JOKOWI
(SULIT) MERETAS KEMISKINAN
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan. Staf Ahli DPR RI 2000-2009
Published, Waspada, 11
September 2017
Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sedikit berubah dari RAPBN-RAPBN sebelumnya.
Meski masih dominan kepada belanja (pembangunan) infrastruktur fisik, namun
anggaran subsidi dan bantuan sosial juga mengalami peningkatan pesat. Konteks
ini dapat dilihat dari naiknya anggaran Kemensos sebesar 98 persen, yakni dari
Rp 17, 2 T pada tahun 2017 menjadi Rp 34 T pada RAPBN 2018.
Anggaran demikian konon
80 persen diperuntukkan untuk perlindungan dan bantuan sosial, yakni untuk
membantu keluarga miskin (yang sekarang namanya disebut Program Keluarga
Harapan ,PKH) dan bantuan perumahan bagi keluarga miskin dipedesaan. Jumlah
penerima PKH yang sebelumnya 6 juta keluarga naik menjadi10 juta keluarga.
Masing-masing keluarga akan mendapat Rp 1,8 juta/tahun. Sedangkan keluarga
miskin penerima bantuan perumahan adalah 7300 rumah tangga (naik dari
sebelumnya 1000 rumah tangga)
Selain anggaran Kemensos
yang naik significan tersebut, masih di dukung lagi dengan Dana Alokasi Khusus
(DAK) sebesar Rp 62,4 T untuk pembangunan fisik dan Rp 123,5 T non fisik dari
Kementerian lain. Anggaran fisik diperuntukkan untuk pembangunan pendidikan,
sanitasi, kesehatan, air minum, irigasi/pertanian, perumahan dan lain-lain yang
tekanannya (affirmasi) kepada daerah perbatasan, tertinggal, dan transmigrasi. Anggaran
non fisik untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk 47,4 juta siswa,
Tunjangan Profesi Guru (TPG) 1,2 juta guru, dan Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) untuk 9.767 Puskesmas.
Apa artinya angka-angka
demikian? Akankah meretas kemiskinan sebagaimana tujuan utamanya ? Tidakkah
program-program tersebut secara substantif-hakiki sama saja dengan
program-program pemerintahan sebelumnya, yakni masih bersifat amal-karitatif ?
Tidakkah ada terobosan struktural nan reformatif? Dan sekian
pertanyaan-pertanyaan lain yang menggelitik.
Kelemahan
Klasik
Selain meningkatnya
bantuan sosial tersebut, yang menjadi kekhususan/kebaruan program ini ketimbang
program-program sebelumnya adalah metode-teknis nya yang semakin inovatif.
Kalau sebelumnya diberi uang tunai/beras (raskin/rastra), kini dirubah menjadi
sebaliknya/tidak tunai, melainkan dengan voucher. Untuk penerima PKH/KPM
langsung diberikan ke rekening keluarga yang bersangkutan.
Begitu pula dengan persyaratannya, tidak lagi
hanya sebagai penerima yang pasif, namun telah dibebankan beberapa tugas/fungsi
supaya mereka lebih aktif dan kreatif, seperti harus menyekolahkan anaknya,
memberi vaksin dasar bagi setiap anak balita, dan membeli makanan yang bergizi
Supaya lebih produktif meningkatkan status sosial-ekonominya,
mereka didorong menjadi pemilik e-warung dan distributor bantuan pangan non
tunai (BPNT) melalui badan usaha yang berprinsip koperasi, yakni Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
Dengan kata lain metode-teknisnya
sudah lebih “terukur, handal, dinamis, dan mengarah kepola-pola entrepreneurial”
ketimbang program-program sebelumnya nan cenderung pasif. Apalagi dalam
praksisnya mereka juga akan di dampingi para “fasilitator” yang dipersiapkan
pemerintah, akan mendorong program tersebut lebih menjanjikan.
Para fasilitator yang
sekarang populer dengan sebutan “pendamping”, yang sudah terlatih secara
profesional-meritokratis diharapkan akan
menyertai mereka sehingga sesuai dengan tujuan utamanya, yakni mengurangi
kemiskinan dan ketimpangan. Tidak lagi seperti sebelum-sebelumnya, lain
direncanakan, lain dikerjakan. Lain di atas kertas, lain di lapangan.
Suatu niat agung
(political - good will) dari pemerintahan Jokowi yang layak diapresiasi. Namun
apakah persis seperti itu dalam prakteknya di tahun 2018, tentu masih penuh
perdebatan. Dalam implementasi yang berlangsung selama ini masih penuh penyimpangan.
Masih sering terlambat distribusinya, bahkan masih banyak salah sasaran, dan
yang paling memilukan adalah masih kental dengan praksis-praksis korupsi.
Contoh aktual yang masih
hangat saat ini adalah penyimpangan dana desa. Dana yang seharusnya menjadi
andalan/motor, benchmark, atau candra dimuka pengentasaan kemiskinan sebagai implementasi
UU No 6 Tahun 2014 mengalami banyak distorsi. Selain programnya belum langsung menyentuh
kehidupan masyarakat, karena mayoritas anggarannya masih untuk pengadaan
infrastruktur fisik, jauh lebih miris lagi adalah dananya banyak di salah
gunakan/korupsi.
Begitu pula dengan
dana-dana bansos. Bukan rahasia lagi, sejak lama anggaran yang bersifat bantuan
sosial menjadi bancakan empuk bagi koruptor dari pemerintahan pusat hingga
daerah. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan membantu kalangan miskin, tanpa
empathi dicuri para birokrat untuk memperkaya diri dan kliknya.
Di era otonomi daerah (Otda)
modusnya dominan untuk kepentingan petahana melanggengkan status quonya, yakni
dengan menggarongnya untuk kepentingan kampanye. Biaya pemilu/pilkada yang
besar mendorong para petahana memanfaatkan segala celah mendapatkan uang,
khususnya dari bansos yang persyaratan sebelumnya tidak begitu ketat
Perubahan
Struktural
Ilustrasi penyimpangan
demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi. Kasus IDT era Orde Baru,
dan BLT, Raskin pada pemerintahan pasca reformasi adalah contoh-contoh/tragedi
yang masih terang dalam ingatan. Betapa brengsek dan kacaunya penyaluran bantuan
saat itu, khususnya pada tahun 2005, mendorong Prof (Alm) Mubyarto menuding
pemerintah sebagai buta dan tuli, karena menggunakan data yang afkir.
Walau sudah ada
perubahan metode dan teknis secara significan dalam RAPBN 2018, namun kalau di
tilik secara seksama, hakiki, dan substansinya sesungguhnya belum berubah
banyak. Konsep atau paradigmanya masih analog kalau tidak sama dengan
konsep/paradigma yang dilakukan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Artinya belum
menyentuh akar masalah kemiskinan itu sendiri, yakni rakyat miskin yang belum
dinobatkan sebagai subjek pembangunan.
Rakyat entah disadari atau tidak
kecenderungannya masih dianggap belum tahu apa-apa tentang pembangunan. Bahasa
vulgarnya masih dianggap tolol. Oleh karena itu masih harus diajari, bahkan
disusui. Apa memang seperti itu? Jelas tidak. Rakyat itu sangat rasional. Meski
pendidikannya belum S3, mereka paham apa yang seharusnya mereka inginkan, alias
tidak perlu diajari.
Yang tidak mereka miliki secara sistemik meminjam
Prof Martin Ravallion dari Georgetown University yang diundang Bappenas baru-baru ini memberikan
masukan (9 dan 10 Agustus 2017) adalah “peluang, atau kesempatan”. Rakyat,
khususnya rakyat yang marjinal tidak memiliki peluang, seperti yang didapatkan
para elit atau konglomerat. Disini akar masalah.
Sinyalemen tersebut/demikian
dengan kasat mata dapat dilihat dari kebijakan yang menempatkan penduduk miskin
tetap sebagai warga pinggiran yang belum memiliki akses bersaing di jalur
perekonomian firma/perusahaan modern dan tidak didistribusikannya terlebih
dahulu aset yang layak bagi masyarakat miskin. Idem dengan pengusaha-pengusaha
kaki lima/informal, UKM terhadap fasilitas berusaha, dan khususnya akses kredit
dari perbankan
Kesimpulannya pemerintah
harus merubah paradigma pembangunannya. Fungsikan rakyat sebagai pihak yang
berdaulat merumuskan aspirasi, kepentingan, dan khususnya kebutuhan ekonominya.
Peningkatan jumlah bantuan sosial yang significan di tahun 2018, akan lebih
bermakna, apabila pemerintahan Jokowi juga menciptakan lapangan-pasar kerja,
penguasaan lahan, dan asset kredit bagi kalangan miskin, investasi
infrastruktur di daerah miskin, seperti pertanian dan perdesaan, pemutusan bias
kebijakan perpajakan, perdagangan, dan belanja negara, serta menghapus diskriminasi
berbasis jender. Dengan kata lain tidak sekedar pendekatan kultural, melainkan
juga struktural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar