Minggu, 25 Desember 2016

MENGAPA VANDALISME SELALU MENYERTAI PILKADA? KASUS PILKADA PALEMBANG




MENGAPA VANDALISME  SELALU MENYERTAI PILKADA ?
KASUS PILKADA PALEMBANG 2013
Oleh: Reinhard Hutapea
STAF PENGAJAR MIP & FISIP UNITAS PALEMBANG

Sehari paska pilkada, yakni tanggal 8 April 2013 yang lalu kota Palembang penuh kemilau  karangan bunga. Karangan bunga yang digelar di trotoar-trotoar jalan sebagai ucapan selamat ke pemenang pilkada yang belum diputuskan siapa pemenangnya.
Karangan bunga tersebut diberikan kepada dua pasangan. Tepatnya  ke pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana dan pasangan Romi Herton-Harnojoyo yang konon selisih suaranya hanya hitungan jari. Tragis betul bagaimana ucapan selamat diberi kepada dua pasangan yang pemenangnya belum diputuskan, sangat tak lazim dan tak logis
Tidakkah selayaknya karangan bunga  dikirimkan setelah pemenang dipastikan oleh lembaga resmi/ KPUD ?. Masa belum diputuskan siapa pemenangnya sudah keburu nafsu memberi selamat via bunga.  Motif  apa gerangan  yang ada di benaknya ?. Memaksakan pilihannya tetap menang meski kalah ?
Seminggu kemudian (15 April 2013), yakni setelah KPUD mengumumkan pemenangnya, mulai terkuak latar belakang kiriman premature tersebut . Pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya. Konon mereka  merasa dicurangi. Sebagai reaksinya mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Ternyata , setelah lebih kurang sebulan MK bersidang tampillah suasana yang terbalik, tuntutan para penggugat, yakni pasangan Romi Herton-Harnojoyo  dikabulkan. Artinya keputusan KPUD yang sebelumnya memenangkan Sarimuda-Nelly Rosdiana menjadi batal.
Merasa  keputusan MK tersebut tidak tepat, pihak yang dikalahkan, yakni pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana, gantian tidak dapat menerimanya. Mereka melawan karena merasa dicurangi
 Sebagai derivasi atau konsekwensi selanjutnya terjadilah  gejolak. Suasana yang tadinya tenang dipermukaan, mulai menggeliat dan selanjutnya memanas. Berbagai kiat penolakan mereka praksiskan ke atmosfir politik Palembang. Salah satunya adalah melalui jalur hukum, yakni   memperjuangkan keberatannya kepada lembaga resmi, dengan    memakai jasa   Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacaranya.
Tidak cukup dengan cara konvensional tersebut, sebagai eskalasi penolakan, simpatisan-simpatisannya didorong dan terdorong melakukan demonstrasi. Setiap hari jalan-jalan protokol Palembang marak dengan pawai allegoris. Dengan membawa spanduk, poster dan baliho  mereka menolak keputusan MK tersebut
Puncaknya meledak pada tanggal 4 Juni. Dengan rombongan  besar mereka mendatangi DPRD Palembang. Mereka menekan  agar lembaga representasi masyarakat ini   tidak menerima  keputusan MK dan jangan melantik Walikota terpilih sebelum upaya hukum  yang mereka tempuh ditanggapi.
            Apakah   kecewa karena tekanan mereka tidak begitu saja diterima  DPRD , dikipas para provokator atau ada faktor-faktor terselubung lain, setelah pulang dari kantor wakil rakyat tersebut, para demonstran melakukan aksi anarkhis di pasar 16 Ilir. Mereka  membakar  toko elektronik, yang konon pemiliknya (katanya) adalah pendukung  Walikota yang dimenangkan MK.

MK Superbodi ?
Realita  demikian menunjukkan bahwa masyarakat kota Palembang khususnya, dan masyarakat kita umumnya, masih asing  dengan mekanisme pemilihan   langsung. Meski   dikonotasikan sebagai mekanisme yang  sangat efisien, canggih, sophisticated dan demokratis, praksisnya masih jauh dari harapan. Maksud hati memeluk gunung, yang terangkul malah malapetaka.
Sebagai negara modern prinsip –prinsip demokrasi universal, seperti “kebebasan, kesetaraan dan toleransi” demikian telah lama kita adopsi. Begitu pula adagium abadi Abraham Lincoln yang mengatakan bahwa pemerintahan “from the people, by the people, and for the people” tidak akan hilang dari dunia ini, tidak pernah kita nafikan.
Masalahnya adalah bagaimana mengoperasionalkannya. Apa harus melalui pemilihan langsung, apa harus one men one vote sebagaimana diktum demokrasi liberal sebagaimana yang kitabterapkan saat ini ?. Apa tiap daerah harus seragam? Apa tidak ada mekanisme lain yang lebih sesuai dengan adat, tradisi dan kultur kita ?
 Banyak jalan ke Roma kata pepatah lama. Demokrasi liberal yang mengagung agungkan pemilihan langsung bukanlah satu-satunya jalan. Jalan-jalan lain masih banyak. Jalan yang tepat  adalah jalan yang sesuai dengan jati diri sendiri. Bukan jalan lain yang kelihatannya mulus, ternyata terjal, cadas, penuh fatamorgana dan menggelincirkan
Praksis selama ini menunjukkan bahwa sinyalemen demikian menunjukkan kebenarannya, yakni Jalan yang ditempuh  penuh resiko, carut marut dan sangat amburadul yang membuat tujuan mulia semakin tak tergapai.
 Selain  tujuan utamanya tak tergapai, seperti “keamanan, kesejahteraan dan keadilan”,  yang  lebih tragis lagi  adalah mencuatnya sengketa yang tak pernah berakhir. Seakan akan pilkada yang berlangsung  hanya dari sengketa ke sengketa. Tidak  dari sengketa untuk konsensus sebagaimana prinsip kekuasaan demokratis(Duverger,M, 1980).
Sejak tahun 2008 hingga 2013, menurut  catatan MK, telah terjadi 549 gugatan pilkada (minus Lumajang, Bali dan Kota Palembang). Artinya/dengan kata lain tidak ada pelaksanaan pilkada yang mulus pra dan pasca penetapan KPU. Selalu timbul sengketa dan selanjutnya diserahkan ke MK.
Mengapa terus menerus ke MK ?, apakah proses di daerah yang telah menjadi kesepakatan nasional dan konon  sangat demokratis itu tidak dapat dipercaya ? mengapa sesama kita tidak saling percaya ? bukankah saling percaya itu sangat indah sebagaimana  pesan moral universal ?
Sukar diterima akal sehat bagaimana  pilihan ratusan ribu, jutaan bahkan puluhan juta pemilih akhirnya  hanya ditentukan oleh sekian sosok di MK. Perkasa benar itu MK. Kalau begitu lalu bagaimana itu eksistensi KPU yang telah disepakati rakyat  sebagai  pelaksana pemilu?. Begitu pula mitranya Bawaslu/Bawasda sebagai lembaga pengawas dimana tempatnya ? Mengapa institusi-institusi yang kita bentuk kita tabrak sendiri ?.
Kalau hanya 1, 2, 3 kasus yang mengemuka ,atau hanya sekian persen yang diajukan ke MK,, tidak begitu masalah. Tapi jika semua akhirnya bermasalah dan semuanya ditentukan melalui MK, pasti ada yang tak beres. Pasti ada akar masalah yang tidak pernah dituntaskan
            Lama-kelamaan, jika suasana yang tak sehat  ini berlangsung terus,  tidak tertutup kemungkinan MK pun nantinya bisa-bisa tak beres atau di tak bereskan.  Selain tugasnya telah over load, para elitnya akan terpancing penyalah gunaan wewenang. Lord Acton telah lama mengingatkan bahwa kekuasaan yang absolute cenderung disalahgunakan .
            Jika suatu saat  konstatasinya seperti itu, MK siap-siap dituding , dihujat hingga dituntut bubar, sebagaimana yang dialami KPK belum lama berselang. Karena begitu menentukan, bahkan terkesan sakti, KPK   dikesankan sebagai lembaga superbodi  yang kekuasaannya begitu besar sehingga tidak dapat dikoreksi.
Derivasinya, Karena tak dapat dikoreksi, membuat banyak kalangan  gusar, terutama sosok-sosok koruptor yang sedang euforia di panggung kekuasaan . Dengan berbagai cara,  dalih yang dibenar-benarkan, mereka menuntut KPK dibubarkan. Analog dengan MK yang saat ini, sangat  menentukan hasil pemilu, akan dicari-cari ikhtiar pembubaran.

 Masyarakat Anarchis ?
Masalah kecenderungan tersebut  menjadi kenyataan atau sebaliknya, biarlah sejarah yang menentukan. Yang pasti saat ini suasananya sangat anarkhis. Dimana-mana paska pilkada anarkisme selalu menyeruak ke permukaan.
Masing-masing kontestan yang berkompetisi entah dengn argumentasi rasional atau sebaliknya tidak pernah sportif. Tidak   mau mengaku kalah meski kenyataannya kalah. Selalu dan secara reflektif selalu mencari dalih untuk memaksakan kehendak, meski dipermukaan selalu mengumandangkan “siap kalah, siap menang”, realitanya adalah sebaliknya, yakni tidak siap kalah dan maunya hanya menang.
 Konstatasi yang sungguh primitif, egois, parochial, mau benar sendiri, alias tidak mau mengakui kebenaran pihak lain. Konsekwensi logisnya sampai kapanpun. Mungkin sampai kiamat mereka akan terus memaksakan kehendaknya. Dengan segala daya yang ada kalangan anarkhis  akan terus memaksakan kehendaknya
Mereka baru  diam, mengalah atau kalah, apabila terbentur  kekuatan hegemonic-absolute. Baik itu kekuatan hegemonic-absolute yang legitimate- justificated , atau yang sebaliknya (tidak legitimate/justificated)
Mirip tesis Hedley Bull (1975) dengan “anarchical society” alias “masyarakat anarchis”. Masyarakat yang kalau mau ditertibkan tidak dapat dengan cara-cara konvensional, seperti hukum, norma, persuasi, bujukan, rasionalitas, melainkan dengan paksaan/coercive, hingga kekerasan fisik
 Senang tidak senang , dapat menerima atau sebaliknya, sistim sosial-politik Indonesia saat ini cenderung anarkhistis. Parasit yang mencuat sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan politik yang sangat bebas/liberal paska  reformasi. Konstalasi yang  sudah waktunya di kaji ulang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar