Jumat, 24 November 2017

REPUBLIK DESA; UMAR TAK PERLU CEMAS




REPUBLIK DESA, UMAR TAK PERLU CEMAS
Oleh; Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS Unitas Palembang, Timsel Panwaslu Pilkada 7 Kabupaten Sumsel, Staf ahli DPR RI 2000-2009
Published,Tribun Sumsel, 23 Nov 2015
Harian ini pada tanggal 16 November 2015 menulis head line dengan tema “Umar Cemas Terima Rp 1 Miliar”. Konon cemas karena sebagai kepala desa ia dan rekan-rekannya belum siap mengelolanya. Mengapa ?   karena belum ada pengalaman untuk itu, belum ada pendamping desa, belum paham membuat program dan pelaporannya, belum terbiasa menulis apa yang sering  dilakukan dan lain-lain hal yang berbau teknis.
Aneh bagaimana masih belum paham pada hal seluruh pendukung untuk itu, seperti UU No 6 Tahun 2014, PP No 43 Tahun 2014, PP N0 47 Tahun 2014, Permendes no 5 Tahun 2015 terus SKB tiga menteri  sudah disediakan? Tidakkah itu lebih dari cukup?, menantikan juklak/juknis yang instan dipahami? Tidak akan pernah ada itu, selalu harus ditafsirkan dengan arif
Kalaupun misalnya dirasakan belum cukup tidakkah masing-masing desa dapat meminta bantuan kecamatan atau kabupaten/kota dalam hal-hal teknis tersebut? tidakkah pemerintah diatasnya itu adalah fasilitatornya? Atau justru pemerintahan kecamatan maupun pemerintahan kabupaten/kota sendiri yang tidak faham? Menjadi tanda tanya besar.
Perubahan Mental
Sangatlah tidak masuk akal apabila hanya karena tidak piawai membuat program atau pelaporan maka penyerapan dana 1 m itu terhambat. Apa susahnya membuat program dan pelaporan? Mustahil setiap kepala desa tidak tahu apa kebutuhan desanya. Secara spesifik mungkin tidak tahu,namun secara umum pasti paham.
Begitu pula tentang pelaporan tidak ada masalah yang prinsipil. Yang penting setiap pekerjaan, program, dan sejenisnya yang dilakukan di desa harus ditulis. Tidak perlu canggih-canggih mengikuti gaya ini gaya gitu, yang penting ditulis apa adanya.
Kalau takut KPK gunakan  standard pelaporan dari Kementerian Keuangan , BPK, BPKP dan sejenisnya?. Semua itu sudah tersedia di rak-rak pemerintah atau dimedia-media sosial yang setiap saat dapat dibuka. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menyediakan itu semua. Tinggal klik akan muncul yang diinginkan.
Oleh karena itu substansi masalah bukan pada teknis-teknis demikian. Titik krusialnya adalah pada inti budaya yakni  “mentalitas yang masih menggelayut ke atas”. Pola-pola yang menganggap yang di atas lebih tahu dari yang dibawah sehingga kurang percaya diri dan memarjinalkan kreatifitas, inovasi dan prakarsa dari bawah/ rakyat.
            Meminjam pendekatan ilmu sosial pranata masyarakatnya masih “patron-client”,  vertical oriented, atau masih berkasta-kasta. Dalam  khazanah ilmu politik populer dengan sebutan” belum demokratis”, alias belum bebas, belum egaliter dan belum tolerantif.
Titik demikian yang pertama-tama diretas, yakni dari mentalitas tergantung kepada mentalitas  yang bebas dan setara (egalitarian). Dimulai dari elit-elitnya, seperti Camat, Bupati dan atau khususnya kepala desanya.
Republik Desa
Kepala desa start dengan pertama-tama menganggap semua warganya adalah sama, setara atau egaliter. Semua rasional, semua sanggup mengerjakan dengan prinsip atau motto gotong royong atau kekeluargaan.
Dari sinilah dimulai mekanisme atau prosedur sebagaimana  diinginkan oleh UU Desa N0 6 Tahun 2014 beserta turunan-turunannya, yakni via “Musyawarah Desa”. Musyawarah/rapat/muktamar tertinggi dalam pengambilan keputusan kedaulatan rakyat/desa.
Oleh karena itu proses Musyawarah desa yang dipersiapkan BPD/sekretarisnya dengan peserta “aparatur desa, BPD, masyarakat, fasilitator/pendamping dan undangan” (Permendes no 5 Tahun 2015) harus berjalan sesuai petunjuk Permendes tersebut.
Prosesnya harus berlangsung partisipatif,yakni  semua peserta berperan aktif,  semua tanpa kecuali memajukan idaman, keinginan atau kebutuhannya. Begitu pula semua aktif membahas apa yang menjadi tantangan, jalan keluar dan implementasi yang akan ditempuh. Tidak   ada yang mendominasi, apalagi merekayasa.
Demikian hakiki, semangat dan imperatif UU desa yang baru beserta PP, Permendes dan turunan-turunannya yang lain. Intinya musyawarah. Setelah Musyawarah kemudian mufakat. Suatu pola yang tidak baru, melainkan model yang  sudah lama berlangsung dalam tatanan desa Indonesia.
Jauh sebelum NKRI terbentuk, pola-pola yang sering disebut sebagai republik desa ini sudah lebih dulu berjalan di Nusantara. Dalam tataran modern sering disebut dengan demokrasi, yakni metode untuk menentukan keputusan politik atau kebijakan publik.
Masalah penjabaran,penghitungan hingga pelaksanaannya biarlah para teknokrat yang menjalankannya. Siapa teknokrat desa ini?
Untuk sementara dapat dikatakan adalah para pendamping, tenaga ahli dan fasilitator lainnya yang sedang direkrut saat ini. Mereka-mereka inilah yang melaksanakan keputusan musyawarah desa lebih detil, rinci dan kongkrit secara logis dan objektif. Oleh karena itu tidak ada alasan saudara Umar cemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar