POLITIK
UANG IMPLIKASI SISTIM PEMILU
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published,
Waspada 1 Maret 2019
….rezim yang berkuasa bersemboyan
melaksanakan Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 secara murni dan
konsekwen…Pemilu yang didasarkan kepada UU Pemilu selera rezim
Pakar korupsi
pemerintahan, Susan Rose-Ackerman dalam bukunya yang terkenal Corruption and
Government; Causes, Consequences, and
Reform (2000) menawarkan dua jalan keluar (way out) radikal meretas dampak
korupsi yang kronis. Yang pertama adalah melegalkan yang selama ini dianggap
illegal. Sahkan saja, tapi catat dengan baik. Yang kedua menghilangkan sama
sekali kebijakan/program/event yang menjadi sumber korupsi itu. Bubarkan begitu
kongkritnya.
Bila dihubungkan dengan
pemilu Indonesia yang marak dengan “suap, beli suara, atau politik uang”, jalan
keluar yang ditawarkan Susan Rose-Ackerman demikian mungkin relevan
dipertimbangkan. Daripada terus menerus meratapi, menghujat, atau membuat beban,
tidakkah jalan keluar ekstrim itu pantas diterapkan?
Artinya politik uang yang
terus merebak bak bunga bangkai, yang baunya sudah sampai ke langit ketujuh itu
tidakkah sebaiknya disahkan saja? Biarkan saja berlangsung apa adanya. Biarkan masing-masing
caleg/pihak berlomba-lomba menabur duit kepada konstituen. Kalau tidak mau
seperti itu, yah bubarkan saja (perhelatan/pemilu itu). Cari rancang
bangun/model baru yang lebih baik.
Rekayasa
Sistim Pemilu
Toh dibeberapa negara
yang tidak mempraktekkan pemilu demokratis dalam pemilihan dan penentuan
pemimpinnya tiada masalah. Lancar-lancar/biasa-biasa saja. RRC, Brunei
Darussalam, Myanmar etc adalah beberapa ilustrasi negara yang tidak
melangsungkan pemilu demokratis dalam penentuan elit-elitnya. Nyatanya baik-baik
saja. Bahkan dari segi kemajuan ekonomi, negara-negara ini cukup maju.
Secara general,
masyarakatnya aman, sejahtera, dan cerdas. Jarang, atau nyaris terdengar bahwa
dinegara-negara itu terjadi kerusuhan, konflik, kesengsaraan, atau ketimpangan yang
ekstrim, sebagaimana yang kerapkali terjadi dinegara-negara yang mempraktekkan
demokrasi. Tidakkah tujuan, suasana atau iklim seperti ini sesungguhnya yang
harus kita gapai, seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945?
Dalam UUD 1945 asli (sebelum
di amandemen) kata “demokrasi”, apalagi sistim pemilu demokratis tidak
ditemukan (memang tidak dicantumkan), sebab dianggap tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia, yakni kekeluargaan, dan atau khususnya gotong royong.
Demokrasi yang berasal dari Barat, yang didasarkan kepada titahnya Rousseau itu
tidak cocok karena berpaham perseorangan/individualistik.
Celakanya menolak
demokrasi Barat, namun tidak menetapkan sistim yang sesuai dengan demokrasi
Indonesia (Pancasila, dan khususnya pasal 1 ayat (2) UUD 1945, negara
berdasarkan kedaulatan rakyat). Para perumus UUD 1945 hingga penetapannya pada
tanggal 18 Agustus 1945 tidak mencapai kesepakatan tentang “instrument (tool), metode
atau konsep, yang sesuai untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana tertulis
dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Dalam artian lain, the founding fathers itu dead lock, kalau bukan gagal, memutus
atau menseleksi salah satu sistim pemilu yang sesungguhnya sangat banyak
pilihannya. Apakah itu sistim pemilihan seperempat, separoh, atau full demokratis yang sudah lazim
digunakan diberbagai negara dengan segala variannya, yang patrimonial/neo
patrimonial/otoriter, yang juga banyak jenisnya, atau cara lain yang spesifik/khas
Indonesia tidak tuntas hingga batas waktu yang ditetapkan (18 Agustus 1945).
Masing masing anggota
BPUPKI, (yakni badan pembuat UUD), yang bersidang waktu itu, terjebak dalam perdebatan
yang sukar, alot, dikhotomik dan kontradiktif. Perdebatan yang idealnya sudah
selesai ketika konstitusi itu diundangkan sehingga tidak menimbulkan masalah di
kemudian hari. Tidakkah konstitusi kata akhir legitimasi, justifikasi, atau
khususnya sumber dari segala sumber hukum?
Pertanyaan tinggal
pertanyaan, yang pasti itulah realitanya. Realita yang dalam perjalanannya kemudian
mengalami bolong-bolong dan bopeng-bopeng yang cukup serius. Pemilu pertama yang
dilaksanakan tahun 1955, tidak didasarkan kepada UUD 1945, melainkan UUD
Sementara 1950 yang bersifat parlementaris.
Pemilu/pileg yang
disebut-sebut paling demokratis, namun dalam perjalanan atau prosesnya tidak
sesukses pemilunya. Out put atau hasilnya nol besar, sebab Konstituante yang
menjadi lembaganya gagal menjalankan fungsinya. Antara anggota-anggotanya tidak
ada kesepakatan, sehingga memaksa Presiden Soekarno membubarkannya dan kembali
ke UUD 1945.
Meski telah kembali ke
UUD 1945, dan rezim yang berkuasa bersemboyan melaksanakan Pancasila dan
Konstitusi/UUD 1945 secara murni dan konsekwen, tidak ada garansi bahwa sistim
pemilu yang kemudian akan diterapkan pada pemilu 1971, akan mengikuti imperatif
UUD.
Pemilu 1971 sebagaimana
sudah menjadi pengetahuan umum adalah pemilu yang penuh rekayasa. Pemilu
lawak-lawakan/sandiwara/penuh intrik. Pemilu yang sudah diketahui hasil/
pemenangnya sebelum pemilunya dilangsungkan. Pemilu yang didasarkan kepada UU
Pemilu selera rezim. UU dan sistem pemilihan yang kemudian diterapkan pada
pemilu, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu selanjutnya yang
seharusnya dilaksanakan 2002, namun sesuai Tap MPR No XIV Tahun 1998 sebagaimana
tuntutan reformasi, dipercepat menjadi tahun 1999. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya/Orde
Baru, pemilu kali inipun tetap didasarkan kepada UU. Bedanya adalah bahwa dalam
pemilu 1999 ini merebak euphoria kebebasan, khususnya kebebasan membentuk
partai-partai politik, sebagai konsekwensi dari reformasi yang berhembus
kencang
Hembusan kencang dan
dinamika politik, yang akhirnya menelorkan 48 partai, yang sebelumnya hanya
tiga dalam pemilu. Namun sebagaimana faktanya kemudian yang dapat kursi di DPR
hanya 21 partai. Itupun kalau ditilik lebih seksama, masihlah partai-partai dan
pemain-pemain lama yang berperan dalam Pemilu Orde Baru.
Era dan bungkusnya saja
yang baru. Isi, substansi dan hakikinya masih tetap yang lama, yakni oligark-oligark
yang menguasai panggung ekonomi-politik Orde Baru. Dengan mengikuti
perkembangan yang sedang berlangsung (euphoria reformasi), kalangan elitis ini
mengkonsolidasikan diri untuk tetap/kembali berkuasa.
Dalam terminologi/bahasa
Olle Tornquist (2005), oligark-oligark itu telah sukses membajak demokrasi dan
membelokkannya sesuai dengan kepentingannya, yakni otoritarianisme dengan
busana kebebasan politik. Kebebasan politik (alias demokrasi) yang bertiup
kencang, justru menjadi instrument terbaik mencapai kepentingan-kepentingan sempitnya
(vested interest)
Implikasi
Sistim Pemilu
Walaupun UUD 1945 kemudian
diamandemen hingga empat kali, dan memasukkan “Pemilu dan partai politik” di
dalamnya (agar kelihatan lebih demokratis), pada implementasinya tidak ada
perubahan yang significan. Artinya tidak terjadi transformasi sosial, yakni
kesetaraan dan keadilan, yang menjadi substansi demokrasi.
Malah sebaliknya yang
melesat, yakni semakin didemokratiskan sistim pemilihan semakin tinggi biaya dan
ekses sosialnya. Dengan diterapkannya sistim proporsional terbuka dengan
prioritas daftar/nomor urut, yang bersaing kemudian tidak lagi partai lawan
partai, melainkan orang lawan orang yang berimplikasi sangat luas.
Masalah-masalah yang
sebelumnya tidak muncul kepermukaan ketika sistim proporsional dengan daftar
tertutup, seperti issu primordialisme, jeruk makan jeruk, dan terutama biaya
kampanye yang terus membengkak, melesat dalam sistim pemilihan proporsional
terbuka dengan daftar/nomor urut ini.
Konon untuk menjadi anggota
DPR RI minimal harus menyediakan Rp 5 M (Tajuk Kompas, 29 Januari 2019) dan itu
bukan isapan jempol, kata pakar pemilu, Ramlan Surbakti (K, 5 Des 2018). Betapa
tidak? Selain mempraksiskan kampanye yang diizinkan UU No 7 Tahun 2017, yang
berbiaya sangat besar, terutama adalah terjadinya transaksi/beli suara, yang
popular dengan sebutan politik uang.
Politik keliru, tercela, dan bejat, namun
karena sama-sama membutuhkan terjadilah perselingkuhan itu. Akan dilestarikan?
Susan Rose-Ackerman sudah memberikan jalan keluar, legalkan atau ganti sistim
pemilunya. Merdeka !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar