DEGRADASI
FUNGSI PERGURUAN TINGGI
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kandidat
doktor agribisnis Unsri
Pemberian gelar doktor
Honoraris Causa bidang Sosiologi Politik oleh Universitas Airlangga kepada
Muhaimin Iskandar tanggal 3 Oktober yang lalu telah menuai kontroversi. Dosen-dosen
yang tergabung dalam Ilmu Politik Universitas tersebut menolak pemberian gelar demikian
sebab tidak sesuai dengan PP Mendikbud No 21 tahun 2013 dan Peraturan Rektor
Unair No 22 tahun 2015.
Sebaliknya Pimpinan
Universitas/Rektor dan promotornya (secara teknis) menyatakan bahwa pemberian
itu telah melalui syarat-syarat, proses,dan ketentuan yang berlaku, yakni telah
melalui forum untuk umum (FGD), forum
internal dosen, dan telah disetujui Senat Akademik (SA). Lalu mengapa justru
dosen-dosen ilmu politik di lingkungannya sendiri yang menolaknya? Apa rupanya ukuran
seorang doktor? Mengapa orang berlomba-lomba mengejar gelar tersebut?
Menurut PP Mendikbud No
21 tahun 2013, pasal 1 dan 2, disebutkan bahwa setiap Universitas berhak
memberikan gelar doktor Kehormatan (HC) kepada setiap warga negara, apabila ia
berkarya atau berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial
budaya, atau berjasa dalam bidang kemanusiaan dan atau kemasyarakatan.
Degradasi
Fungsi
Kalau itu yang jadi
ukuran, karya luar biasa apa rupanya yang telah ditelorkan oleh Muhaimin Iskandar
bagi ilmu pengetahuan maupun kemasyarakatan sehingga ia dikaruniai gelar
doktor? Belum ada jawaban yang gamblang, kongkrit, dan ilmiah. Yang mengemuka adalah retorika, verbalism, dan
euphemism, alias permainan kata-kata. Seakan-akan permainan kata-kata akan
menyelesaikan persoalan.
Disisi lain, yang
menguatkan bahwa gelar tersebut belum pantas diberikan adalah Peraturan Rektor Unair
sendiri, yakni Peraturan No 22 Tahun 2015 yang antara lain menyebutkan bahwa
calon doktor telah memberikan kontribusi
yang nyata bagi pengembangan Unair. Selidik punya selidik/sayang seribu sayang
kontribusi tersebut juga belum ditemukan.
Begitu pula tahapan-tahapan pemberiannya,
seperti harus memiliki Naskah Akademik (NA, yang memuat apa, kenapa, dan
mengapa gelar tersebut diberikan), telah melalui rapat Badan Pertimbangan Fakultas
(BPF), dan melalui Tim Ad Hock , belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tiga
tahapan vital yang tak boleh diabaikan. Bagaimana lembaga moral-sakral
bertindak seperti itu? Aneh tapi nyata
Oleh karena itu
teranglah bahwa pemberian gelar doktor bagi Muhaimin Iskandar tidak memenuhi
persyaratan. Apa dasar kelayakan prestasinya? Apa kontribusinya kepada bangsa
dan negara, khususnya Unair? Apa karya besarnya...urai Kris Nugroho dan
Airlangga Pribadi yang menjadi juru bicara penolakan gelar tersebut.
Namun apapun dalihnya
gelar itu sudah diberikan. Anjing menggonggong kafilah jalan terus seakan akan menjadi
prinsip pemberi gelar/Rektor. Prinsip yang seharusnya tidak boleh mengemuka di
perguran tinggi, mengingat lembaga ini adalah lembaga yang tujuan utamanya
adalah mempertahankan kebenaran atau moral yang sakral.
Lembaga yang dalam setiap keputusannya selalu
mempertimbangkan matang-matang “logika, etika, dan estetika” dari suatu keluaran
(out put) ilmiah. Bukan pertimbangan-pertimbangan
di luar itu, seperti pertimbangan-pertimbangan praktis-pragmatis, apalagi
transaksional, sebagaimana yang fenomenal di lembaga-lembaga lain.
Perguruan tinggi
sebagaimana hakikinya yang khas, yakni pejuang kebenaran/kemaslahatan ummat,
harus berada di atas lembaga-lembaga lain. Ia harus menyuarakan suara-suara
kenabiannya apabila ada masalah-masalah di lembaga lain, seperti yang lazim
terjadi di lembaga politik dan lembaga ekonomi. Begitu pula bila ada
problematik ditengah-tengah masyarakat, perguruan tinggi harus memberi jalan
keluar, sebagai wujud dari pengabdiannya (tridharmanya PT)
Sayang seribu sayang
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita demikian kecenderungannya tinggal sebatas
kata-kata indah yang tergores di atas
kertas. Perguruan tinggi dalam praksisnya sudah banyak yang melenceng,
distortif, kalau bukan disfungsional. Ia tidak lagi agent of change, inovator, atau lembaga ilmiah par exellence demi perkembangan peradaban kemanusiaan, sebab hari-hari
ini prakteknya sudah terjebak dalam perbuatan-perbuatan
yang tidak ilmiah, seperti,”...pembuatan
karya tulis pesanan, gelar akademik abal-abal, malpraktik pembelajaran,
rekayasa teori dan data, demam jurnal internasional, kuliah instan,
penjiplakan, dagangan seminar, issu profesor jalan pintas, hingga penipuan
karya ilmiah secara internasional (Saifur Rohman, dalam Kompas, 12 Okt
2017)
Betul-betul mengenaskan,
bagaimana lembaga ilmiah nan sakral berubah sebaliknya, yakni menjadi institusi
yang praktis, pragmatis, dan kemungkinan transaksional, sangat tak masuk akal,
kalau tidak memalukan. Namun itulah realitanya, realita yang sesungguhnya sudah
berlangsung lama, yakni sejak negeri ini pertama kali membentuk perguruan
tinggi pasca proklamasi.
Perguruan tinggi yang pada
awalnya dimaksudkan mengisi kemerdekaan, namun dalam perjalanannya bak panggang
jauh dari api, sebab ilmu pengetahuan (teori, konsep, paradigma, dan
sejenisnya) yang dipentaskan di dalamnya masih warisan kolonial. Warisan yang
seharusnya lambat laun harus disesuaikan dengan budaya Indonesia, sebagaimana
dititahkan Ki Hadjar Dewantoro, hingga hari ini kenyataannya tidak pernah
kesampaian.
Metodologi, kurikulum,
dan muatan,yang pada awalnya masih berwatak Belanda sentris, seharusnya
hanyalah keadaan sementara. Keadaan yang secara step by step harus diganti
karena prinsipnya yang cenderung kolonialis, dan tidak membebaskan (ibid Ki
Hadjar Dewantara). Namun apa kemudian yang empirik? Malah sebaliknya
melestarikan, dan mengangung-agungkan metodologi yang tak sesuai tersebut.
Kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan
Tidak cukup disitu,
pasca jatuhnya Bung Karno, dimana Indonesia telah condong ke Amerika Serikat,
metodologi ilmiahnya pun ikut terimbas kesana. Model-model ilmu pengetahuan
yang sebelumnya terjerat konservatisme Belanda/Eropa, yang berbentuk paket,
dirubah ke sistim yang bernama SKS yang sangat pragmatis-praktis dan berwatak
liberal-kapitalistik. Model yang bentuknya sempurna hari-hari ini.
Lembaga
Penjual Gelar
Jadi tidak berlebihan
bila banyak kalangan yang menuding bahwa ilmu pengetahuan yang unggul, yang kita
praksiskan adalah ilmu yang melayani kepentingan kapitalisme (Ivan Ilich, 1980).
Bukan/tidak mengembangkan semangat belajar, menanamkan kecintaan kepada ilmu,
atau mengajarkan keadilan. Mayoritas lebih menekankan pengajaran menurut
kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat – selembar bukti untuk
mendapatkan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja
yang tersedia. Ignas Kleden menyebutnya sebagai klerikalisasi (21 Juni 2017)
Oleh karena itu tidak
perlu kaget, jika natur, tradisi atau proses ilmu pengetahuan sebagaimana
sering dilesatkan Prof Dr Daoed Yoesoef (K, 19Feb 2014) tidak berlangsung
disana. Ngapain capek-capek belajar, membaca, mereview, dan meringkas buku
segerobak, diskusi inter aktif membahas problem-problemnya, publikasi pemikiran
dan riset, dan lain-lain bentuk dan proses ilmiah, toh tidak banyak faedahnya.
Cukuplah penuhi
formalistiknya. Soal substansi nantilah di luar, yang penting gelar apakah itu
S1, S2, dan S3 tercapai. Jadilah perguruan tinggi hanya sekedar pabrik dan kumpulan
penyandang gelar.
He, he, he, "Perguruan Tinggi", apanya yang "tinggi"? Kalau ilmunya yang tinggi pasti tulisan seperti yang Lae buat tidak akan keluar. Berarti yang "tinggi" adalah anunya, yang bukan ilmunya. Horas Lae!
BalasHapusi ma da....horas Lae
BalasHapus