MEWUJUDKAN KEMBALI REPUBLIK DESA
Oleh;
Reinhard Hutapea
Kandidat
doktor agribisnis UNSRI, Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 29 Nov 2017
Anggaran desa yang setiap tahun jumlahnya semakin
meningkat ternyata tidak sesuai dengan peruntukannya. Ada jarak, gap, kalau bukan jurang antara kebijakan dan
implementasi, meski perangkat-perangkat untuk itu, seperti regulasi ( UU No 6
Tahun 2014, PP No 47 Tahun 2014, PP No 60 Tahun 2014, Permendes No 5 Tahun 2015
dan SKB tiga menteri), satuan tugas dana desa, dan tim pendamping telah
tersedia
Dengan diberikan anggaran yang setiap tahun jumlahnya
semakin meningkat plus kebijakan Jokowi-JK mengutamakan padat karya dalam
proyek-proyek desa, diharapkan akan membuat desa lebih cepat mandiri dan sejahtera
sebagaimana yang terjadi pada era-era dahulu. Era dimana setiap desa memiliki
kedaulatan yang disebut Prof Van Vollenhoven dan Prof Ter Haar sebagai republik
desa.
Namun apa yang empirik? Realita tidak sesuai harapan. Sebagaimana
sudah di diduga sebelumnya, implementasinya akan banyak menyimpang, yakni
dananya akan dikorupsi. Dikorup oleh pihak-pihak yang berhubungan dengannya,
seperti aparatur desa, Camat, Bupati, kalangan kontraktor, dan para pendamping.
Hingga penulisan artikel ini satuan tugas dana desa yang
baru dibentuk telah menerima laporan penyelewengan dana desa (hingga akhir
Oktober 2017) sebanyak 10.922 kasus. Dari semua laporan, sekitar 30 persen atau
3.276 diantaranya akan diselidiki lebih lanjut.
Suatu fakta bahwa jarak antara rasionalitas dan
empiriknya masih menganga dengan lebar. Semua pihak kelihatannya belum siap,
khususnya para aparatur desa sebagai ujung tombaknya.
Dengan dalih yang sangat teknis, seperti belum ada
kompetensi untuk membuat program, membuat sistim pelaporan, belum ada expert,
belum terbiasa menulis dan sejenisnya aparatur desa urung menyerap dana
tersebut dengan seksama. Konon mereka takut bias sehingga di KPK kan,
sebagaimana yang sudah berlangsung pada pejabat-pejabat diatasnya.
Aneh belum apa-apa sudah ngeluh KPK. Apakah KPK sudah menjadi monster yang menakutkan ?. KPK,
termasuk lembaga-lembaga penegak hukum lainnya tidak akan melakukan penangkapan
apabila tidak terjadi penyalahgunaan. Kalau tidak ada niat kesitu (KKN) mengapa
takut/cemas?
Perubahan Mental
Begitu pula dalih-dalih lain, seperti belum punya
tradisi menyusun sendiri program-program pembangunan, tumpang tindih peraturan,
terkesan adalah argumen yang dicari-cari. Argumen yang tidak prinsipil,
melainkan masalah teknis yang terlalu mudah diselesaikan bila ada komitmen.
Jika
sungguh-sungguh tidak paham minta saja bantuan warga di desa itu. Mereka yang
tamat SLTA/SMA/SMK berserta guru-gurunya lebih dari cukup mampu untuk mengerjakan
“pembuatan, penghitungan dan pelaksanaan program-program setingkat desa. Belum
lagi sumberdaya-sumberdaya yang lain, seperti para sarjana yang sudah banyak
pulang ke desa dapat diberdayakan.
Kalaupun
misalnya strategi itu dirasakan belum memadai
dapat meminta bantuan para staf di kecamatan
atau kabupaten/kota. Tidakkah pemerintah
diatasnya itu adalah fasilitatornya? Atau justru pemerintahan kecamatan maupun
pemerintahan kabupaten/kota sendiri yang tidak punya kompetensi untuk itu ?. Mudah-mudahan
tidak .Kalau ini yang terjadi memang cilaka 12.
Sangatlah tidak masuk akal apabila hanya karena kemampuan
teknis tidak dimiliki penyerapan dana itu tidak maksimal. Apa susahnya kepala
desa dan aparaturnya membuat program dan pelaporan? Mustahil setiap kepala desa
dan perangkatnya tidak tahu apa kebutuhan desanya. Secara makro ekonomis-politis
mungkin kurang paham, namun secara umum pasti menguasai.
Begitu pula tentang pelaporan tidak ada masalah yang
prinsipil. Yang penting setiap pekerjaan, program, dan sejenisnya yang dilakukan
semuanya ditulis sebagaimana prinsip suatu kantor/birokrasi. Tidak perlu
canggih-canggih amat, mengikuti sistem/gaya ini sistem/gaya gitu, yang penting
ditulis apa adanya. Cara-cara manual sederhana masih memadai untuk level itu.
Kalau takut KPK gunakan standard pelaporan dari Kementerian Keuangan ,
BPK, BPKP dan sejenisnya. Semua itu sudah tersedia di rak-rak pemerintah atau
dimedia-media sosial yang setiap saat dapat dibuka. Kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi menyediakan itu semua. Tinggal klik/enter semua yang
diminta akan diberi Mbah Google.
Oleh karena itu hakiki masalah sesungguhnya bukan pada
teknokrasi demikian. Titik krusialnya adalah pada problem budaya yakni
“perilaku, ethos atau mentalitas” yang
masih feodal, kurang rasional, tidak disiplin, tidak mau kerja keras, tidak
hemat, tidak mau hidup bersahaja, tidak melihat jauh ke depan dan lain-lain
ethos unggul.
Kita tidak menafikan bahwa mentalitas yang menggelayut
selama ini adalah mentalitas yang mendongak/berorientasi ke atas ”. Ke orang
berpangkat, ke senior, ke atasan, ke kota dan lain-lain pola vertical oriented yang
menghambat/mematikan kreatifitas (Koentjaraningrat, 1980).
Suatu pola yang
menganggap yang di atas, yang di kota lebih tahu dari yang dibawah/desa
sehingga menimbulkan mental kurang percaya diri dan memarjinalkan kreatifitas,
inovasi dan prakarsa dari bawah/ rakyat. Bahasa gaulnya feodal alias tidak
demokratis
Oleh
karena itu patologis sosial demikian yang pertama-tama harus diretas, yakni
dari merubah mentalitas tergantung kepada mentalitas yang bebas, setara dan tolerantif. Dimulai lebih
dulu dari elit-elitnya, seperti Camat, Bupati dan atau khususnya kepala
desanya. Dengan kata lain Kepala desanya harus demokratis.
Republik Desa
Kepala desa start dengan pertama-tama menganggap semua
warganya adalah setara atau egaliter.
Semua rasional, semua sanggup mengerjakan apapun dan betapa beratpun pekerjaan
itu, karena kita telah punya modal sosial, yakni gotong royong dan/atau
kekeluargaan.
Dari sinilah dimulai semangat, jiwa, mekanisme atau
prosedur UU Desa N0 6 Tahun 2014 beserta
turunan-turunannya, yakni via “Musyawarah Desa”. Musyawarah seluruh warga yang
dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan kedaulatan
rakyat/desa.
Oleh karena itu proses Musyawarah desa yang
dipersiapkan BPD/sekretarisnya dengan peserta “aparatur desa, BPD, masyarakat,
fasilitator/pendamping dan undangan” (Permendes no 5 Tahun 2015) harus berjalan
sesuai dengan semangat dan petunjuk Permendes tersebut.
Prosesnya harus berlangsung partisipatif, yakni semua peserta berperan aktif, semua tanpa kecuali memajukan “usul, keinginan
atau kebutuhannya. Begitu pula semua aktif membahas apa yang menjadi tantangan,
jalan keluar dan implementasi yang akan ditempuh. Tidak ada
yang mendominasi, apalagi merekayasa.
Dengan demikian akan terwujud kembali demokrasi asli
bangsa Indonesia, sebagaimana dikonseptualisasikan Prof C. Van Vollenhoven dan
Prof Ter Haar yakni Republik Desa. Suatu tatanan sosial yang selain punya warga,
adat, wilayah, dan hukum sendiri, juga pemerintahan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar