Minggu, 19 November 2017

MUNGKINKAH MERASIONALKAN SEJARAH KEKUASAAN?




MUNGKINKAH  MERASIONALKAN SEJARAH KEKUASAAN ?
Oleh: Reinhard Hutapea
Kandidat Doktor Agribisnis Unsri.
Published, Waspada, 15 Nopember 2017
Harian ini, Waspada, 19 Okt 2017, memuat headline “AS Miliki Dokumen 1965”, dokumen yang berisi detail terjadinya pembantaian di Indonesia yang terjadi sekitar tahun 1960-an, seperti upaya militer menyingkirkan Soekarno dan menghancurkan gerakan kiri di Indonesia, eksekusi terhadap pemimpin PKI, serta keterlibatan pejabat Amerika dalam mendukung upaya militer.
Dokumen yang sebelumnya tidak boleh diberikan kepada publik, namun sejalan dengan fase yang telah diizinkan, yakni setelah 30 tahun dokumen itu dapat diberikan kepada umum. Kebijakan yang ditempuh pemerintah AS demi pelurusan sejarah bangsanya, agar generasi yang tampil saat ini, sebagai generasi penerus dapat mempelajari sejarah bangsanya dengan lurus, meski itu melalui jalan yang terjal, cadas, bahkan menyakitkan/inhuman, namun harus dibuka.
Model kebijakan yang sungguh-sungguh historis dan masuk akal sebagai pendidikan politik, namun tidak untuk semua bangsa dan negara dapat melakukannya. Banyak negara-bangsa (nation-state) yang enggan menempuhnya dengan berbagai pertimbangan. Dan Indonesia adalah salah satunya, yakni belum dapat menempuh pola Washington tersebut.
Mengapa dan kenapa seperti itu, dalihnya juga cukup beragam. Amerika is Amerika, Indonesia is Indonesia, mungkin adalah salah satu argumen general-klasik, atau argumen kebangsaan/nasionalismenya.
Amerika yang sangat liberal-individualistik-kapitalistik-sekuler, sudah pasti berbeda dengan Indonesia yang cenderung berpola kekeluargaan-gotong royong-relijius-Pancasilaistik. Artinya orang Amerika itu sudah terbiasa mengenyam informasi secara terbuka, individual dan tidak ada masalah dengan lingkungan sosialnya. Lain hal Indonesia, yang gaya komunikasi-informasinya cenderung tidak langsung, tidak terbuka, dan dominan  memakai bahasa isyarat tertentu, karena terkait dengan lingkungan sosialnya. Apalagi jika informasi itu senstif, sudah pasti tabu dibuka kepada umum.
Multi Versi
Sayang seribu sayang, tradisi, kebijakan, dan kultur demikian kelihatannya sudah harus dikaji ulang. Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, yang tak mungkin dibendung sudah hadir ditengah-tengah kita. Ia telah melahirkan derivasi-derivasi yang juga tak mungkin dibendung, yakni tampilnya generasi yang melek teknologi, yakni yang populer dengan sebutan generasi millenial.
Generasi anak-anak muda yang piawai mendapatkan segala informasi yang ada di dunia ini. Dengan kelihaiannya memainkan gawai-gawai media sosial (internet, FB, Twitter, Instagram dan sejenisnya), mereka sudah lebih banyak mengetahui informasi dari generasi-generasi sebelumnya (generasi X, Babyboomers, dan Senior). Khususnya informasi-informasi aib yang disembunyikan, yang tabu, dan yang direkayasa selama ini.
Aib-aib tersebut secara telanjang, dan kasat mata telah mereka baca via media, media sosial/internet. Baik itu berupa cuitan-cuitan, copas-copas, atau tulisan-tulisan singkat, hingga yang serius, panjang, , dan berat (yang membuat dahi berkerut), seperti makalah, paper, dan buku-buku yang ditulis berbagai pakar, hingga disertasi-disertasi yang dipertahankan di berbagai perguruan tinggi.
Dengan membaca referensi demikian mereka sudah paham bahwa sejarah G 30 S yang dipropagandakan rezim Orde Baru banyak bolong-bolong, kalau tidak kekeliruannya. Kisah tragik nan spektakuler itu tidak tunggal, banyak versi sebagaimana sering dikumandangkan  Gus Dur (2000). Pendapat yang sebelumnya telah digemakan John D Legge dalam bukunya “.Soekarno: Biografi Politik (1996)”.
 Dalam buku tersebut diuraikan dengan sangat sistematis bahwa peristiwa itu terjadi sebagai gabungan berbagai kepentingan, seperti kepentingan Nekolim, pimpinan PKI yang keblinger, serta oknum-oknum militer yang tidak benar.
Pendapat yang lain, yang melihat bahwa peristiwa itu adalah ulah oknum/pribadi dan atau lembaga dikemukakan berbagai pakar, seperti Arnold Brackman (1960), Ben Anderson-Ruth Mc Vey,(19..), Peter Dale Scott, Greg Poulgrain (1993), Anthony Dake (2005).
 Arnold Brackman dalam tulisannya “The Communist Collapse in Indonesia, 1969 menuding bahwa dalang peristiwa 30 september 1965 adalah PKI. Pendapat ini didukung dan diperkuat Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh.
Ben Anderson-Ruth Mc Vey dalam tulisannya “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia”, yang populer dengan sebutan Cornell Paper, melihat bahwa persitiwa G 30 S adalah persoalan internal Angkatan Darat (AD). Pendapat ini di dukung WF. Wertheim dalam karyanya “Soeharto and Untung Coup – The Missing Link (1970), Con Hotzapel, dan MR Siregar.
Greg Poulgrain dalam tulisannya “The Genesis of Confrontasi, Malaysia-Brunei, 1993, melihat peristiwa G 30 S adalah pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat. Agak berdekatan dan mirip dengan tulisan ini, dikemukakan oleh Peter Dale Scott, namun dengan telak menuding mistermindnya adalah CIA. Pendapat ini di dukung oleh Geoffrey Robinson.
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas di tulis Anthony Dake. Dalam bukunya Soekarno File; Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, beliau menuding bahwa dalang  peristiwa G 30 S adalah Soekarno. Pendapat yang sebelumnya telah ditulis  oleh John Hughes dalam bukunya The End of Soekarno, 1967.
Versi yang lain masih dapat diuraikan sekian lagi, (seperti yang ditulis Dr Soebandrio dalam bukunya Kudeta Merangkak, mister mindnya adalah Soeharto), namun untuk keperluan artikel ini dianggap sudah memadai, yakni versinya tidak tunggal.
Merasionalkan Sejarah
Versi yang  menarik, apabila juga dihubungkan dengan masalah-masalah ekonomi, yang pada waktu itu belum banyak di ulas. Masalah ini (masalah ekonomi tersebut) saat itu masih dianggap sub ordinat dari masalah keamanan (security), pada hal jika diteliti dengan seksama jangan-jangan ini motivasi sesungguhnya/utama gerakan itu,  sebagaimana ditulis  John Perkins dalam bukunya Confessions of Economic Hit Man, dan John Pilger dalam karyanya The New Ruler of The World.
Dalam buku-buku tersebut telah diuraikan dengan gamblang bahwa Washington telah lama mengincar sumber-sumber daya alam (SDA) Indonesia yang berlimpah, namun tidak berhasil karena kepemimpinan Bung Karno yang sangat tegas, kuat, dan nasionalistik.
Bung Karno sebagaimana faktanya telah berkali-kali dibujuk agar menerima bantuan Barat/IMF/AS, seperti Foreign Direct Investment (FDI), dan atau khususnya utang luar negeri, namun dengan tegas menolaknya.
Beliau (Bung Karno) berprinsip bahwa di eranya Indonesia belum waktunya melakukan pembangunan ekonomi seperti yang diinginkan para pembujuk-pembujuk tersebut, yakni suatu model pembangunan ekonomi yang  kapitalistik. Selain tidak sesuai dengan ciri khas Indonesia yang Pancasilaistik (kekeluargaan/ gotong royong), terutama adalah bahwa negeri ini masih dalam taraf pembangunan bangsa ( nation and character building). Oleh karena itu silahkan ke setan bantuan mu itu (go to hell with your aid), urainya dengan telak        
Namun sebagaimana faktanya, prinsip Bung Karno yang nasionalistik tersebut, yang diwujudkannya dalam politik non blok (non aligned)  tidak digubris dua kekuatan adikuasa yang sedang berseteru dalam perang dingin (cold war). Dengan dalih masalah keamanan (security), yang tekanannya pada ideologi, politik, dan militer, membuat masalah-masalah ekonomi agak luput dari pengamatan. Pada hal sebagaimana ditulis sejarawan Canada yang bukunya sempat dilarang beredar, Prof John Roosa (2007), pasca G 30 S, Indonesia telah berubah total sistim ekonomi-politiknya.
Kongkrit, atau singkatnya masalah G 30 S masih dapat didekati dari berbagai persfektif. Tidak an sich persfektif keamanan, tapi juga ekonomi, dan pendekatan-pendekatan lain (pendekatan kebudayaan misalnya) agar sejarahnya linier dan rasional. Tidakkah Jokowi sudah menyarankannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar