MENUNGGU PEMIMPIN YANG BERWATAK NEGARAWAN
DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BANGSA
Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan
pada seminar politik aksi kebangsaan Departemen Dalam Negeri dan
Pemuda Demokrat Indonesia, 31 Mei 2008, Gedung
Pola
Pendahuluan
Akhir-akhir ini tema yang mengemuka dalam perpolitikan Indonesia
adalah masalah kepemimpinan nasional. Kepemimpinan yang ada saat ini dianggap
jauh dari layak, kalau tidak gagal. Presiden SBY yang terpilih demokratis,
menjadi sorotan utama, karena dianggap tidak dapat menjalankan fungsinya
sebagaimana amanat konstitusi, tidak tegas, peragu, hanya menonjolkan citra,
tebar pesona kesana-kemari (kata Megawati) dan lain-lain idom kepemimpinan yang
tidak baik.
Idiom-idiom yang memojokkan ini muncul karena keadaan
bangsa yang semakin hari bukan semakin baik sebagaimana diharapkan rakyat,
malah sebaliknya semakin terpuruk. Krisis yang kita hadapi sejak tahun 1998
tidak ada tanda-tanda akan perbaikan, malah ada gejala akan semakin berat,
dalam dan tidak tahu kapan akan berakhir..
Ahli filsafat Franz Magnis Suseno mengemukakan hal ini
dalam suatu seminar di salah satu Universitas di Bandung belum lama ini. Lebih jelasnya beliau
(Magnis) menyatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini cenderung
mengalami “stagnasi”, terutama di bidang demokrasi dan keadilan sosial (K, 11
Mei 2008).
Seminggu sebelumnya masih di kota yang sama, Amin Rais menyatakan hal yang
serupa, namun lebih keras dan langsung menohok masalah. Lebih jelas atau
kongkritnya Amin menuduh bahwa pemerintah telah membawa rakyat sengsara, sebab
tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyat (PR,5 mei 2008).
Tudingan-tudingan demikian semakin mengeras dengan keputusan
pemerintah menaikkan harga BBM sebesar
25-30%. Belum hilang ingatan kita, bagaimana dalam tahun 2005, dua kali
kenaikan BBM, kini dinaikkan lagi. Janji-janji yang pernah diutarakan pasca
kenaikan 2005 tidak dilaksanakan sama sekali. Berbagai umpatan pada akhirnya
mencuat kepermukaan. Begitu pula demo-demo kecil sudah mulai muncul. Mengapa
muncul itu semua? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini
Tiadanya Visi, Misi dan
Program yang Kongkrit
Ditudingnya SBY dengan berbagai sebutan yang aneh-aneh akhir-akhir
ini adalah karena beliau sesungguhnya tidak punya “visi, misi dan program yang
kongkrit dan terukur”. Program yang ditawarkan ketika pemilu kecenderungannya hanyalah
“formalitas, legalitas atau justifikasi” supaya dapat mengiikut pemilu. Singkatnya
“program-program sekedar atau sekedar-sekedar program”. Hal ini dapat
dibuktikan ketika membacanya dengan teliti dan seksama.. tidak rinci dan tidak
memuat jalan keluar yang tepat.
Fakta pertama bahwa program itu tidak layak adalah
ketika pengusaha-pengusaha Jepang menanyakan kepada tim sukses mereka bagaimana
caranya agar investasi Jepang dapat berkembang di Indonesia. Kedua tim sukses
presiden yang bertanding tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan
pengusaha-pengusaha Jepang. Demikian pula ketika Kwik Kian Gie mengeritik
program ekonominya yang tidak realistis, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi.
SBY –JK menyatakan akan memperjuangkan pertumbuhan ekonomi 7% pertahun. Kwik mempertanyakan kala itu bagaimana mencapainya (what next?) ? Pakai
dana dari mana?, berapa lama mencapainya? Tidak mendapat jawaban yang
diinginkan.
Tentu masih banyak yang tidak kongkrit. Namun sekedar
menunjukkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah yang pertama dan utama,
mengingat langsung menghunjam kepada perut rakyat. Bagaimana memenuhi kebutuhan
pokok rakyat itulah intisarinya, sebagaimana pesan konstitusi dan tudingan Amin
Rais. Rakyat tidak perlu dan tidak butuh hal-hal, wacana-wacana atau teori yang
indah-indah, yang megah-megah atau muluk-muluk, kalau kebutuhan sandang , papan
dan pangannya tidak terpenuhi lebih dulu. Rakyat ataupun pengamat akan
melihat/menilai konteks ini dulu, baru, program-program yang lain. Terbukti
bahwa programnya memang tidak kongkit.
Dalam suatu negara yang demokratis, lazimnya yang
dilihat atau dibahas konstituen adalah programnya. Program itu yang dilihat,
masuk akal atau tidak, menguntungkan atau sebaliknya. Tidak melihat “figure
atau sosok”, apakah itu cantik, ganteng, yang cakap, yang sopan, yang pincang,
yang buta, dan sekian yang,yang lain.
Dinegara-negara yang sudah dewasa demokrasinya, calon yang
programnya kongkrit, jelas, masuk akal, itu yang akan dipilih, meski sosoknya
jelek, pincang atau tidak melihat sekalipun Dinegeri ini memang masih jauh dari
hal demikian. Masih melihat sosok atau figure. Asal sosoknya menarik itulah
yang dipilih, meski itu pembual.
Pendapat-pendapat seperti itu, tidak monopoli penulis,
melainkan pandangan-pandangan umum dari mereka yang berpikir jauh. Belum lama
ini, meski dengan bahasa yang beda, namun substansi yang sama dikemukakn oleh
Sukardi Rinakit (K, 6 mei 08) dan Soetandyo Wignyosoebroto (K, 12 mei 2008).
Soekardi Rinakit mengatakan:…siapapun yang menjadi presiden Indonesia akan sangat sulit menata
bangsa selama tidak ada “cetak biru dan arah pembangunan bangsa yang jelas”.
Disisi lain Soetandyo menuturkan masalah Indonesia saat ini adalah tiadanya
satu konsep besar yang menjadi panduan utama perjalanan bangsa.
Kalau ditilik lebih jauh lagi, antropolog,
Koentjaraningrat pada awal 70-an telah menyatakan bahwa Indonesia belum pernah merumuskan
masyarakat seperti apa sesungguhnya yang kita idam-idamkan. Kita menempuh suatu
model pembangunan,namun bukan model yang sesuai dengan socio-cultural Indonesia.
Model yang diterapkan hanya copy paste dari negara-negara lain. Bukan model,
konsep atau…yang sesuai dengan keindonesiaan.
Singkatnya
program yang sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan Indonesia, belum pernah dirumuskan
para elit hingga saat ini. Konsep yang ada hanya tiruan-tiruan belaka, copy
paste-copy paste dari pihak, negara atau bangsa lain. Oleh karena itu dapat
dibayangkan seperti apa jadinya ketika hendak diaplikasikan. Sudah pasti tidak
akan cocok.
Dari Elit, Oleh Elit Dan
Untuk Elit, Bukan Untuk Rakyat
Mengapa , kenapa pemimpin-pemimpin Bangsa ini tidak
dapat membuat program atau kebijakan yang pro rakyat? Apakah mereka memang
tidak sanggup? Tidak ada kemauan? Atau ?. jawabannya mungkin tidak hitam putih.
Prof Kinoshita, penasehat ekonomi Jepang yang pernah diperbantukan pada
Presiden Megawati, mengatakan bahwa bangsa Indonesia “tidak pernah mau
berpikir panjang”. Orientasinya hanya duit. Pramoedia Ananta Toer dengan
kalimat lain, namun substansi yang sama berpendapat bahwa orang Indonesia
itu orientasinya hanya kekuasaan. Dari dulu hingga saat ini sejarah Indonesia
hanyalah sejarah kekuasaan. Dari kekuasaan untuk kekuasaan. Bukan kekuasaan
untuk kesejahteraan atau keadilan rakyat sebagaimana lazimnya disuatu negara
yang demokratis.
Koentjaraningrat
yang mengutip pakar Jepang menyatakan bahwa manusia Indonesia itu lemah secara moral.
Mungkin lebih ekstrim lagi adalah pendapat Mohtar Lubis, yang menyatakan bahwa
orang Indonesia itu punya sifat, pertama, munafik, kedua, enggan bertanggung
jawab, ketiga, bersifat feodal, keempat, percaya tahyul, kelima, wataknya lemah
Meskipun banyak yang menolak, anggapan-anggapan demikian
kiranya mendapat tempat yang pas, apabila dihubungkan dengan kekinian bangsa
ini. Program yang ada tidak menyentuh kehidupan rakyat. Rakyat cuma dibuat jadi
alat untuk kepentingan elit, tokoh atau apa yang disebut pemimpin. Adagium ini
dapat kita baca dari pendapat HS. Dillon baru baru ini. Ia menyatakan bahwa
keterpurukan bangsa saat ini adalah akibat “ulah para elit” yang hanya sibuk
dengan kepentingannya sendiri. Mereka lupa dengan nasib rakyat yang telah
memberikan kepercayaan kepadanya. Selanjutnya beliau meyatakan…dalam berbagai
krisis yang terjadi saat ini, pemerintah justru tidak membantu rakyat dan
membiarkan rakyat mencari jalan penyelesaian sendiri (K, 6 Mei 2008)
Bagaimana akhirnya rakyat harus mengurusi sendiri segala
kepentingannya tanpa bantuan pemerintah atau negara dapat dibaca dalam kutipan
dibawah ini:
Rakyat tidak merasakan adanya perhatian pemerintah dalam kehidupan
sehari-hari. Boleh dikata, dalam banyak hal, rakyat mengurus semuanya sendiri.
Dalam masalah kebersihan lingkungan misalnya, rakyat bergotong royong atau
membayar tukang sampah. Mereka menanggulangi sendiri, got-got mampat dan banjir
yang melanda disekitar rumahnya dengan bantuan minim, bahkan tanpa bantuan
pemerintah sama sekali. Ketika rakyat yang miskin harus menyekolahkan anaknya,
sedikit sekali uluran tangan pemerintah untuk membantu meringankan beban para
orang tua. Mereka kesana kemari mencari sekolah dengan biaya tinggi. Disaat ada
anggota keluarga yang sakit, pemerintah juga tidak tampak. Rakyat berjuang
sendiri mencari rumah sakit dan membeli obat dengan biaya sendiri. Tidak ada
pemerintah yang mengurusi rakyat. Bisa dikata , tanpa pemerintahpun, rakyat
mampu mengurusi hidupnya sendiri. Kini terbukti bangsa ini tetap survive meski
tidak diurus oleh pemerintahnya (Amir Santoso, K, 22 Januari 2005)
Tulisan/kutipan yang ditulis Amir Santoso tahun 2005 ini
mengkritik pemerintah yang sudah tujuh tahun reformasi tidak membuahkan apa-apa
pada rakyat. Janji-janji yang diutarakan sebelum sampai kepentas kekuasaan
tidak ada yang dipenuhi. Hakiki kekuasaan atau pemerintahan sama saja, kalau
tidak lebih jelek dari kekuasaan/pemerintahan sebelumnya. Kalaupun ada
perubahan dari era sebelumnya mungkin hanya dalam kebebasan berwacana. Pada era
Orde Baru orang agak hati-hati berbicara kalau menyinggung kekuasaan,
sebaliknya pada era reformasi tersedia kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya, hingga kebablasan tak
punya arah. Kebebasan tersedia, akan tetapi perut rakyat semakin lapar. Bebas
tapi lapar (di era reformasi), tidak bebas tapi kenyang (di era Soeharto).
Mungkin seperti itulah paradigmanya.
Penekanan demikian dikemukakan mengingat fungsi
pemerintah/negara dengan pejabat atau pemimpinnya adalah “mengurus - melayani”,
bukan dilayani atau diurus.. kalau pejabat atau pemimpin dilayani, itu bukan
negara yang ber-kedaulatan rakyat (demokrasi), melainkan kerajaan
(patrimonial). Negara Indonesia
sebagai tertulis dalam UUD nya adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang
membentuk pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah,
mewujudkan kedaulatan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa…..(Pembukaan UUD
1945)
Parameter Kepemimpinan
Untuk mengetahui lebih lanjut apa sebenarnya yang
dimaksud dengan pemimpin, ada baiknya kita rujuk beberapa pengertian atau
definisi, agar ukurannya jelas. Tidak sekedar pendapat pribadi, apalagi
pendapat yang agitatif atau provokatif. Menurut George R. Terry (2006), kepemimpinan adalah hubungan dimana satu
orang yakni pemimpin mempengaruhi fihak lain untuk bekerjasama secara sukarela
dalam usaha mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang
diinginkan oleh pemimpin tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah pemimpin bangsa ini sudah
dapat melaksanakan sebagaimana diteorikan oleh George Terry tersebut?. Dalam
artian lain dapatkah pemimpin itu mendorong bawahannya untuk bekerja secara
tulus sehingga keinginan sang pemimpin itu dapat direalisasikan? Mungkin
jawabannya sudah sama-sama kita ketahui. Paling tidak kalau kita hubungkan
dengan pembahasan-pembahasan diatas. Akan tetapi supaya lebih jelas, akan kita
buat matrik tentang beda pemimpin dan bukan pemimpin dibawah ini.
Seorang pemimpin
|
Bukan seorang pemimpin
|
.memberikan inspirasi kepada para pengikutnya
|
Memaksa para pengikutnya
|
.menyelesaikan pekerjaan dan mengembangkan pengikutnya
|
Menyelesaikan pekerjaan dengan jalan mengurbankan para pengikutnya
|
.menunjukkan kepada pengikutnya bagaimana cara melaksanakan
pekerjaan
|
Menanamkan perasaan takut pada pihak pengikut melalui
ancaman-ancaman dan paksaan paksaan
|
.menerima tanggung jawab
|
Menghindari tanggung jawab
|
.Memperbaiki kegagalan dalam hal mencapai tujuan
|
Menyatakan bahwa kesalahan terletak pada orang lain apabila
terjadi kegagalan dalam hal mencapai tujuan
|
Sumber:George R. Terry (2006)
Apakah persyaratan-persyaratan pemimpin sebagaimana
dalam kolom pertama sudah dipenuhi para pemimpin kita, khususnya pemimpin
tertinggi? Bukankah lebih dominan pada lajur kedua, yakni “bukan pemimpin”?,
jawabannya pun mungkin para hadirin sudah mengetahuinya. Jika
persyaratan-persyaratan seorang pemimpin sudah dipenuhi tidak mungkin kita
terus menerus didera krisis yang berkepanjangan. Kenyatannya krisis terus
berlanjut. Mengapa? Baiklah kita periksa secara rinci detail sifat-sifat
pemimpin dalam kurung diatas.
Presiden apakah karena takut kepada parlemen/DPR atau
karena ada sesuatu yang lain, lebih mengutamakan parlemen/DPR ketimbang rakyat
yang memilihnya secara langsung. Ia begitu memperhatikan kepentingan
parlemen/DPR daripada kepentingan rakyat. Inilah yang membuatnya terpaksa
membuat kabinet pelangi, yakni menyertakan sosok-sosok partai menjadi menteri,
meskipun itu mungkin tidak professional. Selain itu, sebagaimana disinnggung
Amin Rais, kepemimpinan SBY lebih mengutamakan kepentingan pemodal, baik dalam
maupun luar negeri (bukan rakyat).
Dalam hal inspirasi atau mendorong semangat, serta
memotivisir bawahannya terdapat kendala yang cukup significan. Para pengamat atau mereka-mereka yang doyan akan politik,
telah tahu bahwa hubungan antara Presiden dengan wakil presiden kurang
harmonis. Ada
yang mengatakan terjadi, konflik, rivalitas dan lain-lain hubungan yang tidak
serasi. Wakil presiden dalam kiprahnya jauh lebih lincah dari presiden. Mungkin
atas argumen seperti ini , ada yang menyatakan bahwa presiden sesungguhnya
adalah JK, sedangkan SBY adalah Perdana Menteri.
Tidak saja dalam hubungan dengan wakilnya SBY
bermasalah, termasuk dengan para menterinya. Menterinya kayaknya jalan
sendiri-sendiri, tanpa tuntunan dari Presiden. Belum lagi dalam hubungan dengan
partai-partai politik yang mencalonkannya. Ada kecenderungan, bahwa menteri yang berasal
dari parpol, lebih loyal pada partainya, tinimbang kepada presiden.
Hubungan menteri-menteri dengan eselon-eselon
dibawahnya, ditengarai juga terjadi hubungan yang tidak harmonis. Sewaktu
Megawati jadi Presiden, suasana yang tidak sehat ini sudah mengemuka
kepermukaan. Sampai-sampai Megawati mengatakan bahwa menteri bisa ia pegang,
tapi tidak kebawahnya (ke eselon-eselon atau para dirjen dan sekjennya).
Rupanya sifat-sifat yang sehat ini terbawa terus hingga saat ini
Tidak saja kepada dirjen, eselon-eselon yang lebih
bawah, akan tetapi juga kepada wakil pemerintah di daerah, yakni para Gubernur
dan Bupati/Walikota. Ada
kecenderungan hubungan yang kurang sehat. Persoalannya semakin kasat mata,
apabila dihubungkan dengan “otonomi daerah” yang hingga saat ini belum jelas.
Dalam wewenang kekuasaan/politik/pemerintahan, daerah kayaknya sudaj diberi
otonomi penuh. Namun dalam hal keuangan masih dipegang pusat. Ibarat ular yang
kepalanya dilepas, akan tetapi ekornya diikat. Otonomi setengah hati. Ada kecenderungan bahwa
pusat kelihatannya masih terus ingin berkuasa sebagaimana era sentralisasi
dahulu. Sampai kapan ini berlangsung, belum ada yang bisa memprediksinya. Namun
yang pasti suatu bukti bahwa program presiden dalam masalah ini tidak jelas.
Jika program itu sudah kongkrit, jelas tidak akan seperti ini. Atau,
sebagaimana dikatakan diawal tulisan ini, presiden terlalu banyak pertimbangan,
kehati-hatian, sehingga tidak bisa tegas dan ragu terus.
Jika dalam hal birokrasi atau hierarkhi sekalipun sudah
tidak bisa seiring sejalan, bagaimana kiprahnya menjalankan tugas atau fungsi?.
Sudah pasti jauh dari harapan. Fungsi atau tugas yang dijalankan akan penuh
dengan masalah. Tugas utama, seperti pemulihan ekonomi dan penegakan hukum
tidak jelas arahnya mau dibawa kemana. Sistim ekonomi yang dijalankan masih
seperti era-era sebelumnya, era Orde Baru, yang condong kepada kebijakan “n e o-l
i b e r a l”. Tidak kepada pasal 33 UUD 1945, yang didasarkan kepada “kekeluargaan”
atau meminjam istilah Sri Edi Swasono, ekonomi yang ditempuh bukan untuk
manusia, tetapi manusia untuk ekonomi. Atau ekonomi di Indonesia, bukan ekonomi untuk Indonesia.
Dalam penegakan hukum, memang sudah ada
geliat-geliatnya. Sayang seribu sayang, geliat-geliat ini kelihatannya masih
dalam skala kecil, skala teri, belum skala besar/kakap. Yang ditangkap masih
Gubernur kebawah dan kalangan-kalangan kecil lainnya. Hamzah Haz, berpendapat
bahwa dalam pemberantasan korupsi, masih tebang pilih, belum menyeluruh. Ada kecenderungan
penangkapan-penangkapan koruptor akhir-akhir hanyalah sekedar mengalihkan issu.
Kalau memang pemerintah mau serius, tangkap itu yang raksasa-raksasa, seperti
pengemplang BLBI. Sudah berapa besar korban yang mereka lahirkan akibat kredit
macet, yang akhirnya harus ditalangi APBN setiap tahun. Begitu pula akan kasus
Soeharto, mengapa tidak dituntaskan
Dalam hal tanggung jawab, kepemimpinan SBY masih sangat
jauh. Sebagaimana disinggung Amin Rais, pemerintahan SBY tidak bisa memenuhi
kebutuhan pokok rakyat. Selain itu, dan ini yang paling tragis adalah setiap
pemerintah/negara menemui masalah, jalan keluar yang ditempuh tidak pernah popular.
Tidak punya uang, bebankan kepada rakyat, yakni dengan menaikkan harga-harga,
seperti dua kali harga BBM naik pada tahun 2005.
Pemimpin yang bijak seharusnya harus bertanya, apakah
kebijakannya itu menyengsarakan atau tidak. Jika menyengsarakan, jangan
ditempuh. Para pakar melihat bahwa banyak
metode yang dapat ditempuh, tanpa mengorbankan kehidupan rakyat. Kalau
cara-cara konvensional ini yang ditempuh terus, menunjukkan pemerintah
sangat-sangat tidak cerdas. Apa bedanya dengan rakyat jelata. Bukankah yang
disebut pemimpin itu dapat menempuh yang tidak dapat dilakukan oleh awam?.
Kalau sama saja dengan awam, itu bukan pemimpin.
Pemimpin harus bisa menciptakan “I n o v a s I”, demi
kemajuan rakyatnya. Akan tetapi apapun dalihnya dengan dinaikkannya harga-harga,
seperti BBM itu sudah pasti menyengsarakan rakyat. Argumen yang menyataan bahwa
kenaikan harga BBM adalah meningkatkan kehidupan rakyat adalah argumen yang
dicari-cari, dibenar-benarkan, demi kepentingan an-sich penguasa dan kalangan
tertentu.
Pemimpin Negarawan dan Kemandirian Bangsa
Kalau dicari-cari, kelemahan-kelemahan pemimpin saat ini
cukup banyak, luas, yang tak akan ada ujung-ujungnya. Yang pasti, jelas dan
kongkrit bahwa kita mengalami “krisis kepemimpinan”. Negara ini tidak memiliki
pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Mereka hanya memimpin untuk kepentingan segelintir, sebagian, sekedar kelompok,
kroni dan kepentingan asing
Celakanya lagi (Selain itu), meminjam Amin Rais,
pemimpin kita cenderung bermental “I n l a
n d e r, mental mau dijajah, dijadikan budak” (PR, 5 Mei, 2008). Kongkrit
sudah kita tidak punya pemimpin yang sungguh-sungguh pemimpin. Kita menunggu
pemimpin yang sungguh-sungguh menakhodai negaranya secara “jujur, tulus, ikhlas
dan maju”. Dengan kata lain kita butuh pemimpin yang negarawan. Dalam sejarah
banyak kita kenal, seperti Franklin Delano Roosevelt, Mahatma Gandhi, Sun Yat
Sen, dan dinegeri ini tentunya adalah Soekarno.
Tidak hanya dalam sejarah, yang mentas saat inipun cukup
banyak, seperti, Hugo Chavez, Evo Morales, dan lain-lain. Evo Morales belum lama ini
menjadi perhatian dunia karena beliau berani menasionalisasi semua asset yang
terjual keasing karena saran Bank Dunia dan IMF decade 1980-an.
Akan tetapi meskipun Morales melakukan hal tersebut,
beliau tetap membiarkan investor asing berusaha berdasarkan perjanjian baru,
dengan bagi hasil yang lebih menguntungkan rakyatnya, rakyat Bolivia. Dalam artian lain
nasionalisasi yang dilakukan Morales bukanlah nasionalisme buta, tetapi
nasionalisme hak-hak dan kontrol atas pemanfaatan kekayaan alam (K, 5 Mei
2007).
Konteks, variable atau sinyalemen demikian dikemukakan
mengingat inti persoalan bangsa ini adalah disitu, yakni hampir seluruh sumber
daya alam Indonesia
telah dikuasai asing. Kita menjadi tidak mandiri. Kita kembali terjajah secara
ekonomi. Mengapa sudah sekian kali pergantian pemerintahan pasca reformasi,
hal-hal demikian tidak pernah dituntaskan?. Apa kita harus membangkitrkan Bung
Karno dari kuburnya yang berani menyatakan “t
i d a k” kepada kapitalis internasional yang pernah merayu-rayunya?, dan
mengatakan “go to hell with your aid”
terhadap negara-negara yang menawarkan utang luar negeri?
Jawabannya kami kira jelas. Yah….kita membutuhkan sosok
seperti Bung Karno. Terima kasih.
Jakarta, 11 Juni 2008
REFERENSI
Koentjaraningrat,
1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Terry GP, 2006,
Dasar-Dasar Manajemen, Ghalia, Jakarta
Surat Kabar:
Kompas, 6 Mei 2008
Kompas, 11 Mei
2008
Kompas, 12 Mei
2008
Kompas, 22 Januari
2008
Pikiran Rakyat, 5
Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar