Jumat, 31 Agustus 2018

MELESATNYA KUTU LONCAT DALAM PILEG 2019



MELESATNYA KUTU LONCAT DALAM PILEG 2019
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, 30 Agust 2018 harian Analisa
Salah satu issu politik teranyar saat ini (selain issu wapres yang masih kontroversial) adalah pembajakan elit-elit partai oleh partai yang satu dengan partai yang lain, dengan transfer milyaran rupiah untuk dijadikan caleg dalam pemilu 2019. Konon beberapa sosok yang dianggap dapat mendulang suara besar dalam pemilu telah dibujuk partai-partai tertentu supaya mencalonkan diri ke partainya dan pindah dari partai asalnya. Dengan iming-iming sekian  Miliar Rupiah mereka dirayu agar menerima tawaran tersebut. Lucky Hakim dari PAN adalah sosok pertama yang mengakuinya.
 Beliau akan maju sebagai caleg dari Nasdem, setelah dijanjikan dapat bayaran Rp 5 M, dan Rp 2 M sudah diterima lebih dulu, walau Lucky dan pihak Nasdem membantahnya. Sosok lainnya adalah Ferry Kase dari Hanura. Beliau (Ferry) bersenandung bahwa ia sering ditawari pindah partai oleh partai-partai lain dengan iming-iming uang, namun ia tidak bersedia.
Sementara itu , Arsul Sani, Sekretaris Jenderal PPP teriak, bahwa kader partainya, Okky Asokawaty yang hengkang dan nyaleg ke Nasdem, melesat setelah pihak Nasdem menawarinya Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar, meski Okky dan pihak Nasdem membantahnya. Dalam bahasa yang lain, namun substansi yang sama, Abdul Hakam Naja, anggota DPR RI dari PAN 2009-2014, nyerocos telah mendengar praktek-praktek pembajakan itu pada pileg 2014 yang lalu, namun tidak semasif saat ini (K, 21 Juli 2018)
Terbajaknya Demokrasi
Massif atau sebaliknya, terstruktur atau sebaliknya, sistemik atau sebaliknya, yang jelas indikasi kutu loncat demikian sudah fenomenologis pasca reformasi, seiring terbukanya kran kebebasan membentuk partai-partai politik baru. Begitu mudahnya membentuk partai (apabila dibandingkan dengan Orde Baru  yang hanya mengijinkan tiga partai), namun sebagai konsekwensi logisnya, semudah itu pula mereka (para kadernya) meninggalkan partai asalnya, dan loncat ke partai lain yang dianggap lebih menguntungkan dirinya (vested interest).
Ferry Mursidan Baldan, Enggartiasto Lukito, Viktor Laiskodat, dan Siswono Yudohusodo yang loncat dari Golkar ke Nasdem, Habiburokhman dari PKS ke Golkar, Effendy Choirie dari PKB ke Nasdem, Saan Mustopa dari Partai Demokrat ke Nasdem, Ramson Siagian dari PDIP ke Gerindra pada pemilu 2014. AS Hikam dari PKB ke Partai Demokrat, Zaenal Maarif dari Partai Bintang Reformasi ke Partai Demokrat, Dede Yusuf dari PAN ke Partai Demokrat, Permadi dan Haryanto Taslam dari PDIP ke Gerindra pada pemilu 2009 adalah beberapa sosok betapa fenomena kutu loncat itu sesungguhnya sudah lama terjadi.
Hanya saja dalam pemilu 2019 ini kecenderungannya semakin terbuka, banyak, norak, dan vulgar, karena diiming-imingi dengan biaya transfer, atau pembajakan. Mirip dengan pembajakan manajer-manajer perusahaan yang diwarnai dengan biaya transfer yang besar/mahal, atau biaya transfer dalam liga sepakbola. Meski tidak disebut hengkang dengan bayaran uang yang besar, enam anggota DPR dari Hanura, yakni Rufinus Hutauruk, Arief Suditomo, Frans Agung, Dadang Rusdiana, Fauzi Amro, telah pula eksodus ramai-ramai nyaleg dari Nasdem pada pemilu 2019.
Begitu pula Priyo Budi Santoso dari Golkar ke Berkarya. Meski belum viral (muncul kepermukaan) nama-nama lain  yang bakal jadi kutu loncat dengan transfer milyaran rupiah, kecenderungannya akan merebak pada pileg 2019 yang akan datang.
Fenomena yang dikutuk, dibenci, dihujat, yang runyam, yang khianat, yang tak bermoral, dan entah apa lagi umpatan-umpatan yang dialamatkan terhadapnya, namun ia tetap, bahkan semakin lama semakin eksist, karena tatanan atau system yang mendukungnya memang sudah terstruktur dan distrukturkan seperti itu. Bagaimana metode, cara, atau strategi mengapa tatanan yang tak lazim bak setan itu berlangsung sudah banyak diulas para tokoh dan  pakar. Mungkin sudah lebih dari cukup.
Begitu pula jalan keluar untuk meretasnya secara komprehensif dan konseptual (ilmiah), nyaris telah melimpah direkomendasikan. Namun sebagaimana halnya keledai yang selalu jatuh ke lobang yang sama, demikian pula peran yang dilakonkan pihak atau lembaga (power establish/the rulling class) yang berwenang terhadapnya. Lembaga  yang seharusnya menjadi candra dimuka atau pionir dalam perubahan (social change), tetap saja tak bergeming, alias buta dan tuli, nan asyik dengan kroni dan kepentingannya sendiri. Meminjam adagium anak Jakarta yang berbunyi…”emangnya gue pikirin (atau e lu elu … gue gue)”, atau juga sabda raja “the king can do no wrong”, mungkin begitulah kira-kira perannya.  Peran yang tidak menjalankan imperatif konstitusi (UUD) dan kebijakan publik (public policy), melainkan atas syahwat dan kepentingan rezim semata.
Sinyalemen demikian dapat dibaca dari tesis beberapa Indonesianist yang kondang, seperti Karl D Jackson (Bureaucratic Polity), Dwight Y King (Bureaucratic Authoritarian), Benedict Anderson (Patrimonialism), Richard Robison (The rise of capital), Harold Crouch (Military Polity), yang telah menganalisis ketidaklaziman (un common) dan keahistorisan demikian dengan panjang lebar, sekaligus juga telah memberikan jalan keluar (way out), atau rekomendasinya.
Namun sebagaimana fakta atau realitasnya yang mendekati keledai, analisis atau rekomendasi itu hanya sebatas analisis dan rekomendasi yang tak pernah ditindaklanjuti, dan hanya hangat di bangku-bangku kuliah atau ditempat-tempat terbatas lainnya. Diperguruan-perguruan tinggi, ia menjadi konsep yang akurat (valid and reliable) diperbincangkan, namun di dunia nyata ia tak digubris sama sekali.
Tidak begitu beda (analog) dengan yang dialami Rezim Reformasi, rezim yang pada awalnya diharapkan sukses meretas parasit-parasit sosial politik sebelumnya, tetap saja terjerembab ke kubangan yang sama, yakni kubangan otoritarian yang dialami Orde Baru. Dalam arti lain, meski kebebasan politik berhembus kencang saat itu tidak merembes kepada kebebasan-kebebasan lain, khususnya kepada kebebasan ekonomi.
Keadaan ekonomi tetap saja, kalau bukan lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Mayoritas rakyat masih berkutat dalam kemiskinan dan ketimpangan, sementara di pihak lain, segelintir orang bergelimang kekayaannya. Suasana yang selanjutnya akan terus melanggengkan ketimpangan sosial.
Konstatasi buram, yang akhirnya melatar belakangi tampilnya dua konsep politik besar (grand theory) terhadapnya, yakni “Oligarchi” (Jeffrey Winters, 2010, R William Liddle, 2018) dan “Kartel politik” (Dan Slater 2005, Kuskridho Ambardi, 2008). Dua paradigma/konsep politik yang menarasikan betapa (“kenapa, mengapa, dan bagaimana”) suasana yang tidak demokratis itu tetap lestari, sebagaimana pada konsep-konsep politik yang marak sebelumnya pada era Orde Baru (Patrimonial, Bureaucratic Authoritarian, Korporatisme, Kleptocracy etc).
Paradigma yang jika ditilik secara seksama sesungguhnya mempunyai substansi yang sama, yakni sama-sama berwarna otoritarian. Pada Orde Baru jelas, terang dan murni 24 krat, sedangkan pada era reformasi dalam balutan kebebasan politik. Kebebasan yang empiriknya tidak untuk kesejahteraan atau keadilan, melainkan hanya untuk kebebasan itu sendiri (kebebasan untuk kebebasan). Kebebasan yang pada akhirnya bermuara pada over dosis, kebablasan, yang membajak demokrasi mundur kembali sebagaimana ditengarai Olle Tornquist (2004) seorang Indonesianist dari Norwegia.
Melesatnya Kutu Loncat
Konsekwensi selanjutnya sudah dapat diduga, yakni tampil dan melesat lembaga-lembaga baru, namun usang atau afkir dalam fungsinya. Sebagai hasil amandemen muncul pemilihan langsung (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota), namun dalam praksisnya masih elitist, karena tidak melalui konvensi,  tampil Mahkamah Konstitusi (MK) disamping MA, tapi praksis-praksis inkonstitusionil masih fenomenologis, tampil Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain DPR, tapi hanya mewakili dirinya, tampil Otonomi Daerah, namun daerahnya tetap birokratis, dan akhirnya sebagaimana tujuan penulisan ini, tampil partai-partai baru, tapi tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Artinya tidak mengikuti imperatif yang diamanatkan UU Partai Politik (UU No 2 Tahun 2011), teori-teori kepartaian demokratis, atau praksis praksis di Negara yang berkedaulatan rakyat.
Dalam UU No 2 Tahun 2011 disebutkan bahwa partai politik memiliki lima fungsi, yakni a) pendidikan politik, dengan harapan agar setiap warga negara sadar akan hak dan kewajibannya, b) pencipta iklim kondusif bagi kesatuan dan persatuan bangsa, agar rakyat semakin sejahtera, c) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik, d) sarana partisipasi politik warga negara, e) rekruitmen politik bagi jabatan-jabatan negara.
Mana yang dijalankan dari fungsi-fungsi demikian? Fungsi a hingga d praktis tidak pernah dijalankan. Kapan mereka melakukan pendidikan politik? Kapan berikhtiar menelorkan suasana yang kondusif ? Kapan melakukan agregasi dan artikulasi politik? Kapan menjadi instrument saluran partisipasi?. Yang kongkrit hanya no 5 yakni rebut-rebutan cari jabatan politik.
Disfungsional yang merebak karena berbagai faktor. Salah satu adalah akibat dari minimnya anggaran. Iuran anggota yang seharusnya menjadi sumber utama nyaris tidak jalan, sementara untuk menggerakkan fungsi-fungsi demikian memerlukan biaya yang besar. Konsekwensi logis atau derivasinya, partai akhirnya mencari dana dari orang-orang yang punya kapital (dana/duit).
Sementara itu (disisi lain) dengan naiknya parlemen threshold (jumlah suara yang harus dipenuhi supaya tidak terdepak dari DPR), dari 3,5 persen menjadi 4 persen dalam pileg 2019, kembali memaksa partai-partai mencari figur yang selain berduit, juga harus kondang/populer. Siapa mereka itu? Siapa lagi? Salah satunya adalah figur-figur yang populer di partai lain. Figur yang meloncat-loncat dari satu partai ke partai lain, sebagaimana kutu yang busuk dan gatal. Strukturnya sudah sistemik seperti itu. Ironi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar