Senin, 03 Juni 2019

EKSTERNALITAS DALAM POLITIK DOMESTIK



EKSTERNALITAS DALAM POLITIK DOMESTIK
Oleh: Reinhard Hutapea
PUBLISHED, 3 Juni 2019, Waspada
Perekonomian yang sebelumnya banyak dikomandoi negara sebagaimana pesan pasal 33 UUD 1945, step by step namun pasti diserahkan ke pasar (market) sebagaimana mazhab ekonomi liberal-kapitalis

Mungkin sudah waktunya bangsa ini mengurangi, bahkan moratorium terhadap perhatian yang terlalu besar, berlebih-lebihan (over dosis) akan politik domestik. Politik  yang hingar-bingar, hiruk pikuk hingga over dinamis, yang dalam faktanya menjerumuskan masyarakat kepada konflik, krisis, bahkan keterbelahan, hanya gara-gara kontestasi pilpres.
Seakan-akan pilpres segala-galanya, pada hal masalah-masalah lain, yang jauh lebih penting, seperti ketimpangan ekonomi,  ketidakadilan sosial, ketidakadaban budaya, dan khususnya ketidakpastian/problem-problem internasional yang seharusnya menjadi perhatian utama, menjadi luput dari perhatian publik.
Sangat ahistoris dan disayangkan, apabila masalah-masalah fundamental demikian menguap begitu saja, tanpa ada solusi yang significan. Tidakkah konstalasi internasional sangat menentukan persoalan-persoalan dalam negeri, alias politik domestik?
Pertumbuhan Yang Menyengsarakan
Bagi negara-negara yang diklasifikasikan bukan level negara besar/kaya, super power, atau adikuasa, politik domestiknya, biasanya banyak terseret/dipengaruhi interaksi negara-negara besar yang mengitarinya. Kerapkali apa yang dijalankan suatu rezim dinegeri tertentu, walaupun itu tidak pernah diakui adalah dikte-dikte kekuatan luar. Dikte-dikte yang sering dipropagandakan sebagai kepentingan nasional (national interest), realitanya hanya kepentingan eksternal.
Fenomena yang melesat pasca perang dunia II, dimana dua kekuatan besar yang antagonis dalam perang dingin (cold war) saat itu (Amerika Serikat dan Uni Soviet) menarik-narik negara-negara lain masuk orbitnya. Setelah itu, yakni  setelah masuk dan terjerat, seluruh politik domestiknya dikendalikan sang patron tersebut (kedua adi kuasa).
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa, nyaris seluruh eksistensi negara-negara di Amerika Latin, Asia, dan Afrika pada waktu perang dingin (cold war) berkecamuk ditentukan Washington. Begitu pula negara-negara di Eropa Timur, tak satupun yang luput dari cengkreman/di atur Kremlin (Uni Soviet).
Cengkeraman yang menghilangkan kedaulatan negara-negara demikian mengatur negaranya secara mandiri. Mereka dipaksa untuk mengikuti pola, model, atau sistim politik, ekonomi, bahkan sistim pendidikan yang diinginkan sang patron.
Mulai  dari penentuan pejabat tingkat nasional hingga tingkat desa, hingga kebijakan-kebijakan ekonomi-politiknya harus sesuai keinginan negara patron. Tidak boleh tidak, harga mati harus menuruti imperative sang adi kuasa. Kalau coba-coba membangkang, mbalelo, apalagi melawan, siap-siap di depak, masuk bui, atau di sukabumikan (Perkins J, 2005).
Dengan halus, namun sangat laten dan mendasar adalah pemaksaan akan sistim ekonomi, dan sistim pendidikan. Dalam bidang ekonomi harus mengikuti ideologi, mazhab, atau aliran mereka. Begitu pula dalam bidang pendidikan yang sangat kultural, harus mengikuti materi, muatan, atau kurikulum yang mereka diktekan. Tampillah apa yang kemudian popular dengan sebutan “ketergantungan, alias dependencia”.
Ketergantungan pinggiran (pheri-pheri), yakni negara-negara yang berorientasi ke adikuasa tersebut,  ke pusat (central/adi kuasa) sebagaimana ditulis Johan Galtung, Raul Prebisch, Samir Amin, Santos, Stavenhagen dan lain-lain teoritisi dependencia. Mereka merdeka secara administratif, namun tidak akan ekonomi, pendidikan/kebudayaan dan seterusnya. Meminjam adagium Soekarno tampilnya, Nekolim, yakni neo kolonialisme, neo imperialism, atau penjajah baru .
Penjajah yang tidak menggunakan bedil, senjata,atau alat-alat mematikan sejenis itu, melainkan dengan kekuatan ekonomi, kebudaayaan melalui antek-antek, atau komprador yang mereka ciptakan dari bangsa itu sendiri. Sadar tidak sadar melesatlah apa yang selanjutnya dikenal dengan sebutan/adagium “bangsa menjajah bangsa sendiri”.
Suasana yang menyelimuti bangsa ini pasca lengser dan dilengserkannya Soekarno dari singgasana kekuasaan medio 1960-an. Posisi yang sebelumnya non blok (nasionalistik),dengan munculnya rezim baru, belok dan ngeblok, putar habis-habisan ke Barat. Tidak lagi ditengah/bebas aktif/netral, melainkan sudah terpelanting ke kanan (liberal-kapitalis).
Konsekwensinya, kehidupan sosial-politik, khususnya kehidupan ekonominya berubah total 180 derajad. Perekonomian yang sebelumnya banyak dikomandoi negara sebagaimana pesan pasal 33 UUD 1945, step by step namun pasti diserahkan kepada pasar (market) sebagaimana mazhab ekonomi-liberal-kapitalis yang memberikan kesempatan setiap individu-swasta bersaing bebas-sebebas bebasnya.
Sebagai realisasi atau dinamisatornya ditempuh dua kebijakan radikal, yakni, pertama, menambah aktor, pelaku, atau pemeran ekonomi, dari dua, yakni negara (BUMN/BUMD) dan koperasi, menjadi tiga, yakni “swasta/individu”. Dengan kelebihannya, yakni modal, teknologi, dan manajemen, swasta/individu ini akahirnya memarjinalkan BUMN/BUMD dan koperasi ke tingkat nadir.
Kedua, sebagai pamungkas, membuka diri lebar-lebar kepada kapitalisme internasional (open door policy) melalui UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing (PMA). Kebijakan yang sebelumnya haram bagi pemerintahan Soekarno (go to hell with your aid), kini menjadi penentu (sacral) di rezim Orde Baru.
Sebagai konsekwensi dan derivasinya banjirlah Indonesia dengan modal asing. Baik dalam bentuk investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI), investasi Fortopolio, dan terutama adalah utang luar negeri (foreign aid) dari konsorsium negara-negara yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang dipimpin Belanda.
Pelita pertama yang menjadi tonggak awal pembangunan Orde Baru, pendanaannya 90 persen utang luar negeri. Begitu pula pada pelita II, meski berkurang, jumlahnya masih di atas 60 persen. Pada pelita III, IV, dan VI, berkurang, namun secara kualitatif tetap tinggi sebab, dana ini adalah in put dari pelita I dan II.
Implikasinya sudah dapat diduga. Pertama, sistim ekonomi telah membias dari konstitusi (UUD 1945), sebab memberikan kesempatan swasta/individu berperan. Peran yang dalam empiriknya dominan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut. Kedua, strategi/konseptualisasi pembangunan yang disebut “efek menetes ke bawah (trickle down effect) tidak terealisasi, karena selain utang yang di korupsi, sifat usaha yang dominan kepada motif profit, terutama adalah pelarian modal ke luar negeri (capital flight/moral hazard). Dengan kata lain peretasan kemiskinan yang didambakan tidak terjadi.
Dan, ketiga, yang merupakan pamungkasnya, adalah ketergantungan yang semakin besar ke pihak asing. Dengan kekuatan kapital, teknologi, dan manajemennya, perusahaan-perusahaan asing yang popular dengan sebutan MNCs/TNCs bersekutu dengan elit-elit negara setempat (izin dan pengamanan), dan pengusaha lokal (sebagai kompradornya) untuk menggandakan keuntungannya (Peter Evans, Dependent Development, 1980).
Eksternalitas
Demikianlah model, pola, atau sistim ekonomi-politik/pembangunan Orde Baru yang penuh dengan korupsi, ketimpangan sosial, dan pertumbuhan yang menyengsarakan (HW. Arndt, 1980) namun dapat berlangsung hingga 32 tahun, karena dinakhodai secara otoriter (Karl D. Jackson, 1980, Dwight Y. King, 1984)
Akan tetapi ketika sistim politik otoritarian tersebut dicabut Orde Reformasi, yang diharapkan akan membawa kehidupan yang lebih setara, sejahtera, dan adil, ternyata jauh panggang dari api. Suharto tumbang, tapi tidak akan rezimnya. Rezimnya tetap utuh
Malah sebaliknya dengan berhembusnya kebebasan politik, semakin bebas, norak, dan vulgar melakukan hal-hal yang dalam era sebelumnya masih dilakukan sembunyi-sembunyi/malu-malu, seperti korupsi yang sebelumnya dilakukan dibawah meja, kini semakin berjamaah. Begitu pula pengusaha- pengusaha yang tadinya hanya bergerak dalam bisnis an sich, dan masih dapat dikendalikan pemerintah, dengan tampilnya reformasi, merangsek jauh masuk ke pusat kekuasaan.
Mereka telah tampil di eksekutif (Bupati, Walikota, Gubernur, etc), legislatif (DPR dan DPRD), dan khususnya di partai-partai politik. Dengan kata lain, mereka tidak hanya menguasai bisnis, namun juga politik, yang berkelindan, dan berorientasi ke perekonomian global, sebagaimana diteorikan Evans.
Meski tidak persis sama, pola demikianlah yang menggelayut dalam tatanan politik kita saat ini, termasuk dalam hiruk ikuk pilpres/pileg, yang jika kita simak lebih jauh, mayoritas dipengaruhi faktor eksternal. Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar