MELESATNYA
KUTU LONCAT DALAM PILEG 2019
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published, 30 Agust 2018 harian Analisa
Salah satu issu politik
teranyar saat ini (selain issu wapres yang masih kontroversial) adalah
pembajakan elit-elit partai oleh partai yang satu dengan partai yang lain,
dengan transfer milyaran rupiah untuk dijadikan caleg dalam pemilu 2019. Konon
beberapa sosok yang dianggap dapat mendulang suara besar dalam pemilu telah
dibujuk partai-partai tertentu supaya mencalonkan diri ke partainya dan pindah
dari partai asalnya. Dengan iming-iming sekian Miliar Rupiah mereka dirayu agar menerima
tawaran tersebut. Lucky Hakim dari PAN adalah sosok pertama yang mengakuinya.
Beliau akan maju sebagai caleg dari Nasdem,
setelah dijanjikan dapat bayaran Rp 5 M, dan Rp 2 M sudah diterima lebih dulu,
walau Lucky dan pihak Nasdem membantahnya. Sosok lainnya adalah Ferry Kase dari
Hanura. Beliau (Ferry) bersenandung bahwa ia sering ditawari pindah partai oleh
partai-partai lain dengan iming-iming uang, namun ia tidak bersedia.
Sementara itu , Arsul
Sani, Sekretaris Jenderal PPP teriak, bahwa kader partainya, Okky Asokawaty
yang hengkang dan nyaleg ke Nasdem, melesat setelah pihak Nasdem menawarinya Rp
2 miliar hingga Rp 3 miliar, meski Okky dan pihak Nasdem membantahnya. Dalam
bahasa yang lain, namun substansi yang sama, Abdul Hakam Naja, anggota DPR RI
dari PAN 2009-2014, nyerocos telah mendengar praktek-praktek pembajakan itu
pada pileg 2014 yang lalu, namun tidak semasif saat ini (K, 21 Juli 2018)
Terbajaknya
Demokrasi
Massif atau sebaliknya,
terstruktur atau sebaliknya, sistemik atau sebaliknya, yang jelas indikasi kutu
loncat demikian sudah fenomenologis pasca reformasi, seiring terbukanya kran
kebebasan membentuk partai-partai politik baru. Begitu mudahnya membentuk
partai (apabila dibandingkan dengan Orde Baru
yang hanya mengijinkan tiga partai), namun sebagai konsekwensi logisnya,
semudah itu pula mereka (para kadernya) meninggalkan partai asalnya, dan loncat
ke partai lain yang dianggap lebih menguntungkan dirinya (vested interest).
Ferry Mursidan Baldan,
Enggartiasto Lukito, Viktor Laiskodat, dan Siswono Yudohusodo yang loncat dari
Golkar ke Nasdem, Habiburokhman dari PKS ke Golkar, Effendy Choirie dari PKB ke
Nasdem, Saan Mustopa dari Partai Demokrat ke Nasdem, Ramson Siagian dari PDIP
ke Gerindra pada pemilu 2014. AS Hikam dari PKB ke Partai Demokrat, Zaenal
Maarif dari Partai Bintang Reformasi ke Partai Demokrat, Dede Yusuf dari PAN ke
Partai Demokrat, Permadi dan Haryanto Taslam dari PDIP ke Gerindra pada pemilu
2009 adalah beberapa sosok betapa fenomena kutu loncat itu sesungguhnya sudah lama
terjadi.
Hanya saja dalam pemilu
2019 ini kecenderungannya semakin terbuka, banyak, norak, dan vulgar, karena
diiming-imingi dengan biaya transfer, atau pembajakan. Mirip dengan pembajakan
manajer-manajer perusahaan yang diwarnai dengan biaya transfer yang besar/mahal,
atau biaya transfer dalam liga sepakbola. Meski tidak disebut hengkang dengan
bayaran uang yang besar, enam anggota DPR dari Hanura, yakni Rufinus Hutauruk,
Arief Suditomo, Frans Agung, Dadang Rusdiana, Fauzi Amro, telah pula eksodus
ramai-ramai nyaleg dari Nasdem pada pemilu 2019.
Begitu pula Priyo Budi
Santoso dari Golkar ke Berkarya. Meski belum viral (muncul kepermukaan) nama-nama
lain yang bakal jadi kutu loncat dengan
transfer milyaran rupiah, kecenderungannya akan merebak pada pileg 2019 yang
akan datang.
Fenomena yang dikutuk,
dibenci, dihujat, yang runyam, yang khianat, yang tak bermoral, dan entah apa
lagi umpatan-umpatan yang dialamatkan terhadapnya, namun ia tetap, bahkan
semakin lama semakin eksist, karena tatanan atau system yang mendukungnya
memang sudah terstruktur dan distrukturkan seperti itu. Bagaimana metode, cara,
atau strategi mengapa tatanan yang tak lazim bak setan itu berlangsung sudah
banyak diulas para tokoh dan pakar.
Mungkin sudah lebih dari cukup.
Begitu pula jalan
keluar untuk meretasnya secara komprehensif dan konseptual (ilmiah), nyaris
telah melimpah direkomendasikan. Namun sebagaimana halnya keledai yang selalu
jatuh ke lobang yang sama, demikian pula peran yang dilakonkan pihak atau
lembaga (power establish/the rulling class) yang berwenang terhadapnya. Lembaga
yang seharusnya menjadi candra dimuka atau
pionir dalam perubahan (social change), tetap saja tak bergeming, alias buta
dan tuli, nan asyik dengan kroni dan kepentingannya sendiri. Meminjam adagium
anak Jakarta yang berbunyi…”emangnya gue pikirin (atau e lu elu … gue gue)”,
atau juga sabda raja “the king can do no wrong”, mungkin begitulah kira-kira
perannya. Peran yang tidak menjalankan imperatif
konstitusi (UUD) dan kebijakan publik (public
policy), melainkan atas syahwat dan kepentingan rezim semata.
Sinyalemen demikian
dapat dibaca dari tesis beberapa Indonesianist yang kondang, seperti Karl D Jackson (Bureaucratic Polity), Dwight
Y King (Bureaucratic Authoritarian), Benedict Anderson (Patrimonialism),
Richard Robison (The rise of capital), Harold Crouch (Military Polity),
yang telah menganalisis ketidaklaziman (un common) dan keahistorisan demikian
dengan panjang lebar, sekaligus juga telah memberikan jalan keluar (way out), atau rekomendasinya.
Namun sebagaimana fakta
atau realitasnya yang mendekati keledai, analisis atau rekomendasi itu hanya
sebatas analisis dan rekomendasi yang tak pernah ditindaklanjuti, dan hanya
hangat di bangku-bangku kuliah atau ditempat-tempat terbatas lainnya.
Diperguruan-perguruan tinggi, ia menjadi konsep yang akurat (valid and reliable) diperbincangkan,
namun di dunia nyata ia tak digubris sama sekali.
Tidak begitu beda (analog)
dengan yang dialami Rezim Reformasi, rezim yang pada awalnya diharapkan sukses
meretas parasit-parasit sosial politik sebelumnya, tetap saja terjerembab ke
kubangan yang sama, yakni kubangan otoritarian yang dialami Orde Baru. Dalam arti
lain, meski kebebasan politik berhembus kencang saat itu tidak merembes kepada
kebebasan-kebebasan lain, khususnya kepada kebebasan ekonomi.
Keadaan ekonomi tetap
saja, kalau bukan lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Mayoritas rakyat masih
berkutat dalam kemiskinan dan ketimpangan, sementara di pihak lain, segelintir
orang bergelimang kekayaannya. Suasana yang selanjutnya akan terus
melanggengkan ketimpangan sosial.
Konstatasi buram, yang
akhirnya melatar belakangi tampilnya dua konsep politik besar (grand theory) terhadapnya,
yakni “Oligarchi” (Jeffrey Winters, 2010, R William Liddle, 2018) dan “Kartel
politik” (Dan Slater 2005, Kuskridho Ambardi, 2008). Dua paradigma/konsep
politik yang menarasikan betapa (“kenapa, mengapa, dan bagaimana”) suasana yang
tidak demokratis itu tetap lestari, sebagaimana pada konsep-konsep politik yang
marak sebelumnya pada era Orde Baru (Patrimonial,
Bureaucratic Authoritarian, Korporatisme, Kleptocracy etc).
Paradigma yang jika
ditilik secara seksama sesungguhnya mempunyai substansi yang sama, yakni
sama-sama berwarna otoritarian. Pada Orde Baru jelas, terang dan murni 24 krat,
sedangkan pada era reformasi dalam balutan kebebasan politik. Kebebasan yang
empiriknya tidak untuk kesejahteraan atau keadilan, melainkan hanya untuk
kebebasan itu sendiri (kebebasan untuk kebebasan). Kebebasan yang pada akhirnya
bermuara pada over dosis, kebablasan, yang membajak demokrasi mundur kembali
sebagaimana ditengarai Olle Tornquist
(2004) seorang Indonesianist dari Norwegia.
Melesatnya
Kutu Loncat
Konsekwensi selanjutnya
sudah dapat diduga, yakni tampil dan melesat lembaga-lembaga baru, namun usang
atau afkir dalam fungsinya. Sebagai hasil amandemen muncul pemilihan langsung
(Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota), namun dalam praksisnya masih elitist,
karena tidak melalui konvensi, tampil
Mahkamah Konstitusi (MK) disamping MA, tapi praksis-praksis inkonstitusionil
masih fenomenologis, tampil Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain DPR, tapi hanya
mewakili dirinya, tampil Otonomi Daerah, namun daerahnya tetap birokratis, dan
akhirnya sebagaimana tujuan penulisan ini, tampil partai-partai baru, tapi
tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Artinya tidak mengikuti
imperatif yang diamanatkan UU Partai Politik (UU No 2 Tahun 2011), teori-teori
kepartaian demokratis, atau praksis praksis di Negara yang berkedaulatan
rakyat.
Dalam UU No 2 Tahun
2011 disebutkan bahwa partai politik memiliki lima fungsi, yakni a) pendidikan
politik, dengan harapan agar setiap warga negara sadar akan hak dan
kewajibannya, b) pencipta iklim kondusif bagi kesatuan dan persatuan bangsa,
agar rakyat semakin sejahtera, c) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik,
d) sarana partisipasi politik warga negara, e) rekruitmen politik bagi
jabatan-jabatan negara.
Mana yang dijalankan
dari fungsi-fungsi demikian? Fungsi a hingga d praktis tidak pernah dijalankan.
Kapan mereka melakukan pendidikan politik? Kapan berikhtiar menelorkan suasana
yang kondusif ? Kapan melakukan agregasi dan artikulasi politik? Kapan menjadi
instrument saluran partisipasi?. Yang kongkrit hanya no 5 yakni rebut-rebutan
cari jabatan politik.
Disfungsional yang
merebak karena berbagai faktor. Salah satu adalah akibat dari minimnya
anggaran. Iuran anggota yang seharusnya menjadi sumber utama nyaris tidak
jalan, sementara untuk menggerakkan fungsi-fungsi demikian memerlukan biaya
yang besar. Konsekwensi logis atau derivasinya, partai akhirnya mencari dana
dari orang-orang yang punya kapital (dana/duit).
Sementara itu (disisi
lain) dengan naiknya parlemen threshold
(jumlah suara yang harus dipenuhi supaya tidak terdepak dari DPR), dari 3,5
persen menjadi 4 persen dalam pileg 2019, kembali memaksa partai-partai mencari
figur yang selain berduit, juga harus kondang/populer. Siapa mereka itu? Siapa
lagi? Salah satunya adalah figur-figur yang populer di partai lain. Figur yang
meloncat-loncat dari satu partai ke partai lain, sebagaimana kutu yang busuk
dan gatal. Strukturnya sudah sistemik seperti itu. Ironi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar