Minggu, 24 Februari 2019

PILEG 2019; DEMOKRASI BELI SUARA ?



PILEG 2019; DEMOKRASI BELI SUARA ?
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published, Analisa, 19 Februari 2019
Susan Rose - Ackerman dalam bukunya Korupsi Pemerintahan (Corruption and Government Causes, Consequences, And Reform, 2000) menyatakan bahwa alat yang paling ampuh untuk menganalisis mengapa terjadi korupsi adalah ilmu ekonomi. Mengapa pakar korupsi kondang dari Yale University itu mengatakan demikian adalah karena motif utama perbuatan serakah itu adalah memperkaya diri melalui institusi-institusi negara, lepas dari legal atau sebaliknya. Bagaimana supaya kaya menjadi kata kuncinya.
Meski tidak dihubungkan dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition (kompetisi), sesungguhnya itulah argumentasi empiriknya. Bukankah Adam Smith bertitah bahwa persaingan (kompetisi) antar individu/pribadi itu akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang via tangan-tangan tak terlihat (invisible hand)? Yang pasti dalam realita-praksisnya, persaingan itu hanya menguntungkan si individu yang paling efisien, kuat, licin, dan lihai.
Tidak diluarnya, sebagaimana dititah-teorikan sebelumnya, yakni, akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang, karena akan melesatkan kompetisi yang membuat barang-barang, komoditas, dan lain-lain unsur ekonomi menjadi murah dan bermutu. Faktanya tidak seperti itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli, kartel, dan lain-lain penyakit kronis ekonomi. Paul Krugman (1995) dengan tegas menudingnya sebagai zero sum game.
Susan Rose - Ackerman yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World Bank) kenegara-negara lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang (NSB), menyebut distorsi demikian menyeruak karena negara dan swasta tidak berfungsi semestinya. Negara/pemerintah dan swasta tidak menjalankan tugas dan fungsi secara konsekwen sebagaimana yang tertulis dalam Konstitusinya (UUD, UU, dan lain-lain aturan pendukungnya).
 Katanya/tertulisnya demokrasi, namun yang tampil tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu. Kalau sungguh-sungguh menerapkan demokrasi, sebagaimana pengalaman banyak negara yang menempuhnya, korupsi itu seharusnya berkurang. Tidak seperti dinegeri ini korupsi malah tereskalasi lewat proses demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Sungguh suatu dunia yang ironis dan jungkir balik.
Konsepsi demikian (ironi dan jungkir balik) inilah yang terjadi pada pileg 2004, 2009, 2014, dan khususnya pada hari-hari/saat ini, yakni dalam kampanye-kampanye (menuju) pileg 2019. Konsep bias yang semakin mengental, mentradisi, melembaga, yang jika tidak dihentikan akan menjadi kebenaran.
Idealnya semakin lama proses itu berlangsung, sebagaimana konsepsi sistim politik demokratis (David Easton,1950) semakin baik kwalitasnya. Tidakkah input (tuntutan dan dukungan) yang berproses dalam black box (sistim politik) akan menghasilkan out put (keputusan dan kebijakan) yang handal bagi kebebasan, kesejahteraan, dan keadilan masyarakat?
Disini aneh, justru semakin lama sistim, pola, atau praksis pemilihan satu orang, satu suara, dan satu nilai (One men, One Vote, One Value, OPOVOV) nan proporsional terbuka itu dipraktekkan semakin kacau balau, acakkadut, dan amburadul hasilnya. Masalah, konflik, dan krisis yang dalam pileg-pileg sebelumnya tidak muncul kepermukaan, dalam sistim ini menyeruak dengan kasat mata. Masalah-masalah politik identitas, jeruk makan jeruk, dan terutama politik berbiaya tinggi adalah ilustrasinya.
Biaya Besar
Dalam pileg 2004, yakni ketika pertama kali model pemilihan proporsional terbuka/langsung itu dioperasionalkan, sudah terendus betapa model yang (katanya) sangat demokratis demikian akan berbiaya besar.
Biaya demikian adalah alat-alat peraga kampanye yang sangat banyak dan mahal, seperti iklan di media cetak/audio visual, spanduk, baliho, kaos, klender, selain biaya tim kampanye/event organizer (EO) yang an sich hanya ditimpakan kepada caleg-calegnya. Konsekwensi logisnya para caleg dengan segala kekuatan dan keterbatasannya dipaksa dan terpaksa harus menyediakan dana tersebut apabila ingin survive/menang dalam kontestasi.
Disisi lain, selain biaya alat peraga kampanye dan tim teknis (EO) yang sangat mahal itu, yang membuat kemudian pembiayaan semakin membengkak adalah, sang calon tidak jarang dipungut biaya/mahar, yakni harus bayar uang kepada partai yang mengusungnya. Terutama caleg yang di rekrut dari luar partai, alias bukan kader, apalagi untuk mendapatkan nomor urut atas (nomor 1, 2, dan maksimal no 3).
Tidak cukup disitu. Faktor selanjutnya yang memperbesar pengeluaran adalah biaya pengamanan suara supaya tidak hilang. Biaya yang seharusnya bukan pengeluaran partai/caleg, realitanya tetap terbebani apabila suaranya tidak dicuri/hilang sebagaimana yang ditengarai kerapkali terjadi.
Aktor-aktor yang terlibat disini, terutama adalah saksi, plus koordinatornya. Diperlukan saksi di setiap TPS, yang sudah barang tentu harus dibayar. Meski tidak resmi biaya-biaya yang seharusnya tidak menjadi beban caleg/partai, seperti untuk penyelenggara pemilihan (PPS, pihak keamanan, Bawaslu, dan KPU) ternyata (juga) harus disediakan. Belum lagi biaya-biaya teknis tak terduga yang selalu muncul mengiringinya, yang jumlahnya cukup significan.
Pembengkakan Biaya
Akan tetapi yang membuat biaya kampanye itu semakin besar berlipat-lipat tak terbatas, adalah mencuatnya pola yang tak lazim (uncommon), yang tak ada dalam aturan pileg. Pola yang sesungguhnya dilarang, diharamkan, dan kampungan, namun menjadi determinant factor (faktor penentu) keunggulan. Metode/pola/kiat  ini adalah yang popular dengan sebutan “suap, sogok, uang pelicin, dan sejenisnya” yang diberikan sang caleg kepada pemilih. Bagaimana caranya?
Cara/metode yang lazim ditempuh pada umumnya adalah mengikuti alur aturan yang sudah tertulis dalam UU Pemilu, namun dalam praksisnya di improvisasi, dibelokkan, atau malah dijungkir balikkan. Dalam artian lain, prosedurnya diikuti, namun substansinya disesuaikan dengan kepentingan sempitnya (vested interest).
Model-model kampanye sebagaimana tertulis dalam UU Pemilu, seperti (a) pertemuan terbatas, (b) pertemuan tatap muka, (c) pemasangan atribut kampanye, dan (d) Iklan melalui media, tetap menjadi acuan, namun sebatas mekanisme-prosedurnya. Sebagai ilustrasi adalah apa yang dilakukan dalam pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.
Dalam pertemuan tersebut tetap berlangsung imperative UU Pemilu, seperti, penyampaian visi, misi, program, rencana kebijakan publik, trackrecord/rekam jejak, komunikasi/sosialisasi dua arah, dan lain-lain unsur suatu kampanye . Akan tetapi pasca acara itu terjadilah hal-hal yang tidak tertulis dan dilarang dalam UU Pemilu. Tampillah modus-modus misterius, yang siluman, bak hantu disiang bolong, yakni transaksi-transaksi (uang) antara kalangan sang caleg dengan peserta pertemuan.
Namun sebagaimana disinggung di atas, pola demikian, yaitu, yang mengikuti alur-aturan yang ada dalam UU Pemilu barulah tahap awal, dan jembatan kamuflase untuk transaksi yang lebih raksasa. Masalah seperti  apa atau bagaimana agar transaksi/pembagian tersebut tidak terjerat hukum sudah ada metodenya (ahli terlatih untuk itu lebih dari cukup telah tersedia)
Soal berapa jumlah yang harus diberikan (dibagi), sebagaimana penuturan pihak yang pengalaman dalam hal tersebut sangat bervariasi. Ada yang Rp 400.000,-, Rp 300.000, Rp 150.000,- per orang. Tergantung segmen, kelas, atau level masyarakatnya. Bagi kelas menengah, bawah, dan atas sudah pasti berbeda. Bisa jadi hanya puluhan ribu rupiah, namun sebaliknya bisa jutaan. Calo-calo untuk memuluskannya lebih dari cukup telah gentayangan. Apa bedanya dengan calo-calo yang merajalela dalam urusan-urusan publik selama ini? Tidakkah itu telah fenomenologis? Sama saja.
Pembengkakan Biaya
Akan tetapi apapun dalihnya, Pembengkakan pembayaran demikian semakin meroket, mengingat pertemuan-pertemuan terbatas tersebut tidak hanya pertemuan resmi kampanye nan politis. Melainkan telah menerobos pertemuan-pertemuan diluarnya, yakni pertemuan yang bersifat sosial-budaya dan relijius. Pertemuan yang seharusnya tidak etis digunakan sebagai ajang kampanye, namun telah diarah-belokkan kesana.
Pertemuan-pertemuan adat, apalagi pertemuan-pertemuan yang bersifat relijius sebagaimana hakikinya adalah pertemuan yang sakral. Pertemuan yang tujuan utamanya membangun spiritualitas. Bukan pertemuan-pertemuan politik yang an sich mengejar kekuasaan, yang sarat dengan kepentingan-kepentingan sempit (vested interest). Tidak seperti itu
 Namun sebagaimana faktanya pertemuan inipun sudah diwarnai (kalau bukan dinodai) pola-pola komersil yang sarat dengan transaksi-transaksi. Transaksi yang sukar dijerat hukum karena sifat pertemuannya yang bukan politis/kampanye, namun kenyataannya berlangsung kampanye. Modus, penyimpangan, atau kampanye terselubung yang melesat bak jet membelah langit pada pileg 2009 (baca: George Yunus Aditjondro, 2010, Gurita Cikeas), dan (terutama) pada pileg 2014.
Mungkin atas dasar pertimbangan demikian, yakni supaya tidak semakin runyam situasinya, pemerintah bersama DPR mengeluarkan kebijakan, yaitu memberi bantuan alat peraga dan iklan kampanye bagi setiap caleg, dan biaya kampanye ditanggung partai masing-masing (pasal 329 UU No 7 Tahun 2017). Khusus untuk menyediakan/membiayai alat-alat peraga kampanye ditugaskan kepada KPU.
Dalam perjalanan atau fakta-empiriknya, kebijakan demikian (ternyata) tidak banyak pengaruhnya. Malah menurut para petahana yang akan maju kembali dalam pileg 2019, justru sebaliknya yang mengemuka, yakni pembiayaan kampanye semakin berganda hingga 10 X lipat, dan sebagai konsekwensinya para caleg jika ingin menang lagi, harus menyediakan dana minimal Rp 5 M (Tajuk Rencana Kompas, 30 Januari 2019)
Fantastic namun itulah kredonya. Kredo yang diakui sendiri oleh pentolan-pentolan partainya. Hajriyanto Tohari, anggota tim seleksi caleg partai Golkar, nyerocos bahwa ditengah-tengah sistim pemilu berbiaya tinggi yang berlangsung pasca reformasi, tidak dimungkiri bahwa faktor logistik menjadi pertimbangan penting. Siapa yang memenuhi syarat itu? Salah satunya sudah pasti adalah petahana.
Meski mengorbankan kaderisasi, regenerasi, dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi kepartaian, yang diutamakan dalam pencalegan tetaplah petahana. Selain memiliki finansil yang memadai, jaringan yang kongkrit, merekapun punya kapasitas/pengalaman yang lebih ketimbang caleg pendatang baru (K 25 Jan 2019).
Tidak begitu beda diutarakan Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP PDIP, yakni kemampuan finansial caleg menjadi salah satu pertimbangan partai dalam memberi nomor urut, yakni nomor urut atas. Caleg yang punya uang besar akan didahulukan dari pada caleg yang uangnya kecil.
Analog dengan partai-partai lain, meski tidak bernyanyi seperti Hajriyanto Tohari dan Andreas Hugo Pareira, namun dari urutan-urutan calegnya pada daftar calon tetap (DCT) kelihatan bahwa yang diutamakan adalah petahana (kaum yang sudah punya modal, pengalaman, dan jaringan)
Demokrasi Beli Suara
Ilustrasi lain yang betul-betul biadab dan berbiaya besar adalah pembentukan tim yang sama sekali tidak melakukan kampanye sebagaimana diamanatkan UU, namun langsung memobilisasi dukungan pemilih. Mereka/tim ini bergerak langsung ke sosok-sosok, kantong-kantong, atau segmen konstituen yang dianggap dapat meraup suara.
Kiat yang mereka gunakan pada umumnya adalah gabungan dari pola-pola pemasaran dalam ekonomi, intelijen, hingga siluman. Metode yang jauh lebih strategis ketimbang metode yang dimanatkan UU Pemilu, atau pola kampanye umum, sebab lebih efektif dan efisien. Lokasi, wilayah, atau garapan mereka pada umumnya bisa perkecamatan, perdesa, atau per TPS. Mereka meletakkan orang-orangnya disana.
Jumlah mereka disesuaikan dengan banyaknya konstituen yang dibidik. Bisa besar, sedang, atau kecil. Dari pengakuan seorang caleg yang sudah beberapa kali terpilih, jumlah yang direkrutnya setiap pileg antara 20 sampai 40 orang perkecamatan. Bisa dibayangkan bila dalam satu kabupaten/kota terdiri dari 25 kecamatan, sementara dapilnya 4 kabupaten/kota,berapa besar biaya yang dikeluarkan.?
Tidak sekedar Rp 5 M, sebagaimana disebutkan diatas. Bisa jadi jauh di atas itu. Ironis. Lalu? Sudah waktunya sistim pileg ini dievaluasi. Merdeka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar