Senin, 13 Mei 2019

MENARIK PANCASILA DARI LANGIT KE BUMI




MENARIK PANCASILA DARI LANGIT KE BUMI
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 13 Mei 2019
Dalam era reformasi, setali tiga uang, pengamalannya malah semakin melambung ke langit. Tidak saja perekonomiannya semakin liberal-kapitalistik, jauh dari keadilan social (sila ke lima Pancasila) dan pasal 33 UUD 1945
Mungkin hanya di Indonesia yang ada debat ideologi dalam kontestasi program capres di layar kaca televisi. Dinegeri lain yang sudah lazim melakukan pemilu, yang diperdebatkan hanyalah program kerja. Tidak ada perdebatan dengan ideologi, sebab ideologi umumnya sudah given-final, tak perlu lagi diutak-atik dalam kampanye.
Jadi agak aneh jika ideologi masih diudak-udak. Tidakkah ia dengan sendirinya telah mewarnai seluruh program-kebijakan yang dijalankan? Tidakkah ia menjadi hulu dan hilirnya? Meminjam Yudi Latif ideologi itu sudah final, sebab ideologi adalah falsafah (philosopische grondslag), teropong untuk memandang (Weltanschauung), dan bintang penuntun (leitstern) seluruh program/pembangunan yang dilakukan siapapun, dari partai manapun yang kelak memerintah-menjalankan kekuasaan (K, 4 April 2019)
Oleh karena itu sudah jelas ideologi sudah given, dan tidak tepat apabila diperdebatkan dalam layar kaca TV. Apalagi kalau disejajarkan dengan bidang-bidang lain, seperti pemerintahan, pertahanan-keamanan, hubungan internasional, ekonomi, kesejahteraan, dan lain-lain program turunannya. Aneh itu !. Tak lazim! Tapi mengapa dipraksiskan?
Problem Laten
Tidak ada jawaban yang tunggal, dan hitam putih. Tergantung persfektif, hipotesis, konsep, paradigma, dan lain-lain pendekatan yang digunakan. Pendekatan kiri sudah tentu meniliknya dari kepentingan massa, sebaliknya pendekatan kanan akan meneropongnya dari elit, . pendekatan lain, lain lagi. Singkatnya, tidak ada jawaban yang tunggal karena masalahnya cukup jamak, abstrak, dan plural.
Namun sebagaimana hakiki dari setiap fenomena, bahkan anomali yang melesat kepermukaan, tidak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada penyebab, pemantik atau latar belakangnya. Agak aneh rasanya kalau tiba-tiba, bak haliintar disiang bolong, KPU memprogramkan debat kalau tidak ada argumentasinya. Apalagi lembaga ini (KPU) memiliki/dinaungi sekian pakar-pakar kenamaan. Non sens kalau tidak ada argumentasinya.
Argumentasi ini mungkin sebagaimana banyak disuarakan berbagai kalangan sejak lama, adalah adanya diskrepansi, jarak, atau jurang antara idealita dan realita/praksis Pancasila. Antara das sein dan das sollen, atau meminjam konsepnyaTed Robert Gurr (1960) tampilnya jurang (Deprivasi Relatif, DR) antara harapan (Value Expectation, VE) dan kenyataan (Value Capabilities, VC) dalam praktek Pancasila
Sinyalemen demikian, paling tidak dapat dibaca dari pernyataan Azyumardi Azra satu hari sebelum debat dilakukan. Beliau (Azyumardi Azra) menengarai bahwa selama ini pembicaraan, pembahasan, atau diskursus ideologi (Pancasila) cenderung hanya sebatas retorika, alias permainan kata-kata (euphemism, verbalism). Pada hal yang ditunggu masyarakyat adalah sikap dan program yang kongkrit dan empirik.
Tidak sebatas permainan kata-kata (retorika) yang indan, yang tak terukur, normatif, atau kualitatif belaka. Atau juga tidak sebatas mitos an sich. Perlu kejelasan konsep, teori,atau paradigma yang akurat (logos) tentang sistim dan strukturnya. Begitu pula penjabaran dan rumusan detil ikhtiar mencapainya, sehingga kelak menjadi ilmu atau etos kerja bangsa, negara, dan masyarakat. Kongkritnya bagaimana masyarakat paham bahwa Pancasila telah direvitalisasi dan diresosialisasi (K, 30 maret 2019).
Sinyalemen lain yang cukup menohok dikemukakan mantan ketua Badan Pengembangan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif. Menurut Yudi sejak lama telah terjadi inkonsistensi dalam pengamalan Pancasila. Kebijakan pembangunan yang dijalankan sering berjalan sendiri-sendiri dan sesuka-suka, tanpa keterpaduan dan keajekan dengan nilai-nilai Pancasila. Isu Pancasila sering dipahami hanya sebatas metode sosialisasi, pada hal jauh dari itu, urainya lebih lanjut (Yudi Latif, K 4 April 2019)
Terang sudah bahwa Pancasila menyimpan problem laten. Problem yang kecenderungannya sangat fundamental. Tidak sekedar aplikatifnya yang tak jalan, namun juga ada masalah dalam eksistensinya. Tudingan Azyumardi Azra yang mengatakan diskursus Pancasila hanya retorika, dan Yudi Latif yang galau karena tak ada relasi antara idealita dan realita, adalah indikasi awal dari persoalan laten tersebut.
Indikasi yang selanjutnya menurunkan berbagai pertanyaan, seperti dimana sesungguhnya tempat, letak, atau posisi Pancasila dalam sistim politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia? Tidakkah Pancasila yang mendasari konstitusi (UUD) yang menjadi instrumen pemerintah-sistim politik mengelola-masyarakat, khususnya pembangunan? Tidakkah ia menjadi kata akhir legitimasi (Apter, 1980)?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengingatkan kita kepada pendapat beberapa pengamat asing yang pernah mengamati perkembangan Indonesia, seperti  Prof Donald S. Weatherbee dan Prof Harry J. Benda dari Yale University. Dalam buku Ideology in Indonesia yang mereka tulis, kedua ilmuwan Yale ini menyatakan bahwa Pancasila hanyalah usaha belaka untuk menutup nutupi pertentangan kepentingan yang real antara berbagai golongan (Ruslan Abdulgani,1986:63).
Pendapat yang (mungkin) didasarkan kepada tesis Prof Howard Wriggins, yang menuding bahwa ideologi dinegara-negara baru merdeka, termasuk Indonesia, kerapkali tidak realistis, karena hanya menekankan kepada rumusan yang indah-indah, dan sering hanyalah alat pemimpin-pemimpin baru menyingkirkan penentangnya.
Mereka mereka itu (menurut Wriggins) , adalah Nasser di Mesir, Nkrumah di Ghana, Bourgoiba di Tunisia, Ali Jinnah di Pakistan, Nehru di India, dan Bung Karno di Indonesia, yang memanfaatkan ideologi hanya untuk memperkuat kedudukannya, mengikat dan mensihir massa, dan menonjolkan diri pribadinya (Ruslan Abdulgani 1986:62)
Pendapat yang kontroversial, debatable, dan sebagai nasionalis kita tolak, sebab didasarkan pada persfektif antitesa dari filsafat pragmatism yang berkembang dinegerinya. Pandangan yang melihat persoalan hanya memilih satu dari dua pilihan, yakni “ini atau itu” (this or that),  Bukan persfektif sintesa, kombinasi, dan kompromi dari sekian pilihan yang kelihatan berlainan, namun pada hakikatnya satu sama lain saling melengkapi (this and that/ini dan itu) yang berkembang di Asia Afrika
Pancasila adalah sintesa, kombinasi, dan kompromi dari berbagai aliran-aliran besar dunia. Ia mensarikan ideologi liberal, sosialis, relijius, dan lain-lain ideologi yang disesuaikan dengan socio-kultural Indonesia. Tidak seperti yang dituduh Wriggins, meski secara empirik ada benarnya.
Membumikan Pancasila
Dari setting socio-historisnya terbukti bahwa pengamalan Pancasila masih jauh dari harapan. Pada Orde Lama, mungkin karena baru bebas dari kolonialisme, banyaknya konflik dan pembrontakan daerah, dan tampilnya konsep Nekolim dan Revolusi belum selesai, membuat pengamalan Pancasila masih tertatih-tatih (bak panggang jauh dari api).
Pada Orde Baru yang terang-terangan berslogan mewujudkan Pancasila secara murni dan konsekwen, bahkan dibentuknya Penataran Pendidikan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh BP7, dalam aplikasinya ternyata semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Mengutip terminologinya Wriggins, Weatherbee, dan Benda, Pancasila itu dimanfaatkan hanya untuk memperkuat rezim, dan mensihir massa.
Begitu pula dalam era reformasi, setali tiga uang, pengamalannya malah semakin melambung ke langit. Tidak saja perekonomiannya yang semakin liberal-kapitalistik, yang jauh dari keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan pasal 33 UUD 1945, juga politiknya yang semakin super liberal (lebih liberal dari Amerika Serikat) yang jauh dari sila ke empat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan).
Supaya tidak terus menerus melambung ke langit tak terbatas, dan meninggalkan bumi tempat berpijaknya, Presiden-Wakil Presiden terpilih sudah waktunya membumikannya, yakni dengan merevitalisasi dan meresosialisasi Pancasila secara kongkrit. Tidak lagi sekedar retorika atau mitos. Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar