Jumat, 09 Desember 2016

PANCASILA SEMAKIN JAUH ?




 PANCASILA SEMAKIN JAUH ?
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP Unitas Palembang
Published, Tribun Sumsel, 1 Juni 2016
Setiap tanggal 1 Juni negeri ini selalu konsisten memperingati hari lahirnya Pancasila. Dari sejak dilahirkan hingga hari ini, peringatannya selalu dirayakan secara meriah, yang tak jarang begitu dramatis. Bagaimana penggalinya, yakni Bung Karno membidani lahirnya dasar negara tersebut pada tanggal 1 Juni 1945 adalah puncak dramatisasinya.
 Akan tetapi selesai acara  tersebut, seketika itu juga hilang dramatisasinya. Dramatis bahkan sakral di acara, sebaliknya setelah di luar acara. Begitulah pengalaman penulis selama mengikuti acara-acara peringatan hari lahirnya Pancasila sejak era Orde Baru yang dikenal sangat otoriter, hingga era reformasi yang terus terjebak transisional. Mungkin demikian juga tahun ini dan barangkali ke tahun-tahun yang akan datang, yakni hanya ramai ketika dirayakan, sepi setelahnya.
Mengapa bisa seperti itu? jawabannya sangat sederhana. Tidak ada hubungan perayaan dengan realitas sehari-hari. Perayaan tinggal perayaan, realita tetap realita, kehidupan rakyat, bangsa dan negara nyaris tanpa perubahan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan pasca proklamasi tetap hanya sebatas slogan dan tulisan yang indah.
Oleh karena itu tidak berlebihan bila ada kalangan yang berpendapat bahwa negeri ini sesungguhnya belum pernah merdeka. Ia hanya pernah teriak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sesudahnya kembali terjajah lagi. Bagaimana sampai kepada sinyalemen ini akan diuraikan dibawah ini.

Jurang Harapan dan Kenyataan
Setelah  merdeka, negeri ini harus menghadapi agresi kolonial Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka. Dengan segala kelicikannya Belanda terus melakukan agresi dan politik pecah belah hingga berakhir tahun 1949 dengan perjanjian meja bundar. Anehnya dalam perjanjian tersebut  kita disuruh Belanda mengganti kerugian yang mereka alami, meski Bung Karno tak pernah membayarnya.
Tidak cukup disitu yang lebih gawat  adalah merebaknya perang dingin antara dua kubu yang bertolak belakang. Kubu Liberal-Kapitalis yang dimotori Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya berhadapan dengan kubu Sosialis-Komunis yang dipelopori Uni Soviet dan Republik Rakyat China yang mempengaruhi seluruh negara-negara di dunia ini, tidak terkecuali Indonesia.
Indonesia ditarik kesana-kemari, ke Timur, ke Barat hingga membuat pemerintahan yang masih baru terbentuk kalang kabut menghadapinya. Apalagi  saat itu masih banyak pihak yang belum dapat menerima kenyataan terhadap kemerdekaan maupun para pemimpinnya, yang bermuara kepada separatisme (PRRI/Permesta dan DI/TII) membuat pemerintah hampir-hampir tidak bisa melakukan pembangunan.
Pemerintah hanya sibuk memadamkan kebakaran yang dilakukan pihak separatis plus menghadapi ancaman perang dingin yang dimotori AS dan Uni Soviet. Puncaknya adalah krisis 1965 yang dikenal dengan G 30 S, yang membuat perubahan radikal dalam pemerintahan Indonesia. Bung Karno digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Soeharto yang betul-betul merubah tatanan ekonomi-politik secara significan. Apa yang diterapkan pada era Bung Karno nyaris berubah 180 derajad.
Dengan slogan “politik no ekonomi yes” rezim Soeharto mempraksiskan pembangunan ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan (growth). Suatu model pembangunan ekonomi yang lebih mengutamakan pertumbuhan kapital dengan mengorbankan pemerataan. Dengan bertumbuhnya kapital seperti pengusaha-pengusaha besar diharapkan akan meneteskan hasilnya ke bawah, sehingga seluruh rakyat nantinya akan sejahtera. Bagaimana kenyataannya sudah sama-sama kita ketahui, konsep itu gagal total.
Yang menikmati hasil pembangunan demikian konon hanyalah segelintir elit yakni para pengusaha-pengusaha yang populer dengan sebutan konglomerat dan segelintir para birokrat. Selebihnya , yakni mayoritas masyarakat terbelit kemiskinan, kesengsaraan dan ketidakadilan. Sesuai dengan teori Peter Evans (1980), Tripple Alliance alias persekutuan segitiga, yakni  MNCs, State and Local Bourgeoise, rakyat tidak mendapat tempat dalam pola tersebut.
Sebagaimana setting historisnya pola demikian pun ternyata mengalami kegagalan total, terbukti dengan krisis moneter 1997 yang akhirnya melengserkan Soeharto dari singgasana kekuasaan. Soeharto jatuh setelah sebelumnya bertekuk lutut dengan 50 LOI dihadapan IMF. Tampillah era reformasi yang meniupkan kehidupan yang lebih baik, yang lebih bebas, sejahtera dan adil.
Kebebasan memang mengemuka, namun tidak akan kesejahteraan, apalagi keadilan. Ada jarak, tepatnya jurang antara yang diharapkan dengan kenyataan.Jurang demikian dapat kita lihat dari survey yang dilakukan  Kompas tanggal 27-29 mei 2015. Dalam Survey yang mengambil tiga faktor utama, yakni “nilai-nilai Pancasila, sikap dan perilaku elit politik dan kebijakan pemerintah” diperoleh angka sebagai berikut;  akan nilai-nilai Pancasila  yang sudah dilaksanakan menurut pendapat masyarakat  baru sekitar  37,2%, sekitar 1/3nya, dengan perincian sebagai berikut; sila pertama 45,9%, sila kedua 46,1%, sila ketiga  41,5%, sila ke empat 42,3% dan sila ke lima 15,%.
Sedangkan  terhadap perilaku elit, yakni para pejabat atau pemimpin dalam   menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila, masih ibarat langit dan bumi. 75% masyarakat berpendapat tidak sesuai. Apa yang dilakukan elit selalu bias dari nilai-nilai Pancasila. Tidak begitu jauh dengan kebijakanyang ditempuh  pemerintah apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila ada di angka 33,4%, artinya baru 1/3nya yang dilaksanakan, selebihnya belum.

Pancasila semakin jauh
Meski survey tersebut dilakukan setahun yang lalu, keadaannya tidak lebih baik hari ini. Malah sebaliknya semakin besar mengingat issu-issu yang berkembang akhir-akhir ini cukup mengenaskan. Beratnya  kehidupan ekonomi, banyaknya elit yang tertangkap tangan korupsi, maraknya kriminalitas, narkotika dan issu-isu lain adalah beberapa contoh betapa keadaan tidak lebih baik dibandingkan tahun yang lalu.
Konstatasi ini akan semakin runyam apabila dihubungkan dengan kebijakan ekonomi yang kecenderungannya tetap atau semakin liberal. Tanpa persiapan yang memadai kita telah menerima konsep Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tanpa syarat, begitu pula dikte-dikte IMF, World Bank dan WTO. Tidakkah itu bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar perekonomian kita?, atau lebih kongkritnya tidakkah itu bertentangan dengan sila ke lima Pancasila?. Masih banyak ilustrasi-ilustrasi lain yang menunjukkan betapa nilai-nilai Pancasila sudah semakin ditinggalkan.


3 komentar: