PILEG
2019; DEMOKRASI BELI SUARA ?
Oleh
: Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published,
Analisa, 19 Februari 2019
Susan Rose - Ackerman
dalam bukunya Korupsi Pemerintahan (Corruption and Government Causes,
Consequences, And Reform, 2000) menyatakan bahwa alat yang paling ampuh untuk
menganalisis mengapa terjadi korupsi adalah ilmu ekonomi. Mengapa pakar korupsi
kondang dari Yale University itu mengatakan demikian adalah karena motif utama perbuatan
serakah itu adalah memperkaya diri melalui institusi-institusi negara, lepas
dari legal atau sebaliknya. Bagaimana supaya kaya menjadi kata kuncinya.
Meski tidak dihubungkan
dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition (kompetisi),
sesungguhnya itulah argumentasi empiriknya. Bukankah Adam Smith bertitah bahwa
persaingan (kompetisi) antar individu/pribadi itu akan mendatangkan kemakmuran
bagi semua orang via tangan-tangan tak terlihat (invisible hand)? Yang pasti dalam
realita-praksisnya, persaingan itu hanya menguntungkan si individu yang paling
efisien, kuat, licin, dan lihai.
Tidak diluarnya, sebagaimana
dititah-teorikan sebelumnya, yakni, akan mendatangkan kemakmuran bagi semua
orang, karena akan melesatkan kompetisi yang membuat barang-barang, komoditas,
dan lain-lain unsur ekonomi menjadi murah dan bermutu. Faktanya tidak seperti
itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli, kartel, dan
lain-lain penyakit kronis ekonomi. Paul Krugman (1995) dengan tegas menudingnya
sebagai zero sum game.
Susan Rose - Ackerman
yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World Bank) kenegara-negara
lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang (NSB), menyebut distorsi
demikian menyeruak karena negara dan swasta tidak berfungsi semestinya.
Negara/pemerintah dan swasta tidak menjalankan tugas dan fungsi secara
konsekwen sebagaimana yang tertulis dalam Konstitusinya (UUD, UU, dan lain-lain
aturan pendukungnya).
Katanya/tertulisnya demokrasi, namun yang
tampil tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu. Kalau
sungguh-sungguh menerapkan demokrasi, sebagaimana pengalaman banyak negara yang
menempuhnya, korupsi itu seharusnya berkurang. Tidak seperti dinegeri ini
korupsi malah tereskalasi lewat proses demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Sungguh
suatu dunia yang ironis dan jungkir balik.
Konsepsi demikian (ironi
dan jungkir balik) inilah yang terjadi pada pileg 2004, 2009, 2014, dan khususnya
pada hari-hari/saat ini, yakni dalam kampanye-kampanye (menuju) pileg 2019.
Konsep bias yang semakin mengental, mentradisi, melembaga, yang jika tidak
dihentikan akan menjadi kebenaran.
Idealnya semakin lama
proses itu berlangsung, sebagaimana konsepsi sistim politik demokratis (David Easton,1950) semakin baik kwalitasnya.
Tidakkah input (tuntutan dan dukungan) yang berproses dalam black box (sistim politik) akan
menghasilkan out put (keputusan dan kebijakan) yang handal bagi kebebasan,
kesejahteraan, dan keadilan masyarakat?
Disini aneh, justru semakin
lama sistim, pola, atau praksis pemilihan satu orang, satu suara, dan satu
nilai (One men, One Vote, One Value,
OPOVOV) nan proporsional terbuka itu dipraktekkan semakin kacau balau,
acakkadut, dan amburadul hasilnya. Masalah, konflik, dan krisis yang dalam
pileg-pileg sebelumnya tidak muncul kepermukaan, dalam sistim ini menyeruak
dengan kasat mata. Masalah-masalah politik identitas, jeruk makan jeruk, dan
terutama politik berbiaya tinggi adalah ilustrasinya.
Biaya
Besar
Dalam pileg 2004, yakni ketika
pertama kali model pemilihan proporsional terbuka/langsung itu dioperasionalkan,
sudah terendus betapa model yang (katanya) sangat demokratis demikian akan
berbiaya besar.
Biaya demikian adalah
alat-alat peraga kampanye yang sangat banyak dan mahal, seperti iklan di media
cetak/audio visual, spanduk, baliho, kaos, klender, selain biaya tim
kampanye/event organizer (EO) yang an sich hanya ditimpakan kepada
caleg-calegnya. Konsekwensi logisnya para caleg dengan segala kekuatan dan
keterbatasannya dipaksa dan terpaksa harus menyediakan dana tersebut apabila
ingin survive/menang dalam kontestasi.
Disisi lain, selain biaya
alat peraga kampanye dan tim teknis (EO) yang sangat mahal itu, yang membuat
kemudian pembiayaan semakin membengkak adalah, sang calon tidak jarang dipungut
biaya/mahar, yakni harus bayar uang kepada partai yang mengusungnya. Terutama
caleg yang di rekrut dari luar partai, alias bukan kader, apalagi untuk mendapatkan
nomor urut atas (nomor 1, 2, dan maksimal no 3).
Tidak cukup disitu. Faktor
selanjutnya yang memperbesar pengeluaran adalah biaya pengamanan suara supaya
tidak hilang. Biaya yang seharusnya bukan pengeluaran partai/caleg, realitanya
tetap terbebani apabila suaranya tidak dicuri/hilang sebagaimana yang
ditengarai kerapkali terjadi.
Aktor-aktor yang terlibat
disini, terutama adalah saksi, plus koordinatornya. Diperlukan saksi di setiap
TPS, yang sudah barang tentu harus dibayar. Meski tidak resmi biaya-biaya yang
seharusnya tidak menjadi beban caleg/partai, seperti untuk penyelenggara
pemilihan (PPS, pihak keamanan, Bawaslu, dan KPU) ternyata (juga) harus
disediakan. Belum lagi biaya-biaya teknis tak terduga yang selalu muncul
mengiringinya, yang jumlahnya cukup significan.
Pembengkakan
Biaya
Akan tetapi yang membuat
biaya kampanye itu semakin besar berlipat-lipat tak terbatas, adalah mencuatnya
pola yang tak lazim (uncommon), yang tak ada dalam aturan pileg. Pola yang
sesungguhnya dilarang, diharamkan, dan kampungan, namun menjadi determinant factor (faktor penentu) keunggulan.
Metode/pola/kiat ini adalah yang popular
dengan sebutan “suap, sogok, uang pelicin, dan sejenisnya” yang diberikan sang
caleg kepada pemilih. Bagaimana caranya?
Cara/metode yang lazim ditempuh
pada umumnya adalah mengikuti alur aturan yang sudah tertulis dalam UU Pemilu,
namun dalam praksisnya di improvisasi, dibelokkan, atau malah dijungkir
balikkan. Dalam artian lain, prosedurnya diikuti, namun substansinya
disesuaikan dengan kepentingan sempitnya (vested interest).
Model-model kampanye
sebagaimana tertulis dalam UU Pemilu, seperti (a) pertemuan terbatas, (b)
pertemuan tatap muka, (c) pemasangan atribut kampanye, dan (d) Iklan melalui
media, tetap menjadi acuan, namun sebatas mekanisme-prosedurnya. Sebagai
ilustrasi adalah apa yang dilakukan dalam pertemuan terbatas dan pertemuan
tatap muka.
Dalam pertemuan tersebut
tetap berlangsung imperative UU Pemilu, seperti, penyampaian visi, misi, program,
rencana kebijakan publik, trackrecord/rekam jejak, komunikasi/sosialisasi dua
arah, dan lain-lain unsur suatu kampanye . Akan tetapi pasca acara itu
terjadilah hal-hal yang tidak tertulis dan dilarang dalam UU Pemilu. Tampillah
modus-modus misterius, yang siluman, bak hantu disiang bolong, yakni transaksi-transaksi
(uang) antara kalangan sang caleg dengan peserta pertemuan.
Namun sebagaimana disinggung
di atas, pola demikian, yaitu, yang mengikuti alur-aturan yang ada dalam UU
Pemilu barulah tahap awal, dan jembatan kamuflase untuk transaksi yang lebih
raksasa. Masalah seperti apa atau bagaimana
agar transaksi/pembagian tersebut tidak terjerat hukum sudah ada metodenya
(ahli terlatih untuk itu lebih dari cukup telah tersedia)
Soal berapa jumlah yang harus
diberikan (dibagi), sebagaimana penuturan pihak yang pengalaman dalam hal
tersebut sangat bervariasi. Ada yang Rp 400.000,-, Rp 300.000, Rp 150.000,- per
orang. Tergantung segmen, kelas, atau level masyarakatnya. Bagi kelas menengah,
bawah, dan atas sudah pasti berbeda. Bisa jadi hanya puluhan ribu rupiah, namun
sebaliknya bisa jutaan. Calo-calo untuk memuluskannya lebih dari cukup telah gentayangan.
Apa bedanya dengan calo-calo yang merajalela dalam urusan-urusan publik selama
ini? Tidakkah itu telah fenomenologis? Sama saja.
Pembengkakan
Biaya
Akan tetapi apapun
dalihnya, Pembengkakan pembayaran demikian semakin meroket, mengingat
pertemuan-pertemuan terbatas tersebut tidak hanya pertemuan resmi kampanye nan
politis. Melainkan telah menerobos pertemuan-pertemuan diluarnya, yakni pertemuan
yang bersifat sosial-budaya dan relijius. Pertemuan yang seharusnya tidak etis
digunakan sebagai ajang kampanye, namun telah diarah-belokkan kesana.
Pertemuan-pertemuan adat,
apalagi pertemuan-pertemuan yang bersifat relijius sebagaimana hakikinya adalah
pertemuan yang sakral. Pertemuan yang tujuan utamanya membangun spiritualitas. Bukan
pertemuan-pertemuan politik yang an sich mengejar kekuasaan, yang sarat dengan
kepentingan-kepentingan sempit (vested interest). Tidak seperti itu
Namun sebagaimana faktanya pertemuan inipun
sudah diwarnai (kalau bukan dinodai) pola-pola komersil yang sarat dengan
transaksi-transaksi. Transaksi yang sukar dijerat hukum karena sifat
pertemuannya yang bukan politis/kampanye, namun kenyataannya berlangsung
kampanye. Modus, penyimpangan, atau kampanye terselubung yang melesat bak jet
membelah langit pada pileg 2009 (baca: George Yunus Aditjondro, 2010, Gurita
Cikeas), dan (terutama) pada pileg 2014.
Mungkin atas dasar pertimbangan
demikian, yakni supaya tidak semakin runyam situasinya, pemerintah bersama DPR
mengeluarkan kebijakan, yaitu memberi bantuan alat peraga dan iklan kampanye
bagi setiap caleg, dan biaya kampanye ditanggung partai masing-masing (pasal
329 UU No 7 Tahun 2017). Khusus untuk menyediakan/membiayai alat-alat peraga
kampanye ditugaskan kepada KPU.
Dalam perjalanan atau fakta-empiriknya,
kebijakan demikian (ternyata) tidak banyak pengaruhnya. Malah menurut para
petahana yang akan maju kembali dalam pileg 2019, justru sebaliknya yang
mengemuka, yakni pembiayaan kampanye semakin berganda hingga 10 X lipat, dan
sebagai konsekwensinya para caleg jika ingin menang lagi, harus menyediakan
dana minimal Rp 5 M (Tajuk Rencana Kompas, 30 Januari 2019)
Fantastic namun itulah kredonya.
Kredo yang diakui sendiri oleh pentolan-pentolan partainya. Hajriyanto Tohari,
anggota tim seleksi caleg partai Golkar, nyerocos bahwa ditengah-tengah sistim
pemilu berbiaya tinggi yang berlangsung pasca reformasi, tidak dimungkiri bahwa
faktor logistik menjadi pertimbangan penting. Siapa yang memenuhi syarat itu? Salah
satunya sudah pasti adalah petahana.
Meski mengorbankan
kaderisasi, regenerasi, dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi
kepartaian, yang diutamakan dalam pencalegan tetaplah petahana. Selain memiliki
finansil yang memadai, jaringan yang kongkrit, merekapun punya
kapasitas/pengalaman yang lebih ketimbang caleg pendatang baru (K 25 Jan 2019).
Tidak begitu beda
diutarakan Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP PDIP, yakni kemampuan finansial
caleg menjadi salah satu pertimbangan partai dalam memberi nomor urut, yakni
nomor urut atas. Caleg yang punya uang besar akan didahulukan dari pada caleg
yang uangnya kecil.
Analog dengan partai-partai
lain, meski tidak bernyanyi seperti Hajriyanto Tohari dan Andreas Hugo Pareira,
namun dari urutan-urutan calegnya pada daftar calon tetap (DCT) kelihatan bahwa
yang diutamakan adalah petahana (kaum yang sudah punya modal, pengalaman, dan
jaringan)
Demokrasi
Beli Suara
Ilustrasi lain yang
betul-betul biadab dan berbiaya besar adalah pembentukan tim yang sama sekali
tidak melakukan kampanye sebagaimana diamanatkan UU, namun langsung
memobilisasi dukungan pemilih. Mereka/tim ini bergerak langsung ke sosok-sosok,
kantong-kantong, atau segmen konstituen yang dianggap dapat meraup suara.
Kiat yang mereka gunakan pada
umumnya adalah gabungan dari pola-pola pemasaran dalam ekonomi, intelijen,
hingga siluman. Metode yang jauh lebih strategis ketimbang metode yang
dimanatkan UU Pemilu, atau pola kampanye umum, sebab lebih efektif dan efisien.
Lokasi, wilayah, atau garapan mereka pada umumnya bisa perkecamatan, perdesa,
atau per TPS. Mereka meletakkan orang-orangnya disana.
Jumlah mereka disesuaikan
dengan banyaknya konstituen yang dibidik. Bisa besar, sedang, atau kecil. Dari
pengakuan seorang caleg yang sudah beberapa kali terpilih, jumlah yang
direkrutnya setiap pileg antara 20 sampai 40 orang perkecamatan. Bisa
dibayangkan bila dalam satu kabupaten/kota terdiri dari 25 kecamatan, sementara
dapilnya 4 kabupaten/kota,berapa besar biaya yang dikeluarkan.?
Tidak sekedar Rp 5 M,
sebagaimana disebutkan diatas. Bisa jadi jauh di atas itu. Ironis. Lalu? Sudah
waktunya sistim pileg ini dievaluasi. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar