Kamis, 27 Juni 2019

KEBIJAKAN TRUMP; MONEY IS EVERYTHING



KEBIJAKAN TRUMP;  MONEY IS EVERYTHING
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 24 Juni 2019
Untuk kesekian kalinya Trump melakukan keputusan luar biasa, yakni memboikot seluruh perdagangan dengan Huawei Technologies Co, perusahaan ponsel raksasa China, setelah sebelumnya mengakhiri status preferensi perdagangan dengan India, dan menerapkan tarif/bea impor baja 25%, alumunium 10%, dan seluruh komoditas ekspor China.
Dengan gayanya yang erratic, semrawut, dan tak teratur (Prof Robert Jervish, dalam Liddle, K, 16 Maret 2019) Trump memblokir peralatan 5 G, memutus perangkat lunak, dan menghentikan pendistribusian komponen Amerika untuk Huawei di seluruh dunia.
Dunia kaget, meriang, dan menggelinjang, bagaimana pendekar pasar bebas yang mengharamkan proteksi dan diskriminasi dalam perdagangan global, bak petir disiang bolong kini mengingkarinya secara sepihak. Tidakkah itu merusak sistim perdagangan internasional, dan termasuk (include) perekonomian domestiknya?
Kepentingan Nasional
Tidak ada analisis yang tunggal dan sederhana menjawabnya, tergantung dari sudut, sisi, dan persfektif mana    menelaahnya. Bagi penganut kemapanan, seperti kalangan liberal-idealis, mungkin akan memprediksi seperti itu, yakni akan merusak tatanan perdagangan internasional, yang membuat pertumbuhan ekonomi dunia terganggu, yang konsekwensi/derivasinya akan memperlambat kesejahteraan global.
Sebaliknya bagi mereka yang meneropong dari kacamata realis, perilaku (behavior) Trump nan anomalis demikian adalah lumrah (common). Tak ada yang aneh, yang anomalis, atau yang out of context. Biasa-biasa saja. Tidakkah normal, jika suatu negara, apalagi sudah terpojok, melakukan tindakan yang tak lazim? Untuk apa mengikuti pola mapan alias  moral kalau hancur, lebih baik immoral namun selamat (Morgenthau.H, 2005).
Trump sebagaimana statementnya dalam buku kampanyenya “Amerika Yang Lumpuh” (Crippled America), menyatakan bahwa ia mewarisi Amerika yang sakit, yang menderita, yang miskin, yang mundur, yang tak bisa diselesaikan pendahulu-pendahulunya (Obama, Bush Jr, Bush Sr, Clinton etc). Hanya ia yang bisa menyelesaikannya.
Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah, mundur dan defisitnya perekonomian Amerika ke tingkat nadir, akibat terlalu banyak membiayai organisasi-organisasi kerjasama Internasional (antara lain, NATO) pasca perang dunia II, membesarkan dan melindungi negara-negara sekutu yang lama kelamaan akhirnya menerkamnya secara ekonomi, seperti Jepang dan Eropa Barat (membesarkan anak harimau), membuka diri sebebas-bebasnya kepada pendatang asing beremigrasi ke Amerika, yang dalam perjalanannya, step by step malah menggusur pekerja domestiknya, membebaskan pengusaha-pengusaha domestiknya ekspansi ke luar (MNCs/TNCs) sehingga membawa kapital ke luar, dan tidak memberikan pekerjaan bagi rakyat Amerika.
Sebagai jalan keluar (way out) tiada lain-tiada bukan dibutuhkan tindakan berani dan tegas, tindakan luar biasa, tindakan revolusioner, yang tidak mengikuti konsensus-konsensus sebelumnya, seperti; menutup perbatasan dengan membangun tembok dengan Meksiko, melarang immigran dari 9 negara Islam yang dituding sarang teroris, keluar dari Trans Pacifik Partnershift(TPP), mengeksekusi NATO sebagai organisasi yang usang, tindakan tegas kepada mitra-mitra dagang yang membuat perdagangannya deficit, khususnya China, dan lain-lain kebijakan yang nasionalistik, realis, dan bahkan merkantilis.
Konsep yang tidak sekedar retorika, di atas kertas, atau ancaman belaka, melainkan konsekwen dalam tindakan/praksisnya. Meski mendapat tantangan, cemoohan, dan sekian banyak kritik dari dalam dan luar negeri, Trump tak bergeming/tak peduli, melainkan tegar memenuhi janji-janji politiknya ketika kampanye.
Sinyalemen demikian dapat dilihat ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Trump langsung memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap 15 negara mitra dagang (termasuk Indoneia) yang merugikannya. Tanpa alasan objektif, Trump menuding bahwa negara-negara ini telah melakukan kecurangan dalam perdagangan kedua negara sehingga Amerika mengalami defisit.
Untuk mengembalikannya ke posisi semula, metode yang ditempuh adalah membalikkan paradigma yang berlaku sebelumnya, yakni tidak mengikuti mekanisme atau prosedur seperti yang di atur dalam rezim perdagangan bebas (WTO). Pola yang diterapkan cenderung an sich demi kepentingan nasional (national interest), yakni, melindungi produsen dalam negeri, menaikkan pajak impor, membatasi kuota impor, dan memaksakan negara-negara lain menerima produknya (merkantilis).
Terhadap negara-negara yang berhimpun dalam NATO, Trump mengultimatum agar meningkatkan kontribusi, pembayaran atau iurannya. Dengan garang beliau mengancam, jika tidak menaikkan kontribusi/kewajibannya, NATO akan dibubarkan, dan masing-masing negara anggota menjaga keamanannya sendiri, tidak lagi dibawah paying nuklir Amerika.
Tercatat yang paling keras tekanan, atau ancamannya adalah ke Jerman, Perancis, Jepang, Italia, dan lain-lain negara Eropa karena sudah mendapat perlindungan/payung nuklir selama ini. Dengan tegas bak superman yang turun dari angkasa, Trump menekan Merkel, Macron, Abe dan lain-lain pemimpin anggota NATO, agar menuruti perintah sepihak tersebut.
Meski bersungut-sungut, merengek-rengek dan berat hati, semua anggota NATO kecenderungannya tiada pilihan lain selain mengikutinya. Masing masing negara tersebut telah berjanji akan memenuhinya secara tahap demi tahap, meski ada bisik-bisik agar masing-masing negara, mulai melepaskan ketergantungannya.
Money Is Everything
Tidak cukup dengan ancaman/kontroversial demikian, Trump semakin menggandakan anomali dan paradoksnya, yakni secara sepihak menyatakan keluar dari kesepakatan Paris tentang perubahan iklim yang sebelumnya telah disepakati pendahulunya (Obama). Beliau menganggap kesepakatan itu sebagai yang terburuk, karena mengganggu perekonomian Amerika.
Begitu pula kesepakatan nuklir dengan Iran, Amerika keluar dari perjanjian itu. Tanpa pembicaraan/perundingan sebelumnya dengan mitra-mitranya seperti, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan Jerman, yang juga telah didukung Resolusi Dewan Keamanan PBB No 2231, tanggal 8 Mei 2018, secara sepihak Trump membatalkannya. Selain tak membayar kewajibannya lagi membantu Iran, Trump malah menuduh negeri itu menjadi sarang teroris yang harus dihancurkan.
Dihancurkan tidak hanya dengan kekuatan Amerika an sich, melainkan mengajak (tepatnya menggiring) seteru-seteru Iran disana, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Saudi Arabia. Trump menghadirkan armada perangnya dikawasan teluk, sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membeli persenjataan besar-besaran dari Amerika. Akankah perang meledak disana? Belum ada yang tahu.
Namun sebagai perbandingan, apakah perang akan tampil disana, ideal dihubungkan dengan perkembangan di Asia Timur sebelumnya.  Meski tidak persis sama, perang demikian tidak akan terjadi. Betapa dahsyat dan garangnya kala itu Trump mengancam Korea Utara yang doyan menguji misil balistiknya di kawasan, namun setelah pertemuan dengan Kim Jong Un (pemimpin Korea Utara) di Singapura, dengan sekejap permusuhan itu sirna.
Kapal-kapal perang AS yang sudah siaga disana, dengan sekejap pula ditarik kembali ke pangkalan. Begitu pula gelar yang diolok-olok Trump ke Kim Jong Un sebagai the little rocket man (yang doyan menguji coba/menembakkan roket), berubah menjadi the great statesman (pemimpin cerdas).
Trump gemilang dengan diplomasi perangnya. Kim berhasil digiring ke meja perundingan secara unilateral sebagaimana pola, model, atau strategi yang diinginkannya. Meski tidak membuahkan hasil yang significan, diplomasi/strategi ini berhasil menunjukkan bahwa ia dan angkatan perangnya adalah penentu keamanan disana.
Konstalasi  yang selanjutnya memaksa Korea Selatan, khususnya Jepang tetap dalam dekapan ketiaknya, dan jauh di atas itu kemudian adalah kesuksesannya menekan Jepang mengurangi deficit perdagangannya.
Dalam pertemuan dengan Shinzo Abe di Jepang baru-baru ini, meski dengan berat hati Jepang melunak dan akan mengurangi agresipitas ekonominya, dan membeli persenjataan-persenjataan berat, seperti bomber B 52 secara besar-besaran dari Washington. Pucuk dicinta ulam tiba. Tidakkah itu yang diinginkan Trump?
Demikianlah benang merah kebijakan luar negeri atau diplomasi Trump seperti yang diuraikan essays terkenal Asheuuer (15 April 2019), adalah profit alias uang, atau oleh guru besar Hubungan internasional Columbia University, Prof Dr  Robert Jervish, yakni money is everything. Senang atau murung, dapat menerima atau sebaliknya, yang pasti Trump adalah negarawan realis yang berjuang semata-mata demi kepentingan nasionalnya. Mungkin negeri ini perlu mengambil hikmahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar