Selasa, 07 Mei 2019

PANCASILA DALAM TATA GEO POLITIK INTERNASIONAL



PANCASILA DALAM TATA GEO POLITIK INTERNASIONAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan dalam diskusi GMNI FIB USU, Sabtu, 3 Feb 2018
Pengantar diskusi
Tema ini mungkin lebih tepat bila dibuat seperti ini “Pancasila Dalam Tatanan Global”. Kata, kalimat, atau frasa “geo” nya dihilangkan, karena dianggap kurang tepat. Secara harfiah geo mengandung makna “geografi, ilmu bumi, atau dalam studi HI sering dikonotasikan dengan “studi kawasan” (regionalism), yang punya arti/konsep tersendiri, yang berbeda, atau lbih khusus apabila dibandingkan dengan sistim/tatanan internasional. Itulah alasan penulis menawarkan tema baru tersebut. Atau mungkin ada pemahaman lain dari panitia perumus diskusi mengapa tampil judul seperti itu ?
Berdasarkan argumen demikian maka persfektif yang tepat mendekatinya adalah persfektif historis. Pendekatan kesejarahan, yakni pendekatan yang mendeskripsikan-menarasikan bagaimana sejarah, latar belakang, atau perkembangan Pancasila sejak dicetuskan hingga hari ini dalam konteks (kancah) internasional.
Internasionalisasi Pancasila
Dalam proses kelahirannya, (sebagaimana fakta historisitasnya/pidato 1 Juni 1945), diwarnai atau dimotivasi suasana internasional saat itu, yakni  tanda-tanda kekalahan fasist/Jepang dalam perang dunia II sudah di ambang pintu. Oleh karena itu dipersepsikan menjadi saat yang tepat mempersiapkan bangsa ini lepas dari belenggu kolonialisme/imperialisme sebagaimana yang sudah lama dicita-citakan
Pada waktu itu sebagaimana kita ketahui bersama, mayoritas bangsa-bangsa di dunia ini dijajah oleh bangsa asing, yakni bangsa-bangsa Eropa pada umumnya. Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan khususnya Belanda yang menjajah Indonesia menjadi aktor-aktor utama kolonialisme. Meski tidak satu-satunya, variabel/determinant,  pembentukan dasar negara, yakni Pancasila sangat diwarnai psikologis anti kolonialisme demikian (Ruslan Abdulgani, 1993: 1)
Sebagai manifestasinya Anti kolonialisme, menjadi satu sila utama/selain sila kebangsaan dalam perumusan Pancasila....Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dan sebagai penjabaran atau dasar hukumnya dengan tegas telah pula dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Suatu model yang khas, sebab jarang negara-negara lain melakukan pola unik tersebut. Sangkin istimewanya kebijakan demikian memancing pengamat asing berkomentar. Lebih jelasnya kita kutip dibawah ini:
Apabila kita meneliti kembali isi Pembukaan UUD 1945 itu, maka jelaslah bahwa Pancasila itu berjiwa anti-kolonialisme. Berkatalah seorang pengamat politik bangsa Belanda J.F.Rutgers dalam salah satu artikel nya pada tahun 1950-an bahwa dari semua negara baru di Asia Tenggara, maka Indonesia dalam UUD-nya yang paling pertama dan yang paling tegas melukiskan latar belakang psikologis yang sesungguhnya dari pada semua revolusi yang anti kolonialisme (Roeslan Abdoelgani, 1993:1)
Pernyataan konstitusional yang sangat tegas menolak kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Pernyataan yang kemudian diimplementasikan dalam kancah sesungguhnya, yakni iikut aktif membantu negara-negara terjajah mencapai kemerdekaan dan mendorong perdamaian dunia yang abadi.
Konperensi Asia Afrika tahun 1955 adalah wujudnya. Bagaimana dalam suasana yang sangat terbatas, penuh tantangan, dan menjamurnya subversif dari luar, konperensi itu sukses menggalang kekuatan Asia Afrika mencapai tujuannya, yakni membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Bangsa-bangsa Asia Afrika yang semuanya terjajah, bak sihir dari KAA bangkit melawan penjajah, dan satu persatu mencapai kemerdekaannya.  
Konperensi luar biasa yang akhirnya mematahkan kekuatan-kekuatan establish, status quo, dan konservatif dunia berantakan hancur lebur, yang membuat kiprah diplomasi, kiprah politik luar negeri Indonesia, khususnya kiprah Bung Karno dalam pentas politik dunia menjadi harum semerbak difora mondial.
Tidak cukup disitu. Dengan kelihaian diplomasi dan politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia berhasil mendorong negara-negara lain, yakni negara-negara yang tak mau terseret dalam perang dingin (cold war) membentuk kekuatan tandingan. Kekuatan yang kemudian populer dengan sebutan “Non Blok” (non aligned) yang dicetuskan di Belgrado/Beograd Yugoslavia tahun 1961.
Dalam bahasa lain sering juga disebut dengan istilah “Dunia Ketiga”, dunia yang berada ditengah-tengah Dunia Pertama blok Amerika dan kawan-kawan, dan Dunia Keduanya blok Uni Soviet dan kawan-kawan. Tidak Amerika cs....tidak Uni Soviet cs.....tapi dunia ketiga. Itulah mottonya. Atau persetan Amerika, persetan Uni Soviet, tapi kita dunia ketiga yang non blok
Selain itu/selanjutnya, KAA juga berhasil mendorong gagasan-gagasan baru dalam bidang Orde Ekonomi dan Informasi Internasional Baru, untuk membangun Dunia Baru yang bebas dari penindasan, bebas dari ketakutan, bebas pula dari ancaman bahaya perang, baik konvensional maupun nuklir. Meminjam pendapat Amadou Mahtar M Bow (Dirjen UNESCO) tahun 1984 The Bandung Conference marke a turning point in the pattern of international relations, not only as they affect politics and economics, but also the perception of cultural identity[1]
Seiring dengan gerakan demikian, pidato Bung Karno di PBB pada tanggal 30 september 1960 yang bertema “To Build The World a New” adalah pamungkas perjuangan/promosi Pancasila dalam fora internasional. Pada waktu itu Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai ideologi PBB,  sebagai ideologi dunia, karena sifatnya yang sangat universal. Tidak sebagaimana “Declaration Of Independence dan Manifesto Komunis” yang hanya diikuti pengikut-pengikutnya nan partisan, yang terus berseteru dalam perang dingin, sehingga dunia jauh dari perdamaian abadi. Pancasila menjadi solusinya urai Bung Karno dalam forum yang bersejarah tersebut.
Dengan gaya yang retorik, memukau, dan rasional Bung Karno mengkuliahi peserta sidang PBB , betapa sila-sila Pancasila itu sangat pas untuk menjadi ideologi dunia. Bung Karno mendapat applaus, dan membuat  kiprah dan ketokohannya disegani dan dihormati dunia.
Deinternasionalisasi Pancasila
Sayang seribu sayang, era itu rupanya tidak permanen. Beberapa tahun kemudian ia digulingkan dari singgasana kekuasaan melalui peristiwa yang populer dengan pembrontakan G 30 S. Pembrontakan yang hingga hari ini masih penuh teka-teki, karena versinya tidak tunggal. Yang pasti  sejak peristiwa itu berubahlah tatanan ekonomi, sosial, politik, dan khususnya kebijakan internasional secara total. Untuk kepentingan pertemuan kita sore ini saya menyebutnya sebagai “deinternasionalisasi, desukarnoisasi, dan depancasilaisasi.
Deinternasionalisasi, karena peran aktif diplomasi dan politik luar negeri yang dijalankan rezim sebelumnya telah dipotong hingga titik nadir. Rezim Soeharto yang menggantikan pemerintahan Bung Karno berpendapat bahwa agresifitas politik luar negeri yang dijalankan sebelumnya itu tidak realistis, hanya mercu suar belaka. Untuk apa hebat secara internasional, sementara keadaan dalam negerinya keropos, miskin, dan penuh konflik. Yang dibutuhkan bukan mercu suar-mercusuar seperti  itu, melainkan pembangunan ekonomi. Politik no, ekonomi yes, atau pembangunan yes, politik no, itulah semboyannya.
Meski tak pernah diakui, politik luar negeri kita yang sebelumnya bersifat bebas aktif itu tidak lagi seperti itu, karena sudah masuk dalam orbit Barat yang dikomandoi AS. Sebagai konsekwensi logis dari perang dingin, dimana AS dan sekutunya melakukan containment policy, maka negara-negara yang ada dalam orbitnya harus mengikuti dikte-dikte dari adikuasa tersebut.
Masalahnya semakin runyam, amburadul dan acakadut, mengingat Indonesia meminta bantuan/utang kepada negara-negara demikian dalam pembangunan ekonominya. Negara-negara donor yang bergabung dalam satu konsorsium yang bernama International Government Group on Indonesia (IGGI) ini, hebatnya lagi di pimpin mantan penjajah Indonesia, yakni Belanda. Dapat dibayangkan seperti apa jadinya Indonesia dihadapan negara-negara pemberi utang tersebut.
Sebagaimana hukum besi politik ketergantungan/dependencia, maka peri-peri akan tergantung kepada centrum. Artinya Indonesia akan menuruti kepentingan negara-negara tersebut. Apa yang mereka inginkan, meski itu berlawanan dengan jati diri, ideologi, dan budaya negeri ini harus dituruti. Dalam konteks seperti ini kita bicara Pancasila?  Jelas konyol. Sungguh suatu kekonyolan yang tak ada taranya.
Pancasila hanya ada dalam text book dan pidato. Yang dipraktekkan adalah ideologi para donor yang berkonspirasi dalam IGGI, IMF, Bank Dunia, GATT/WTO. Gejala atau indikasinya dapat dilihat dari praksis-praksis ekonomi-politik yang dipentaskan, seperti UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang populer dengan sebutan open door policy, alias politik pintu terbuka.
UU yang membuka diri kepada kapitalis internasional secara kasat mata, yang dalam derivasinya membuat ekonomi-politik negeri ini semakin hari semakin tidak berdaulat, tidak berdikari, dan tidak berkepribadian. Mungkin inilah dulu yang disebut Bung Karno sebagai neo kolonialisme-neo imperialisme, alias nekolim.    
Meski secara juridis kita merdeka, kenyataan dalam pola ekonomi-politik, maupun budayanya kita tetap terjajah. Kita hanya manut, dan melaksanakan apa yang ditetapkan rezim internasional yang mana negeri ini telah mengikatkan diri. Sebagai penguat argumen demikian dapat kita lihat lihat pada:
·         Terseret dan terjerembabnya pada dikte-dikte Konsensus Washington yang populer dengan sebutan “neolib”
·         Latahnya mengikuti pembentukan blok-blok ekonomi baru, seperti AFTA, APEC dan lain-lain
·         Terjeratnya dalam 50 Letter of Intent, LOI IMF
Reinternasionalisasi Pancasila ?
Sekian ilustrasi masih dapat kita hadirkan sekian banyak lagi, betapa Pancasila tidak lagi menjadi acuan bangsa ini, namun untuk kepentingan diskusi sore ini dianggap sudah memadai. Yang pasti dan jelas, itulah yang mengantar dan mewarnai negeri ini ketika menumbangkan raja diktator Soeharto dan memasuki era reformasi.
Era yang pada awalnya menjanjikan ke......, namun dalam perjalanannya tidak sebagaimana yang diharapkan. Apakah karena kekecewaan itu, atau ada determinant lain, pada peringatan hari lahirnya Pancasila tahun 2011, tampil public opinion betapa Pancasila semakin jauh ditinggalkan........Adalah Prof Dr Sri Edi Swasono yang bernyanyi merdu dan berlirik puitis...tidak usah kaget jika negara lain yang melaksanakan Pancasila, sebaliknya negara ini semakin melupakannya.
Dinegeri-negeri lain diakui keakuratannya, namun di sini sebaliknya. Prof Dr Pytr Hessling, seorang Indonesianist dari Fakultas Ekonomi Universitas Erasmuis Rotterdam, yang mengasuh program Studi/mata kuliah Internasional dan Manajemen, di depan 3 stafnya, serta 3 orang Indonesia yang sedang menyelesaikan PhD di universitas tersebut menyatakan dengan lantang , bahwa sila ke empat Pancasila adalah konsep yang valid dan reliable dalam pembangunan kelembagaan bagi suatu organisasi manajemen. Lebih jelasnya ia menyatakan:.....konsep musyawarah dan mufakat ala Indonesia sebagai dasar pembangunan kelembagaan bagi suatu organisasi dan manajemen
Sebagai ilmu/science, Prof Dr Pytr Hessling menyatakan bahwa suatu konsep-konsep umum perlu dikemukakan secara jelas dalam penataan organisasi dan manajemen, seperti pengambilan keputusan manajemen di Indonesia, yakni:
*      Gotong royong   (mutual aid)
*      Musyawarah dan mufakat    (desition by consensus), serta
*      Penghormatan kepada yang lebih tua, atau dituakan
Jelas dan terang:
*      Lebih efektif daripada voting
*      Fakta sudah go international sejak lama
Kongkritnya (menurut para ilmuwan Barat pada umumnya ) ,.....”Pancasila adalah suatu nilai-nilai dan konsep yang mampu memberikan kontribusi bagi proses inovasi dan lingkungan”. Lalu ?
Pengakuan tinggal pengakuan, pujian tinggal pujian, keledai jalan terus. Keprihatinan bahwa nilai-nilai Pancasila terus ditinggalkan, berjalan terus, tanpa ada upaya menghentikannya. Perubahan politik dunia yang begitu cepat, seperti:
Ø  Terus melesatnya RRC sebagai raksasa ekonomi
Ø  Ditemukannya sumber-sumber minyak dan gas di AS
Ø  Merosotnya kapitalisme AS
Ø  Berubahnya peta politik di beberapa kawasan
Ø  Tampilnya Donald Trump nan ultra nasionalistik
Ø  Keluarnya Inggris dari Uni Eropa
Ø  Memanasnya semenanjung Korea
Ø  Penguasaan teknologi IT oleh Rusia
Ø  Tampilnya konflik dibeberapa kawasan
Ø  Etc
Tetap tidak bergeming. Apakah itu yang melatar belakangi lahirnya Unit Kerja Presiden Pembangunan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang sedang menggeliat saat ini ? Lalu mereka mau membuat apa ? Mari sama-sama kita diskusikan.
                                                                                                             Medan, 3 Maret 2018

REFERENSI
Abdulgani Ruslan, 1993, Proses Pengembangan Pancasila, Yayasan Widya Patria, Yogyakarta
Stiglitz J, 2002, Globalization and Its Discontents, Penguin, New York
Stiglitz JE, 2007, Making Globalization Work, Mizan, Bandung


[1] Konperensi Bandung merupakan suatu titik balik dalam pola hubungan internasional. Tidak hanya yang menyangkut masalah-masalah politik dan ekonomi, tetapi juga mengenai persepsi tentang identitas budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar