MENARIK
PANCASILA DARI LANGIT KE BUMI
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol
UDA Medan
Published,
Waspada, 13 Mei 2019
Dalam
era reformasi, setali tiga uang, pengamalannya malah semakin melambung ke
langit. Tidak saja perekonomiannya semakin liberal-kapitalistik, jauh dari
keadilan social (sila ke lima Pancasila) dan pasal 33 UUD 1945
Mungkin hanya di
Indonesia yang ada debat ideologi dalam kontestasi program capres di layar kaca
televisi. Dinegeri lain yang sudah lazim melakukan pemilu, yang diperdebatkan
hanyalah program kerja. Tidak ada perdebatan dengan ideologi, sebab ideologi umumnya
sudah given-final, tak perlu lagi diutak-atik dalam kampanye.
Jadi agak aneh jika
ideologi masih diudak-udak. Tidakkah ia dengan sendirinya telah mewarnai
seluruh program-kebijakan yang dijalankan? Tidakkah ia menjadi hulu dan hilirnya?
Meminjam Yudi Latif ideologi itu sudah final, sebab ideologi adalah falsafah (philosopische grondslag), teropong untuk
memandang (Weltanschauung), dan
bintang penuntun (leitstern) seluruh
program/pembangunan yang dilakukan siapapun, dari partai manapun yang kelak
memerintah-menjalankan kekuasaan (K, 4 April 2019)
Oleh karena itu sudah
jelas ideologi sudah given, dan tidak
tepat apabila diperdebatkan dalam layar kaca TV. Apalagi kalau disejajarkan
dengan bidang-bidang lain, seperti pemerintahan, pertahanan-keamanan, hubungan
internasional, ekonomi, kesejahteraan, dan lain-lain program turunannya. Aneh
itu !. Tak lazim! Tapi mengapa dipraksiskan?
Problem
Laten
Tidak ada jawaban yang
tunggal, dan hitam putih. Tergantung persfektif, hipotesis, konsep, paradigma,
dan lain-lain pendekatan yang digunakan. Pendekatan kiri sudah tentu meniliknya
dari kepentingan massa, sebaliknya pendekatan kanan akan meneropongnya dari
elit, . pendekatan lain, lain lagi. Singkatnya, tidak ada jawaban yang tunggal karena
masalahnya cukup jamak, abstrak, dan plural.
Namun sebagaimana hakiki
dari setiap fenomena, bahkan anomali yang melesat kepermukaan, tidak mungkin
berdiri sendiri. Pasti ada penyebab, pemantik atau latar belakangnya. Agak aneh
rasanya kalau tiba-tiba, bak haliintar disiang bolong, KPU memprogramkan debat
kalau tidak ada argumentasinya. Apalagi lembaga ini (KPU) memiliki/dinaungi
sekian pakar-pakar kenamaan. Non sens kalau tidak ada argumentasinya.
Argumentasi ini mungkin
sebagaimana banyak disuarakan berbagai kalangan sejak lama, adalah adanya
diskrepansi, jarak, atau jurang antara idealita dan realita/praksis Pancasila.
Antara das sein dan das sollen, atau meminjam konsepnyaTed Robert Gurr (1960) tampilnya jurang (Deprivasi Relatif, DR) antara harapan (Value Expectation, VE) dan kenyataan (Value Capabilities, VC) dalam praktek Pancasila
Sinyalemen demikian, paling
tidak dapat dibaca dari pernyataan Azyumardi Azra satu hari sebelum debat
dilakukan. Beliau (Azyumardi Azra) menengarai bahwa selama ini pembicaraan,
pembahasan, atau diskursus ideologi (Pancasila) cenderung hanya sebatas
retorika, alias permainan kata-kata (euphemism,
verbalism). Pada hal yang ditunggu masyarakyat adalah sikap dan program yang
kongkrit dan empirik.
Tidak sebatas permainan
kata-kata (retorika) yang indan, yang tak terukur, normatif, atau kualitatif
belaka. Atau juga tidak sebatas mitos an
sich. Perlu kejelasan konsep, teori,atau paradigma yang akurat (logos)
tentang sistim dan strukturnya. Begitu pula penjabaran dan rumusan detil
ikhtiar mencapainya, sehingga kelak menjadi ilmu atau etos kerja bangsa,
negara, dan masyarakat. Kongkritnya bagaimana masyarakat paham bahwa Pancasila
telah direvitalisasi dan diresosialisasi (K, 30 maret 2019).
Sinyalemen lain yang cukup
menohok dikemukakan mantan ketua Badan Pengembangan Ideologi Pancasila (BPIP),
Yudi Latif. Menurut Yudi sejak lama telah terjadi inkonsistensi dalam
pengamalan Pancasila. Kebijakan pembangunan yang dijalankan sering berjalan
sendiri-sendiri dan sesuka-suka, tanpa keterpaduan dan keajekan dengan
nilai-nilai Pancasila. Isu Pancasila sering dipahami hanya sebatas metode
sosialisasi, pada hal jauh dari itu, urainya lebih lanjut (Yudi Latif, K 4
April 2019)
Terang sudah bahwa
Pancasila menyimpan problem laten. Problem yang kecenderungannya sangat
fundamental. Tidak sekedar aplikatifnya yang tak jalan, namun juga ada masalah
dalam eksistensinya. Tudingan Azyumardi Azra yang mengatakan diskursus
Pancasila hanya retorika, dan Yudi Latif yang galau karena tak ada relasi
antara idealita dan realita, adalah indikasi awal dari persoalan laten tersebut.
Indikasi yang selanjutnya
menurunkan berbagai pertanyaan, seperti dimana sesungguhnya tempat, letak, atau
posisi Pancasila dalam sistim politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia?
Tidakkah Pancasila yang mendasari konstitusi (UUD) yang menjadi instrumen
pemerintah-sistim politik mengelola-masyarakat, khususnya pembangunan? Tidakkah
ia menjadi kata akhir legitimasi (Apter, 1980)?
Pertanyaan-pertanyaan
yang mengingatkan kita kepada pendapat beberapa pengamat asing yang pernah
mengamati perkembangan Indonesia, seperti
Prof Donald S. Weatherbee dan Prof Harry J. Benda dari Yale University. Dalam buku Ideology in Indonesia yang mereka tulis,
kedua ilmuwan Yale ini menyatakan
bahwa Pancasila hanyalah usaha belaka untuk menutup nutupi pertentangan
kepentingan yang real antara berbagai golongan (Ruslan Abdulgani,1986:63).
Pendapat yang (mungkin)
didasarkan kepada tesis Prof Howard
Wriggins, yang menuding bahwa ideologi dinegara-negara baru merdeka,
termasuk Indonesia, kerapkali tidak realistis, karena hanya menekankan kepada
rumusan yang indah-indah, dan sering hanyalah alat pemimpin-pemimpin baru menyingkirkan
penentangnya.
Mereka mereka itu
(menurut Wriggins) , adalah Nasser di Mesir, Nkrumah di Ghana, Bourgoiba
di Tunisia, Ali Jinnah di Pakistan, Nehru di India, dan Bung Karno di
Indonesia, yang memanfaatkan ideologi hanya untuk memperkuat kedudukannya,
mengikat dan mensihir massa, dan menonjolkan diri pribadinya (Ruslan Abdulgani
1986:62)
Pendapat yang
kontroversial, debatable, dan sebagai
nasionalis kita tolak, sebab didasarkan pada persfektif antitesa dari filsafat pragmatism yang berkembang dinegerinya. Pandangan
yang melihat persoalan hanya memilih satu dari dua pilihan, yakni “ini atau
itu” (this or that), Bukan persfektif sintesa, kombinasi, dan
kompromi dari sekian pilihan yang kelihatan berlainan, namun pada hakikatnya
satu sama lain saling melengkapi (this
and that/ini dan itu) yang berkembang di Asia Afrika
Pancasila adalah sintesa,
kombinasi, dan kompromi dari berbagai aliran-aliran besar dunia. Ia mensarikan
ideologi liberal, sosialis, relijius, dan lain-lain ideologi yang disesuaikan
dengan socio-kultural Indonesia. Tidak seperti yang dituduh Wriggins, meski secara empirik ada
benarnya.
Membumikan
Pancasila
Dari setting
socio-historisnya terbukti bahwa pengamalan Pancasila masih jauh dari harapan.
Pada Orde Lama, mungkin karena baru bebas dari kolonialisme, banyaknya konflik
dan pembrontakan daerah, dan tampilnya konsep Nekolim dan Revolusi belum
selesai, membuat pengamalan Pancasila masih tertatih-tatih (bak panggang jauh
dari api).
Pada Orde Baru yang terang-terangan
berslogan mewujudkan Pancasila secara murni dan konsekwen, bahkan dibentuknya Penataran
Pendidikan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh BP7, dalam aplikasinya ternyata
semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Mengutip terminologinya Wriggins, Weatherbee, dan Benda, Pancasila itu dimanfaatkan hanya
untuk memperkuat rezim, dan mensihir massa.
Begitu pula dalam era
reformasi, setali tiga uang, pengamalannya malah semakin melambung ke langit.
Tidak saja perekonomiannya yang semakin liberal-kapitalistik, yang jauh dari
keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan pasal 33 UUD 1945, juga politiknya
yang semakin super liberal (lebih liberal dari Amerika Serikat) yang jauh dari
sila ke empat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan).
Supaya tidak terus menerus
melambung ke langit tak terbatas, dan meninggalkan bumi tempat berpijaknya,
Presiden-Wakil Presiden terpilih sudah waktunya membumikannya, yakni dengan merevitalisasi
dan meresosialisasi Pancasila secara kongkrit. Tidak lagi sekedar retorika atau
mitos. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar