Kamis, 16 November 2017

JOKOWI (SULIT) MERETAS KEMISKINAN





JOKOWI (SULIT) MERETAS KEMISKINAN
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan. Staf Ahli DPR RI 2000-2009
Published, Waspada, 11 September 2017
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sedikit berubah dari RAPBN-RAPBN sebelumnya. Meski masih dominan kepada belanja (pembangunan) infrastruktur fisik, namun anggaran subsidi dan bantuan sosial juga mengalami peningkatan pesat. Konteks ini dapat dilihat dari naiknya anggaran Kemensos sebesar 98 persen, yakni dari Rp 17, 2 T pada tahun 2017 menjadi Rp 34 T pada RAPBN 2018.
Anggaran demikian konon 80 persen diperuntukkan untuk perlindungan dan bantuan sosial, yakni untuk membantu keluarga miskin (yang sekarang namanya disebut Program Keluarga Harapan ,PKH) dan bantuan perumahan bagi keluarga miskin dipedesaan. Jumlah penerima PKH yang sebelumnya 6 juta keluarga naik menjadi10 juta keluarga. Masing-masing keluarga akan mendapat Rp 1,8 juta/tahun. Sedangkan keluarga miskin penerima bantuan perumahan adalah 7300 rumah tangga (naik dari sebelumnya 1000 rumah tangga)
Selain anggaran Kemensos yang naik significan tersebut, masih di dukung lagi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 62,4 T untuk pembangunan fisik dan Rp 123,5 T non fisik dari Kementerian lain. Anggaran fisik diperuntukkan untuk pembangunan pendidikan, sanitasi, kesehatan, air minum, irigasi/pertanian, perumahan dan lain-lain yang tekanannya (affirmasi) kepada daerah perbatasan, tertinggal, dan transmigrasi. Anggaran non fisik untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk 47,4 juta siswa, Tunjangan Profesi Guru (TPG) 1,2 juta guru, dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk 9.767 Puskesmas.
Apa artinya angka-angka demikian? Akankah meretas kemiskinan sebagaimana tujuan utamanya ? Tidakkah program-program tersebut secara substantif-hakiki sama saja dengan program-program pemerintahan sebelumnya, yakni masih bersifat amal-karitatif ? Tidakkah ada terobosan struktural nan reformatif? Dan sekian pertanyaan-pertanyaan lain yang menggelitik.
Kelemahan Klasik
Selain meningkatnya bantuan sosial tersebut, yang menjadi kekhususan/kebaruan program ini ketimbang program-program sebelumnya adalah metode-teknis nya yang semakin inovatif. Kalau sebelumnya diberi uang tunai/beras (raskin/rastra), kini dirubah menjadi sebaliknya/tidak tunai, melainkan dengan voucher. Untuk penerima PKH/KPM langsung diberikan ke rekening keluarga yang bersangkutan.
 Begitu pula dengan persyaratannya, tidak lagi hanya sebagai penerima yang pasif, namun telah dibebankan beberapa tugas/fungsi supaya mereka lebih aktif dan kreatif, seperti harus menyekolahkan anaknya, memberi vaksin dasar bagi setiap anak balita, dan membeli makanan yang bergizi
 Supaya lebih produktif meningkatkan status sosial-ekonominya, mereka didorong menjadi pemilik e-warung dan distributor bantuan pangan non tunai (BPNT) melalui badan usaha yang berprinsip koperasi, yakni  Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
Dengan kata lain metode-teknisnya sudah lebih “terukur, handal, dinamis, dan mengarah kepola-pola entrepreneurial” ketimbang program-program sebelumnya nan cenderung pasif. Apalagi dalam praksisnya mereka juga akan di dampingi para “fasilitator” yang dipersiapkan pemerintah, akan mendorong program tersebut lebih menjanjikan.
Para fasilitator yang sekarang populer dengan sebutan “pendamping”, yang sudah terlatih secara profesional-meritokratis diharapkan  akan menyertai mereka sehingga sesuai dengan tujuan utamanya, yakni mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Tidak lagi seperti sebelum-sebelumnya, lain direncanakan, lain dikerjakan. Lain di atas kertas, lain di lapangan.
Suatu niat agung (political - good will) dari pemerintahan Jokowi yang layak diapresiasi. Namun apakah persis seperti itu dalam prakteknya di tahun 2018, tentu masih penuh perdebatan. Dalam implementasi yang berlangsung selama ini masih penuh penyimpangan. Masih sering terlambat distribusinya, bahkan masih banyak salah sasaran, dan yang paling memilukan adalah masih kental dengan praksis-praksis korupsi.  
Contoh aktual yang masih hangat saat ini adalah penyimpangan dana desa. Dana yang seharusnya menjadi andalan/motor, benchmark, atau candra dimuka pengentasaan kemiskinan sebagai implementasi UU No 6 Tahun 2014 mengalami banyak distorsi. Selain programnya belum langsung menyentuh kehidupan masyarakat, karena mayoritas anggarannya masih untuk pengadaan infrastruktur fisik, jauh lebih miris lagi adalah dananya banyak di salah gunakan/korupsi.
Begitu pula dengan dana-dana bansos. Bukan rahasia lagi, sejak lama anggaran yang bersifat bantuan sosial menjadi bancakan empuk bagi koruptor dari pemerintahan pusat hingga daerah. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan membantu kalangan miskin, tanpa empathi dicuri para birokrat untuk memperkaya diri dan kliknya.
Di era otonomi daerah (Otda) modusnya dominan untuk kepentingan petahana melanggengkan status quonya, yakni dengan menggarongnya untuk kepentingan kampanye. Biaya pemilu/pilkada yang besar mendorong para petahana memanfaatkan segala celah mendapatkan uang, khususnya dari bansos yang persyaratan sebelumnya tidak begitu ketat
Perubahan Struktural
Ilustrasi penyimpangan demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi. Kasus IDT era Orde Baru, dan BLT, Raskin pada pemerintahan pasca reformasi adalah contoh-contoh/tragedi yang masih terang dalam ingatan. Betapa brengsek dan kacaunya penyaluran bantuan saat itu, khususnya pada tahun 2005, mendorong Prof (Alm) Mubyarto menuding pemerintah sebagai buta dan tuli, karena menggunakan data yang afkir.
Walau sudah ada perubahan metode dan teknis secara significan dalam RAPBN 2018, namun kalau di tilik secara seksama, hakiki, dan substansinya sesungguhnya belum berubah banyak. Konsep atau paradigmanya masih analog kalau tidak sama dengan konsep/paradigma yang dilakukan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Artinya belum menyentuh akar masalah kemiskinan itu sendiri, yakni rakyat miskin yang belum dinobatkan sebagai subjek pembangunan.
 Rakyat entah disadari atau tidak kecenderungannya masih dianggap belum tahu apa-apa tentang pembangunan. Bahasa vulgarnya masih dianggap tolol. Oleh karena itu masih harus diajari, bahkan disusui. Apa memang seperti itu? Jelas tidak. Rakyat itu sangat rasional. Meski pendidikannya belum S3, mereka paham apa yang seharusnya mereka inginkan, alias tidak perlu diajari.
 Yang tidak mereka miliki secara sistemik meminjam Prof Martin Ravallion dari Georgetown University  yang diundang Bappenas baru-baru ini memberikan masukan (9 dan 10 Agustus 2017) adalah “peluang, atau kesempatan”. Rakyat, khususnya rakyat yang marjinal tidak memiliki peluang, seperti yang didapatkan para elit atau konglomerat. Disini akar masalah.
Sinyalemen tersebut/demikian dengan kasat mata dapat dilihat dari kebijakan yang menempatkan penduduk miskin tetap sebagai warga pinggiran yang belum memiliki akses bersaing di jalur perekonomian firma/perusahaan modern dan tidak didistribusikannya terlebih dahulu aset yang layak bagi masyarakat miskin. Idem dengan pengusaha-pengusaha kaki lima/informal, UKM terhadap fasilitas berusaha, dan khususnya akses kredit dari perbankan
Kesimpulannya pemerintah harus merubah paradigma pembangunannya. Fungsikan rakyat sebagai pihak yang berdaulat merumuskan aspirasi, kepentingan, dan khususnya kebutuhan ekonominya. Peningkatan jumlah bantuan sosial yang significan di tahun 2018, akan lebih bermakna, apabila pemerintahan Jokowi juga menciptakan lapangan-pasar kerja, penguasaan lahan, dan asset kredit bagi kalangan miskin, investasi infrastruktur di daerah miskin, seperti pertanian dan perdesaan, pemutusan bias kebijakan perpajakan, perdagangan, dan belanja negara, serta menghapus diskriminasi berbasis jender. Dengan kata lain tidak sekedar pendekatan kultural, melainkan juga struktural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar