Rabu, 06 Maret 2019

POLITIK UANG IMPLIKASI SISTIM PEMILU



POLITIK UANG IMPLIKASI SISTIM PEMILU
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published, Waspada 1 Maret 2019
….rezim yang berkuasa bersemboyan melaksanakan Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 secara murni dan konsekwen…Pemilu yang didasarkan kepada UU Pemilu selera rezim
Pakar korupsi pemerintahan, Susan Rose-Ackerman dalam bukunya yang terkenal Corruption and Government;  Causes, Consequences, and Reform (2000) menawarkan dua jalan keluar (way out) radikal meretas dampak korupsi yang kronis. Yang pertama adalah melegalkan yang selama ini dianggap illegal. Sahkan saja, tapi catat dengan baik. Yang kedua menghilangkan sama sekali kebijakan/program/event yang menjadi sumber korupsi itu. Bubarkan begitu kongkritnya.
Bila dihubungkan dengan pemilu Indonesia yang marak dengan “suap, beli suara, atau politik uang”, jalan keluar yang ditawarkan Susan Rose-Ackerman demikian mungkin relevan dipertimbangkan. Daripada terus menerus meratapi, menghujat, atau membuat beban, tidakkah jalan keluar ekstrim itu pantas diterapkan?
Artinya politik uang yang terus merebak bak bunga bangkai, yang baunya sudah sampai ke langit ketujuh itu tidakkah sebaiknya disahkan saja? Biarkan saja berlangsung apa adanya. Biarkan masing-masing caleg/pihak berlomba-lomba menabur duit kepada konstituen. Kalau tidak mau seperti itu, yah bubarkan saja (perhelatan/pemilu itu). Cari rancang bangun/model baru yang lebih baik.
Rekayasa Sistim Pemilu
Toh dibeberapa negara yang tidak mempraktekkan pemilu demokratis dalam pemilihan dan penentuan pemimpinnya tiada masalah. Lancar-lancar/biasa-biasa saja. RRC, Brunei Darussalam, Myanmar etc adalah beberapa ilustrasi negara yang tidak melangsungkan pemilu demokratis dalam penentuan elit-elitnya. Nyatanya baik-baik saja. Bahkan dari segi kemajuan ekonomi, negara-negara ini cukup maju.
Secara general, masyarakatnya aman, sejahtera, dan cerdas.  Jarang, atau nyaris terdengar bahwa dinegara-negara itu terjadi kerusuhan, konflik, kesengsaraan, atau ketimpangan yang ekstrim, sebagaimana yang kerapkali terjadi dinegara-negara yang mempraktekkan demokrasi. Tidakkah tujuan, suasana atau iklim seperti ini sesungguhnya yang harus kita gapai, seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945?
Dalam UUD 1945 asli (sebelum di amandemen) kata “demokrasi”, apalagi sistim pemilu demokratis tidak ditemukan (memang tidak dicantumkan), sebab dianggap tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, yakni kekeluargaan, dan atau khususnya gotong royong. Demokrasi yang berasal dari Barat, yang didasarkan kepada titahnya Rousseau itu tidak cocok karena berpaham perseorangan/individualistik.
Celakanya menolak demokrasi Barat, namun tidak menetapkan sistim yang sesuai dengan demokrasi Indonesia (Pancasila, dan khususnya pasal 1 ayat (2) UUD 1945, negara berdasarkan kedaulatan rakyat). Para perumus UUD 1945 hingga penetapannya pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak mencapai kesepakatan tentang “instrument (tool), metode atau konsep, yang sesuai untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana tertulis dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Dalam artian lain, the founding fathers itu dead lock, kalau bukan gagal, memutus atau menseleksi salah satu sistim pemilu yang sesungguhnya sangat banyak pilihannya. Apakah itu sistim pemilihan seperempat, separoh, atau full demokratis yang sudah lazim digunakan diberbagai negara dengan segala variannya, yang patrimonial/neo patrimonial/otoriter, yang juga banyak jenisnya, atau cara lain yang spesifik/khas Indonesia tidak tuntas hingga batas waktu yang ditetapkan (18 Agustus 1945).
Masing masing anggota BPUPKI, (yakni badan pembuat UUD), yang bersidang waktu itu, terjebak dalam perdebatan yang sukar, alot, dikhotomik dan kontradiktif. Perdebatan yang idealnya sudah selesai ketika konstitusi itu diundangkan sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Tidakkah konstitusi kata akhir legitimasi, justifikasi, atau khususnya sumber dari segala sumber hukum?
Pertanyaan tinggal pertanyaan, yang pasti itulah realitanya. Realita yang dalam perjalanannya kemudian mengalami bolong-bolong dan bopeng-bopeng yang cukup serius. Pemilu pertama yang dilaksanakan tahun 1955, tidak didasarkan kepada UUD 1945, melainkan UUD Sementara 1950 yang bersifat parlementaris.
Pemilu/pileg yang disebut-sebut paling demokratis, namun dalam perjalanan atau prosesnya tidak sesukses pemilunya. Out put atau hasilnya nol besar, sebab Konstituante yang menjadi lembaganya gagal menjalankan fungsinya. Antara anggota-anggotanya tidak ada kesepakatan, sehingga memaksa Presiden Soekarno membubarkannya dan kembali ke UUD 1945.
Meski telah kembali ke UUD 1945, dan rezim yang berkuasa bersemboyan melaksanakan Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 secara murni dan konsekwen, tidak ada garansi bahwa sistim pemilu yang kemudian akan diterapkan pada pemilu 1971, akan mengikuti imperatif UUD.
Pemilu 1971 sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum adalah pemilu yang penuh rekayasa. Pemilu lawak-lawakan/sandiwara/penuh intrik. Pemilu yang sudah diketahui hasil/ pemenangnya sebelum pemilunya dilangsungkan. Pemilu yang didasarkan kepada UU Pemilu selera rezim. UU dan sistem pemilihan yang kemudian diterapkan pada pemilu, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu selanjutnya yang seharusnya dilaksanakan 2002, namun sesuai Tap MPR No XIV Tahun 1998 sebagaimana tuntutan reformasi, dipercepat menjadi tahun 1999. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya/Orde Baru, pemilu kali inipun tetap didasarkan kepada UU. Bedanya adalah bahwa dalam pemilu 1999 ini merebak euphoria kebebasan, khususnya kebebasan membentuk partai-partai politik, sebagai konsekwensi dari reformasi yang berhembus kencang
Hembusan kencang dan dinamika politik, yang akhirnya menelorkan 48 partai, yang sebelumnya hanya tiga dalam pemilu. Namun sebagaimana faktanya kemudian yang dapat kursi di DPR hanya 21 partai. Itupun kalau ditilik lebih seksama, masihlah partai-partai dan pemain-pemain lama yang berperan dalam Pemilu Orde Baru.
Era dan bungkusnya saja yang baru. Isi, substansi dan hakikinya masih tetap yang lama, yakni oligark-oligark yang menguasai panggung ekonomi-politik Orde Baru. Dengan mengikuti perkembangan yang sedang berlangsung (euphoria reformasi), kalangan elitis ini mengkonsolidasikan diri untuk tetap/kembali berkuasa.
Dalam terminologi/bahasa Olle Tornquist (2005), oligark-oligark itu telah sukses membajak demokrasi dan membelokkannya sesuai dengan kepentingannya, yakni otoritarianisme dengan busana kebebasan politik. Kebebasan politik (alias demokrasi) yang bertiup kencang, justru menjadi instrument terbaik mencapai kepentingan-kepentingan sempitnya (vested interest)
Implikasi Sistim Pemilu
Walaupun UUD 1945 kemudian diamandemen hingga empat kali, dan memasukkan “Pemilu dan partai politik” di dalamnya (agar kelihatan lebih demokratis), pada implementasinya tidak ada perubahan yang significan. Artinya tidak terjadi transformasi sosial, yakni kesetaraan dan keadilan, yang menjadi substansi demokrasi.
Malah sebaliknya yang melesat, yakni semakin didemokratiskan sistim pemilihan semakin tinggi biaya dan ekses sosialnya. Dengan diterapkannya sistim proporsional terbuka dengan prioritas daftar/nomor urut, yang bersaing kemudian tidak lagi partai lawan partai, melainkan orang lawan orang yang berimplikasi sangat luas.
Masalah-masalah yang sebelumnya tidak muncul kepermukaan ketika sistim proporsional dengan daftar tertutup, seperti issu primordialisme, jeruk makan jeruk, dan terutama biaya kampanye yang terus membengkak, melesat dalam sistim pemilihan proporsional terbuka dengan daftar/nomor urut ini.
Konon untuk menjadi anggota DPR RI minimal harus menyediakan Rp 5 M (Tajuk Kompas, 29 Januari 2019) dan itu bukan isapan jempol, kata pakar pemilu, Ramlan Surbakti (K, 5 Des 2018). Betapa tidak? Selain mempraksiskan kampanye yang diizinkan UU No 7 Tahun 2017, yang berbiaya sangat besar, terutama adalah terjadinya transaksi/beli suara, yang popular dengan sebutan politik uang.
 Politik keliru, tercela, dan bejat, namun karena sama-sama membutuhkan terjadilah perselingkuhan itu. Akan dilestarikan? Susan Rose-Ackerman sudah memberikan jalan keluar, legalkan atau ganti sistim pemilunya. Merdeka !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar