian pun ternyata
mengalami kegagalan total, terbukti dengan krisis moneter 1997 yang akhirnya
melengserkan Soeharto dari singgasana kekuasaan. Soeharto jatuh setelah
sebelumnya bertekuk lutut dengan 50 LOI dihadapan IMF. Tampillah era reformasi
yang meniupkan kehidupan yang lebih baik, yang lebih bebas, sejahtera dan adil.
Kebebasan memang mengemuka, namun tidak akan
kesejahteraan, apalagi keadilan. Ada jarak, tepatnya jurang antara yang
diharapkan dengan kenyataan.Jurang demikian dapat kita lihat dari survey yang
dilakukan Kompas tanggal 27-29 mei 2015.
Dalam Survey yang mengambil tiga faktor utama, yakni “nilai-nilai Pancasila, sikap
dan perilaku elit politik dan kebijakan pemerintah” diperoleh angka sebagai
berikut; akan nilai-nilai Pancasila yang sudah dilaksanakan menurut pendapat
masyarakat baru sekitar 37,2%, →
sekitar 1/3nya, dengan perincian sebagai berikut; sila pertama 45,9%, sila
kedua 46,1%, sila ketiga 41,5%, sila ke
empat 42,3% dan sila ke lima 15,%.
Sedangkan terhadap perilaku elit, yakni para pejabat
atau pemimpin dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa,
apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila, masih ibarat
langit dan bumi. 75% masyarakat berpendapat tidak sesuai. Apa yang dilakukan
elit selalu bias dari nilai-nilai Pancasila. Tidak begitu jauh dengan kebijakanyang
ditempuh pemerintah apakah sudah sesuai atau
tidak dengan nilai-nilai Pancasila ada di angka 33,4%, artinya baru 1/3nya yang
dilaksanakan, selebihnya belum.
Pancasila semakin jauh
Meski survey tersebut dilakukan setahun yang lalu,
keadaannya tidak lebih baik hari ini. Malah sebaliknya semakin besar mengingat
issu-issu yang berkembang akhir-akhir ini cukup mengenaskan. Beratnya kehidupan ekonomi, banyaknya elit yang
tertangkap tangan korupsi, maraknya kriminalitas, narkotika dan issu-isu lain
adalah beberapa contoh betapa keadaan tidak lebih baik dibandingkan tahun yang
lalu.
Konstatasi ini akan semakin runyam apabila dihubungkan
dengan kebijakan ekonomi yang kecenderungannya tetap atau semakin liberal.
Tanpa persiapan yang memadai kita telah menerima konsep Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) tanpa syarat, begitu pula dikte-dikte IMF, World Bank dan WTO.
Tidakkah itu bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar perekonomian
kita?, atau lebih kongkritnya tidakkah itu bertentangan dengan sila ke lima
Pancasila?. Masih banyak ilustrasi-ilustrasi lain yang menunjukkan betapa
nilai-nilai Pancasila sudah semakin ditinggalkan.
Mantap lae!
BalasHapusINILAH YANG MUNGKIN DAPAT KITA PERBUAT......
BalasHapustatorushon ma songon-songon on.....selamat tahun baru ma
BalasHapus