KEGAGALAN DPRD MEMAKNAI
JATI DIRINYA
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP dan
FISIP Unitas Palembang
Published Harian Banyuasin, 28 November 2016
Tema ini saya angkat dari orasi Alm Riswanda Imawan ketika
dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Politik UGM pada tahun 2004. Pada waktu itu
beliau menyoroti partai-partai politik yang tidak menjalankan fungsinya.
Partai-partai yang mentas di panggung politik pasca reformasi hanya sekedar
asesoris dari apa yang disebut dengan demokrasi. Dalam praksisnya tidak pernah mewujudkan
jati dirinya sebagai “jembatan antara masyarakat dengan pemerintah”.
Jembatan tersebut tidak pernah terbangun. Masyarakat jalan
sesuai arusnya sendiri. Begitu pula pemerintah, asyik dengan jalannya sendiri. Hubungan yang nyaris
tak pernah nyambung. Masyarakat kemana, pemerintah kemana, tidak jelas arahnya.
Sinyalemen ini dapat kita lihat dari program-program pemerintah yang hanya
dibuat oleh pemerintah sendiri, tanpa partisipasi aktif masyarakat.
Partai-partai yang seharusnya menjadi komunikator utama
partisipasi politik tak pernah hadir di masyarakat, kecuali pada waktu pemilu. Dalam artian lain partai-partai tak pernah
melaksanakan fungsinya, seperti pendidikan politik, penghimpun (agregasi) dan pengartikulasi aspirasi politik, sosialisasi
politik dan lain-lain fungsi partai politik.
Begitu pula visi,
misi, dan program nya nyaris tak pernah kelihatan. Apa perbedaan program partai yang satu dengan partai yang lain tidak pernah mengemuka dengan jelas.
Jangan-jangan partai-partai tersebut sesungguhnya tidak punya program.
Konspirasi pengasingan rakyat
Mereka hanya sibuk berebut jabatan-jabatan politik, baik di
birokrasi pemerintahan, lembaga judicatif, dan atau khususnya di parlemen.
Dengan segala eksistensinya, partai-partai ini berupaya supaya seluruh kader-kadernya,
mendapat jabatan, posisi atau kedudukan
di pemerintahan, dan lain-lain lembaga kemasyarakatan.
Akan tetapi karena landasannya
rapuh, dapat dibayangkan bahwa sosok-sosok (jebolan partai) ini tidak akan
profesional dalam jabatan-jabatan yang diembannya. Kehadiran mereka (di institusi-institusi tersebut),
nyaris tanpa keahlian yang dibutuhkan di lembaga tersebut. Tidak saja dari
keahlian-keahlian teknis, terutama adalah dari segi manajerial dan kepemimpinan
yang bias sama sekali.
Ujung-ujungnya sebagaimana di tulis Pramono Anung pada
disertasinya, mereka-mereka itu pada akhirnya bukan pelayan-pengabdi masyarakat.
Mereka hanya cari kerja, cari uang, dan lain-lain kepentingan pribadi, kelompok
atau partainya.
Konstalasi demikian
kasat mata (terutama) di level lembaga-lembaga pemerintahan tingkat II, seperti
Bupati/Walikota, dan khususnya DPRD-DPRD tingkat Kabupaten dan Kota.
Menurut
catatan Kementerian Dalam Negeri, sekitar 70 persen Bupati/Walikota terlibat
korupsi. Begitu pula anggota-anggota DPRDnya setali tiga uang melakukan hal
yang sama. Kalau Bupati/Walikota sendirian, sebaliknya anggota-anggota DPRD
melakukannya secara berjamaah (meminjam istilah Amin Rais). Contoh atau
ilustrasinya sudah banyak kita saksikan sejak pemilu pertama era reformasi
(1999). DPRD-DPRD era ini hampir semua bermasalah, yakni terlibat penggarongan
uang rakyat.
Meski dalam perjalannya ada perbaikan UU Pemilu, penggarongan
uang rakyat ini tak pernah berkurang. Malah
sebaliknya semakin “sistemik, terstrukur dan masif”. Tidak saja melalui
modus-modus yang sudah lazim, seperti minta fee dari persetujuan setiap
anggaran (APBD) setiap tahun, jauh lebih gila lagi adalah, mereka pun ikut
minta jatah proyek yang di anggarkan/tender/lelang oleh birokrasi. Mereka
banyak yang menjadi proyektor dari proyek-proyek pemerintah.
Tidak cukup di situ, sebagaimana yang terjadi pada kasus DKI
Jaya, anggota-anggota DPRD-nya terlibat penggelembungkan anggaran (APBD). Yang
seharusnya Rp X T, mereka mark up/gelembungkan
sebesar Rp 12,1 T. Untuk apa? , untuk apa lagi kalau bukan untuk cincay-cincay.
Konspirasi yang sudah lama (kayaknya) di DKI dan mungkin juga daerah-daerah
lain.
Begitu pula (masih dalam kasus DKI Jaya) kasus fee reaklamasi
pantai-pantai Jakarta. Gubernur, Ahok minta fee 15 persen dari pengembang.
Uniknya DPRD hanya minta 5 persen. Ada apa?. Meskipun belum ada faktanya, orang
sudah dapat menduga, bahwa anggota-anggota DPRD tersebut bermain mata dengan pengembang. Mereka bermain untuk dapat uang
untuk tujuan-tujuan sempit mereka.
Analog dengan pembuatan Peraturan-Peraturan Daerah (Perda).
Banyak Perda itu telah di pesan pihak
luar. Khususnya pesanan para pemilik-pemilik kapital, supaya dapat untung besar
dari proyek-proyeknya. Mereka (para pemodal tersebut) menyuap anggota-anggota
DPRD supaya Perdanya mulus untuk kepentingan proyeknya, bukan untuk masyarakat
yang diwakilinya.
Kegagalan DPRD
Modus-modus demikians masih dapat dinarasikan sekian panjang
lagi, namun untuk tujuan penulisan ini sebagaimana judulnya “Kegagalan DPRD
Memaknai Jati Dirinya” dianggap sudah memadai. DPRD dominan, kalau bukan
seluruhnya nyaris tidak mewakili rakyat atau konstituen pemilihnya. Fungsi
mereka sebagai legislator (pembuat UU/Perda), pengawas pemerintah/eksekutif/birokrasi,
pemberi persetujuan akan anggaran/budgeting, plus hak-haknya, seperti hak
inisiatif, interpelasi, dan angket hampir tak pernah dipraktekkan.
Draft-konsep atau rancangan Peraturan Daerah (Perda) sebagai
landasan untuk melaksanakan program-program pemerintahan daerah, hingga detik
ini masih datang dari pihak Bupati/Walikota. Belum ada yang datang atas
inisiatif DPRD. Apakah karena tidak cakap atau tak ada kemauan menjadi tanda
tanya besar. Kalau masalah kesanggupan kayaknya tidak mungkin, sebab mereka sudah
dilengkapi tenaga ahli. Atau jika
kekurangan bahan dapat meminta bantuan
LSM-LSM/NGO/Ornop yang ada di wilayahnya. Mengapa tidak mereka lakonkan?
Disinilah kebenaran adagium Alm Riswanda Imawan....kegagalan
memaknai jati dirinya. DPRD yang seharusnya penyeimbang Bupati/Walikota berubah
haluan menjadi sub ordinatnya. Mirip pada pemerintahan yang masih patrimonial
atau kampungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar