Kamis, 30 November 2017

MEWUJUDKAN KEMBALI REPUBLIK DESA




MEWUJUDKAN KEMBALI REPUBLIK DESA
Oleh; Reinhard Hutapea
Kandidat doktor agribisnis UNSRI, Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 29 Nov 2017
Anggaran desa yang setiap tahun jumlahnya semakin meningkat ternyata tidak sesuai dengan peruntukannya. Ada jarak, gap,  kalau bukan jurang antara kebijakan dan implementasi, meski perangkat-perangkat untuk itu, seperti regulasi ( UU No 6 Tahun 2014, PP No 47 Tahun 2014, PP No 60 Tahun 2014, Permendes No 5 Tahun 2015 dan SKB tiga menteri), satuan tugas dana desa, dan tim pendamping telah tersedia
Dengan diberikan anggaran yang setiap tahun jumlahnya semakin meningkat plus kebijakan Jokowi-JK mengutamakan padat karya dalam proyek-proyek desa, diharapkan akan membuat desa lebih cepat mandiri dan sejahtera sebagaimana yang terjadi pada era-era dahulu. Era dimana setiap desa memiliki kedaulatan yang disebut Prof Van Vollenhoven dan Prof Ter Haar sebagai republik desa.
Namun apa yang empirik? Realita tidak sesuai harapan. Sebagaimana sudah di diduga sebelumnya, implementasinya akan banyak menyimpang, yakni dananya akan dikorupsi. Dikorup oleh pihak-pihak yang berhubungan dengannya, seperti aparatur desa, Camat, Bupati, kalangan kontraktor, dan para pendamping.
Hingga penulisan artikel ini satuan tugas dana desa yang baru dibentuk telah menerima laporan penyelewengan dana desa (hingga akhir Oktober 2017) sebanyak 10.922 kasus. Dari semua laporan, sekitar 30 persen atau 3.276 diantaranya akan diselidiki lebih lanjut.
Suatu fakta bahwa jarak antara rasionalitas dan empiriknya masih menganga dengan lebar. Semua pihak kelihatannya belum siap, khususnya para aparatur desa sebagai ujung tombaknya.
Dengan dalih yang sangat teknis, seperti belum ada kompetensi untuk membuat program, membuat sistim pelaporan, belum ada expert, belum terbiasa menulis dan sejenisnya aparatur desa urung menyerap dana tersebut dengan seksama. Konon mereka takut bias sehingga di KPK kan, sebagaimana yang sudah berlangsung pada pejabat-pejabat diatasnya.
Aneh belum apa-apa sudah ngeluh KPK. Apakah KPK  sudah menjadi monster yang menakutkan ?. KPK, termasuk lembaga-lembaga penegak hukum lainnya tidak akan melakukan penangkapan apabila tidak terjadi penyalahgunaan. Kalau tidak ada niat kesitu (KKN) mengapa takut/cemas?
Perubahan Mental
Begitu pula dalih-dalih lain, seperti belum punya tradisi menyusun sendiri program-program pembangunan, tumpang tindih peraturan, terkesan adalah argumen yang dicari-cari. Argumen yang tidak prinsipil, melainkan masalah teknis yang terlalu mudah diselesaikan bila ada komitmen.
  Jika sungguh-sungguh tidak paham minta saja bantuan warga di desa itu. Mereka yang tamat SLTA/SMA/SMK berserta guru-gurunya lebih dari cukup mampu untuk mengerjakan “pembuatan, penghitungan dan pelaksanaan program-program setingkat desa. Belum lagi sumberdaya-sumberdaya yang lain, seperti para sarjana yang sudah banyak pulang ke desa dapat diberdayakan.
 Kalaupun misalnya  strategi itu dirasakan belum memadai dapat  meminta bantuan para staf di kecamatan atau kabupaten/kota. Tidakkah  pemerintah diatasnya itu adalah fasilitatornya? Atau justru pemerintahan kecamatan maupun pemerintahan kabupaten/kota sendiri yang tidak punya kompetensi untuk itu ?. Mudah-mudahan tidak .Kalau ini yang terjadi memang cilaka 12.
Sangatlah tidak masuk akal apabila hanya karena kemampuan teknis tidak dimiliki penyerapan dana itu tidak maksimal. Apa susahnya kepala desa dan aparaturnya membuat program dan pelaporan? Mustahil setiap kepala desa dan perangkatnya tidak tahu apa kebutuhan desanya. Secara makro ekonomis-politis mungkin kurang paham, namun secara umum pasti menguasai.
Begitu pula tentang pelaporan tidak ada masalah yang prinsipil. Yang penting setiap pekerjaan, program, dan sejenisnya yang dilakukan semuanya ditulis sebagaimana prinsip suatu kantor/birokrasi. Tidak perlu canggih-canggih amat, mengikuti sistem/gaya ini sistem/gaya gitu, yang penting ditulis apa adanya. Cara-cara manual sederhana masih memadai untuk level itu.
Kalau takut KPK gunakan  standard pelaporan dari Kementerian Keuangan , BPK, BPKP dan sejenisnya. Semua itu sudah tersedia di rak-rak pemerintah atau dimedia-media sosial yang setiap saat dapat dibuka. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menyediakan itu semua. Tinggal klik/enter semua yang diminta akan diberi Mbah Google.
Oleh karena itu hakiki masalah sesungguhnya bukan pada teknokrasi demikian. Titik krusialnya adalah pada problem budaya yakni “perilaku, ethos atau  mentalitas” yang masih feodal, kurang rasional, tidak disiplin, tidak mau kerja keras, tidak hemat, tidak mau hidup bersahaja, tidak melihat jauh ke depan dan lain-lain ethos unggul.
Kita tidak menafikan bahwa mentalitas yang menggelayut selama ini adalah mentalitas yang mendongak/berorientasi ke atas ”. Ke orang berpangkat, ke senior, ke atasan, ke kota dan lain-lain pola vertical oriented yang menghambat/mematikan kreatifitas (Koentjaraningrat, 1980).
Suatu  pola yang menganggap yang di atas, yang di kota lebih tahu dari yang dibawah/desa sehingga menimbulkan mental kurang percaya diri dan memarjinalkan kreatifitas, inovasi dan prakarsa dari bawah/ rakyat. Bahasa gaulnya feodal alias tidak demokratis
            Oleh karena itu patologis sosial demikian yang pertama-tama harus diretas, yakni dari merubah mentalitas tergantung kepada mentalitas  yang bebas, setara dan tolerantif. Dimulai lebih dulu dari elit-elitnya, seperti Camat, Bupati dan atau khususnya kepala desanya. Dengan kata lain Kepala desanya harus demokratis.
Republik Desa
Kepala desa start dengan pertama-tama menganggap semua warganya adalah  setara atau egaliter. Semua rasional, semua sanggup mengerjakan apapun dan betapa beratpun pekerjaan itu, karena kita telah punya modal sosial, yakni gotong royong dan/atau kekeluargaan.
Dari sinilah dimulai semangat, jiwa, mekanisme atau prosedur  UU Desa N0 6 Tahun 2014 beserta turunan-turunannya, yakni via “Musyawarah Desa”. Musyawarah seluruh warga yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan kedaulatan rakyat/desa.
Oleh karena itu proses Musyawarah desa yang dipersiapkan BPD/sekretarisnya dengan peserta “aparatur desa, BPD, masyarakat, fasilitator/pendamping dan undangan” (Permendes no 5 Tahun 2015) harus berjalan sesuai dengan semangat dan petunjuk Permendes tersebut.
Prosesnya harus berlangsung partisipatif, yakni  semua peserta berperan aktif,  semua tanpa kecuali memajukan “usul, keinginan atau kebutuhannya. Begitu pula semua aktif membahas apa yang menjadi tantangan, jalan keluar dan implementasi yang akan ditempuh. Tidak   ada yang mendominasi, apalagi merekayasa.
Dengan demikian akan terwujud kembali demokrasi asli bangsa Indonesia, sebagaimana dikonseptualisasikan Prof C. Van Vollenhoven dan Prof Ter Haar yakni Republik Desa. Suatu tatanan sosial yang selain punya warga, adat, wilayah, dan hukum sendiri, juga pemerintahan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar