Senin, 05 Desember 2016

KEGAGALAN DPRD MEMAKNAI JATI DIRINYA




KEGAGALAN DPRD MEMAKNAI JATI DIRINYA
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP dan FISIP Unitas Palembang
Published Harian Banyuasin, 28 November 2016

Tema ini saya angkat dari orasi Alm Riswanda Imawan ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Politik UGM pada tahun 2004. Pada waktu itu beliau menyoroti partai-partai politik yang tidak menjalankan fungsinya. Partai-partai yang mentas di panggung politik pasca reformasi hanya sekedar asesoris dari apa yang disebut dengan demokrasi. Dalam praksisnya tidak pernah mewujudkan jati dirinya sebagai “jembatan antara masyarakat dengan pemerintah”.
Jembatan tersebut tidak pernah terbangun. Masyarakat jalan sesuai  arusnya sendiri.  Begitu pula pemerintah, asyik  dengan jalannya sendiri. Hubungan yang nyaris tak pernah nyambung. Masyarakat kemana, pemerintah kemana, tidak jelas arahnya. Sinyalemen ini dapat kita lihat dari program-program pemerintah yang hanya dibuat oleh pemerintah sendiri, tanpa partisipasi aktif masyarakat.
Partai-partai yang seharusnya menjadi komunikator utama partisipasi politik tak pernah hadir di masyarakat, kecuali pada waktu pemilu.  Dalam artian lain partai-partai tak pernah melaksanakan fungsinya, seperti pendidikan politik, penghimpun (agregasi)  dan pengartikulasi aspirasi politik, sosialisasi politik dan lain-lain fungsi partai politik.
 Begitu pula visi, misi, dan program nya nyaris tak pernah kelihatan. Apa perbedaan program  partai yang satu  dengan partai yang lain  tidak pernah mengemuka dengan jelas. Jangan-jangan partai-partai tersebut sesungguhnya tidak punya program.

Konspirasi pengasingan rakyat
Mereka hanya sibuk  berebut jabatan-jabatan politik, baik di birokrasi pemerintahan, lembaga judicatif, dan atau khususnya di parlemen. Dengan segala eksistensinya, partai-partai ini berupaya supaya seluruh kader-kadernya,  mendapat jabatan, posisi atau kedudukan di pemerintahan, dan lain-lain lembaga kemasyarakatan.
Akan tetapi karena  landasannya rapuh, dapat dibayangkan bahwa sosok-sosok (jebolan partai) ini tidak akan profesional dalam jabatan-jabatan yang diembannya. Kehadiran  mereka (di institusi-institusi tersebut), nyaris tanpa keahlian yang dibutuhkan di lembaga tersebut. Tidak saja dari keahlian-keahlian teknis, terutama adalah dari segi manajerial dan kepemimpinan  yang bias sama sekali.
Ujung-ujungnya sebagaimana di tulis Pramono Anung pada disertasinya, mereka-mereka itu pada akhirnya bukan pelayan-pengabdi masyarakat. Mereka hanya cari kerja, cari uang, dan lain-lain kepentingan pribadi, kelompok atau partainya.
 Konstalasi demikian kasat mata (terutama) di level lembaga-lembaga pemerintahan tingkat II, seperti Bupati/Walikota, dan khususnya DPRD-DPRD tingkat Kabupaten dan Kota.
Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sekitar 70 persen Bupati/Walikota terlibat korupsi. Begitu pula anggota-anggota DPRDnya setali tiga uang melakukan hal yang sama. Kalau Bupati/Walikota sendirian, sebaliknya anggota-anggota DPRD melakukannya secara berjamaah (meminjam istilah Amin Rais). Contoh atau ilustrasinya sudah banyak kita saksikan sejak pemilu pertama era reformasi (1999). DPRD-DPRD era ini hampir semua bermasalah, yakni terlibat penggarongan uang rakyat.
Meski dalam perjalannya ada perbaikan UU Pemilu, penggarongan uang rakyat ini tak pernah berkurang.  Malah sebaliknya semakin “sistemik, terstrukur dan masif”. Tidak saja melalui modus-modus yang sudah lazim, seperti minta fee dari persetujuan setiap anggaran (APBD) setiap tahun, jauh lebih gila lagi adalah, mereka pun ikut minta jatah proyek yang di anggarkan/tender/lelang oleh birokrasi. Mereka banyak yang menjadi proyektor dari proyek-proyek pemerintah.
Tidak cukup di situ, sebagaimana yang terjadi pada kasus DKI Jaya,  anggota-anggota DPRD-nya terlibat  penggelembungkan anggaran (APBD). Yang seharusnya Rp X T, mereka mark up/gelembungkan sebesar Rp 12,1 T. Untuk apa? , untuk apa lagi kalau bukan untuk cincay-cincay. Konspirasi yang sudah lama (kayaknya) di DKI dan mungkin juga daerah-daerah lain.
Begitu pula (masih dalam kasus DKI Jaya) kasus fee reaklamasi pantai-pantai Jakarta. Gubernur, Ahok minta fee 15 persen dari pengembang. Uniknya DPRD hanya minta 5 persen. Ada apa?. Meskipun belum ada faktanya, orang sudah dapat menduga, bahwa anggota-anggota DPRD tersebut bermain mata dengan  pengembang. Mereka bermain untuk dapat uang untuk tujuan-tujuan sempit mereka.
Analog dengan pembuatan Peraturan-Peraturan Daerah (Perda). Banyak Perda itu telah di pesan  pihak luar. Khususnya pesanan para pemilik-pemilik kapital, supaya dapat untung besar dari proyek-proyeknya. Mereka (para pemodal tersebut) menyuap anggota-anggota DPRD supaya Perdanya mulus untuk kepentingan proyeknya, bukan untuk masyarakat yang diwakilinya.

Kegagalan DPRD
Modus-modus demikians masih dapat dinarasikan sekian panjang lagi, namun untuk tujuan penulisan ini sebagaimana judulnya “Kegagalan DPRD Memaknai Jati Dirinya” dianggap sudah memadai. DPRD dominan, kalau bukan seluruhnya nyaris tidak mewakili rakyat atau konstituen pemilihnya. Fungsi mereka sebagai legislator (pembuat UU/Perda), pengawas pemerintah/eksekutif/birokrasi, pemberi persetujuan akan anggaran/budgeting, plus hak-haknya, seperti hak inisiatif, interpelasi, dan angket hampir tak pernah dipraktekkan.
Draft-konsep atau rancangan Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan untuk melaksanakan program-program pemerintahan daerah, hingga detik ini masih datang dari pihak Bupati/Walikota. Belum ada yang datang atas inisiatif DPRD. Apakah karena tidak cakap atau tak ada kemauan menjadi tanda tanya besar. Kalau masalah kesanggupan kayaknya tidak mungkin, sebab mereka sudah dilengkapi  tenaga ahli. Atau jika kekurangan bahan dapat  meminta bantuan LSM-LSM/NGO/Ornop yang ada di wilayahnya. Mengapa tidak mereka lakonkan?
Disinilah kebenaran adagium Alm Riswanda Imawan....kegagalan memaknai jati dirinya. DPRD yang seharusnya penyeimbang Bupati/Walikota berubah haluan menjadi sub ordinatnya. Mirip pada pemerintahan yang masih patrimonial atau kampungan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar