Selasa, 11 Juli 2017

MENUNGGU PEMIMPIN YANG BERWATAK NEGARAWAN DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BANGSA




MENUNGGU PEMIMPIN YANG BERWATAK NEGARAWAN DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BANGSA
Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan pada seminar politik aksi kebangsaan Departemen Dalam Negeri dan
 Pemuda Demokrat Indonesia, 31 Mei 2008, Gedung Pola

Pendahuluan
Akhir-akhir ini tema yang mengemuka dalam perpolitikan Indonesia adalah masalah kepemimpinan nasional. Kepemimpinan yang ada saat ini dianggap jauh dari layak, kalau tidak gagal. Presiden SBY yang terpilih demokratis, menjadi sorotan utama, karena dianggap tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana amanat konstitusi, tidak tegas, peragu, hanya menonjolkan citra, tebar pesona kesana-kemari (kata Megawati) dan lain-lain idom kepemimpinan yang tidak baik.
Idiom-idiom yang memojokkan ini muncul karena keadaan bangsa yang semakin hari bukan semakin baik sebagaimana diharapkan rakyat, malah sebaliknya semakin terpuruk. Krisis yang kita hadapi sejak tahun 1998 tidak ada tanda-tanda akan perbaikan, malah ada gejala akan semakin berat, dalam dan tidak tahu kapan akan berakhir..
Ahli filsafat Franz Magnis Suseno mengemukakan hal ini dalam suatu seminar di salah satu Universitas di Bandung belum lama ini. Lebih jelasnya beliau (Magnis) menyatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini cenderung mengalami “stagnasi”, terutama di bidang demokrasi dan keadilan sosial (K, 11 Mei 2008).
Seminggu sebelumnya masih di kota yang sama, Amin Rais menyatakan hal yang serupa, namun lebih keras dan langsung menohok masalah. Lebih jelas atau kongkritnya Amin menuduh bahwa pemerintah telah membawa rakyat sengsara, sebab tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyat (PR,5 mei 2008).
Tudingan-tudingan demikian semakin mengeras dengan keputusan pemerintah  menaikkan harga BBM sebesar 25-30%. Belum hilang ingatan kita, bagaimana dalam tahun 2005, dua kali kenaikan BBM, kini dinaikkan lagi. Janji-janji yang pernah diutarakan pasca kenaikan 2005 tidak dilaksanakan sama sekali. Berbagai umpatan pada akhirnya mencuat kepermukaan. Begitu pula demo-demo kecil sudah mulai muncul. Mengapa muncul itu semua? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini

Tiadanya Visi, Misi dan Program yang Kongkrit
Ditudingnya SBY dengan berbagai sebutan yang aneh-aneh akhir-akhir ini adalah karena beliau sesungguhnya tidak punya “visi, misi dan program yang kongkrit dan terukur”. Program yang ditawarkan ketika pemilu kecenderungannya hanyalah “formalitas, legalitas atau justifikasi” supaya dapat mengiikut pemilu. Singkatnya “program-program sekedar atau sekedar-sekedar program”. Hal ini dapat dibuktikan ketika membacanya dengan teliti dan seksama.. tidak rinci dan tidak memuat jalan keluar yang tepat.
Fakta pertama bahwa program itu tidak layak adalah ketika pengusaha-pengusaha Jepang menanyakan kepada tim sukses mereka bagaimana caranya agar investasi Jepang dapat berkembang di Indonesia. Kedua tim sukses presiden yang bertanding tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan pengusaha-pengusaha Jepang. Demikian pula ketika Kwik Kian Gie mengeritik program ekonominya yang tidak realistis, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi. SBY –JK menyatakan akan memperjuangkan pertumbuhan ekonomi 7% pertahun.  Kwik mempertanyakan kala itu  bagaimana mencapainya (what next?) ? Pakai dana dari mana?, berapa lama mencapainya? Tidak mendapat jawaban yang diinginkan.
Tentu masih banyak yang tidak kongkrit. Namun sekedar menunjukkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah yang pertama dan utama, mengingat langsung menghunjam kepada perut rakyat. Bagaimana memenuhi kebutuhan pokok rakyat itulah intisarinya, sebagaimana pesan konstitusi dan tudingan Amin Rais. Rakyat tidak perlu dan tidak butuh hal-hal, wacana-wacana atau teori yang indah-indah, yang megah-megah atau muluk-muluk, kalau kebutuhan sandang , papan dan pangannya tidak terpenuhi lebih dulu. Rakyat ataupun pengamat akan melihat/menilai konteks ini dulu, baru, program-program yang lain. Terbukti bahwa programnya memang tidak kongkit.
Dalam suatu negara yang demokratis, lazimnya yang dilihat atau dibahas konstituen adalah programnya. Program itu yang dilihat, masuk akal atau tidak, menguntungkan atau sebaliknya. Tidak melihat “figure atau sosok”, apakah itu cantik, ganteng, yang cakap, yang sopan, yang pincang, yang buta, dan sekian yang,yang lain.
            Dinegara-negara yang sudah dewasa demokrasinya, calon yang programnya kongkrit, jelas, masuk akal, itu yang akan dipilih, meski sosoknya jelek, pincang atau tidak melihat sekalipun Dinegeri ini memang masih jauh dari hal demikian. Masih melihat sosok atau figure. Asal sosoknya menarik itulah yang dipilih, meski itu pembual.
Pendapat-pendapat seperti itu, tidak monopoli penulis, melainkan pandangan-pandangan umum dari mereka yang berpikir jauh. Belum lama ini, meski dengan bahasa yang beda, namun substansi yang sama dikemukakn oleh Sukardi Rinakit (K, 6 mei 08) dan Soetandyo Wignyosoebroto (K, 12 mei 2008). Soekardi Rinakit mengatakan:…siapapun yang menjadi presiden Indonesia akan sangat sulit menata bangsa selama tidak ada “cetak biru dan arah pembangunan bangsa yang jelas”. Disisi lain Soetandyo menuturkan masalah Indonesia saat ini adalah tiadanya satu konsep besar yang menjadi panduan utama perjalanan bangsa.
Kalau ditilik lebih jauh lagi, antropolog, Koentjaraningrat pada awal 70-an telah menyatakan bahwa Indonesia belum pernah merumuskan masyarakat seperti apa sesungguhnya yang kita idam-idamkan. Kita menempuh suatu model pembangunan,namun bukan model yang sesuai dengan socio-cultural Indonesia. Model yang diterapkan hanya copy paste dari negara-negara lain. Bukan model, konsep atau…yang sesuai dengan keindonesiaan.
Singkatnya  program yang sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan Indonesia, belum pernah dirumuskan para elit hingga saat ini. Konsep yang ada hanya tiruan-tiruan belaka, copy paste-copy paste dari pihak, negara atau bangsa lain. Oleh karena itu dapat dibayangkan seperti apa jadinya ketika hendak diaplikasikan. Sudah pasti tidak akan cocok.

Dari Elit, Oleh Elit Dan Untuk Elit, Bukan Untuk Rakyat
Mengapa , kenapa pemimpin-pemimpin Bangsa ini tidak dapat membuat program atau kebijakan yang pro rakyat? Apakah mereka memang tidak sanggup? Tidak ada kemauan? Atau ?. jawabannya mungkin tidak hitam putih. Prof Kinoshita, penasehat ekonomi Jepang yang pernah diperbantukan pada Presiden Megawati, mengatakan bahwa bangsa Indonesia “tidak pernah mau berpikir panjang”. Orientasinya hanya duit. Pramoedia Ananta Toer dengan kalimat lain, namun substansi yang sama berpendapat bahwa orang Indonesia itu orientasinya hanya kekuasaan. Dari dulu hingga saat ini sejarah Indonesia hanyalah sejarah kekuasaan. Dari kekuasaan untuk kekuasaan. Bukan kekuasaan untuk kesejahteraan atau keadilan rakyat sebagaimana lazimnya disuatu negara yang demokratis.
 Koentjaraningrat yang mengutip pakar Jepang menyatakan bahwa manusia Indonesia itu lemah secara moral. Mungkin lebih ekstrim lagi adalah pendapat Mohtar Lubis, yang menyatakan bahwa orang Indonesia itu punya sifat, pertama, munafik, kedua, enggan bertanggung jawab, ketiga, bersifat feodal, keempat, percaya tahyul, kelima, wataknya lemah
Meskipun banyak yang menolak, anggapan-anggapan demikian kiranya mendapat tempat yang pas, apabila dihubungkan dengan kekinian bangsa ini. Program yang ada tidak menyentuh kehidupan rakyat. Rakyat cuma dibuat jadi alat untuk kepentingan elit, tokoh atau apa yang disebut pemimpin. Adagium ini dapat kita baca dari pendapat HS. Dillon baru baru ini. Ia menyatakan bahwa keterpurukan bangsa saat ini adalah akibat “ulah para elit” yang hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri. Mereka lupa dengan nasib rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepadanya. Selanjutnya beliau meyatakan…dalam berbagai krisis yang terjadi saat ini, pemerintah justru tidak membantu rakyat dan membiarkan rakyat mencari jalan penyelesaian sendiri (K, 6 Mei 2008)
Bagaimana akhirnya rakyat harus mengurusi sendiri segala kepentingannya tanpa bantuan pemerintah atau negara dapat dibaca dalam kutipan dibawah ini:
Rakyat tidak merasakan adanya perhatian pemerintah dalam kehidupan sehari-hari. Boleh dikata, dalam banyak hal, rakyat mengurus semuanya sendiri. Dalam masalah kebersihan lingkungan misalnya, rakyat bergotong royong atau membayar tukang sampah. Mereka menanggulangi sendiri, got-got mampat dan banjir yang melanda disekitar rumahnya dengan bantuan minim, bahkan tanpa bantuan pemerintah sama sekali. Ketika rakyat yang miskin harus menyekolahkan anaknya, sedikit sekali uluran tangan pemerintah untuk membantu meringankan beban para orang tua. Mereka kesana kemari mencari sekolah dengan biaya tinggi. Disaat ada anggota keluarga yang sakit, pemerintah juga tidak tampak. Rakyat berjuang sendiri mencari rumah sakit dan membeli obat dengan biaya sendiri. Tidak ada pemerintah yang mengurusi rakyat. Bisa dikata , tanpa pemerintahpun, rakyat mampu mengurusi hidupnya sendiri. Kini terbukti bangsa ini tetap survive meski tidak diurus oleh pemerintahnya (Amir Santoso, K, 22 Januari 2005)

Tulisan/kutipan yang ditulis Amir Santoso tahun 2005 ini mengkritik pemerintah yang sudah tujuh tahun reformasi tidak membuahkan apa-apa pada rakyat. Janji-janji yang diutarakan sebelum sampai kepentas kekuasaan tidak ada yang dipenuhi. Hakiki kekuasaan atau pemerintahan sama saja, kalau tidak lebih jelek dari kekuasaan/pemerintahan sebelumnya. Kalaupun ada perubahan dari era sebelumnya mungkin hanya dalam kebebasan berwacana. Pada era Orde Baru orang agak hati-hati berbicara kalau menyinggung kekuasaan, sebaliknya pada era reformasi tersedia kebebasan yang  bebas sebebas-bebasnya, hingga kebablasan tak punya arah. Kebebasan tersedia, akan tetapi perut rakyat semakin lapar. Bebas tapi lapar (di era reformasi), tidak bebas tapi kenyang (di era Soeharto). Mungkin seperti itulah paradigmanya.
Penekanan demikian dikemukakan mengingat fungsi pemerintah/negara dengan pejabat atau pemimpinnya adalah “mengurus - melayani”, bukan dilayani atau diurus.. kalau pejabat atau pemimpin dilayani, itu bukan negara yang ber-kedaulatan rakyat (demokrasi), melainkan kerajaan (patrimonial). Negara Indonesia sebagai tertulis dalam UUD nya adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang membentuk pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, mewujudkan kedaulatan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa…..(Pembukaan UUD 1945)

Parameter Kepemimpinan
Untuk mengetahui lebih lanjut apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemimpin, ada baiknya kita rujuk beberapa pengertian atau definisi, agar ukurannya jelas. Tidak sekedar pendapat pribadi, apalagi pendapat yang agitatif atau provokatif. Menurut George R. Terry (2006), kepemimpinan adalah hubungan dimana satu orang yakni pemimpin mempengaruhi fihak lain untuk bekerjasama secara sukarela dalam usaha mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang diinginkan oleh pemimpin tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah pemimpin bangsa ini sudah dapat melaksanakan sebagaimana diteorikan oleh George Terry tersebut?. Dalam artian lain dapatkah pemimpin itu mendorong bawahannya untuk bekerja secara tulus sehingga keinginan sang pemimpin itu dapat direalisasikan? Mungkin jawabannya sudah sama-sama kita ketahui. Paling tidak kalau kita hubungkan dengan pembahasan-pembahasan diatas. Akan tetapi supaya lebih jelas, akan kita buat matrik tentang beda pemimpin dan bukan pemimpin dibawah ini.

                 Seorang pemimpin
            Bukan seorang pemimpin
.memberikan inspirasi kepada para pengikutnya
Memaksa para pengikutnya
.menyelesaikan pekerjaan dan mengembangkan pengikutnya
Menyelesaikan pekerjaan dengan jalan mengurbankan para pengikutnya
.menunjukkan kepada pengikutnya bagaimana cara melaksanakan pekerjaan
Menanamkan perasaan takut pada pihak pengikut melalui ancaman-ancaman dan paksaan paksaan
.menerima tanggung jawab
Menghindari tanggung jawab
.Memperbaiki kegagalan dalam hal mencapai tujuan
Menyatakan bahwa kesalahan terletak pada orang lain apabila terjadi kegagalan dalam hal mencapai tujuan
Sumber:George R. Terry (2006)

Apakah persyaratan-persyaratan pemimpin sebagaimana dalam kolom pertama sudah dipenuhi para pemimpin kita, khususnya pemimpin tertinggi? Bukankah lebih dominan pada lajur kedua, yakni “bukan pemimpin”?, jawabannya pun mungkin para hadirin sudah mengetahuinya. Jika persyaratan-persyaratan seorang pemimpin sudah dipenuhi tidak mungkin kita terus menerus didera krisis yang berkepanjangan. Kenyatannya krisis terus berlanjut. Mengapa? Baiklah kita periksa secara rinci detail sifat-sifat pemimpin dalam kurung diatas.
Presiden apakah karena takut kepada parlemen/DPR atau karena ada sesuatu yang lain, lebih mengutamakan parlemen/DPR ketimbang rakyat yang memilihnya secara langsung. Ia begitu memperhatikan kepentingan parlemen/DPR daripada kepentingan rakyat. Inilah yang membuatnya terpaksa membuat kabinet pelangi, yakni menyertakan sosok-sosok partai menjadi menteri, meskipun itu mungkin tidak professional. Selain itu, sebagaimana disinnggung Amin Rais, kepemimpinan SBY lebih mengutamakan kepentingan pemodal, baik dalam maupun luar negeri (bukan rakyat).
Dalam hal inspirasi atau mendorong semangat, serta memotivisir bawahannya terdapat kendala yang cukup significan. Para pengamat atau mereka-mereka yang doyan akan politik, telah tahu bahwa hubungan antara Presiden dengan wakil presiden kurang harmonis. Ada yang mengatakan terjadi, konflik, rivalitas dan lain-lain hubungan yang tidak serasi. Wakil presiden dalam kiprahnya jauh lebih lincah dari presiden. Mungkin atas argumen seperti ini , ada yang menyatakan bahwa presiden sesungguhnya adalah JK, sedangkan SBY adalah Perdana Menteri.
Tidak saja dalam hubungan dengan wakilnya SBY bermasalah, termasuk dengan para menterinya. Menterinya kayaknya jalan sendiri-sendiri, tanpa tuntunan dari Presiden. Belum lagi dalam hubungan dengan partai-partai politik yang mencalonkannya. Ada kecenderungan, bahwa menteri yang berasal dari parpol, lebih loyal pada partainya, tinimbang kepada presiden.
Hubungan menteri-menteri dengan eselon-eselon dibawahnya, ditengarai juga terjadi hubungan yang tidak harmonis. Sewaktu Megawati jadi Presiden, suasana yang tidak sehat ini sudah mengemuka kepermukaan. Sampai-sampai Megawati mengatakan bahwa menteri bisa ia pegang, tapi tidak kebawahnya (ke eselon-eselon atau para dirjen dan sekjennya). Rupanya sifat-sifat yang sehat ini terbawa terus hingga saat ini
Tidak saja kepada dirjen, eselon-eselon yang lebih bawah, akan tetapi juga kepada wakil pemerintah di daerah, yakni para Gubernur dan Bupati/Walikota. Ada kecenderungan hubungan yang kurang sehat. Persoalannya semakin kasat mata, apabila dihubungkan dengan “otonomi daerah” yang hingga saat ini belum jelas. Dalam wewenang kekuasaan/politik/pemerintahan, daerah kayaknya sudaj diberi otonomi penuh. Namun dalam hal keuangan masih dipegang pusat. Ibarat ular yang kepalanya dilepas, akan tetapi ekornya diikat. Otonomi setengah hati. Ada kecenderungan bahwa pusat kelihatannya masih terus ingin berkuasa sebagaimana era sentralisasi dahulu. Sampai kapan ini berlangsung, belum ada yang bisa memprediksinya. Namun yang pasti suatu bukti bahwa program presiden dalam masalah ini tidak jelas. Jika program itu sudah kongkrit, jelas tidak akan seperti ini. Atau, sebagaimana dikatakan diawal tulisan ini, presiden terlalu banyak pertimbangan, kehati-hatian, sehingga tidak bisa tegas dan ragu terus.
Jika dalam hal birokrasi atau hierarkhi sekalipun sudah tidak bisa seiring sejalan, bagaimana kiprahnya menjalankan tugas atau fungsi?. Sudah pasti jauh dari harapan. Fungsi atau tugas yang dijalankan akan penuh dengan masalah. Tugas utama, seperti pemulihan ekonomi dan penegakan hukum tidak jelas arahnya mau dibawa kemana. Sistim ekonomi yang dijalankan masih seperti era-era sebelumnya, era Orde Baru, yang condong kepada kebijakan “n e o-l i b e r a l”. Tidak kepada pasal 33 UUD 1945, yang didasarkan kepada “kekeluargaan” atau meminjam istilah Sri Edi Swasono, ekonomi yang ditempuh bukan untuk manusia, tetapi manusia untuk ekonomi. Atau ekonomi di Indonesia, bukan ekonomi untuk Indonesia.
Dalam penegakan hukum, memang sudah ada geliat-geliatnya. Sayang seribu sayang, geliat-geliat ini kelihatannya masih dalam skala kecil, skala teri, belum skala besar/kakap. Yang ditangkap masih Gubernur kebawah dan kalangan-kalangan kecil lainnya. Hamzah Haz, berpendapat bahwa dalam pemberantasan korupsi, masih tebang pilih, belum menyeluruh. Ada kecenderungan penangkapan-penangkapan koruptor akhir-akhir hanyalah sekedar mengalihkan issu. Kalau memang pemerintah mau serius, tangkap itu yang raksasa-raksasa, seperti pengemplang BLBI. Sudah berapa besar korban yang mereka lahirkan akibat kredit macet, yang akhirnya harus ditalangi APBN setiap tahun. Begitu pula akan kasus Soeharto, mengapa tidak dituntaskan
Dalam hal tanggung jawab, kepemimpinan SBY masih sangat jauh. Sebagaimana disinggung Amin Rais, pemerintahan SBY tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Selain itu, dan ini yang paling tragis adalah setiap pemerintah/negara menemui masalah, jalan keluar yang ditempuh tidak pernah popular. Tidak punya uang, bebankan kepada rakyat, yakni dengan menaikkan harga-harga, seperti dua kali harga BBM naik pada tahun 2005.
Pemimpin yang bijak seharusnya harus bertanya, apakah kebijakannya itu menyengsarakan atau tidak. Jika menyengsarakan, jangan ditempuh. Para pakar melihat bahwa banyak metode yang dapat ditempuh, tanpa mengorbankan kehidupan rakyat. Kalau cara-cara konvensional ini yang ditempuh terus, menunjukkan pemerintah sangat-sangat tidak cerdas. Apa bedanya dengan rakyat jelata. Bukankah yang disebut pemimpin itu dapat menempuh yang tidak dapat dilakukan oleh awam?. Kalau sama saja dengan awam, itu bukan pemimpin.
Pemimpin harus bisa menciptakan “I n o v a s I”, demi kemajuan rakyatnya. Akan tetapi apapun dalihnya dengan dinaikkannya harga-harga, seperti BBM itu sudah pasti menyengsarakan rakyat. Argumen yang menyataan bahwa kenaikan harga BBM adalah meningkatkan kehidupan rakyat adalah argumen yang dicari-cari, dibenar-benarkan, demi kepentingan an-sich penguasa dan kalangan tertentu.

Pemimpin  Negarawan dan Kemandirian Bangsa
Kalau dicari-cari, kelemahan-kelemahan pemimpin saat ini cukup banyak, luas, yang tak akan ada ujung-ujungnya. Yang pasti, jelas dan kongkrit bahwa kita mengalami “krisis kepemimpinan”. Negara ini tidak memiliki pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan seluruh masyarakat. Mereka hanya memimpin untuk kepentingan segelintir, sebagian, sekedar kelompok, kroni dan kepentingan asing
Celakanya lagi (Selain itu), meminjam Amin Rais, pemimpin kita cenderung bermental “I n l a n d e r, mental mau dijajah, dijadikan budak” (PR, 5 Mei, 2008). Kongkrit sudah kita tidak punya pemimpin yang sungguh-sungguh pemimpin. Kita menunggu pemimpin yang sungguh-sungguh menakhodai negaranya secara “jujur, tulus, ikhlas dan maju”. Dengan kata lain kita butuh pemimpin yang negarawan. Dalam sejarah banyak kita kenal, seperti Franklin Delano Roosevelt, Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen, dan dinegeri ini tentunya adalah Soekarno.
Tidak hanya dalam sejarah, yang mentas saat inipun cukup banyak, seperti, Hugo Chavez, Evo Morales,  dan lain-lain. Evo Morales belum lama ini menjadi perhatian dunia karena beliau berani menasionalisasi semua asset yang terjual keasing karena saran Bank Dunia dan IMF decade 1980-an.
Akan tetapi meskipun Morales melakukan hal tersebut, beliau tetap membiarkan investor asing berusaha berdasarkan perjanjian baru, dengan bagi hasil yang lebih menguntungkan rakyatnya, rakyat Bolivia. Dalam artian lain nasionalisasi yang dilakukan Morales bukanlah nasionalisme buta, tetapi nasionalisme hak-hak dan kontrol atas pemanfaatan kekayaan alam (K, 5 Mei 2007).
Konteks, variable atau sinyalemen demikian dikemukakan mengingat inti persoalan bangsa ini adalah disitu, yakni hampir seluruh sumber daya alam Indonesia telah dikuasai asing. Kita menjadi tidak mandiri. Kita kembali terjajah secara ekonomi. Mengapa sudah sekian kali pergantian pemerintahan pasca reformasi, hal-hal demikian tidak pernah dituntaskan?. Apa kita harus membangkitrkan Bung Karno dari kuburnya yang berani menyatakan “t i d a k” kepada kapitalis internasional yang pernah merayu-rayunya?, dan mengatakan “go to hell with your aid” terhadap negara-negara yang menawarkan utang luar negeri?
Jawabannya kami kira jelas. Yah….kita membutuhkan sosok seperti Bung Karno. Terima kasih.

Jakarta, 11 Juni 2008










REFERENSI

Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Terry GP, 2006, Dasar-Dasar Manajemen, Ghalia, Jakarta

Surat Kabar:
Kompas, 6 Mei 2008
Kompas, 11 Mei 2008
Kompas, 12 Mei 2008
Kompas, 22 Januari 2008
Pikiran Rakyat, 5 Mei 2008








Tidak ada komentar:

Posting Komentar