Jumat, 05 Juli 2019

PEMBANGUNAN TAPUT YANG BERPUSAT PADA MANUSIA




PEMBANGUNAN TAPUT YANG BERPUSAT PADA MANUSIA
Oleh : Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Disampaikan pada dialog nasional DPC GMNI Taput,
Sopo Partungkoan, Tarutung, 8 Juli 2019

PENGANTAR
Tema dialog nasional ini adalah “Merencanakan Pembangunan Daerah Untuk Kepentingan Nasional dan Masa Depan Taput Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Era Digital 4.0”. Tema yang sukar saya artikulasikan karena banyaknya konsep yang terkandung di dalamnya. Paling tidak terdapat 6 konsep,yakni (1) Perencanaan pembangunan Daerah, (2) Kepentingan Nasional, (3) Masa Depan Taput[1], (4) Nilai-Nilai Kearifan Lokal[2], (5) Era Digital, dan (6) 4.0[3]
Karena banyaknya konsep tersebut, apalagi setelah membaca Terms of Reference (TOR) nya, saya semakin sukar/kurang paham apa sesungguhnya yang dikehendaki (adik-adik) panitia. Di awal TORnya saja, saya sudah bingung dengan konsep “lapisan masyarakat middle high, dan middle low”, yang belum pernah saya ketemukan selama ini. Belum lagi deskripsi-deskripsi yang lain.
Oleh karena itu, menurut keterbatasan saya (siapa tahu saya yang keliru), temanya disingkat saja menjadi “Pembangunan Taput Yang Berwawasan Kearifan Lokal”, sehingga to the point, kongkrit dan ringkas, karena variable/konsepnya cuma dua, yakni “Pembangunan Taput dan Kearifan lokal”.
Dua konsep yang kalau dibahas secara metodologis, sesungguhnya juga sudah cukup luas/panjang. Bahkan bisa tak terhingga jika tidak diberi batasan.
Pengertian atau definisi pembangunan bisa seribu satu macam. Begitu pula (definisi) kearifan lokal. Belum lagi bila ditilik dari berbagai persfektif, pendekatan, atau mazhab.
Atas dasar pertimbangan demikianlah saya membuat tema makalah “Pembangunan Taput Yang Berpusat Pada Manusia”[4]. Saya akan mendekatinya dari model, pola, atau paradigma People Centered Development (PCD, Pembangunan Yang berpusat pada manusia) yang dikembangkan oleh David Korten[5],  dan atau khususnya Amartya K Sen[6].
Namun sebelum sampai kesana, terlebih dulu akan diuraikan; arti dan tujuan pembangunan, model-model pembangunan, karakter pembangunan Indonesia, kritik terhadap model pembangunan Orde Baru, issu pembangunan di Taput/Tapanuli[7].


Arti dan Tujuan Pembangunan
Michael P.Todaro (1983) seorang pakar ekonomi pembangunan Dunia III dalam bukunya yang terkenal, yakni “Pembanguna Ekonomi di Dunia III” sebagaimana penulis kenamaan pada umumnya tidak langsung memberikan definisi pembangunan. Dua bab sebelum sampai dalam pemberian pengertian atau suatu definisi pembangunan., Todaro terlebih dahulu memberikan berbagai ilustrasi-ilustrasi yang cukup panjang, rumit dan cenderung berat. Ilustrasi-ilustrasi ini  adalah persfektif dunia tentang kelembagaan, ekonomi dan pembangunan, pada bab satu. Berbagai struktur dan karakteristik umum negara-negara sedang berkembang, pada bab dua. Baru pada bab tiga, Todaro memberikan definisi, itupun dalam bentuk pertanyaan.
Metode ini mungkin ditempuh betapa pengertian atau definisi pembangunan itu tidak sederhana dan cukup abstrak. Tidak sebagaimana pengertian-pengertian atau konsep-konsep lain . seperti ilmu eksak yang umumnya sederhana dan kongkrit. Meminjam pendapatnya Prof Mulyarto (1995) pengertian atau definisi pembangunan bukanlah konsep yang netral, bukanlah konsep yang bebas nilai. Pembangunan adalah suatu konsep yang sarat nilai atau value loaded. Artinya pembangunan terkait dengan apa yang dianggap baik dan buruk menurut pengalaman sejarah suatu bangsa. Dengan demikian, konsep pembangunan bersifat culture specific, yakni dapat didefinisikan secara berbeda oleh dua negara yang lingkungannya berbeda. Disisi lain pembangunan juga bersifat time specific, yakni dalam suatu negara pun pembangunan dapat didefinisikan secara berbeda.
Akan tetapi meskipun tidak mungkin mendefinisikan pembangunan dengan memuaskan semua pihak, untuk kepentingan pertemuan ini akan didekati dengan beberapa konsep atau persfektif yang dianggap paling netral dan mungkin bebas nilai. Pendefinisian pertama akan diambil dari pendapat Prof Saul M Katz. Kedua dari Michael P.Todaro. Menurut Saul M.Katz pembangunan adalah:
Pergeseran dari satu kondisi nasional yang satu menuju ke kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik, tetapi apa yang disebut lebih baik/lebih berharga, berbeda dari satu negara ke negara lain atau dari satu periode ke periode lain (Katz dalam Tjokrowinoto, 1995:8)

Menurut Michael P.Todaro:
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistim ekonomi dan sistem sosial sebagai keseluruhan. Disamping peningkatan pendapatan dan out put, pembangunan menyangkut pula perubahan radikal struktur kelembagaan, struktur sosial serta struktur administrasi serta perubahan sikap, adat kebiasaan serta kepercayaan.(Todaro,2005:5)

Definisi demikian memberikan pengertian bahwa pembangunan itu adalah ikhtiar, reorganisasi, reorientasi atau upaya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih sejahtera dari kehidupan-kehidupan sebelumnya.
 Akan tetapi sebagaimana dalam setiap “kebijakan” selalu ada yang diprioritaskan. Tidak mungkin semua dilakukan secara simultan. Dalam konteks pembangunan ini yang menjadi skala prioritas atau yang lebih didahulukan adalah “bidang ekonomi”, sebab bidang ini adalah dimensi yang paling mendasar  dari setiap pembangunan, sebab menyangkut kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Bersamaan dengan dilakukannya pengentasan terhadap ketiga penyakit masyarakat ini selanjutnya dilakukan perombakan dalam bidang-bidang yang lain, yakni struktur kelembagaan, struktur sosial, politik, administrasi hingga kebidang yang lebih luas yakni perombakan dalam sikap, adat/tradisi/kebudayaan hingga kepercayaan. Singkatnya pembangunan, membangun semua sendi-sendi kehidupan secara sistimatis, logis dan objektif.
Definisi atau Pengertian demikian dikemukakan mengingat ada pihak-pihak atau kalangan tertentu yang mengertikan pembangunan secara sempit, tidak menyeluruh, tidak konseptual atau tidak komprehensif. Pengertian pembangunan diartikan sepotong-sepotong sesuai kepentingannya, yang mana pada akhirnya justru bermuara pada “anti pembangunan” itu sendiri sebagaimana yang dititahkan oleh PBB pada tahun 1950-an.
PBB pada tahun itu mendefinisikan pembangunan hanya sebatas “pertumbuhan ekonomi” bukan dalam arti holistik. Bila pertumbuhan telah mencapai angka 5% maka pembangunan itu dianggap berhasil. Kenyataannya banyak negara yang mencapai atau bahkan melebihi angka tersebut, namun tidak menggambarkan yang sesungguhnya. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan bukannya semakin berkurang. Malah sebaliknya yang terjadi yakni semakin membesar.
 Dari uraian tersebut jelas dan terbukti bahwa pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan adalah penyimpangan atau kesesatan. Bagaimana ekses negative dari pola ini telah banyak diulas para pakar di seluruh dunia. Salah satunya adalah Mahbub Ul Haq, seorang ekonom yang pada mulanya sangat yakin dengan “filsafat pertumbuhan”, namun setelah melihat prakteknya tidak seperti yang diharapkan, beliau akhirnya berubah arah.
 Bagaimana akhirnya Mahbub Ul Haq melihat betapa pola pertumbuhan yang dipraktekkan di negerinya, Pakistan membuat kehidupan ekonomi semakin suram, timpang yang membuat kehidupan mayoritas masyarakat semakin sengsara dapat dibaca dibawah ini:
Saya peringatkan negeri saya terhadap gejala makin terpusatnya kekayaan dan pendapatan industri tergenggam dalam tangan hanya 22 kelompok keluarga. Saya kemukakan betapa kelompok keluarga ini menguasai sekitar 2/3 kekayaan perindustrian, 80% bidang perbankan, dan 70% bidang asuransi di Pakistan. Saya tekankan pula akibat politik dan akibat sosial yang terkandung dalam pola pembangunan semacam ini, pola yang selama dasawarsa sebelumnya mengakibatkan bertambah lebarnya jurang perbedaan pendapatan perkepala antara Pakistan Timur dan Pakistan Barat, dan yang mengakibatkan turunnya upah nyata pekerja industri, yang terpusat di beberapa kota besar, sebesar 1/3. Jelas sekali, bagian terbesar rakyat banyak tidak tersentuh sama sekali oleh kekuatan-kekuatan pembawa perubahan ekonomi, karena pembangunan ekonomi timpang dan menguntungkan segelintir orang saja (Haq MU, 1983:16)

Pendapat Mahbub Ul Haq ini meskipun dalam kasus Pakistan adalah cerminan umum dari seluruh negara-negara dunia ketiga yang melaksanakan pembangunan ekonomi dengan focus pertumbuhan. Kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang seharusnya pertama-tama dihilangkan, malah sebaliknya semakin membesar, semakin tidak terkendali yang melahirkan ekses-ekses yang lebih buruk
Oleh karena itulah pembangunan yang titik sentralnya pertumbuhan ini akhirnya dikoreksi. Berbagai pakar mengeluarkan pendapat betapa pembangunan yang hanya berdasarkan kwantitas itu itu sangat jauh dari harapan atau kenyataan. Salah satu pakar yang paling menolak model pembanguan seperti itu adalah Dudley Seers. Beliau tidak henti-hentinya menyatakan bahwa Pembangunan akan berhasil hanya apabila kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan dapat dihilangkan.
Salah satu atau apalagi dua-duanya dari penyakit ini tidak bisa diberantas maka pembangunan gagal. Lebih jelasnya Prof Dr Dudley Seers menyatakan:
Oleh karena itu persoalan-persoalan yang perlu ditanyakan mengenai pembangunan suatu negara itu ialah, apa yang telah dilakukan terhadap kemiskinan?. Apa yang telah dilakukan terhadap pengangguran?. Apa yang telah dilakukan dengan ketimpangan?. Jika ketiga pertanyaan ini memberikan jawaban yang positif, dengan kata lain, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan itu ada tanda-tanda menurun, maka tidak diragukan lagi bahwa pembangunan itu sudah berjalan dinegara yang bersangkutan. Jika satu atau dua dari problema sentral ini semakin jelek, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka agak aneh untuk mengatakan pembangunan itu berhasil, kendatipun pendapatan perkapita meningkat dua kali (dalam Todaro,1983:123)

Bukan angka pertumbuhan sebagaimana yang disarankan oleh PBB, sebab angka pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pendapatan perkapita tidak menggambarkan kemajuan yang sesungguhnya. Disisi lain angka pertumbuhan itu adalah upaya mengejar yang palsu. Bagaimana mungkin suatu negara yang baru membangun dengan angka pertumbuhan 5% dapat mengejar kemajuan negara yang sudah maju dengan angka pertumbuhan yang juga sama-sama 5%.
Pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan semata sebagaimana yang disarankan PBB tidak akan menjawab nilai-nilai hakiki dari pembangunan itu sendiri, yakni:
1.      kebutuhan hidup
2.      harga diri dan
3.      kebebasan (Goulet dalam Todaro, 1983:125)

Sebab hanya melakukan sebagian kecil saja dari ketiga nilai itu Oleh karena itu agar pembangunan tersebut berjalan sesuai dengan yang sebenarnya, maka yang seharusnya menjadi sasaran pembangunan adalah:
1.      meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan
2.      mengangkat taraf hidup, termasuk menambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, pendidikan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan manusiawi, semuanya itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata-mata, tetapi juga untuk mengangkat kesadaran akan harga diri, baik individual maupun nasional
3.      memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individual dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap-sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya dalam hubungannya dengan orang lain dan Negara-negara lain, tetapi juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan manusia.(Todaro, 1983:128)

Indonesia yang melakukan pembangunan, khususnya sejak Orde Baru dicanangkan telah mengadopsi nilai-nilai demikian dalam blue print pembangunannya. Hal ini dapat dilihat dalam pengertian , maksud, tujuan pembangunan yang tertulis dalam GBHN/Pelita. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengertian pembangunan dalam definisi tersebut adalah “rangkaian upaya”. Rangkaian upaya yang seperti apa? adalah pertanyaan yang kemudian mengemuka mengingat definisi itu sangat umum dan mempunyai interpretasi yang banyak. Ibarat suatu tujuan, jalan dan kenderaan yang akan digunakan mencapai tujuan tersebut dapat berbagai jenis. Untuk mengetahui jalan atau kenderaan yang digunakan Indonesia mencapai tujuan bernegaranya akan ditulis dibawah ini.

B. Model-Model Pembangunan.
            Model-model pembangunan yang ada di dunia cukup beragam. Namun kalau ditilik dengan seksama sesungguhnya model itu hanya dua jenis, yang lain adalah turunan-turunan dari kedua model tersebut. Kedua model ini adalah pembangunan yang didasarkan kepada ideologi liberal dan ideologi sosialis. Pembangunan yang didasarkan kepada ideologi liberal dikenal dengan sebutan paradigma pertumbuhan. Pembangunan yang didasarkan kepada ideologi sosialis dengan paradigma dependensi.. Berbagai paradigma ini akan dideskripsikan secara singkat berdasarkan tulisannya Prof Dr Muljarto Tjokrowinoto (1995)

B1.Model Pertumbuhan.
            Model ini memandang tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan GNP pertahun pada angka lima sampai tujuh persen atau lebih. PBB dalam decade Pembangunan Pertama (1960-1970) memandang pembangunan dalam arti pencapaian angka pertumbuhan per tahun GNP 6%
            Guna mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti itu, maka pemilihan struktur produksi dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan manufaktur, serta mengurangi porsi sektor pertanian secara berimbang, barangkali tidak dapat dihindari. Karena itu proses pembangunan, terpusat pada produksi, sedangkan penghapusan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menduduki urutan kepentingan kedua terutama dicapai melalui “tricle down effect”
            Model ini juga mengasumsikan bahwa angka pertumbuhan suatu negara terutama tergantung pada tingkat investasi tertentu. Hal ini direalisir melalui peningkatan tabungan dalam negeri, investasi swasta asing dan atau bantuan asing. Adalah tanggung jawab pokok pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang akan memungkinkan negeri tersebut  meraih titik kritis tingkat investasi guna mendorong tinggal landas, serta untuk melampaui tahap-tahap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Karena itu peranan pemerintah sejak semula bersifat entrepreneurial
Diperlukan beberapa waktu sebelum pembuat kebijaksanaan menyadari bahwa pembangunan ekonomi seperti itu semata-mata akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, kecuali sebagian kecil penduduk. Pada masa lalu, pertumbuhan telah memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, asset dan kekuasaan yang menyebabkan tidak dimungkinkannya penyebaran keuntungan-keuntungan yang diperoleh, baik secara ekonomi maupun politis. Suatu studi komprehensif antara bangsa yang meliputi 74 negara menunjukkan bahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relative pendapatan nasional yang diterima oleh bagian penduduk termiskin. Hasil penelitian para ahli lainnya juga menunjukkan konklusi yang sama, demikian pula dalam cakupan ketimpangan secara global.

B2.Model Kebutuhan Dasar.
Model pembangunan nasional kebutuhan dasar atau kesejahteraan muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan diri pada bagian penduduk yang miskin dinegara-negara berkembang, dan menandaskan bahwa masalah kemiskinan dinegara-negara yang sedang berkembang pada dasarnya bukanlah merupakan kemubaziran ekonomi perse, akan tetapi masalah kemiskinan tadi pada hakekatnya merupakan pengalaman kerja keras dan tidak produktif selama berjam-jam dalam rangka membiayai kehidupan subsistensi dan marjinal mereka. Jadi problem utamanya adalah mengupayakan peningkatan kualitas kerja mereka lebih daripada kuantitas kerja mereka. Model pembangunan nasional yang berorientasi kebutuhan dasar atau kesejahteraan, mencoba memecahkan masalah kemiskinan melalui mekanisme “tricle down effect
Pada dasarnya model ini merupakan suatu program kesejahteraan atau bantuan bagi orang yang sangat miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yang mencakup tidak hanya kesempatan memperoleh penghasilan akan tetapi juga akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi umum dan lain-lain.
Model ini didasarkan pada tiga argumentasi pokok
  1. banyak dari kaum miskin tidak memiliki asset-aset produktif selain kekuatan fisik mereka, keinginan kerja mereka dan inteligensi dasar mereka. Pemeliharaan asset tersebut tergantung pada peningkatan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyediaan air pada umumnya.
  2. peningkatan pendapatan kaum miskin boleh jadi tidak meningkatkan standar hidup mereka kalau barang-barang dan jasa yang cocok dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia
  3. peningkatan standar hidup golongan termiskin dari yang miskin melalui peningkatan produktipitas mereka memerlukan waktu yang sangat lama, dan dalam porsi tertentu karena satu dan lain hal mereka barangkali tetap tidak dapat bekerja. Paling tidak program subsidi jangka pendek, dan barangkali program subsidi permanent diperlukan agar rakyat mendapat bagian dari hasil pembangunan.
Rakyatlah yang menjadi orientasi utama model ini. Tugas pemerintah dalam model pembangunan nasional ini adalah pelayan.
      Lahir dari prakarsa Gunnar Myrdall dalam karya agungnya, Asian Drama, model kebutuhan dasar kemudian menemukan dorongan barunya dalam ILO World Employment Conference yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1976. Konferensi ini menekankan arti penting proses pembangunan guna menemukan kebutuhan dasar dari si miskin yang mencakup persyaratan tertentu dari keluarga untuk konsumsi pribadi, yakni makanan yang layak, pemukiman, pelayanan, perkakas, rumah tangga, perabot dan lain-lain serta pelayanan esensial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat luas, seperti air minum, sanitasi, transportasi umum, kesehatan dan fasilitas pendidikan. Konferensi ini sepakat bahwa dalam keadaan bagaimanapun kebutuhan pokok tidak boleh diartikan hanya sebagai kebutuhan minimum untuk subsistensi. Namun, konferensi ini juga menyadari bahwa konsep kebutuhan pokok ini dapat berbeda antara satu negara dengan yang lain dan bersifat dinamis. Ia harus ditempatkan di dalam suatu konteks pembangunan ekonomi dan sosial bangsa secara menyeluruh.
B3. Model Neo Ekonomi
      Sebagaimana model pembangunan kebutuhan dasar atau kesejahteraan, model neo ekonomi, juga adalah tanggapan terhadap kegagalan model pertumbuhan menciptakan pemerataan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dimanifestasikan dengan GNP dan derivasinya melalui tricle down effect sangat jauh dari harapan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya tumbuh sekedar 5% sebagaimana yang disarankan PBB, namun lebih dari situ, angka/jumlah kemiskinan, pengangguran atau ketimpangan  tidak pernah berkurang. Malah sebaliknya kwantitasnya bertambah. Pelencengan ini terjadi karena angka pertumbuhan ekonomi yang dimaksud oleh model pertumbuhan itu tidak pernah dirinci lebih seksama. Oleh karena itu model neo ekonomi ini tetap didasarkan kepada model pertumbuhan, namun pertumbuhan yang lebih disempurnakan
Dudley Seers salah satu tokoh model neo ekonomi, dalam rangka menanggapi kegagalan model ekonomi, memberikan pendapat atau definisi bahwa pembangunan ekonomi akan berhasil jika kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran mengalami penurunan atau penghapusan dalam konteks ekonomi yang sedang tumbuh. Mahbub Ul Haq yang sejalan dengan Dudley Seers memperkuat argumen demikian dengan jalan sebagai berikut:
1.      sasaran utamanya haruslah 40-50% penduduk termiskin. Kebutuhan pokok golongan ini haruslah mendapatkan perhatian utama. Orientasi produksi dan distribusi haruslah kebutuhan minimum kelompok sasaran ini, dan bukan permintaan pasar yang cenderung merefleksikan permintaan yang didukung oleh daya beli yang efektif
2.      perluasan kesempatan kerja harus menjadi tujuan utama pembangunan, karena kesempatan kerja ini akan mempengaruhi distribusi pendapatan dan hasil pembangunan
3.      ketergantungan kepada negara-negara asing haruslah dikurangi, dan kemandirian harus mendapat perhatian utama
4.      pemerataan pendapatan harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Pemerataan pendapatan yang efektif akan menghilangkan kemiskinan relative sebagai suatu fenomena sosial yang socially defined

B4.Model Yang Berpusat Pada Manusia
Model pembangunan nasional ini berwawasan lebih jauh daripada sekadar angka pertumbuhan GNP atau pengadaan pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan suistanability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksana pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan untuk mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Persfektif baru pembangunan tersebut memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah, yang jelas berbeda dengan peranan pemerintah pada dua model pembangunan nasional yang pertama. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.
Penciptaan lingkungan sosial memerlukan sistim belajar mengorganisasikan diri, yakni dengan mengorientasikan jaringan informasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi local sebagai pelengkap dari sistim komando yang lebih formal. Berfungsinya pengaturan strauktural tersebut sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk berkreasi pada sumber informasi yang tidak pernah kering. Keduanya menentukan input-input sumber utama model tersebut[8].

B5.Model Dependensia
Model pembangunan ini bertolak belakang dengan keempat model pembangunan sebelumnya. Kalau keempat model sebelumnya berasal dari satu ideologi, model dependensia ini berasal dari ideologi lain. Dua aliran, filsafat atau model yang saling berlawanan dan tak mungkin diketemukan
Salah satu tesis utama paradigma dependencia adalah bahwa keterbelakangan (underdevelopment) bukanlah suatu kondisi asli yang harus diakhiri melalui proses pembangunan, akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang merupakan akibat dari penetrasi kapitalis dikawasan tadi. Negara atau kawasan tadi mungkin mempunyai kondisi awal “underdeveloped” akan tetapi bukan “underdeveloped” (Paul Baran dalam Tjokrowinoto, 1995:51).
Model dependensia dengan demikian, melihat development dan underdevelopment bukan merupakan produk proses sosial yang berbeda, akan tetapi merupakan dua sisi dari proses sosial yang sama, yang berawal dari diintegrasikannya negara atau kawasan pra kapitalis ke dalam sistem kapitalisme internasional. Baik melalui kolonialisme maupun melalui perdagangan internasional. Proses development dan under development berawal pada waktu negara-negara Eropa melakukan ekspansi merkantilis dan kapitalisnya ke berbagai dunia lain.
Sistem kapitalisme yang diterapkan dinegara-negara Barat telah menghasilkan “actual surplus” melalui proses eksploitasi yang menghasilkan akumulasi surplus, yang kemudian diekspor ke bagian dunia lain yang kebanyakan masih berupa wilayah jajahan. Di wilayah jajahan tadi diinvestasikan. Akan tetapi wilayah jajahan tadi mengalami perampasan surplus ekonomi karena adanya eksploitasi, yang dilakukan oleh kaum penjajah dengan bekerjasama dengan elit local yang disebut komprador. Proses yang demikian inilah yang menjadikan negara kapitalis makin developed, sedang negara bekas jajahan tadi underdeveloped. Jadi imperialisme dan kapitalisme berfungsi sebagai promotor development dinegara-negara centre (negara-negara kapitalis) dan creator under development dinegara-negara peripheri (negara-negara pra kapitalis atau wilayah jajahan). Proses tadilah yang menyebabkan timbulnya hubungan dependensi negara peripheri terhadap negara centre.
Karena kapitalisme nasional dan internasional melalui penetrasinya ke negara prakapitalis atau wilayah jajahan telah menimbulkan, melestarikan, dan memperdalam underdevelopment, maka satu-satunya jalan bagi negara prakapitalis untuk dapat membangun adalah dengan melepaskan sama sekali keterkaitannya dengan negara-negara kapitalis.

C.Karakter Pembangunan Indonesia.
Setelah Soekarno dijatuhkan rezim Orde Baru dari takhta kekuasaan terjadi perubahan yang sangat radikal di Indonesia. Tatanan-tatanan yang ada sebelumnya dirubah dengan drastis. Semboyannya pada waktu itu adalah “politik no – ekonomi yes”, atau “pembangunan yes – politik no”. Kehidupan politik yang berlangsung dalam era Soekarno dianggap sebagai biang kehancuran ekonomi, sehingga rakyat terus menderita, sengsara dan kelaparan. Oleh karena itu Orde baru dibawah pimpinan jenderal Soeharto berketetapan hati mengakhiri semua itu dengan melakukan pembangunan ekonomi.
Adapun pembanguan ekonomi yang ditempuh pemerintahan Soeharto ini  adalah pembanguan ekonomi dengan titik sentral pertumbuhan. Artinya model pembangunannya adalah model pertumbuhan sebagaimana yang dipersyaratkan PBB pada tahun 1960-an. Pembanguan ini sebagaimana faktanya adalah pembangunan yang terbuka, khususnya kepada bantuan atau modal asing. Tidak seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya yang cenderung tertutup kepada bantuan dan modal luar negeri
 Walaupun tidak pernah dikatakan secara langsung, model pembangunan nasional seperti itu adalah model pembangunan yang didasarkan kepada teorinya WW.Rostow, pakar sejarah ekonomi kapitalis dari Amerika Serikat. Ia telah mempelajari atau meneliti perkembangan perekonomian banyak negara. Ia berpendapat bahwa  perjalanan setiap kehidupan masyarakat berada dalam tahapan-tahapan sebagai berikut
Tahap pertama adalah keadaan masyarakat yang masih tradisional. Tahap kedua persiapan tinggal landas. Tahap ketiga, tinggal landas (take off). Tahap empat, melaju dengan kekuatan sendiri (self sustaining growth). Tahap kelima, dorongan menuju ke kematangan (drive to maturity) (Moeljarto, 1995:18)

Pembangunan yang dijalankan pemerintahan Soeharto dengan trilogi pembangunannya dengan jelas mengutamakan pertumbuahan ekonomi disamping stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan. Bagaimana mengejar pertumbuhan yang setinggi-tingginya menjadi tujuan utama. Sebab dengan pertumbuhan yang tinggilah dapat dilakukan pemerataan melalui efek tetesan kebawah (trickle down effect).
Pertumbuhan sebagaimana hakikinya ditentukan oleh tiga faktor, yakni fungsi saving, strategi investasi dan capital out put ratio. Sedangkan fungsi pemerintah dalam pola pertumbuahn seperti ini adalah “memperbesar saving”, seperti perpajakan, memperbesar ekspor non migas, bantuan luar negeri dan sebagainya. Dalam sejarahnya pemerintahan Soeharto untuk memperbesar saving ini lebih mengutamakan bantuan luar negeri.
Pengutamaan bantuan luar negeri ini dapat dilihat dari tahapan-tahapan pembangunan yang tercermin dalam pembangunan lima tahun (pelita). Dalam pelita pertama pinjaman luar negeri mencapai 55,45% dari total anggaran. Pelita ll  36,1%, pelita lll 30,45%, pelita lV 56,88%, pelita V rata-rata sebesar 54%, awal pelita VI 36,55% (lihat bab lll) 
Pemerintahan Soeharto berkeyakinan bahwa apabila tahap-tahap pembangunan yang tercermin dalam pelita-pelita itu dilaksanakan dengan baik, Indonesia akan mencapai apa yang diinginkan, yakni masyarakat yang adil dan makmur merata material spiritual, sebagaimana yang tertulis dalam GBHN:
Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkanPancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.

  Untuk atau atas dasar inilah ditetapkan dalam pembangunan jangka panjang tahap I (lima pelita), Indonesia sudah siap memasuki era “tinggal landas” (take off) yang diperkirakan akan dimulai pada pembanguan jangka panjang tahap ll, yakni permulaan pelita VI, yakni sekitar tahun 1996/1997.
Akan tetapi pengertian atau tujuan “tinggal landas” yang dimaksudkan Indonesia mempunyai interpretasi tersendiri. Tidak persis sama sebagaimana diteorikan oleh Rostow. Interpretasi ini dapat dilihat dalam buku Repelita V. meskipun masih bersifat umum pengertian proses tinggal landas itu mempunyai beberapa ciri, yakni.
Pertama, dijumpai disana pengertian bahwa tinggal landas pada hakekatnya adalah proses transformasi jangka panjang dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan. Secara lebih rinci ciri-ciri proses transformasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Dari segi tingkat perkembangan dan struktur ekonomi, proses tersebut meliputi antara lain:
·         peningkatan pendapatan nyata perjiwa yang cukup tinggi disertai dengan pembagiannya yang makin merata
·         peranan sektor industri yang makin dominan sebagai penggerak utama laju pembangunan
·         keterkaitan dan keterpaduan antar sektor, terutama antara sektor pertanian dan industri, antara kegiatan serta antar wilayah yang makin mantap, sehingga memperkokoh ketahanan nasional.

Dari segi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki bangsa, proses tersebut meliputi antara lain:
·         peningkatan mutu sumber daya manusia yang dicerminkan antara lain oleh adanya peningkatan kesehatan dan kecerdasan rakyat.
·         Partisipasi aktif yang makin luas oleh rakyat di berbagai bidang pembangunan
·         Pemanfaatan sumber alam yang makin rasional, efisien dan berwawasan jangka panjang.

Dari segi kelembagaan dalam arti luas, tahap tinggal landas diwarnai oleh berkembangnya lembaga-lembaga dibidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang semakin efektif menjalankan fungsinya dan makin peka terhadap tuntutan pembangunan.
Dari segi ideologis, mental dan spiritual masyarakat Indonesia yang tinggal landas diwarnai oleh:
·         Penghayatan dan pengamalan Pancasila yang meresap, mendalam dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari
·         Kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin mantap dan serasi.

Kedua. Pada bagian lain dari buku repelita V tersirat satu pengertian yang melengkapi pengertian sebelumnya. Disebutkan bahwa dalam tahap tinggal landas, peningkatan efisiensi, produktipitas, kreatifitas dan partisipasi sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak utama pembangunan. Sedangkan ketergantungan kepada sumber alam semakin berkurang. Sementara itu proses tersebut juga akan diiringi oleh semakin menonjolnya sumber-sumber dinamika pembangunan yang berasal dari dalam negeri sendiri sehingga pembangunan Indonesia semakin kurang tergantung pada, dan semakin kurang dipengaruhi oleh perkembangan dan gejolak dari luar.
            Apabila ditelaah lebih jauh mengenai proses transformasi yang diuraikan diatas, menurut Moeljarto Tjokrowinoto (1995:22-23) ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi. Pertama esensi dari proses tinggal landas adalah terjadinya percepatan pembangunan yang mempunyai sifat khusus, yaitu percepatan pembangunan yang bersumber dari peningkatan produktipitas dan efisiensi secara menyeluruh. Dalam artian lain dalam proses tinggal landas terkandung pengertian adanya transformasi kualitatif diberbagai bidang.
 Yang terjadi atau yang diharapkan, bukan hanya indikator-indikator ekonomi yang menjadi lebih besar atau menjadi lebih banyak, tetapi juga harus menjadi lebih baik dan lebih tinggi tingkatannya secara kualitatif. Yang di harapkan bukan hanya peningkatan produksi tetapi peningkatan produktipitas; bukan hanya efektifitas tetapi efisiensi; bukan hanya peningkatan investasi tetapi investasi yang semakin produktif; bukan hanya langkah-langkah yang berupa replikasi dari apa yang telah ada tetapi inovasi dan terobosan-terobosan baru
            Ciri kedua adalah bahwa proses tersebut harus dapat mempertahankan momentumnya sendiri atau bersifat “self sustaining”. Ini adalah salah satu tafsiran pengertian dari asas “tumbuh dengan kekuatan sendiri”. Konotasi lain dari dari ciri self sustaining ini adalah bahwa proses tersebut harus semakin merupakan interaksi dinamis dari sumber-sumber pembangunan yang berasal dari dalam negeri. Ini antara lain berarti bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam negeri harus diusahakan meningkat cepat dan makin dominan, bahan-bahan mentah hasil dalam negeri harus semakin menjadi andalan utama bagi kegiatan-kegiatan produksi, tenaga-tenaga trampil dalam negeri harus semakin berperan dalam kegiatan-kegiatan produksi dan sebagainya.
Akan tetapi bagaimana kenyatannya, apakah cita-cita itu  mendekati kenyataannya? . Faktanya sangat jauh dari harapan. Cita-cita tinggal sebatas cita-cita yang indah dan elok di atas kertas. Meminjam Mubyarto (2003) dan Faisal Basri (2004) Yang terjadi adalah “pasak lebih besar dari tiang” . Pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, namun tidak dalam pemerataan. Kehidupan rakyat tidak semakin baik, bahkan sebaliknya semakin sengsara.
 Faktanya terbukti kemudian, apa yang ditulis dengan indah dalam platform pembangunan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) , Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan lain-lainnya hanya berhasil di atas kertas atau cetak biru (blue print). Tidak didalam realitas faktanya.
Malah sebaliknya yang terjadi yakni Indonesia terjerumus dalam krisis moneter pertengahan tahun 1997, yang selanjutnya diikuti dengan krisis multi dimensional, seperti krisis ekonomi, politik, social dan kebudayaan yang belum pulih hingga saat ini. Akan tetapi sebelum sampai kepada pembahasan krisis tersebut dalam sub bab dibawah ini akan diuraikan kritik-kritik terhadap model pembangunan yang diterapkan Orde Baru tersebut.

D. Kritik Terhadap Model Pembangunan Orde Baru
Sejak Orde Baru mencanangkan model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya telah banyak pihak tidak menyetujui. Mereka yang mengkritik itu beranggapan bahwa pembangunan yang diadopsi dari Barat itu tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Selain tidak mungkin mengejar yang sudah jauh di depan, masyarakat Indonesia sebagaimana masyarakat Timur pada umumnya masih dominan atau mayoritas bersifat kolektivist-spiritualistik, struktur sosial yang hierarkhis-vertikal tidak akan sejalan dengan masyarakat Barat yang cenderung individualistik-materialistik dan egaliter. Dua kutub yang saling bertolak belakang. Bagaimana mungkin mempertemukannya?[9]
Dalam teori mungkin dapat dipertemukan, namun dalam kenyataannya sangatlah sukar. Jangankan meniru Barat yang sudah sangat jauh di depan, meniru Jepang sekalipun masih sukar, sebab lingkungan alam, komposisi penduduk negara, struktur masyarakat, aneka warna kebudayaan, sistem nilai budaya dan agama di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain (Koentjaraningrat, 1984:32)
Pendapat yang lain, dan ini kelihatannya yang dominan adalah pandangan yang menganggap bahwa Indonesia sebagaimana negara-negara ex jajahan lainnya adalah negara-negara yang dikategorikan terbelakang (underdeveloped), miskin dan timpang Karena terbelakang perlu ikhtiar untuk meningkatkan kwalitasnya supaya lebih baik, lebih makmur dan lebih demokratis.
 Ikhtiar demikian apakah disadari atau tidak adalah meniru pembangunan negara-negara Barat, yakni negara-negara ex penjajah tersebut. Negara-negara ini entah bagaimana caranya dianggap sebagai negara panutan, negara maju, negara yang sudah industrialized dan lain-lain gelar kemajuan yang pantas diikuti. Aneh bin ajaib negara-negara yang pernah menjadi negara penjajah, yang kemajuannya sudah sangat jauh, sistim sosial, politik, ekonomi dan kebudayaannya berbeda akan dijadikan model. Tidakkah sesuatu yang terbalik?
Namun apapun alasannya pendapat demikian akhirnya mengungguli pendapat-pendapat yang lain, yakni bahwa Indonesia adalah negara terbelakang, miskin dan timpang, yang untuk meningkatkan eksistensinya diperlukan pembangunan. Pembangunan yang pada mulanya dikatakan netral, tanpa dikaitkan dengan ideologi-ideologi tertentu, ternyata kemudian hari terbukti adalah pembangunan yang kapitalistik.  .
Pembangunan seperti itu sebagaimana yang dahulu ditentang oleh pejuang-pejuang kemerdekaan pada akhirnya diterapkan rezim Orde Baru dengan dan tanpa dukungan rakyat. Kebijakan tersebut sudah ditempuh lebih dulu oleh rezim Orde Baru dan setelah itu lalu dijustifikasi oleh DPR hasil rekayasa.
Dalam perjalanannya kemudian terlihat bahwa kebijakan-kebijakan demikian dituangkan dalam apa yang disebut dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan operasionalnya dalam “pembangunan lima tahun” (Pelita). Dalam lima tahapan Pelita, atau awal pelita VI Indonesia direncanakan sudah sampai pada tahap  “tinggal landas”, yakni melaju dengan kemampuan sendiri (self sustained Growth). Suatu teori pembangunan ekonomi, Meskipun tidak pernah dikatakan dengan jelas, diadopsi dari paradigma WW Rostow. Sebab Rostow adalah satu-satunya pakar sejarah ekonomi yang pernah mengungkapkan istilah tersebut dalam ilmu ekonomi. Menurut beliau “tinggal landas” akan berhasil apabila memenuhi tiga syarat, yakni:
1.      syarat pertama tingkat investasi harus meningkat 10%. Tingkat investasi diukur sebagai proporsinya dari pendapatan nasional harus meningkat 10% atau lebih. Hal ini dihubungkan, khususnya dengan kenaikan jumlah penduduk. Kalau tingkat investasi itu kurang dari 10% maka dalam kebanyakan hal hasil peningkatan atau pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh investasi tersebut, akan habis dimakan oleh penambahan jumlah penduduk, sehingga dengan begitu dapat dikatakan terjadi stagnasi ekonomi
2.      syarat kedua pertumbuhan yang tinggi pada manufaktur. Adanya pertumbuhan satu atau beberapa cabang  industri dalam sector manufaktur, yang menunjukkan laju pertumbuhan yang tinggi
3.      syarat ketiga tampilnya kerangka politik, sosial, dan institusional yang handal. Hadirnya atau timbulnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan kelembagaan yang dapat menampung dan mengembangkan denyutan-denyutan dinamika dari sector modern maupun sector internasional sebagai akibat dari “take off”, sehingga terdorongnya satu pertumbuhan menjadi gerakan yang tak henti-hentinya  (Sumawinata, S,27 Agustus 1988, hal 2)

Dalam praktekknya Indonesia menurut Sarbini Sumawinata (1988) dan lain-lain pengamat hanya melaksanakan syarat nomor satu, yakni tingkat investasi dan pertumbuhan yang tinggi. Tidak nomor dua, yakni pertumbuhan yang tinggi pada manufaktur, apalagi nomor tiga (pembangunan sosial, politik dan kebudayaan), pada hal kedua nomor inilah yang paling penting dalam era “tinggal landas” daripada sekedar (hanya) melaksanakan syarat nomor satu (pertama). Indonesia hanya sibuk mengejar pertumbuhan. Dari pertumbuhan ke pertumbuhan[10].
Pertumbuhan ekonomi seakan-akan (atau memang demikian) menjadi segala-galanya. Pertumbuhan yang seharusnya untuk memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat, berubah menjadi masyarakat untuk pertumbuhan.Pertumbuhan manufaktur yang mandiri atau pertumbuhan kerangka sosial, politik dan institusional yang handal, demokratis dan pluralis, yang  seharusnya menyertainya tinggal sebatas slogan dan tinta indah diatas kertas GBHN/Pelita.
Sebelum Sarbini Sumawinata memberi kritik, demikian, beberapa tahun sebelumnya (1983) H.W.Arndt seorang ekonom yang beraliran “neoklasik” telah memberikan pandangan yang juga sangat ekstrim. Arndt yang mengutif beberapa pakar sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah salah satu kasus bangsa yang melaksanakan pertumbuhan yang menyengsarakan”. Pertumbuhan berjalan, namun tidak dalam pemerataan. Masyarakat sebagaimana era-era sebelumnya tetap sengsara, tetap susah dan hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Yang menikmati hasil pembangunan hanya segelintir orang. Mayoritas tetap dalam keadaan melarat.
Mengapa dan kenapa pertumbuhan yang menyengsarakan ini terjadi Arndt melihat ada lima faktor (determinant) penyebab. Faktor-faktor ini adalah:
1.      ekses dan konsekwensi dari penjajahan
2.      elit nasional baru yang tampil tidak professional
3.      ideologi yang anti kapitalis
4.      warisan (nilai) budaya yang tidak efisien
5.      kemunduran ekonomi pasca kemerdekaan[11]

Penjajah Belanda yang melaksanakan pemerintahan kolonial di Indonesia sejak lama telah mewariskan keterbelakangan yang kronis. Penjajah hanya mengeksploitasi ekonomi, tapi tidak memberikan apa-apa bagi yang dijajahnya. Pemerasan sumber daya Indonesia dilaksanakan dengan sistim ekonomi yang dualistis, yakni melalui sektor tradisional plus sektor modern. Sektor tradisional dibiarkan berkembang apa adanya, tapi sektor modern dibatasi. Sektor-sektor ekonomi, seperti perkebunan, transportasi, irigasi, perbankan, administrasi, manufaktur kecil berkembang dengan pesat, tapi sebaliknya pada latihan-latihan kejuruan dan professionalisme.
Ketika Indonesia merdeka sosok-sosok atau elit-elit yang tampil adalah elit atau sosok yang kurang piawai melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan, birokrasi, perekonomian dan lain-lain dimensi kehidupan modern. Ketika penjajah sudah pergi dan tampil putra-putri pribumi, mereka kurang handal melaksanakan fungsi-fungsi negara modern. Kekurang professionalan sangat kasat mata ketika memimpin usaha-usaha ekonomi yang ditinggalkan Belanda tidak bisa dikembangkan dengan baik, bahkan sebaliknya yang terjadi, stagnasi dan mulai merebak inefisiensi-inefisiensi ekonomi seperti korupsi dan lain-lain biaya-biaya tinggi ekonomi.
Kaum inteletual dan politisi pergerakan kemerdekaan Indonesia sebagaimana faktanya tumbuh dan diilhami ideologi anti kapitalis. Kaum ini melihat bahwa penjajahan muncul adalah akibat penerapan ideologi kapitalis. Sebagai perlawanan atau antitese dari anti kapitalisme, tokoh-tokoh pergerakan ini melihat ideologi alternative, yakni “sosialisme”. Mereka ingin menerapkan sosialisme di Indonesia. Suatu ideologi yang dilandasi teorinya Karl Marx. Ideologi yang muncul karena keserakan-keserakahan dan lain-lain ekses negative kapitalisme. Oleh karena itu para pemimpin-pemimpin pergerakan menghujat habis kapitalisme dan imperialisme, tidak mengakui mekanisme pasar sebagaimana yang diterapkan para kapitalis. Begitu pula untuk aktor ekonomi tidak diberikan kepada swasta, melainkan negara, yakni dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Singkatnya pola ini dianggap sebagai konsep kebersamaan yang sesuai dengan seluruh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. 
Faktor selanjutnya adalah faktor budaya yang tidak mendukung. Budaya termaksud adalah tradisi masyarakat Indonesia, khususnya etnis Jawa kepada penekanan “musyawarah untuk mufakat” dalam pengambilan keputusan  Tradisi ini dianggap tidak sesuai dengan pembangunan ekonomi yang kapitalistik, sebab terlalu menjaga harmoni dan menjauhkan konfrontasi. Begitu pula sifat-sifat orang Indonesia yang lain seperti kurang menghargai kerja-kerja yang didasarkan kepada fisik. Kerja-kerja fisik seperti misalnya menjadi pedagang dianggap kurang bermartabat. Dampak kemudian adalah kurang jiwa entrepreunership
Faktor terakhir adalah kehancuran ekonomi pasca kemerdekaan. Indonesia sejak memproklamirkan dirinya tidak sempat membangun perekonomian, karena satu dan lain hal. masyarakat hidupnya tidak lebih baik dari era-era sebelumnya. Mereka tetap susah, karena pemerintahan pasca kolonial tidak bisa berbuat banyak dalam perkembangan perekonomian. Kemerosotan ini dapat dilihat menjelang jatuhnya Soekarno, inflasi mencapai 650%.
 Argumen Arndt demikian menunjukkan bahwa prasyarat-prasyarat pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan, atau dalam bahasa yang umum pembangunan yang kapitalistik belum dimiliki bangsa Indonesia. Prasyarat-prasyarat ekonomi, seperti kemampuan wiraswasta, prasyarat politik, yakni demokrasi liberal, prasyarat sosio kultural, yakni masyarakat yang individualistik, egaliter dan horizontal sama sekali masih sangat jauh.
Karena prasyarat-prasyarat pendukung tidak memadai, dapat dibayangkan seperti apa jadinya apabila pembangunan yang berfocus pada pertumbuhan ekonomi diterapkan sudah pasti akan terjadi pembiasan. Bagaimana pembiasan ini berlangsung sudah banyak ditulis para pakar. Yoshihara Kunio (1984) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang terjadi di Indonesia dan lain-lainnya negara Asia Tenggara adalah pembangunan ekonomi, tepatnya kapitalisme semu (ersatz), yakni kapitalisme yang tidak sesungguhnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pola-pola yang dilaksanakan tidak sesuai dengan hukum-hukum kapitalis sebagaimana disinggung Arndt. Perekonomian yang dipentaskan terlalu didominasi oleh negara yang seharusnya oleh swasta dan disisi lain adalah bahwa perekonomian yang dijalankan tersebut tidak didasarkan kepada teknologi.
Masalah-masalah demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun untuk kepentingan pertemuan ini dianggap sudah memadai, dan selanjutnya akan diteruskan kepada topik/sentral dialog nasional ini, yakni pembangunan Taput

Issu Pembangunan Taput/Tapanuli
Lalu bagaimana hubungannya dengan pembangunan Taput? Untuk ini akan dikemukakan beberapa issu yang kami kutip dari beberapa media, seperti Independensi 15 Nopemebr 2017, Medan bisnis 2018, Mongabay, 2018, Kompas, 10 Februari 2016, SIB 26 Juni 2019, SIB 27 Juni 2019.

Pointers-pointers Independensi
·         1980-an issu Tapanuli sebagai Peta Kemiskinan[12]. Perkembangan di daerah ini yang tiada bedanya dengan waktu penjajahan, dan di awal kemerdekaan.
·         Di era reformasi, melesat pemekaran tanpa ada peningkatan kehidupan rakyat yang significan
·         PT Inti Indo, PT Toba Pulp Lestari yang melahap hutan pinus
·         Munculnya kasta baru sebagai konsekwensi dari pemekaran, yakni elit-elit baru dari kabupaten-kabupaten hasil pemekaran tersebut. Kalangan ini menjadi penjilat dana dari pusat karena PAD nya tak memadai.
Pointers-pointers Medan Bisnis
·         Seminar “Rakyat Bicara Pembangunan Pariwisata Danau Toba”, di hotel Ashley Jakarta, 4 Nopember 2018 dengan peserta KSPPM, JKLPK, TUK, PGI, Bakumsu, Elsam, LBH FAS
·         Paradigma kebijakan pembangunan yang masih berorientasi pada ex bentang alam dengan seluruh eksotiknya untuk layanan wisata dan pengunjung, devisa…mengkhawatirkan terkait dengan daya dukung dan daya tampung ekologis, hak, dan potensi lokal
·         Pelanjutan watak pembangunan dengan model warisan pembangunan era orde baru, yakni dengan karakter land grabbing, marginalisasi dan eksploitasi masyarakat adat lokal dan tempatan lainnya dari ruang hidupnya sendiri, memisahkan masyarakat secara sistematis dan mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis. Pembangunan dilakukan tanpa mengajak bicara masyarakat setempat, dan tidak jarang justru menimbulkan konflik internal masyarakat
·         Pembangunan selama ini selalu top down. Maksudnya rakyat memerlukan perbaikan hidup, pemerintah datang dengan berbagai program pembangunan yang cenderung dirancang dan dieksekusi secara sepihak sembari memperlakukan rakyat yang memerlukan kesejahteraan tersebut hampir sepenuhnya sebagai objek
·         Upaya pembangunan yang lama tapi juga yang baru dalam wujud pembangunan pariwisata sama sekali tidak dikaitkan dengan upaya restrukturisasi ketimpangan struktur sosial-ekonomi, yang membuat apapun yang dilakukan di Kawasan ini selalu hasilnya hanya akan menguntungkan segelintir orang dan merugikan sebagian besar anggota masyarakat (Manambas Pasaribu, sek Bakumsu)

Pointers-pointers Mongabay.

·         Ditulis Lusia Arumingtyas26 okt 2018
·         Tanah adat kami seluas 905 hektar, yang kami miliki turun temurun sudah 15 generasi, diklaim sebagai hutan negara kata Polma, masyarakat adat desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara…..
·         Banyak  warga khawatir tentang tanah yang mereka tinggali, tempat berladang, dan sumber mata air. Mereka bilang bagaimana kalau digusur
·         Sosialisasi selama ini hanya strategi janji kesejahteraan, lapanagn pekerjaan, dan kemajuan masyarakat. Nyatanya, pembangunan tak sesuai potensi dan karakter masyarakat
·         Tidak gunakan prinsip pembangunan berbasis ekowisata, lebih pada wisata alam

Pointers-pointers artikel Mangadar Situmorang di Kompas 10 februari 2016 dengan judul “Badan Otorita Danau Toba”
·         Menjadikan Kawasan danau Toba menjadi Monaco of Indonesia, tanpa memahami secara komprehensif dan konseptual apa itu Monaco
·         Tidak sekedar alam, namun juga kultural dan spiritual

Pointers-pointers berita SIB, 26 Juni 2019 dengan tema Ir Juliski Simorangkir MM minta Pemkab Taput berikan ruang kepada Kepsek ikuti uji kompetensi
·         447 kepsek SD dan SMP belum miliki sertifikat

Pointers-pointers berita SIB 27 Juni 2019 dengan tema PMD Taput belum cairkan dana desa.
Etc….etc…etc
→ Kongkritnya masalah-masalah pembangunan di Taput/Tapanuli masih laten.


Berpusat Pada Manusia

Masalah-masalah yang kalau ditelaah tidak akan selesai dalam pertemuan 3 jam ini, karena sifatnya yan cenderung latent, rumit, dan abstract, yang sudah terstruktur, sistemik, dan massif sejak lama.
Pola yang tak cukup hanya di seminar-seminar atau di dialog-dialogkan, melainkan harus diretas segera, apapun dalih dan taruhannyanya. Salah satu kiat tersebut adalah merombak total model, pola, atau strategi pembangunan yang berlaku saat ini, yakni dari model pertumbuhan ekonomi, menjadi model yang berpusat pada manusia (People Centered Development, PCD).
Model yang terdiri dari 4 elemen, yakni pemberdayaan (empowering), keadilan (equity), pertumbuhan (Growth), dan keberlanjutan (sustanable). Model yang dalam empiriknya menomorsatukan pemberdayaan dan keadilan, bukan pertumbuhan sebagaimana yang berlangsung saat ini (Amartya Sen, dlm G, Bulu, 2011)
Mengutip Korten (1995), pembangunan yang berpusat pada manusia demikian memandang inisiatif dan kreatifitas rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan kesejahteraan materil serta spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Adapun tema utamanya adalah:
1.      Penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
2.      Kesadaran bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sumber tradisional menjadi sumber utama bagi kehidupan sebagian besar rumah tangga miskin
3.      Kebutuhan akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber daya-sumber daya lokal
Secara sosiologis-ekonomis prinsip-prinsip tersebut disusun sebagai berikut:
·         Rakyat harus diberi wewenang menguasai sumber daya sendiri, memperoleh akses ke informasi, punya sarana legal untuk menuntut pertanggungjawaban bahkan menggugat penguasa
·         Para penolong pembangunan harus berjalan mengikuti agenda rakyat. Nilai bantuan asing di ukur dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menentukan hari depan mereka sendiri.
·         Suatu pembangunan baru terjadi bila masyarakat melakukan usaha pembangunan sendiri, sehingga proses pembangunannya menjadi milik masyarakat
·         Pembangunan tidak boleh di subkontrakkan, tanggung jawab tidak diserahkan pada pihak lain. Suatu pembangunan sustanable bila ia membangun apa-apa yang sudah ada. Betapapun kecilnya, suatu proses pembangunan harus mulai dengan menggunakan kemampuan yang ada. Adalah sia-sia bila pembangunan tidak membangkitkan kapasitas lokal (Paulus Wirutomo, 2005)
Demikianlah prinsip-prinsip pembangunan yang berpusat pada manusia. Prinsip-prinsip yang relevan dengan dasar, ideologi dan tujuan negara Republik Indonesia, yang mungkin juga dapat diterapkan di daerah ini. Merdeka
                               REFERENSI

Ali Asad Said, 2009, Negara Pancasila, LP3ES, Jakarta
Bagun Rikard, 2009, Tuntutan Perubahan Perilaku, dlm Kompas, Jakarta
Boediono, 2009, Ekonomi Indonesia Mau Kemana?, KPG dan Freedom Institute Jakarta
Haq, Mahbub Ul, 1976, The Poverty Curtain, Columbia University Press
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Mangunwijaya, J, 1985, Teknologi Dan Dampak Kebudayannya, Obor, Jakarta
Nafis MD, 2009, Indonesia Terjajah, INSIDE Press, Jakarta
Perkins, J, 2007, Pengakuan Bandit Ekonomi, Ufuk Press, Jakarta
Rendra WS, Merekalah harapan Bangsa Ini, dlm Media Indonesia, 1 Mei 2009, Jakarta
Rodrick Dani, 2001, Development Strategies For the 21 st Century dalam Annual World           Bank Conference on Development Economics
Sen Amartya, 1999, Development as Freedom, Oxford University Press
Soemawinata, Sarbini, 1999, Tinggal Landas, makalah ISEI, Jakarta
Stiglitz, J, 2003, Globalization and its Discontents, Penguin Books, London
Stiglitz, 2007,  Making Globalization Work, Mizan, Jakarta
Todaro M, 1995, Pembangunan Ekonomi di Dunia lll, Erlangga, Jakarta
Tjokrowinoto, 1995, Teori-Teori Pembangunan, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
Wiryawan, Nizam Jim, Prof Ph D, 2009, Washington Consensus dan Model Pembangunan Alternatif, dalam Media Indonesia, 28 Mei 2009.


[1] Dengan keterbatasan yang saya/penulis miliki, deskripsi mayoritas ke identifikasi masalah.
[2] Bandingkan dengan terobosan Dedi Mulyadi di Purwakarta yang membangun daerahnya di atas budaya Sunda.
[3] Mungkin untuk 3.0 pun Indonesia belum sampai.
[4] Tema yang tak asing bagi kader-kader GMNI/Nasionalis-Marhaenis, yang juga dijalankan Jokowi dengan Tri Sakti-Nawa Citanya.
[5]Lebih rinci dapat dibaca dalam bukunya “Menuju Abad ke 21”
[6] Dapat dibaca dalam bukunya “Development is Freedom”.
[7] Dalam teori atau konsep pembangunan, pembangunan di Taput ini dikategorikan ke dalam pembangunan wilayah. Pembangunan yang menurut Prof Dr Gunawan Sumodiningrat adalah pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek atau actor pembangunan dan pemerintah sebagai fasilitator (Iwan Nugroho dan Rohmin Dahuri, Pembangunan Wilayah, 2012, LP3ES, Jakarta). Prof MT Zen menyebutnya sebagai pemberdayaan masyarakat setempat (Alkadri, Muchdi, Suhandojo, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, 2001, BPPT, Jakarta)
[8] Lebih lajut, kongkrit, dan operasional akan diuraikan pada penutup makalah ini.
[9] Disini persoalan kulturalnya
[10] Apakah saat/hari ini sudah berubah?
[11] Grand masalah yang tak pernah dituntaskan
[12] Menjadi tema dalam pilkada Taput 2018. APBD naik, tapi kemiskinan jalan ditempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar