MUNGKINKAH
MERASIONALKAN SEJARAH KEKUASAAN ?
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kandidat
Doktor Agribisnis Unsri.
Published, Waspada, 15
Nopember 2017
Harian ini, Waspada, 19
Okt 2017, memuat headline “AS Miliki Dokumen 1965”, dokumen yang berisi detail
terjadinya pembantaian di Indonesia yang terjadi sekitar tahun 1960-an, seperti
upaya militer menyingkirkan Soekarno dan menghancurkan gerakan kiri di
Indonesia, eksekusi terhadap pemimpin PKI, serta keterlibatan pejabat Amerika
dalam mendukung upaya militer.
Dokumen yang sebelumnya
tidak boleh diberikan kepada publik, namun sejalan dengan fase yang telah
diizinkan, yakni setelah 30 tahun dokumen itu dapat diberikan kepada umum.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah AS demi pelurusan sejarah bangsanya, agar
generasi yang tampil saat ini, sebagai generasi penerus dapat mempelajari
sejarah bangsanya dengan lurus, meski itu melalui jalan yang terjal, cadas,
bahkan menyakitkan/inhuman, namun harus dibuka.
Model kebijakan yang sungguh-sungguh
historis dan masuk akal sebagai pendidikan politik, namun tidak untuk semua
bangsa dan negara dapat melakukannya. Banyak negara-bangsa (nation-state) yang
enggan menempuhnya dengan berbagai pertimbangan. Dan Indonesia adalah salah
satunya, yakni belum dapat menempuh pola Washington tersebut.
Mengapa dan kenapa
seperti itu, dalihnya juga cukup beragam. Amerika is Amerika, Indonesia is
Indonesia, mungkin adalah salah satu argumen general-klasik, atau argumen
kebangsaan/nasionalismenya.
Amerika yang sangat
liberal-individualistik-kapitalistik-sekuler, sudah pasti berbeda dengan
Indonesia yang cenderung berpola kekeluargaan-gotong royong-relijius-Pancasilaistik.
Artinya orang Amerika itu sudah terbiasa mengenyam informasi secara terbuka, individual
dan tidak ada masalah dengan lingkungan sosialnya. Lain hal Indonesia, yang
gaya komunikasi-informasinya cenderung tidak langsung, tidak terbuka, dan
dominan memakai bahasa isyarat tertentu,
karena terkait dengan lingkungan sosialnya. Apalagi jika informasi itu senstif,
sudah pasti tabu dibuka kepada umum.
Multi
Versi
Sayang seribu sayang,
tradisi, kebijakan, dan kultur demikian kelihatannya sudah harus dikaji ulang.
Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi, khususnya
teknologi informasi, yang tak mungkin dibendung sudah hadir ditengah-tengah
kita. Ia telah melahirkan derivasi-derivasi yang juga tak mungkin dibendung,
yakni tampilnya generasi yang melek teknologi, yakni yang populer dengan
sebutan generasi millenial.
Generasi anak-anak muda
yang piawai mendapatkan segala informasi yang ada di dunia ini. Dengan
kelihaiannya memainkan gawai-gawai media sosial (internet, FB, Twitter,
Instagram dan sejenisnya), mereka sudah lebih banyak mengetahui informasi dari
generasi-generasi sebelumnya (generasi X, Babyboomers, dan Senior). Khususnya
informasi-informasi aib yang disembunyikan, yang tabu, dan yang direkayasa
selama ini.
Aib-aib tersebut secara
telanjang, dan kasat mata telah mereka baca via media, media sosial/internet.
Baik itu berupa cuitan-cuitan, copas-copas, atau tulisan-tulisan singkat,
hingga yang serius, panjang, , dan berat (yang membuat dahi berkerut), seperti makalah,
paper, dan buku-buku yang ditulis berbagai pakar, hingga disertasi-disertasi
yang dipertahankan di berbagai perguruan tinggi.
Dengan membaca
referensi demikian mereka sudah paham bahwa sejarah G 30 S yang dipropagandakan
rezim Orde Baru banyak bolong-bolong, kalau tidak kekeliruannya. Kisah tragik
nan spektakuler itu tidak tunggal, banyak versi sebagaimana sering
dikumandangkan Gus Dur (2000). Pendapat
yang sebelumnya telah digemakan John D Legge dalam bukunya “.Soekarno: Biografi
Politik (1996)”.
Dalam buku tersebut diuraikan dengan sangat
sistematis bahwa peristiwa itu terjadi sebagai gabungan berbagai kepentingan,
seperti kepentingan Nekolim, pimpinan PKI yang keblinger, serta oknum-oknum militer
yang tidak benar.
Pendapat yang lain,
yang melihat bahwa peristiwa itu adalah ulah oknum/pribadi dan atau lembaga
dikemukakan berbagai pakar, seperti Arnold
Brackman (1960), Ben Anderson-Ruth Mc Vey,(19..), Peter Dale Scott, Greg
Poulgrain (1993), Anthony Dake (2005).
Arnold
Brackman dalam tulisannya “The
Communist Collapse in Indonesia, 1969 menuding bahwa dalang peristiwa 30
september 1965 adalah PKI. Pendapat ini didukung dan diperkuat Nugroho
Notosusanto dan Ismail Saleh.
Ben Anderson-Ruth Mc
Vey dalam tulisannya “A Preliminary
Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia”, yang populer dengan
sebutan Cornell Paper, melihat bahwa persitiwa G 30 S adalah persoalan internal
Angkatan Darat (AD). Pendapat ini di dukung WF. Wertheim dalam karyanya “Soeharto and Untung Coup – The Missing Link
(1970), Con Hotzapel, dan MR Siregar.
Greg
Poulgrain dalam tulisannya “The Genesis of Confrontasi, Malaysia-Brunei, 1993, melihat
peristiwa G 30 S adalah pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat. Agak
berdekatan dan mirip dengan tulisan ini, dikemukakan oleh Peter Dale Scott,
namun dengan telak menuding mistermindnya
adalah CIA. Pendapat ini di dukung oleh Geoffrey
Robinson.
Berbeda dengan
pendapat-pendapat di atas di tulis Anthony
Dake. Dalam bukunya Soekarno File; Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, beliau
menuding bahwa dalang peristiwa G 30 S
adalah Soekarno. Pendapat yang sebelumnya telah ditulis oleh John
Hughes dalam bukunya The End of
Soekarno, 1967.
Versi yang lain masih dapat
diuraikan sekian lagi, (seperti yang ditulis Dr Soebandrio dalam bukunya Kudeta
Merangkak, mister mindnya adalah
Soeharto), namun untuk keperluan artikel ini dianggap sudah memadai, yakni
versinya tidak tunggal.
Merasionalkan
Sejarah
Versi yang menarik, apabila juga dihubungkan dengan
masalah-masalah ekonomi, yang pada waktu itu belum banyak di ulas. Masalah ini
(masalah ekonomi tersebut) saat itu masih dianggap sub ordinat dari masalah
keamanan (security), pada hal jika diteliti dengan seksama jangan-jangan ini
motivasi sesungguhnya/utama gerakan itu, sebagaimana ditulis John Perkins dalam bukunya Confessions of
Economic Hit Man, dan John Pilger dalam karyanya The New Ruler of The World.
Dalam buku-buku
tersebut telah diuraikan dengan gamblang bahwa Washington telah lama mengincar
sumber-sumber daya alam (SDA) Indonesia yang berlimpah, namun tidak berhasil
karena kepemimpinan Bung Karno yang sangat tegas, kuat, dan nasionalistik.
Bung Karno sebagaimana
faktanya telah berkali-kali dibujuk agar menerima bantuan Barat/IMF/AS, seperti
Foreign Direct Investment (FDI), dan atau khususnya utang luar negeri, namun
dengan tegas menolaknya.
Beliau (Bung Karno) berprinsip
bahwa di eranya Indonesia belum waktunya melakukan pembangunan ekonomi seperti
yang diinginkan para pembujuk-pembujuk tersebut, yakni suatu model pembangunan
ekonomi yang kapitalistik. Selain tidak
sesuai dengan ciri khas Indonesia yang Pancasilaistik (kekeluargaan/ gotong
royong), terutama adalah bahwa negeri ini masih dalam taraf pembangunan bangsa
( nation and character building). Oleh karena itu silahkan ke setan bantuan mu
itu (go to hell with your aid), urainya dengan telak
Namun sebagaimana
faktanya, prinsip Bung Karno yang nasionalistik tersebut, yang diwujudkannya
dalam politik non blok (non aligned) tidak digubris dua kekuatan adikuasa yang
sedang berseteru dalam perang dingin (cold war). Dengan dalih masalah keamanan
(security), yang tekanannya pada ideologi, politik, dan militer, membuat masalah-masalah
ekonomi agak luput dari pengamatan. Pada hal sebagaimana ditulis sejarawan
Canada yang bukunya sempat dilarang beredar, Prof John Roosa (2007), pasca G 30
S, Indonesia telah berubah total sistim ekonomi-politiknya.
Kongkrit, atau
singkatnya masalah G 30 S masih dapat didekati dari berbagai persfektif. Tidak an
sich persfektif keamanan, tapi juga ekonomi, dan pendekatan-pendekatan lain
(pendekatan kebudayaan misalnya) agar sejarahnya linier dan rasional. Tidakkah
Jokowi sudah menyarankannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar