Sabtu, 21 Oktober 2017

OBRAL DOKTOR DI NSTITUSI SAKRAL




OBRAL  DOKTOR DI INSTITUSI SAKRAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat doktor agribisnis Unsri
Published, Waspada, 20 Okt 2017

Pemberian gelar doktor Honoraris Causa bidang Sosiologi Politik oleh Universitas Airlangga kepada Muhaimin Iskandar tanggal 3 Oktober yang lalu telah menuai kontroversi. Dosen-dosen yang tergabung dalam Ilmu Politik Universitas tersebut menolak pemberian gelar demikian sebab tidak sesuai dengan PP Mendikbud No 21 tahun 2013 dan Peraturan Rektor Unair No 22 tahun 2015.
Sebaliknya Pimpinan Universitas/Rektor dan promotornya (secara teknis) menyatakan bahwa pemberian itu telah melalui syarat-syarat, proses,dan ketentuan yang berlaku, yakni telah melalui forum untuk umum (FGD),  forum internal dosen, dan telah disetujui Senat Akademik (SA). Lalu mengapa justru dosen-dosen ilmu politik di lingkungannya sendiri menolaknya? Apa rupanya ukuran seorang doktor? Mengapa orang-orang berlomba mengejar gelar doktor?
Menurut PP Mendikbud No 21 tahun 2013, pasal 1 dan 2, disebutkan bahwa setiap Universitas berhak memberikan gelar doktor Kehormatan (HC) kepada setiap warga negara, apabila ia berkarya atau berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial budaya, atau berjasa dalam bidang kemanusiaan dan atau kemasyarakatan.
Perguruan tinggi Disfungsional?
Timbul pertanyaan, sebagaimana ditanya oleh dosen-dosen ilmu politik Unair; karya luar biasa apa rupanya yang telah ditelorkan oleh Muhaimin Iskandar bagi ilmu pengetahuan maupun  kemasyarakatan sehingga ia dikaruniai gelar doktor? Belum ada jawaban yang ilmiah, kongkrit, dan memuaskan.  Yang mengemuka adalah retorika, verbalism, dan euphemism, alias permainan kata-kata. Seakan-akan permainan kata-kata akan menyelesaikan persoalan.
Disisi lain, yang menguatkan bahwa gelar tersebut belum pantas diberikan adalah Peraturan Rektor Unair sendiri, yakni Peraturan No 22 Tahun 2015 yang antara lain menyebutkan bahwa calon doktor  telah memberikan kontribusi yang nyata bagi pengembangan Unair. Selidik punya selidik/sayang seribu sayang kontribusi tersebut juga belum ditemukan.
 Begitu pula tahapan-tahapan pemberiannya, seperti harus memiliki Naskah Akademik (NA, yang memuat apa, kenapa, dan mengapa gelrat tersebut diberikan), telah  melalui rapat Badan Pertimbangan Fakultas (BPF), dan melalui Tim Ad Hock , belum ditempuh/tidak diindahkan. Tiga tahapan vital yang tak boleh diabaikan. Kok bisa? Aneh tapi nyata
Oleh karena itu teranglah bahwa pemberian gelar doktor bagi Muhaimin Iskandar tidak memenuhi persyaratan. Apa dasar kelayakan prestasinya? Apa kontribusinya kepada bangsa dan negara, khususnya Unair? Apa karya besarnya...urai Kris Nugroho dan Airlangga Pribadi yang menjadi juru bicara penolakan gelar doktor tersebut.
Namun apapun dalihnya gelar itu tetap diberikan. Anjing menggonggong kafilah jalan terus seakan akan menjadi prinsip pemberi gelar/Rektor. Prinsip yang seharusnya tidak boleh mengemuka di perguran tinggi, mengingat perguruan tinggi adalah lembaga yang tujuan utamanya adalah mempertahankan kebenaran atau moral, alias sakral.
 Lembaga yang dalam setiap keputusannya selalu mempertimbangkan matang-matang “logika, etika, dan estetika” dari suatu out put ilmiah. Bukan pertimbangan-pertimbangan praktis-pragmatis, apalagi transaksional, sebagaimana yang berlaku di lembaga-lembaga lain.
Perguruan tinggi sebagaimana hakikinya yang khas, yakni pejuang kebenaran, harus berada di atas lembaga-lembaga lain. Ia harus menyuarakan suara-suara kenabiannya apabila ada masalah-masalah di lembaga lain, seperti di lembaga politik dan lembaga ekonomi. Begitu pula bila ada problematik ditengah-tengah masyarakat, perguruan tinggi harus memberi jalan keluar, sebagai wujud dari pengabdiannya (tridharmanya PT)
Akan tetapi orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita demikian kecenderungannya tinggal di atas kertas. Perguruan tinggi dalam praksisnya sudah banyak yang melenceng, distortif, kalau bukan disfungsional. Ia tidak lagi agent of change, inovator, atau lembaga ilmiah par exellence demi perkembangan peradaban kemanusiaan. Sebab hari-hari ini prakteknya  sudah terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang tidak ilmiah, seperti,”...pembuatan karya tulis pesanan, gelar akademik abal-abal, malpraktik pembelajaran, rekayasa teori dan data, demam jurnal internasional, kuliah instan, penjiplakan, dagangan seminar, issu profesor jalan pintas, hingga penipuan karya ilmiah secara internasional (Saifur Rohman, dalam Kompas, 12 Okt 2017)
Sungguh mengenaskan, bagaimana lembaga yang sakral berubah sebaliknya, namun itulah realitanya. Realita yang sesungguhnya sudah berlangsung lama dan sudah menjadi rahasia umum. Atau dapat juga dikatakan, mungkin sudah seusia perguruan tinggi itu sendiri, terhitung sejak kemunculannya pasca proklamasi.
Pergurun tinggi yang diharapkan menjadi pusat pendidikan keilmuan par-exellence demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan peradaban human dan demi perkembangan spirit ilmiah, jauh panggang dari api, karena mengabaikan natur dari ilmu pengetahuan itu sendiri (Daoed Yoesoef, K, 19 Feb 2014)
Obral Gelar
Natur ilmiah yang seharusnya konsisten ditegakkan, seperti membelajarkan aneka pengetahuan yang didasarkan kepada budaya nasional, dan bermental perjuangan kemerdekaan, nyaris luput dari muatan pengethuannya, sebab yang dipraksiskan masih dominan metodologi luar/asing/barat. Begitu pula natur-natur yang lain, seperti, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, kepedulian kepada karya orang lain, diskusi inter aktif, yang merupakan hakiki/substansi keilmiahan tidak pernah dijalankan secara penuh dan dinamis.
Konsekwensi selanjutnya dari situasi demikian sudah pasti hanya akan membuat perguruan tinggi/kampus sebagai ajang penyandang gelar kesarjanaan semata, tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat, dan lain-lain penyimpangan.
 Penyimpangan yang sejak dulu tak pernah diselesaikan akar masalahnya, melainkan terus dilembagakan hingga seperti bentuknya  sekarang ini, sebagaimana disitir Daoed Yoesoef, hanya institusi penyandang gelar. Bukan sebagaimana fungsi utamanya yakni sebagai lembaga ilmiah par-exellence yang membawa kemajuan bagi ilmu pengetahuan dan kemajuan bangsa dan peradabannya.
Oleh karena itu tidak perlu kaget, kalau yang berlangsung didalamnya sama saja, kalau tidak lebih buruk dari yang terjadi dilembaga-lembaga politik atau institusi ekonomi, yang lazimnya serba hipokrit, pragmatis dan transaksional. Dan ke depan kecenderungannya akan semakin membuncah, dimana tidak hanya kepada Muhaimin Iskandar gelar doktor diberikan, melainkan kepada siapa saja yang cincay-cincay dengannya. Menyedihkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar