MENGAPA VANDALISME
SELALU MENYERTAI PILKADA ?
KASUS
PILKADA PALEMBANG 2013
Oleh:
Reinhard Hutapea
STAF PENGAJAR MIP & FISIP UNITAS
PALEMBANG
Sehari paska pilkada, yakni tanggal 8 April 2013 yang
lalu kota Palembang penuh kemilau karangan bunga. Karangan bunga yang digelar di
trotoar-trotoar jalan sebagai ucapan selamat ke pemenang pilkada yang belum
diputuskan siapa pemenangnya.
Karangan bunga tersebut diberikan kepada dua pasangan.
Tepatnya ke pasangan Sarimuda-Nelly
Rosdiana dan pasangan Romi Herton-Harnojoyo yang konon selisih suaranya hanya
hitungan jari. Tragis betul bagaimana ucapan selamat diberi kepada dua pasangan
yang pemenangnya belum diputuskan, sangat tak lazim dan tak logis
Tidakkah selayaknya karangan bunga dikirimkan setelah pemenang dipastikan oleh
lembaga resmi/ KPUD ?. Masa belum diputuskan siapa pemenangnya sudah keburu
nafsu memberi selamat via bunga. Motif apa gerangan yang ada di benaknya ?. Memaksakan pilihannya
tetap menang meski kalah ?
Seminggu kemudian (15 April 2013), yakni setelah KPUD
mengumumkan pemenangnya, mulai terkuak latar belakang kiriman premature
tersebut . Pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya. Konon mereka merasa dicurangi. Sebagai reaksinya mereka
menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Ternyata , setelah lebih kurang sebulan MK bersidang
tampillah suasana yang terbalik, tuntutan para penggugat, yakni pasangan Romi
Herton-Harnojoyo dikabulkan. Artinya
keputusan KPUD yang sebelumnya memenangkan Sarimuda-Nelly Rosdiana menjadi
batal.
Merasa keputusan MK tersebut tidak tepat, pihak yang
dikalahkan, yakni pasangan Sarimuda-Nelly Rosdiana, gantian tidak dapat
menerimanya. Mereka melawan karena merasa dicurangi
Sebagai
derivasi atau konsekwensi selanjutnya terjadilah gejolak. Suasana yang tadinya tenang
dipermukaan, mulai menggeliat dan selanjutnya memanas. Berbagai kiat penolakan
mereka praksiskan ke atmosfir politik Palembang. Salah satunya adalah melalui
jalur hukum, yakni memperjuangkan
keberatannya kepada lembaga resmi, dengan memakai
jasa Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacaranya.
Tidak cukup dengan cara konvensional tersebut, sebagai
eskalasi penolakan, simpatisan-simpatisannya didorong dan terdorong melakukan
demonstrasi. Setiap hari jalan-jalan protokol Palembang marak dengan pawai
allegoris. Dengan membawa spanduk, poster dan baliho mereka menolak keputusan MK tersebut
Puncaknya meledak pada tanggal 4 Juni. Dengan
rombongan besar mereka mendatangi DPRD
Palembang. Mereka menekan agar lembaga
representasi masyarakat ini tidak menerima keputusan MK dan jangan melantik Walikota
terpilih sebelum upaya hukum yang mereka
tempuh ditanggapi.
Apakah
kecewa karena tekanan mereka tidak begitu saja
diterima DPRD , dikipas para provokator
atau ada faktor-faktor terselubung lain, setelah pulang dari kantor wakil
rakyat tersebut, para demonstran melakukan aksi anarkhis di pasar 16 Ilir. Mereka
membakar toko elektronik, yang konon pemiliknya
(katanya) adalah pendukung Walikota yang
dimenangkan MK.
MK Superbodi ?
Realita demikian
menunjukkan bahwa masyarakat kota Palembang khususnya, dan masyarakat kita umumnya,
masih asing dengan mekanisme pemilihan langsung. Meski dikonotasikan sebagai mekanisme yang sangat efisien, canggih, sophisticated dan
demokratis, praksisnya masih jauh dari harapan. Maksud hati memeluk gunung,
yang terangkul malah malapetaka.
Sebagai negara modern prinsip –prinsip demokrasi
universal, seperti “kebebasan, kesetaraan dan toleransi” demikian telah lama
kita adopsi. Begitu pula adagium abadi Abraham Lincoln yang mengatakan bahwa pemerintahan
“from the people, by the people, and for the people” tidak akan hilang dari
dunia ini, tidak pernah kita nafikan.
Masalahnya adalah bagaimana mengoperasionalkannya. Apa
harus melalui pemilihan langsung, apa harus one men one vote sebagaimana diktum
demokrasi liberal sebagaimana yang kitabterapkan saat ini ?. Apa tiap daerah
harus seragam? Apa tidak ada mekanisme lain yang lebih sesuai dengan adat,
tradisi dan kultur kita ?
Banyak jalan ke
Roma kata pepatah lama. Demokrasi liberal yang mengagung agungkan pemilihan
langsung bukanlah satu-satunya jalan. Jalan-jalan lain masih banyak. Jalan yang
tepat adalah jalan yang sesuai dengan
jati diri sendiri. Bukan jalan lain yang kelihatannya mulus, ternyata terjal,
cadas, penuh fatamorgana dan menggelincirkan
Praksis selama ini menunjukkan bahwa sinyalemen
demikian menunjukkan kebenarannya, yakni Jalan yang ditempuh penuh resiko, carut marut dan sangat amburadul
yang membuat tujuan mulia semakin tak tergapai.
Selain tujuan utamanya tak tergapai, seperti
“keamanan, kesejahteraan dan keadilan”, yang lebih tragis lagi adalah mencuatnya sengketa yang tak pernah
berakhir. Seakan akan pilkada yang berlangsung hanya dari sengketa ke sengketa. Tidak dari sengketa untuk konsensus sebagaimana
prinsip kekuasaan demokratis(Duverger,M, 1980).
Sejak tahun 2008 hingga 2013, menurut catatan MK, telah terjadi 549 gugatan pilkada
(minus Lumajang, Bali dan Kota Palembang). Artinya/dengan kata lain tidak ada
pelaksanaan pilkada yang mulus pra dan pasca penetapan KPU. Selalu timbul
sengketa dan selanjutnya diserahkan ke MK.
Mengapa terus menerus ke MK ?, apakah proses di daerah
yang telah menjadi kesepakatan nasional dan konon sangat demokratis itu tidak dapat dipercaya ?
mengapa sesama kita tidak saling percaya ? bukankah saling percaya itu sangat
indah sebagaimana pesan moral universal
?
Sukar diterima akal sehat bagaimana pilihan ratusan ribu, jutaan bahkan puluhan
juta pemilih akhirnya hanya ditentukan oleh
sekian sosok di MK. Perkasa benar itu MK. Kalau begitu lalu bagaimana itu eksistensi
KPU yang telah disepakati rakyat sebagai
pelaksana pemilu?. Begitu pula mitranya
Bawaslu/Bawasda sebagai lembaga pengawas dimana tempatnya ? Mengapa institusi-institusi
yang kita bentuk kita tabrak sendiri ?.
Kalau hanya 1, 2, 3 kasus yang mengemuka ,atau hanya
sekian persen yang diajukan ke MK,, tidak begitu masalah. Tapi jika semua
akhirnya bermasalah dan semuanya ditentukan melalui MK, pasti ada yang tak
beres. Pasti ada akar masalah yang tidak pernah dituntaskan
Lama-kelamaan,
jika suasana yang tak sehat ini
berlangsung terus, tidak tertutup
kemungkinan MK pun nantinya bisa-bisa tak beres atau di tak bereskan. Selain tugasnya telah over load, para elitnya akan
terpancing penyalah gunaan wewenang. Lord Acton telah lama mengingatkan bahwa kekuasaan
yang absolute cenderung disalahgunakan .
Jika
suatu saat konstatasinya seperti itu, MK
siap-siap dituding , dihujat hingga dituntut bubar, sebagaimana yang dialami
KPK belum lama berselang. Karena begitu menentukan, bahkan terkesan sakti, KPK dikesankan sebagai lembaga superbodi yang kekuasaannya begitu besar sehingga tidak
dapat dikoreksi.
Derivasinya, Karena tak dapat dikoreksi, membuat
banyak kalangan gusar, terutama sosok-sosok
koruptor yang sedang euforia di panggung kekuasaan . Dengan berbagai cara, dalih yang dibenar-benarkan, mereka menuntut
KPK dibubarkan. Analog dengan MK yang saat ini, sangat menentukan hasil pemilu, akan dicari-cari
ikhtiar pembubaran.
Masyarakat
Anarchis ?
Masalah kecenderungan tersebut menjadi kenyataan atau sebaliknya, biarlah
sejarah yang menentukan. Yang pasti saat ini suasananya sangat anarkhis.
Dimana-mana paska pilkada anarkisme selalu menyeruak ke permukaan.
Masing-masing kontestan yang berkompetisi entah dengn
argumentasi rasional atau sebaliknya tidak pernah sportif. Tidak mau
mengaku kalah meski kenyataannya kalah. Selalu dan secara reflektif selalu
mencari dalih untuk memaksakan kehendak, meski dipermukaan selalu mengumandangkan
“siap kalah, siap menang”, realitanya adalah sebaliknya, yakni tidak siap kalah
dan maunya hanya menang.
Konstatasi yang
sungguh primitif, egois, parochial, mau benar sendiri, alias tidak mau mengakui
kebenaran pihak lain. Konsekwensi logisnya sampai kapanpun. Mungkin sampai
kiamat mereka akan terus memaksakan kehendaknya. Dengan segala daya yang ada kalangan
anarkhis akan terus memaksakan
kehendaknya
Mereka baru diam, mengalah atau kalah, apabila terbentur kekuatan hegemonic-absolute. Baik itu kekuatan
hegemonic-absolute yang legitimate- justificated , atau yang sebaliknya (tidak
legitimate/justificated)
Mirip tesis Hedley Bull (1975) dengan “anarchical
society” alias “masyarakat anarchis”. Masyarakat yang kalau mau ditertibkan
tidak dapat dengan cara-cara konvensional, seperti hukum, norma, persuasi,
bujukan, rasionalitas, melainkan dengan paksaan/coercive, hingga kekerasan
fisik
Senang tidak
senang , dapat menerima atau sebaliknya, sistim sosial-politik Indonesia saat
ini cenderung anarkhistis. Parasit yang mencuat sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan
politik yang sangat bebas/liberal paska reformasi. Konstalasi yang sudah waktunya di kaji ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar