KEBIJAKAN TRUMP; MONEY IS EVERYTHING
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 24 Juni 2019
Untuk kesekian
kalinya Trump melakukan keputusan luar biasa,
yakni memboikot seluruh perdagangan dengan Huawei Technologies Co, perusahaan
ponsel raksasa China, setelah sebelumnya mengakhiri status preferensi perdagangan dengan India,
dan menerapkan tarif/bea impor baja 25%,
alumunium 10%, dan seluruh komoditas ekspor China.
Dengan
gayanya yang erratic, semrawut, dan
tak teratur (Prof Robert Jervish,
dalam Liddle, K, 16 Maret 2019) Trump
memblokir peralatan 5 G, memutus perangkat lunak, dan menghentikan
pendistribusian komponen Amerika untuk Huawei
di seluruh dunia.
Dunia kaget,
meriang, dan menggelinjang, bagaimana pendekar pasar bebas yang mengharamkan
proteksi dan diskriminasi dalam perdagangan global, bak petir disiang bolong
kini mengingkarinya secara sepihak.
Tidakkah itu merusak sistim perdagangan internasional, dan termasuk (include)
perekonomian domestiknya?
Kepentingan Nasional
Tidak
ada analisis yang tunggal dan sederhana menjawabnya, tergantung dari sudut,
sisi, dan persfektif mana menelaahnya.
Bagi penganut kemapanan, seperti kalangan liberal-idealis, mungkin akan memprediksi
seperti itu, yakni akan merusak tatanan perdagangan internasional, yang membuat
pertumbuhan ekonomi dunia terganggu, yang konsekwensi/derivasinya akan
memperlambat kesejahteraan global.
Sebaliknya
bagi mereka yang meneropong dari kacamata realis, perilaku (behavior) Trump nan anomalis demikian
adalah lumrah (common). Tak ada yang aneh,
yang anomalis, atau yang out of context.
Biasa-biasa saja. Tidakkah normal, jika suatu negara, apalagi sudah terpojok,
melakukan tindakan yang tak lazim? Untuk apa mengikuti pola mapan alias moral kalau hancur, lebih baik immoral namun
selamat (Morgenthau.H, 2005).
Trump
sebagaimana statementnya dalam buku kampanyenya “Amerika Yang Lumpuh” (Crippled America), menyatakan bahwa ia
mewarisi Amerika yang sakit, yang menderita, yang miskin, yang mundur, yang tak
bisa diselesaikan pendahulu-pendahulunya (Obama,
Bush Jr, Bush Sr, Clinton etc). Hanya ia yang bisa menyelesaikannya.
Penyakit-penyakit
tersebut antara lain adalah, mundur dan defisitnya perekonomian Amerika ke
tingkat nadir, akibat terlalu banyak membiayai organisasi-organisasi kerjasama
Internasional (antara lain, NATO)
pasca perang dunia II, membesarkan dan melindungi negara-negara sekutu yang
lama kelamaan akhirnya menerkamnya secara ekonomi, seperti Jepang dan Eropa
Barat (membesarkan anak harimau), membuka diri sebebas-bebasnya kepada
pendatang asing beremigrasi ke Amerika, yang dalam perjalanannya, step by step malah menggusur pekerja
domestiknya, membebaskan pengusaha-pengusaha domestiknya ekspansi ke luar (MNCs/TNCs) sehingga membawa kapital ke
luar, dan tidak memberikan pekerjaan bagi rakyat Amerika.
Sebagai
jalan keluar (way out) tiada
lain-tiada bukan dibutuhkan tindakan berani dan tegas, tindakan luar biasa,
tindakan revolusioner, yang tidak mengikuti konsensus-konsensus sebelumnya,
seperti; menutup perbatasan dengan membangun tembok dengan Meksiko, melarang immigran dari 9 negara Islam yang dituding sarang
teroris, keluar dari Trans Pacifik
Partnershift(TPP), mengeksekusi NATO sebagai
organisasi yang usang, tindakan tegas kepada mitra-mitra dagang yang membuat perdagangannya
deficit, khususnya China, dan
lain-lain kebijakan yang nasionalistik, realis, dan bahkan merkantilis.
Konsep
yang tidak sekedar retorika, di atas kertas, atau ancaman belaka, melainkan
konsekwen dalam tindakan/praksisnya. Meski mendapat tantangan, cemoohan, dan
sekian banyak kritik dari dalam dan luar negeri, Trump tak bergeming/tak peduli,
melainkan tegar memenuhi janji-janji politiknya ketika kampanye.
Sinyalemen
demikian dapat dilihat ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Trump langsung memerintahkan agar
diambil tindakan tegas terhadap 15 negara mitra dagang (termasuk Indoneia) yang
merugikannya. Tanpa alasan objektif, Trump
menuding bahwa negara-negara ini telah melakukan kecurangan dalam perdagangan
kedua negara sehingga Amerika mengalami defisit.
Untuk
mengembalikannya ke posisi semula, metode yang ditempuh adalah membalikkan
paradigma yang berlaku sebelumnya, yakni tidak mengikuti mekanisme atau prosedur
seperti yang di atur dalam rezim perdagangan bebas (WTO). Pola yang diterapkan cenderung an sich demi kepentingan nasional (national interest), yakni, melindungi produsen dalam negeri,
menaikkan pajak impor, membatasi kuota impor, dan memaksakan negara-negara lain
menerima produknya (merkantilis).
Terhadap
negara-negara yang berhimpun dalam NATO,
Trump mengultimatum agar meningkatkan kontribusi, pembayaran atau iurannya.
Dengan garang beliau mengancam, jika tidak menaikkan kontribusi/kewajibannya, NATO akan dibubarkan, dan masing-masing
negara anggota menjaga keamanannya sendiri, tidak lagi dibawah paying nuklir
Amerika.
Tercatat
yang paling keras tekanan, atau ancamannya adalah ke Jerman, Perancis, Jepang,
Italia, dan lain-lain negara Eropa karena sudah mendapat perlindungan/payung
nuklir selama ini. Dengan tegas bak superman yang turun dari angkasa, Trump
menekan Merkel, Macron, Abe dan lain-lain pemimpin anggota NATO, agar menuruti
perintah sepihak tersebut.
Meski
bersungut-sungut, merengek-rengek dan berat hati, semua anggota NATO kecenderungannya tiada pilihan lain
selain mengikutinya. Masing masing negara tersebut telah berjanji akan
memenuhinya secara tahap demi tahap, meski ada bisik-bisik agar masing-masing
negara, mulai melepaskan ketergantungannya.
Money Is Everything
Tidak
cukup dengan ancaman/kontroversial demikian, Trump semakin menggandakan anomali
dan paradoksnya, yakni secara sepihak menyatakan keluar dari kesepakatan Paris tentang perubahan iklim yang
sebelumnya telah disepakati pendahulunya (Obama). Beliau menganggap kesepakatan
itu sebagai yang terburuk, karena mengganggu perekonomian Amerika.
Begitu
pula kesepakatan nuklir dengan Iran, Amerika keluar dari perjanjian itu. Tanpa
pembicaraan/perundingan sebelumnya dengan mitra-mitranya seperti, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan Jerman,
yang juga telah didukung Resolusi Dewan Keamanan PBB No 2231, tanggal 8 Mei 2018, secara sepihak Trump membatalkannya.
Selain tak membayar kewajibannya lagi membantu Iran, Trump malah menuduh
negeri itu menjadi sarang teroris yang harus dihancurkan.
Dihancurkan
tidak hanya dengan kekuatan Amerika an
sich, melainkan mengajak (tepatnya menggiring) seteru-seteru Iran disana, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Saudi Arabia. Trump menghadirkan armada perangnya dikawasan teluk, sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membeli
persenjataan besar-besaran dari Amerika.
Akankah perang meledak disana? Belum ada yang tahu.
Namun
sebagai perbandingan, apakah perang akan tampil disana, ideal dihubungkan
dengan perkembangan di Asia Timur sebelumnya. Meski tidak persis sama, perang demikian tidak
akan terjadi. Betapa dahsyat dan garangnya kala itu Trump mengancam Korea Utara
yang doyan menguji misil balistiknya di kawasan, namun setelah pertemuan dengan
Kim Jong Un (pemimpin Korea Utara) di
Singapura, dengan sekejap permusuhan itu sirna.
Kapal-kapal
perang AS yang sudah siaga disana, dengan sekejap pula ditarik kembali ke
pangkalan. Begitu pula gelar yang diolok-olok Trump ke Kim Jong Un
sebagai the little rocket man (yang
doyan menguji coba/menembakkan roket), berubah menjadi the great statesman (pemimpin cerdas).
Trump
gemilang dengan diplomasi perangnya. Kim berhasil digiring ke meja perundingan
secara unilateral sebagaimana pola, model, atau strategi yang diinginkannya.
Meski tidak membuahkan hasil yang significan, diplomasi/strategi ini berhasil
menunjukkan bahwa ia dan angkatan perangnya adalah penentu keamanan disana.
Konstalasi
yang selanjutnya memaksa Korea Selatan,
khususnya Jepang tetap dalam dekapan ketiaknya, dan jauh di atas itu kemudian
adalah kesuksesannya menekan Jepang mengurangi deficit perdagangannya.
Dalam
pertemuan dengan Shinzo Abe di Jepang
baru-baru ini, meski dengan berat hati Jepang
melunak dan akan mengurangi agresipitas ekonominya, dan membeli
persenjataan-persenjataan berat, seperti bomber B 52 secara besar-besaran dari Washington. Pucuk dicinta ulam tiba.
Tidakkah itu yang diinginkan Trump?
Demikianlah
benang merah kebijakan luar negeri atau diplomasi Trump seperti yang diuraikan essays terkenal Asheuuer (15 April 2019), adalah profit alias uang, atau oleh guru
besar Hubungan internasional Columbia
University, Prof Dr Robert Jervish,
yakni money is everything. Senang
atau murung, dapat menerima atau sebaliknya, yang pasti Trump adalah negarawan realis yang berjuang semata-mata demi
kepentingan nasionalnya. Mungkin negeri ini perlu mengambil hikmahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar