REPUBLIK
DESA, UMAR TAK PERLU CEMAS
Oleh;
Reinhard Hutapea
Direktur
CEPP PPS Unitas Palembang, Timsel Panwaslu Pilkada 7 Kabupaten Sumsel, Staf
ahli DPR RI 2000-2009
Published,Tribun Sumsel, 23 Nov 2015
Harian ini pada tanggal 16 November 2015 menulis head
line dengan tema “Umar Cemas Terima Rp 1 Miliar”. Konon cemas karena sebagai
kepala desa ia dan rekan-rekannya belum siap mengelolanya. Mengapa ? karena belum ada pengalaman untuk itu, belum
ada pendamping desa, belum paham membuat program dan pelaporannya, belum
terbiasa menulis apa yang sering dilakukan dan lain-lain hal yang berbau teknis.
Aneh bagaimana masih belum paham pada hal seluruh
pendukung untuk itu, seperti UU No 6 Tahun 2014, PP No 43 Tahun 2014, PP N0 47
Tahun 2014, Permendes no 5 Tahun 2015 terus SKB tiga menteri sudah disediakan? Tidakkah itu lebih dari
cukup?, menantikan juklak/juknis yang instan dipahami? Tidak akan pernah ada
itu, selalu harus ditafsirkan dengan arif
Kalaupun misalnya dirasakan belum cukup tidakkah
masing-masing desa dapat meminta bantuan kecamatan atau kabupaten/kota dalam
hal-hal teknis tersebut? tidakkah pemerintah diatasnya itu adalah
fasilitatornya? Atau justru pemerintahan kecamatan maupun pemerintahan kabupaten/kota
sendiri yang tidak faham? Menjadi tanda tanya besar.
Perubahan Mental
Sangatlah tidak masuk akal apabila hanya karena tidak
piawai membuat program atau pelaporan maka penyerapan dana 1 m itu terhambat.
Apa susahnya membuat program dan pelaporan? Mustahil setiap kepala desa tidak
tahu apa kebutuhan desanya. Secara spesifik mungkin tidak tahu,namun secara
umum pasti paham.
Begitu pula tentang pelaporan tidak ada masalah yang
prinsipil. Yang penting setiap pekerjaan, program, dan sejenisnya yang dilakukan
di desa harus ditulis. Tidak perlu canggih-canggih mengikuti gaya ini gaya
gitu, yang penting ditulis apa adanya.
Kalau takut KPK gunakan standard pelaporan dari Kementerian Keuangan ,
BPK, BPKP dan sejenisnya?. Semua itu sudah tersedia di rak-rak pemerintah atau
dimedia-media sosial yang setiap saat dapat dibuka. Kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi menyediakan itu semua. Tinggal klik akan muncul yang
diinginkan.
Oleh karena itu substansi masalah bukan pada
teknis-teknis demikian. Titik krusialnya adalah pada inti budaya yakni “mentalitas yang masih menggelayut ke atas”.
Pola-pola yang menganggap yang di atas lebih tahu dari yang dibawah sehingga kurang
percaya diri dan memarjinalkan kreatifitas, inovasi dan prakarsa dari bawah/
rakyat.
Meminjam
pendekatan ilmu sosial pranata masyarakatnya masih “patron-client”, vertical oriented, atau masih berkasta-kasta.
Dalam khazanah ilmu politik populer
dengan sebutan” belum demokratis”, alias belum bebas, belum egaliter dan belum
tolerantif.
Titik demikian yang pertama-tama diretas, yakni dari
mentalitas tergantung kepada mentalitas yang
bebas dan setara (egalitarian). Dimulai dari elit-elitnya, seperti Camat,
Bupati dan atau khususnya kepala desanya.
Republik Desa
Kepala desa start dengan pertama-tama menganggap semua
warganya adalah sama, setara atau egaliter. Semua rasional, semua sanggup
mengerjakan dengan prinsip atau motto gotong royong atau kekeluargaan.
Dari sinilah dimulai mekanisme atau prosedur
sebagaimana diinginkan oleh UU Desa N0 6
Tahun 2014 beserta turunan-turunannya, yakni via “Musyawarah Desa”. Musyawarah/rapat/muktamar
tertinggi dalam pengambilan keputusan kedaulatan rakyat/desa.
Oleh karena itu proses Musyawarah desa yang
dipersiapkan BPD/sekretarisnya dengan peserta “aparatur desa, BPD, masyarakat,
fasilitator/pendamping dan undangan” (Permendes no 5 Tahun 2015) harus berjalan
sesuai petunjuk Permendes tersebut.
Prosesnya harus berlangsung partisipatif,yakni semua peserta berperan aktif, semua tanpa kecuali memajukan idaman,
keinginan atau kebutuhannya. Begitu pula semua aktif membahas apa yang menjadi
tantangan, jalan keluar dan implementasi yang akan ditempuh. Tidak ada
yang mendominasi, apalagi merekayasa.
Demikian hakiki, semangat dan imperatif UU desa yang
baru beserta PP, Permendes dan turunan-turunannya yang lain. Intinya
musyawarah. Setelah Musyawarah kemudian mufakat. Suatu pola yang tidak baru,
melainkan model yang sudah lama
berlangsung dalam tatanan desa Indonesia.
Jauh sebelum NKRI terbentuk, pola-pola yang sering
disebut sebagai republik desa ini sudah lebih dulu berjalan di Nusantara. Dalam
tataran modern sering disebut dengan demokrasi, yakni metode untuk menentukan
keputusan politik atau kebijakan publik.
Masalah penjabaran,penghitungan hingga pelaksanaannya
biarlah para teknokrat yang menjalankannya. Siapa teknokrat desa ini?
Untuk sementara dapat dikatakan adalah para pendamping,
tenaga ahli dan fasilitator lainnya yang sedang direkrut saat ini.
Mereka-mereka inilah yang melaksanakan keputusan musyawarah desa lebih detil,
rinci dan kongkrit secara logis dan objektif. Oleh karena itu tidak ada alasan
saudara Umar cemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar