Rabu, 18 Juli 2018

MEMAKNAI PRIMORDIALISME SEBAGAI SISTEM SOSIAL




MEMAKNAI PRIMORDIALISME SEBAGAI SISTIM SOSIAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 18 Juli 2018
Merebaknya issu agama dalam menentukan pemimpin pemerintahan adalah fakta bahwa masalah-masalah sektarian masih tetap kuat. Pilpres 2014, pilkada DKI Jaya 2017, dan khususnya pilgubsu 2018, adalah fakta betapa issu itu tetap berperan. Bagaimana simbol-simbol agama dihembuskan, di propaganda-kampanyekan, di dramatisir, hingga dimanipulasi pada perhelatan tersebut sangat jelas terdeteksi. Mengapa masalah yang seharusnya sudah tuntas ketika negara ini memutuskan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi, NKRI sebagai paham kebangsaan, dan Bhinneka Tunggal sebagai lambang keragaman, issu-issu primordial tersebut masih tetap gentayangan? Apa yang keliru? Atau, jangan-jangan primordialisme sesungguhnya adalah realita, tatanan, atau sistim sosial Indonesia, namun kita (pura-pura) tidak mengakuinya. Kalau ia tidak sistim, tatanan, atau realita sosial mengapa ia terus menerus menempel praksis-praksis kemasyarakatan?
Sejak negara ini merdeka issu-issu demikian tidak pernah lekang dalam sistim sosial, khususnya dalam praktek-praktek kontestasi/perebutan kekuasaan (power politics). Simbol-simbol keagamaan, kesukuan, dan kedaerahan, tak sedetikpun tak pernah ketinggalan. Selalu menjadi partisipatoris aktif yang tidak sekedar menyertai, namun sangat menentukan. Sadar atau sebaliknya, disengaja atau tidak, ia telah reflektif dalam interaksi, saling hubungan antar aktor (insan/manusia/kalangan) dengan aktor lainnya pada setiap penentuan, seleksi, atau pemilihan aktor/kekuatan kekuasaan/pemerintahan/politik. Meminjam Harold D Laswell (1970) yang menyatakan politik adalah “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (who gets, what, and how) yang berperan dalam proses itu (terutama) adalah issu agama. Bukan kapabilitas atau kompetensi politik, seperti faktor-faktor kepemimpinan/leadershift,  meritokrasi-teknokrasi, dan lain-lain keluaran (out-put) masyarakat modern nan ilmiah.
Demokrasi Disfungsional
Oleh karena itu, sangat aneh dan dapat dikatakan sebagai pengkhianatan, bila negeri ini telah menetapkan nilai-nilai modern, seperti keragaman (multikularisme), yang dikenal dengan sebutan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai salah satu etika bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, namun tidak dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi sebagaimana hipotesis dan pertanyaan di awal tulisan ini, yakni mengapa ketidak laziman, atau tepatnya kemunafikan itu terus berlangsung, jangan-jangan primordialisme itu sesungguhnya adalah sistim sosial Indonesia, namun kita hipokrit mengakuinya. Sinyalemen ini paling tidak dapat di jelaskan dari dua persfektif, yakni persfektif Negara/pemerintahan, dan persfektif masyarakat. Dari persfektif Negara/pemerintahan dapat dikatakan, bahwa pemerintah yang menjalankan kekuasaan sejak lama hingga hari ini belum konsisten mengimplementasikan nilai keragaman (baca: Bhinneka Tunggal Ika) dalam kiprah-kiprah pemerintahan/politiknya.
Fungsi-fungsi pemerintahan yang seharusnya memperkuat nilai tersebut, seperti fungsi komunikasi, agregasi/artikulasi, dan atau khususnya sosialisasi politik belum berjalan sebagaimana mestinya. Ada kecenderungan, entah mengapa fungsi-fungsi tersebut memang tidak dijalankan sama sekali pada hal, dengan sosialisasi, agregasi, artikulasi, dan komunikasi yang intens dan konsekwen, niscaya nilai-nilai tersebut, dapat ditanamkan. Namun  sebagaimana fakta historiknya, pemerintah yang berkuasa memang belum intens melakukannya. Kalaupun dilakukan terkesan hanya sekedar-sekedaran, atau malah menjadi kontra produktif, sebagaimana misalnya yang diperankan BP7 untuk penataran Pancasila pada era Orde Baru. Orde yang menafsirkan Pancasila secara tersendiri, dan memanfaatkannya an sich hanya untuk kekuasaan establish. Oleh karena itu sangat logis, ketika Orde Reformasi muncul lembaga tersebut langsung dibubarkan. Analog dengan institusi indoktrinasi yang diterapkan pada era sebelumnya (Orde Lama).
Jika di tilik lebih seksama tidak hanya lembaga khusus demikian sesungguhnya yang tidak efektif dan efisien, melainkan juga lembaga-lembaga yang lain. Kementerian agama, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dua Kementerian yang sangat strategis menanamkan nilai-nilai keberagaman, ternyata masih jauh dari tugas yang seharusnya menjadi fungsi utamanya. Kedua Kementerian ini, tak berlebihan kalau dikatakan hanya sibuk dengan rutinitas legal-formal, ketimbang legal-rasionalnya (Max Weber, 2005). Atau mungkin juga masih mencari-cari bentuk atau formula yang ternyata tidak ketemu-ketemu juga. Sinyalemen ini dapat di lihat paling tidak dari kritik Bung Karno tahun 1952 ketika berkunjung ke Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (FE UGM). Beliau (Bung Karno) galau melihat ilmu ekonomi yang diajarkan disana karena tidak sesuai dengan kebutuhan atau kepribadian Indonesia yang Pancasilaistik. Ilmu ekonomi yang dikuliahkan disana tidak sejalan dengan jati diri Indonesia sebagaimana yang ditulis dalam pasal 33 UUD 1945, yang tekanannya kepada “kerjasama” (cooperation), bukan “persaingan” (competition) sebagaimana diajarkan di FE UGM, yang bersumber pada bukunya Samuelson “Economics”. Buku yang dari awal hingga akhir hanya mengajarkan persaingan, liberalisme yang dititahkan Adam Smith. Bukan kerjasama, kekeluargaan, dan atau gotong royong sebagaimana pesan Pancasila dan UUD 1945. Ekwivalen dengan demokrasi yang dikuliahkan di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial/Humaniora adalah demokrasi persaingan, alias liberalism. Bukan demokrasi sosial (socio demokrasi) sebagaimana dititahkan Bung Karno.
Sebagai Sistim Sosial
Dari konteks (Negara/pemerintah) demikian bagaimana mewujudkan keragaman?. Formulanya saja belum detil dan kongkrit. Belum lagi perilaku oknum-oknum pemerintah yang banyak membias (korupsi, kolusi, nepotisme, krisis otoritas, dan sejenisnya) sudah pasti membuat keinginan luhur itu semakin jauh. Namun di atas itu semua salah satu faktor, dan mungkin menjadi factor utama (determinant), yang membuat nilai keragaman itu sangat sukar diterapkan adalah identitas masyarakat itu sendiri (faktor kedua). Masyarakat Indonesia sebagaimana masyarakat Timur pada umumnya masih kental dengan nilai-nilai spiritual, minimal bila dibandingkan dengan Barat yang lebih dominan kepada material. Dengan dominannya kepada spiritual, ia akan lebih emosional dan romantic ketimbang rasional-material. Meminjam Koentjaraningrat (1984), sifat/karakter/etos ini tampil sebagai konsekwensi logis dari eksistensi bangsa ini sejak lama (jauh sebelum kolonial datang), yakni, (a) terlampau banyak terarah ke era yang lampau (tidak achievement oriented), (b) terlalu banyak menggantungkan diri kepada nasib, (c) tidak berorientasi pada hasil dan karya manusia. Sifat yang kemudian semakin menggila post revolusi, yakni melesat dan merebaknya mentalitas yang meremehkan mutu, karakter yang doyan menerabas, sifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni, dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Meski masih dapat diperdebatkan (debatable), secara general apa yang dikemukakan Koentjaraningrat di atas adalah akar, inti, atau sentral masalah permanennya issu primordialisme dalam khazanah sistim sosial Indonesia. Masalah yang jika tidak ditangani secara komprehensip dan konseptual akan tetap muncul kepermukaan, khususnya dalam Pileg dan Pilpres 2009.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar