Jumat, 21 September 2018

MENGHINDARI POLITISI BUSUK DALAM PILEG 2019



MENGHINDARI POLITISI BUSUK DALAM PILEG 2009
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf Pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 20 sept 2018
Istilah politisi busuk mencuat pada tahun 2003, yakni setahun sebelum pemilihan legislatif dan Presiden tahun 2004. Istilah yang dilontarkan beberapa LSM/NGO/ORNOP, dan para pejuang demokrasi melihat perkembangan DPR yang melenceng jauh saat itu. Lembaga yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, berubah haluan menjadi titian bagi dirinya sendiri. Mereka tidak mewakili rakyat menyampaikan aspirasinya, melainkan menggarong uangnya untuk kepentingan pribadi dan kliknya.
Beberapa kasus besar,seperti tragedi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), suap pemilihan Deputy Gubernur BI (Miranda Gultom), penjualan tanker Pertamina nan eksklusif, tercecernya cek Kemenkeu di lantai 8 gedung Nusantara I DPR,  dan lain-lain adalah fakta betapa korupsi itu merajalela. Begitu pula di DPRD-DPRD daerah, baik itu tingkat/di provinsi maupun kabupaten/kota, tidak jauh berbeda dengan pusat.
Di daerah, selain karena jumlahnya tidak sebesar di pusat, walaupun dilakukan dengan kasat mata, tidak begitu terekspos oleh media. Lain hal dengan pusat yang menjadi sentral perhatian, lebih cepat terpublikasi, meski substansi dan hakikinya sesungguhnya sama. Namun apapun dalihnya perbuatan tak senonoh itu telah meniupkan aroma busuk/tak sedap dan berhembus ke seluruh penjuru.
Aroma yang selanjutnya membuat masyarakat, khususnya para aktivis demokrasi kebauan dan tidak kuat menciumnya. Dan sebagai konsekwensi logisnya, kalangan ini teriak, bernyanyi, dan bergunjing bahwa bau itu sudah nyengat, polutif, dan mengotori kehidupan masyarakat.
Arti Dan Perkembangannya
Kalau tidak keliru Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), dan beberapa intelektual, seperti Thamrin Amal Tomagola, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae adalah pihak/sosok pertama yang menghembuskannya. Mereka menyebut koruptor yang bersemayam di rumah rakyat itu sebagai “politisi busuk”.
Politisi yang selain menggarong uang rakyat, ternyata (setelah ditelaah lebih lanjut)  juga adalah kalangan yang terlibat dalam tindakan-tindakan yang tidak terpuji (amoral), seperti pelanggar HAM, perusak lingkungan, dan pelaku kekerasan terhadap perempuan (ICW, 2003).
 Oleh Thamrin Amal Tomagola (2004) penyakit yang diterminologikan ICW itu ditambahkan satu lagi, yakni mereka-mereka yang malas/jarang mengikuti sidang-sidang di DPR. Atau kalaupun hadir, mereka lebih banyak tidur di kursi, buka-buka android dan lain-lain kelakuan yang selayaknya tidak dipertontonkan dalam satu persidangan.
Tidak cukup disitu. Seiring dengan perjalanan waktu/perkembangan politik, khususnya persilatan di parlemen yang terus-menerus mengalami pembusukan (political decay), Sebastian Salang (koordinator Formappi), melekatkan dua lagi variabel politisi busuk. Pertama, yakni mereka yang jarang turun ke dapil, dan, kedua, yang tak memperjuangkan aspirasi konstituennya (Kompas,3 Januari 2013)
Jelas, terang, dan komplit sudah pengertiannya. Politisi busuk adalah anggota parlemen yang terstigma dengan predikat P5, yakni “pencuri, penipu, perusak, penabrak, pemukul”, yang mirip stigma DPR Orde Baru, yakni D5,  “datang, duduk, dengar, diam, duit”. Oleh Sosiolog, Ignas Kleden (mungkin untuk menghalus, euphemis, dan verbaliskannya) kaum ini disebut “pengangguran politik”, yakni kalangan yang rapi, berdasi dan berjas, namun sesungguhnya tidak punya keahlian dan kompetensi sebagai wakil rakyat. Mereka tampil tak lain tak bukan hanya karena dukungan konstituen.
Dukungan yang tak diduga/disadari menjadi kecelakaan dengan apa yang disebut dengan demokrasi. Ideology politik yang diagung-agungkan pasca reformasi, namun faktanya jauh dari harapan. Masyarakat yang sempat berharap banyak darinya, tertipu mentah-mentah di siang bolong oleh aktor-aktornya. Aktor-aktor yang lihai main sandiwara, akrobat, dan silat untuk kepentingan atau komplotannya sendiri.
Mereka sebagaimana yang dibaca dalam teks-teks buku/teori politik modern bukanlah aktor, elit, atau pemimpin yang memperjuangkan kebaikan bersama. Melainkan seperti apa yang dilukiskan novelis dan essays Inggris, George Orwell (1984) dalam narasinya, yakni yang mabuk kekuasaan.
Beliau (Orwell) dalam Big Brother nan omnipotence (sangat kuasa) dan omnipresent (maha tahu) menarasikan betapa politikus-politikus yang berasal dari partai politik itu adalah mahluk yang sangat haus kekuasaan, yang tak peduli kebaikan bagi orang lain. Hanya peduli bagi kekuasaan itu sendiri. Tujuan akhir atau utamanya hanya mendatangkan keuntungan bagi diri, atau kelompok sendiri. Masa bodo dengan rakyat (……The party seeks entirely for its own sake. We are not interested in the good of others; we are interested solely in power, pure power. What pure power means you will understand presently….Power is not a means it is and….The object of power is power)    
Predikat/stigma yang cepat akrab dengan telinga masyarakat karena ditrompet-bagdadkan media/pers secara massif ke seluruh penjuru. Apalagi gerakan-gerakan yang dipentaskan pentolan-pentolannya dalam berbagai event, seperti diskusi, seminar, artikel, hingga deklarasi di tugu Proklamasi membuat suasana semakin hiruk-pikuk dan masyarakat bertepuk kencang terhadapnya.
Tidak kurang misalnya, nama-nama yang di rilis ICW ke publik, membuat situasi semakin gegap gempita dan membuat politisi-politisi Senayan pada kebakaran jenggot. Mereka resah bak cacing kepanasan, yang akhirnya berujung pada pengaduan AM Fatwa ke Polda DKI Jaya akhir tahun 2003 (Kompas, 30 juni 2005)
Meski akhirnya ICW mengaku keliru dan meminta maaf, tidak berarti gerakan ini tumpul. Malah sebaliknya semakin hari semakin besar. Beberapa LSM pro demokrasi, elit-elit, tokoh-tokoh, dan akademisi-akademisi kampus, bak cendawan di musim hujan, tak henti mendendangkan suara-suara kenabiannya, yakni jangan pilih politisi busuk masuk Senayan.
Hindari
Yel-yel yang nyaring bergema sejak pileg 2004, 2009, dan 2014. Bagaimana implikasinya? Adakah perubahan? Tidakkah sama saja, atau bahkan lebih gila lagi menjelang pileg 2019 yang akan datang? Jawabannya tidak hitam putih. Yang pasti melihat gebrakan yang dilakukan KPK, frekuensi, kualitas, dan kwantitas busuknya masih besar.
Jangan-jangan sebagaimana ditengarai M. Hatta sekian dasawarsa yang lalu, korupsi itu adalah budaya. Aneh, bak kata pepatah “patah tumbuh hilang berganti. Semakin banyak ketangkap, semakin banyak pakta integritas, semakin banyak pencegahan, semakin banyak sumpah, tetap saja, kalau bukan lebih gawat korupsinya.
Kisah E KTP yang belum lama berkumandang, adalah fakta betapa korupsi itu sudah sangat sistemik, terstruktur, dan massif. Belum lagi legenda-legenda sebelumnya, seperti BLBI, Century, dan korupsi pentolan rezim Orba yang hingga hari ini tak tersentuh.
Masalah yang semakin runyam, mengingat politisi busuk sebagaimana disebutkan di atas tidak saja koruptor, namun jauh di atas itu adalah mereka yang juga terlibat dalam perampasan HAM, perusak lingkungan, pelaku kekerasan terhadap perempuan, yang malas bersidang, jarang turun ke dapil, dan tidak memperjuangkan aspirasi konstituennya. Mungkin juga yang lagi trend saat ini, yakni maraknya kutu loncat dan artis penghibur pada pileg 2019 adalah politisi busuk.
Oleh karena itu, agar DPR RI kembali ke khittahnya, yakni sebagai lembaga pembuat UU, pengawas pemerintah, dan pemegang hak budget demi kemaslahatan masyarakat, jangan pilih yang punya track record politisi busuk. Merdeka   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar