Minggu, 12 November 2017

DEGRADASI FUNGSI PERGURUAN TINGGI




DEGRADASI FUNGSI PERGURUAN TINGGI
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat doktor agribisnis Unsri
Pemberian gelar doktor Honoraris Causa bidang Sosiologi Politik oleh Universitas Airlangga kepada Muhaimin Iskandar tanggal 3 Oktober yang lalu telah menuai kontroversi. Dosen-dosen yang tergabung dalam Ilmu Politik Universitas tersebut menolak pemberian gelar demikian sebab tidak sesuai dengan PP Mendikbud No 21 tahun 2013 dan Peraturan Rektor Unair No 22 tahun 2015.
Sebaliknya Pimpinan Universitas/Rektor dan promotornya (secara teknis) menyatakan bahwa pemberian itu telah melalui syarat-syarat, proses,dan ketentuan yang berlaku, yakni telah melalui forum untuk umum (FGD),  forum internal dosen, dan telah disetujui Senat Akademik (SA). Lalu mengapa justru dosen-dosen ilmu politik di lingkungannya sendiri yang menolaknya? Apa rupanya ukuran seorang doktor? Mengapa orang berlomba-lomba mengejar gelar tersebut?
Menurut PP Mendikbud No 21 tahun 2013, pasal 1 dan 2, disebutkan bahwa setiap Universitas berhak memberikan gelar doktor Kehormatan (HC) kepada setiap warga negara, apabila ia berkarya atau berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial budaya, atau berjasa dalam bidang kemanusiaan dan atau kemasyarakatan.
Degradasi Fungsi
Kalau itu yang jadi ukuran, karya luar biasa apa rupanya yang telah ditelorkan oleh Muhaimin Iskandar bagi ilmu pengetahuan maupun  kemasyarakatan sehingga ia dikaruniai gelar doktor? Belum ada jawaban yang gamblang, kongkrit, dan ilmiah.  Yang mengemuka adalah retorika, verbalism, dan euphemism, alias permainan kata-kata. Seakan-akan permainan kata-kata akan menyelesaikan persoalan.
Disisi lain, yang menguatkan bahwa gelar tersebut belum pantas diberikan adalah Peraturan Rektor Unair sendiri, yakni Peraturan No 22 Tahun 2015 yang antara lain menyebutkan bahwa calon doktor  telah memberikan kontribusi yang nyata bagi pengembangan Unair. Selidik punya selidik/sayang seribu sayang kontribusi tersebut juga belum ditemukan.
 Begitu pula tahapan-tahapan pemberiannya, seperti harus memiliki Naskah Akademik (NA, yang memuat apa, kenapa, dan mengapa gelar tersebut diberikan), telah  melalui rapat Badan Pertimbangan Fakultas (BPF), dan melalui Tim Ad Hock , belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tiga tahapan vital yang tak boleh diabaikan. Bagaimana lembaga moral-sakral bertindak seperti itu? Aneh tapi nyata
Oleh karena itu teranglah bahwa pemberian gelar doktor bagi Muhaimin Iskandar tidak memenuhi persyaratan. Apa dasar kelayakan prestasinya? Apa kontribusinya kepada bangsa dan negara, khususnya Unair? Apa karya besarnya...urai Kris Nugroho dan Airlangga Pribadi yang menjadi juru bicara penolakan gelar tersebut.
Namun apapun dalihnya gelar itu sudah diberikan. Anjing menggonggong kafilah jalan terus seakan akan menjadi prinsip pemberi gelar/Rektor. Prinsip yang seharusnya tidak boleh mengemuka di perguran tinggi, mengingat lembaga ini adalah lembaga yang tujuan utamanya adalah mempertahankan kebenaran atau moral yang sakral.
 Lembaga yang dalam setiap keputusannya selalu mempertimbangkan matang-matang “logika, etika, dan estetika” dari suatu keluaran (out put) ilmiah. Bukan pertimbangan-pertimbangan di luar itu, seperti pertimbangan-pertimbangan praktis-pragmatis, apalagi transaksional, sebagaimana yang fenomenal di lembaga-lembaga lain.
Perguruan tinggi sebagaimana hakikinya yang khas, yakni pejuang kebenaran/kemaslahatan ummat, harus berada di atas lembaga-lembaga lain. Ia harus menyuarakan suara-suara kenabiannya apabila ada masalah-masalah di lembaga lain, seperti yang lazim terjadi di lembaga politik dan lembaga ekonomi. Begitu pula bila ada problematik ditengah-tengah masyarakat, perguruan tinggi harus memberi jalan keluar, sebagai wujud dari pengabdiannya (tridharmanya PT)
Sayang seribu sayang orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita demikian kecenderungannya tinggal sebatas kata-kata  indah yang tergores di atas kertas. Perguruan tinggi dalam praksisnya sudah banyak yang melenceng, distortif, kalau bukan disfungsional. Ia tidak lagi agent of change, inovator, atau lembaga ilmiah par exellence demi perkembangan peradaban kemanusiaan, sebab hari-hari ini prakteknya  sudah terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang tidak ilmiah, seperti,”...pembuatan karya tulis pesanan, gelar akademik abal-abal, malpraktik pembelajaran, rekayasa teori dan data, demam jurnal internasional, kuliah instan, penjiplakan, dagangan seminar, issu profesor jalan pintas, hingga penipuan karya ilmiah secara internasional (Saifur Rohman, dalam Kompas, 12 Okt 2017)
Betul-betul mengenaskan, bagaimana lembaga ilmiah nan sakral berubah sebaliknya, yakni menjadi institusi yang praktis, pragmatis, dan kemungkinan transaksional, sangat tak masuk akal, kalau tidak memalukan. Namun itulah realitanya, realita yang sesungguhnya sudah berlangsung lama, yakni sejak negeri ini pertama kali membentuk perguruan tinggi pasca proklamasi.
Perguruan tinggi yang pada awalnya dimaksudkan mengisi kemerdekaan, namun dalam perjalanannya bak panggang jauh dari api, sebab ilmu pengetahuan (teori, konsep, paradigma, dan sejenisnya) yang dipentaskan di dalamnya masih warisan kolonial. Warisan yang seharusnya lambat laun harus disesuaikan dengan budaya Indonesia, sebagaimana dititahkan Ki Hadjar Dewantoro, hingga hari ini kenyataannya tidak pernah kesampaian.
Metodologi, kurikulum, dan muatan,yang pada awalnya masih berwatak Belanda sentris, seharusnya hanyalah keadaan sementara. Keadaan yang secara step by step harus diganti karena prinsipnya yang cenderung kolonialis, dan tidak membebaskan (ibid Ki Hadjar Dewantara). Namun apa kemudian yang empirik? Malah sebaliknya melestarikan, dan mengangung-agungkan metodologi yang tak sesuai tersebut. Kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan  
Tidak cukup disitu, pasca jatuhnya Bung Karno, dimana Indonesia telah condong ke Amerika Serikat, metodologi ilmiahnya pun ikut terimbas kesana. Model-model ilmu pengetahuan yang sebelumnya terjerat konservatisme Belanda/Eropa, yang berbentuk paket, dirubah ke sistim yang bernama SKS yang sangat pragmatis-praktis dan berwatak liberal-kapitalistik. Model yang bentuknya sempurna hari-hari ini.
Lembaga Penjual Gelar
Jadi tidak berlebihan bila banyak kalangan yang menuding bahwa ilmu pengetahuan yang unggul, yang kita praksiskan adalah ilmu yang melayani kepentingan kapitalisme (Ivan Ilich, 1980). Bukan/tidak mengembangkan semangat belajar, menanamkan kecintaan kepada ilmu, atau mengajarkan keadilan. Mayoritas lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat – selembar bukti untuk mendapatkan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia. Ignas Kleden menyebutnya sebagai klerikalisasi (21 Juni 2017)
Oleh karena itu tidak perlu kaget, jika natur, tradisi atau proses ilmu pengetahuan sebagaimana sering dilesatkan Prof Dr Daoed Yoesoef (K, 19Feb 2014) tidak berlangsung disana. Ngapain capek-capek belajar, membaca, mereview, dan meringkas buku segerobak, diskusi inter aktif membahas problem-problemnya, publikasi pemikiran dan riset, dan lain-lain bentuk dan proses ilmiah, toh tidak banyak faedahnya.
Cukuplah penuhi formalistiknya. Soal substansi nantilah di luar, yang penting gelar apakah itu S1, S2, dan S3 tercapai. Jadilah perguruan tinggi hanya sekedar pabrik dan kumpulan penyandang gelar.

2 komentar:

  1. He, he, he, "Perguruan Tinggi", apanya yang "tinggi"? Kalau ilmunya yang tinggi pasti tulisan seperti yang Lae buat tidak akan keluar. Berarti yang "tinggi" adalah anunya, yang bukan ilmunya. Horas Lae!

    BalasHapus