Rabu, 19 Juli 2017

PENERAPAN EKONOMI PANCASILA HANYA MASALAH KOMITMEN




PENERAPAN EKONOMI PANCASILA HANYA MASALAH KOMITMEN
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan, Staf Ahli DPR RI 2000-2009
Published, Analisa, 19 Juli 2017

Harian ini, (Analisa 11 Juli 2017) menulis “Penerapan Ekonomi Pancasila Masih Sulit”. Tema yang menarik, menantang sekaligus menggelikan. Menarik karena masih ada ikhtiar merindukannya, meski mungkin hanya sebatas mythos. Menantang, karena kita seakan-akan dimotivasi mencari metode atau jalan keluar (way out) implementasinya. Menggelikan karena doyannya melembagakan kesalahan, kemunafikan, atau distorsi dalam kancah ekonomi-politik.
Sejak lama elit-elit pengambil keputusan negeri ini, telah teriak, berkhotbah, akan mewujudkan ekonomi Pancasila, namun selalu kebalikannya yang tampil. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang seharusnya menjadi paradigma-konsep-teori, dan operasional ekonomi Pancasila, nyaris tidak pernah dipraksiskan (Syafii Maarif,2017). Ia hanya tertulis dalam ideologi dan konstitusi, dan di dongeng-dongengkan dengan manis dan merdu ke masyarakat, namun yang dipraktekkan adalah antitesenya, yakni ekonomi pasar bebas.  
Ekonomi yang terjun tanpa parasut, dan didasarkan hanya kepada kedaulatan pasar, persaingan (competition), bukan kepada kedaulatan rakyat dan kerjasama (cooperation, Sri Edi Swasono, 2012) sebagaimana substansi dan hakiki Pancasila dengan sistim kekeluargaan-gotong royongnya. Sebagai landasan konstitusionalnya dapat dirujuk pada pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945.


Distorsi Ekonomi Pancasila
Dalam konteks demikian aktor atau pelaku ekonomi adalah negara (BUMN/BUMD/BUMDES) dan Koperasi (lihat penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen). Artinya yang menjadi motor dalam pembangunan ekonomi adalah negara dan koperasi. Sekali lagi adalah negara dan koperasi, tidak di luar itu. Namun oleh rezim Orde baru entah dapat wahyu dari mana aktornya ditambah satu lagi, yakni “swasta/individu/ partikelir”, menjadi “negara, koperasi, dan swasta”
Dalam prakteknya sudah dapat dipastikan, swasta akan jauh lebih unggul terhadap negara, apalagi koperasi. Swasta sebagaimana hakiki, historis dan konsep ekonominya mempunyai tiga keunggulan telak, yakni “modal (capital), teknologi, dan manajemen”. Dengan  kelebihannya ini, swasta akan menyodok negara ke pinggiran (pheri-pheri), dan koperasi ke marginalisasi (sakratul maut).
Kenyataan seperti itulah yang empirik-faktual dalam panggung ekonomi Orde baru. Kenyataan yang semakin runyam, sebab selain model pembangunan ekonominya an sich hanya didasarkan kepada “pertumbuhan” (bukan pemerataan/keadilan), mesin birokrasi pemerintalahannya pun menganak emaskan pihak swasta.
Pihak swasta mendapatkan akses istimewa terhadap akses kredit, kemudahan berusaha, dan lain-lain mekanisme/privilese ekonomi-politik. Sebaliknya dengan BUMN/BUMD, apalagi Koperasi mengalami kesukaran terhadap akses-akses tersebut. Dengan dalih efek penetesan kebawah (tricle down effect) , swasta diakselerasikan, atau diistimewakan supaya segera dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus perputaran ekonomi.
Sebaliknya dengan BUMN yang selanjutnya dianggap tidak ekonomis (?) kurang diberi perhatian. Bahkan semakin memprihatinkan karena dijadikan bancakan birokrasi. Analog dengan koperasi yang yang sebelumnya dinobatkan sebagai soko guru perekonomian mengalami apa yang disebut “ hidup segan mati tak mau”.  
Dengan demikian sempurnah sudah pembantaian/pembunuhan sistim ekonomi Pancasila yang ber aktor negara dan koperasi menjadi sistim ekonomi yang “liberal-kapitalis puriten”. Lebih puriten, bahkan mungkin super puriten dibandingkan dengan negara-negara penganutnya, karena melesat tanpa rambu-rambu dan syarat-syarat yang seharusnya mengiringinya.
 Pertumbuhan ekonomi yang seyogianya diikuti dengan pertumbuhan manufactur sebesar 10 persen, dan pembangunan/modernisasi lembaga-lembaga sosial handal yang setara dengan pertumbuhan ekonominya realitanya tidak berjalan sama sekali (lihat teori WW.Rostow).
Oleh karena itu, pertumbuhan yang konsisten meningkat tersebut, tidak memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, melainkan hanya dinikmati segelintir orang, seperti para konglomerat dan sedikit elit birokrat. Dalam bahasa ekonom Australia, HW.Arndt (1980) model ini disebut sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”, sebab kemiskinan, dan ketidakadilan yang diharapkan berkurang tidak bergeming sama sekali.
Demikianlah pembiasan pembangunan ekonomi yang dipraksiskan, yang populer dengan sebutan “developmentalis” yang menjadi olok-olokan banyak kalangan teoritisi dan pengamat pembangunan. Pola yang selanjutnya mendapat kritik dan revisi, seperti konsep neo ekonomi, basic need, people centered development dan sebagainya.
Pola yang sesungguhnya diadopsi juga oleh Indonesia dalam model pembangunannya, seperti pada Pelita II tahun 1978, yang mencantumkan pemerataan, (tepatnya delapan jalur pemerataan), sebagai paradigma pembangunannya. Namun sebagaimana realitanya, paradigma pemerataan ini hanya macan di atas kertas.
Pertumbuhan yang sebelumnya sudah penuh cacat, semakin amburadul, mengingat perkembangan rezim ekonomi global yang dimotori Ronald Reagan-Margareth Thatcher memaksakan Konsensus Washington awal 1980-an. Kebijakan yang dikenal sebagai neo liberal (neolib) atau fundamentalisme pasar (Stiglitz, 2001) ini, memaksa Indonesia yang sebelumnya masih mengadopsi model Keynesian harus murni tunduk kepada pasar.
Dengan jargon deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi, meski tak pernah diakui teknokrat Orde Baru, sistim perekonomian Indonesia semakin jauh meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Dengan segala pembenarannya para teknokrat tetap mengatakan bahwa perjalanan ekonomi tetap  on the track, walaupun pada akhirnya terjerumus pada krisis moneter pada medio 1997-an.

Hanya Komitmen
Ekses negatif konteks demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun untuk kepentingan artikel ini dianggap sudah memadai. Yang pasti sejak Bung Karno/Orde Lama yang konsisten menjalankan ekonomi Pancasila dilengserkan, pola, model, dan paradigma pembangunan ekonomi Indonesia telah out of context. Dengan kata lain telah keluar atau meninggalkan sistim ekonomi konstitusi/Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pasal 33 UUD 1945.
Anehnya setelah Orde Baru/Soeharto tumbang dan tampil era reformasi, masalah ini tidak tersentuh sama sekali. Reformasi yang berhembus kencang hanya merubah politik secara radikal hingga kebablasan, namun tidak akan sistim ekonomi. Celakanya lagi ketika IMF menanyakan kepada DPR hasil pemilu 1999, apakah mereka masih menerima pasar sebagai sistim ekonomi, tak satupun yang menolak, semua setuju....lalu?
Jawabannya cukup singkat;...ada nggak komitmen untuk itu. Merdeka

3 komentar:

  1. Benar lah tu .... yg penting komitmen...
    semua ini komitmen
    komitmen...

    BalasHapus
  2. Benar itu abangda.... Komitmen dan ketegasan dari pemerintah itulah sejatinya yang diharapkan masyarakat.

    Mohon izin utk ku share ya abangda...

    BalasHapus
  3. terima kasih kawan-kawan.....silahkan Bung Gira Zega

    BalasHapus