OBRAL
DOKTOR DI INSTITUSI SAKRAL
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kandidat
doktor agribisnis Unsri
Published, Waspada, 20 Okt 2017
Pemberian gelar doktor
Honoraris Causa bidang Sosiologi Politik oleh Universitas Airlangga kepada
Muhaimin Iskandar tanggal 3 Oktober yang lalu telah menuai kontroversi. Dosen-dosen
yang tergabung dalam Ilmu Politik Universitas tersebut menolak pemberian gelar demikian
sebab tidak sesuai dengan PP Mendikbud No 21 tahun 2013 dan Peraturan Rektor
Unair No 22 tahun 2015.
Sebaliknya Pimpinan
Universitas/Rektor dan promotornya (secara teknis) menyatakan bahwa pemberian
itu telah melalui syarat-syarat, proses,dan ketentuan yang berlaku, yakni telah
melalui forum untuk umum (FGD), forum
internal dosen, dan telah disetujui Senat Akademik (SA). Lalu mengapa justru
dosen-dosen ilmu politik di lingkungannya sendiri menolaknya? Apa rupanya ukuran
seorang doktor? Mengapa orang-orang berlomba mengejar gelar doktor?
Menurut PP Mendikbud No
21 tahun 2013, pasal 1 dan 2, disebutkan bahwa setiap Universitas berhak
memberikan gelar doktor Kehormatan (HC) kepada setiap warga negara, apabila ia
berkarya atau berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial
budaya, atau berjasa dalam bidang kemanusiaan dan atau kemasyarakatan.
Perguruan
tinggi Disfungsional?
Timbul pertanyaan,
sebagaimana ditanya oleh dosen-dosen ilmu politik Unair; karya luar biasa apa rupanya
yang telah ditelorkan oleh Muhaimin Iskandar bagi ilmu pengetahuan maupun kemasyarakatan sehingga ia dikaruniai gelar
doktor? Belum ada jawaban yang ilmiah, kongkrit, dan memuaskan. Yang mengemuka adalah retorika, verbalism, dan
euphemism, alias permainan kata-kata. Seakan-akan permainan kata-kata akan
menyelesaikan persoalan.
Disisi lain, yang
menguatkan bahwa gelar tersebut belum pantas diberikan adalah Peraturan Rektor Unair
sendiri, yakni Peraturan No 22 Tahun 2015 yang antara lain menyebutkan bahwa
calon doktor telah memberikan kontribusi
yang nyata bagi pengembangan Unair. Selidik punya selidik/sayang seribu sayang
kontribusi tersebut juga belum ditemukan.
Begitu pula tahapan-tahapan pemberiannya,
seperti harus memiliki Naskah Akademik (NA, yang memuat apa, kenapa, dan
mengapa gelrat tersebut diberikan), telah melalui rapat Badan Pertimbangan Fakultas
(BPF), dan melalui Tim Ad Hock , belum ditempuh/tidak diindahkan. Tiga tahapan vital
yang tak boleh diabaikan. Kok bisa? Aneh tapi nyata
Oleh karena itu teranglah
bahwa pemberian gelar doktor bagi Muhaimin Iskandar tidak memenuhi persyaratan.
Apa dasar kelayakan prestasinya? Apa kontribusinya kepada bangsa dan negara,
khususnya Unair? Apa karya besarnya...urai Kris Nugroho dan Airlangga Pribadi
yang menjadi juru bicara penolakan gelar doktor tersebut.
Namun apapun dalihnya
gelar itu tetap diberikan. Anjing menggonggong kafilah jalan terus seakan akan menjadi
prinsip pemberi gelar/Rektor. Prinsip yang seharusnya tidak boleh mengemuka di
perguran tinggi, mengingat perguruan tinggi adalah lembaga yang tujuan utamanya
adalah mempertahankan kebenaran atau moral, alias sakral.
Lembaga yang dalam setiap keputusannya selalu
mempertimbangkan matang-matang “logika, etika, dan estetika” dari suatu out put
ilmiah. Bukan pertimbangan-pertimbangan praktis-pragmatis, apalagi
transaksional, sebagaimana yang berlaku di lembaga-lembaga lain.
Perguruan tinggi
sebagaimana hakikinya yang khas, yakni pejuang kebenaran, harus berada di atas
lembaga-lembaga lain. Ia harus menyuarakan suara-suara kenabiannya apabila ada
masalah-masalah di lembaga lain, seperti di lembaga politik dan lembaga
ekonomi. Begitu pula bila ada problematik ditengah-tengah masyarakat, perguruan
tinggi harus memberi jalan keluar, sebagai wujud dari pengabdiannya (tridharmanya
PT)
Akan tetapi orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita demikian kecenderungannya tinggal di atas kertas.
Perguruan tinggi dalam praksisnya sudah banyak yang melenceng, distortif, kalau
bukan disfungsional. Ia tidak lagi agent of change, inovator, atau lembaga
ilmiah par exellence demi perkembangan peradaban kemanusiaan. Sebab hari-hari
ini prakteknya sudah terjebak dalam perbuatan-perbuatan
yang tidak ilmiah, seperti,”...pembuatan karya tulis pesanan, gelar akademik
abal-abal, malpraktik pembelajaran, rekayasa teori dan data, demam jurnal
internasional, kuliah instan, penjiplakan, dagangan seminar, issu profesor jalan
pintas, hingga penipuan karya ilmiah secara internasional (Saifur Rohman, dalam
Kompas, 12 Okt 2017)
Sungguh mengenaskan, bagaimana
lembaga yang sakral berubah sebaliknya, namun itulah realitanya. Realita yang
sesungguhnya sudah berlangsung lama dan sudah menjadi rahasia umum. Atau dapat
juga dikatakan, mungkin sudah seusia perguruan tinggi itu sendiri, terhitung sejak
kemunculannya pasca proklamasi.
Pergurun tinggi yang
diharapkan menjadi pusat pendidikan keilmuan par-exellence demi kemajuan ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan peradaban human dan demi perkembangan spirit
ilmiah, jauh panggang dari api, karena mengabaikan natur dari ilmu pengetahuan
itu sendiri (Daoed Yoesoef, K, 19 Feb 2014)
Obral
Gelar
Natur ilmiah yang
seharusnya konsisten ditegakkan, seperti membelajarkan aneka pengetahuan yang
didasarkan kepada budaya nasional, dan bermental perjuangan kemerdekaan, nyaris
luput dari muatan pengethuannya, sebab yang dipraksiskan masih dominan
metodologi luar/asing/barat. Begitu pula natur-natur yang lain, seperti,
instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, kepedulian kepada karya
orang lain, diskusi inter aktif, yang merupakan hakiki/substansi keilmiahan
tidak pernah dijalankan secara penuh dan dinamis.
Konsekwensi selanjutnya
dari situasi demikian sudah pasti hanya akan membuat perguruan tinggi/kampus
sebagai ajang penyandang gelar kesarjanaan semata, tanpa spirit ilmiah, tidak
menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat, dan
lain-lain penyimpangan.
Penyimpangan yang sejak dulu tak pernah
diselesaikan akar masalahnya, melainkan terus dilembagakan hingga seperti
bentuknya sekarang ini, sebagaimana disitir
Daoed Yoesoef, hanya institusi penyandang gelar. Bukan sebagaimana fungsi utamanya
yakni sebagai lembaga ilmiah par-exellence yang membawa kemajuan bagi ilmu
pengetahuan dan kemajuan bangsa dan peradabannya.
Oleh karena itu tidak
perlu kaget, kalau yang berlangsung didalamnya sama saja, kalau tidak lebih
buruk dari yang terjadi dilembaga-lembaga politik atau institusi ekonomi, yang lazimnya
serba hipokrit, pragmatis dan transaksional. Dan ke depan kecenderungannya akan
semakin membuncah, dimana tidak hanya kepada Muhaimin Iskandar gelar doktor
diberikan, melainkan kepada siapa saja yang cincay-cincay dengannya.
Menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar