MENGHINDARI
POLITISI BUSUK DALAM PILEG 2009
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
Pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 20
sept 2018
Istilah politisi busuk
mencuat pada tahun 2003, yakni setahun sebelum pemilihan legislatif dan
Presiden tahun 2004. Istilah yang dilontarkan beberapa LSM/NGO/ORNOP, dan para
pejuang demokrasi melihat perkembangan DPR yang melenceng jauh saat itu.
Lembaga yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, berubah
haluan menjadi titian bagi dirinya sendiri. Mereka tidak mewakili rakyat
menyampaikan aspirasinya, melainkan menggarong uangnya untuk kepentingan
pribadi dan kliknya.
Beberapa kasus
besar,seperti tragedi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), suap pemilihan
Deputy Gubernur BI (Miranda Gultom), penjualan tanker Pertamina nan eksklusif,
tercecernya cek Kemenkeu di lantai 8 gedung Nusantara I DPR, dan lain-lain adalah fakta betapa korupsi itu
merajalela. Begitu pula di DPRD-DPRD daerah, baik itu tingkat/di provinsi
maupun kabupaten/kota, tidak jauh berbeda dengan pusat.
Di daerah, selain
karena jumlahnya tidak sebesar di pusat, walaupun dilakukan dengan kasat mata, tidak
begitu terekspos oleh media. Lain hal dengan pusat yang menjadi sentral
perhatian, lebih cepat terpublikasi, meski substansi dan hakikinya sesungguhnya
sama. Namun apapun dalihnya perbuatan tak senonoh itu telah meniupkan aroma busuk/tak
sedap dan berhembus ke seluruh penjuru.
Aroma yang selanjutnya
membuat masyarakat, khususnya para aktivis demokrasi kebauan dan tidak kuat
menciumnya. Dan sebagai konsekwensi logisnya, kalangan ini teriak, bernyanyi,
dan bergunjing bahwa bau itu sudah nyengat, polutif, dan mengotori kehidupan
masyarakat.
Arti
Dan Perkembangannya
Kalau tidak keliru Indonesia
Corruption Watch (ICW), Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), dan
beberapa intelektual, seperti Thamrin Amal Tomagola, Ignas Kleden, Daniel
Dhakidae adalah pihak/sosok pertama yang menghembuskannya. Mereka menyebut
koruptor yang bersemayam di rumah rakyat itu sebagai “politisi busuk”.
Politisi yang selain menggarong
uang rakyat, ternyata (setelah ditelaah lebih lanjut) juga adalah kalangan yang terlibat dalam
tindakan-tindakan yang tidak terpuji (amoral), seperti pelanggar HAM, perusak
lingkungan, dan pelaku kekerasan terhadap perempuan (ICW, 2003).
Oleh Thamrin Amal Tomagola (2004) penyakit
yang diterminologikan ICW itu ditambahkan satu lagi, yakni mereka-mereka yang malas/jarang
mengikuti sidang-sidang di DPR. Atau kalaupun hadir, mereka lebih banyak tidur
di kursi, buka-buka android dan lain-lain kelakuan yang selayaknya tidak dipertontonkan
dalam satu persidangan.
Tidak cukup disitu. Seiring
dengan perjalanan waktu/perkembangan politik, khususnya persilatan di parlemen
yang terus-menerus mengalami pembusukan (political decay), Sebastian Salang (koordinator
Formappi), melekatkan dua lagi variabel politisi busuk. Pertama, yakni mereka
yang jarang turun ke dapil, dan, kedua, yang tak memperjuangkan aspirasi
konstituennya (Kompas,3 Januari 2013)
Jelas, terang, dan komplit
sudah pengertiannya. Politisi busuk adalah anggota parlemen yang terstigma
dengan predikat P5, yakni “pencuri, penipu, perusak, penabrak, pemukul”, yang
mirip stigma DPR Orde Baru, yakni D5, “datang,
duduk, dengar, diam, duit”. Oleh Sosiolog, Ignas Kleden (mungkin untuk
menghalus, euphemis, dan verbaliskannya) kaum ini disebut “pengangguran
politik”, yakni kalangan yang rapi, berdasi dan berjas, namun sesungguhnya tidak
punya keahlian dan kompetensi sebagai wakil rakyat. Mereka tampil tak lain tak
bukan hanya karena dukungan konstituen.
Dukungan yang tak
diduga/disadari menjadi kecelakaan dengan apa yang disebut dengan demokrasi.
Ideology politik yang diagung-agungkan pasca reformasi, namun faktanya jauh
dari harapan. Masyarakat yang sempat berharap banyak darinya, tertipu
mentah-mentah di siang bolong oleh aktor-aktornya. Aktor-aktor yang lihai main
sandiwara, akrobat, dan silat untuk kepentingan atau komplotannya sendiri.
Mereka sebagaimana yang
dibaca dalam teks-teks buku/teori politik modern bukanlah aktor, elit, atau
pemimpin yang memperjuangkan kebaikan bersama. Melainkan seperti apa yang
dilukiskan novelis dan essays Inggris, George
Orwell (1984) dalam narasinya, yakni yang mabuk kekuasaan.
Beliau (Orwell) dalam Big Brother nan omnipotence
(sangat kuasa) dan omnipresent (maha
tahu) menarasikan betapa politikus-politikus yang berasal dari partai politik
itu adalah mahluk yang sangat haus kekuasaan, yang tak peduli kebaikan bagi
orang lain. Hanya peduli bagi kekuasaan itu sendiri. Tujuan akhir atau utamanya
hanya mendatangkan keuntungan bagi diri, atau kelompok sendiri. Masa bodo
dengan rakyat (……The party seeks entirely
for its own sake. We are not interested in the good of others; we are
interested solely in power, pure power. What pure power means you will
understand presently….Power is not a means it is and….The object of power is
power)
Predikat/stigma yang
cepat akrab dengan telinga masyarakat karena ditrompet-bagdadkan media/pers
secara massif ke seluruh penjuru. Apalagi gerakan-gerakan yang dipentaskan
pentolan-pentolannya dalam berbagai event, seperti diskusi, seminar, artikel,
hingga deklarasi di tugu Proklamasi membuat suasana semakin hiruk-pikuk dan
masyarakat bertepuk kencang terhadapnya.
Tidak kurang misalnya,
nama-nama yang di rilis ICW ke publik, membuat situasi semakin gegap gempita
dan membuat politisi-politisi Senayan pada kebakaran jenggot. Mereka resah bak
cacing kepanasan, yang akhirnya berujung pada pengaduan AM Fatwa ke Polda DKI
Jaya akhir tahun 2003 (Kompas, 30 juni 2005)
Meski akhirnya ICW
mengaku keliru dan meminta maaf, tidak berarti gerakan ini tumpul. Malah
sebaliknya semakin hari semakin besar. Beberapa LSM pro demokrasi, elit-elit,
tokoh-tokoh, dan akademisi-akademisi kampus, bak cendawan di musim hujan, tak
henti mendendangkan suara-suara kenabiannya, yakni jangan pilih politisi busuk
masuk Senayan.
Hindari
Yel-yel yang nyaring
bergema sejak pileg 2004, 2009, dan 2014. Bagaimana implikasinya? Adakah
perubahan? Tidakkah sama saja, atau bahkan lebih gila lagi menjelang pileg 2019
yang akan datang? Jawabannya tidak hitam putih. Yang pasti melihat gebrakan
yang dilakukan KPK, frekuensi, kualitas, dan kwantitas busuknya masih besar.
Jangan-jangan
sebagaimana ditengarai M. Hatta sekian dasawarsa yang lalu, korupsi itu adalah
budaya. Aneh, bak kata pepatah “patah tumbuh hilang berganti. Semakin banyak
ketangkap, semakin banyak pakta integritas, semakin banyak pencegahan, semakin
banyak sumpah, tetap saja, kalau bukan lebih gawat korupsinya.
Kisah E KTP yang belum
lama berkumandang, adalah fakta betapa korupsi itu sudah sangat sistemik,
terstruktur, dan massif. Belum lagi legenda-legenda sebelumnya, seperti BLBI,
Century, dan korupsi pentolan rezim Orba yang hingga hari ini tak tersentuh.
Masalah yang semakin
runyam, mengingat politisi busuk sebagaimana disebutkan di atas tidak saja
koruptor, namun jauh di atas itu adalah mereka yang juga terlibat dalam
perampasan HAM, perusak lingkungan, pelaku kekerasan terhadap perempuan, yang malas
bersidang, jarang turun ke dapil, dan tidak memperjuangkan aspirasi konstituennya.
Mungkin juga yang lagi trend saat ini, yakni maraknya kutu loncat dan artis
penghibur pada pileg 2019 adalah politisi busuk.
Oleh karena itu, agar
DPR RI kembali ke khittahnya, yakni sebagai lembaga pembuat UU, pengawas
pemerintah, dan pemegang hak budget demi kemaslahatan masyarakat, jangan pilih
yang punya track record politisi
busuk. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar