Minggu, 19 April 2020

BK V, KOMUNIKASI INTERNASIONAL



BK V, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH V, 20 APRIL 2020, JAM 10.30 SD 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
KESENJANGAN KOMUNIKASI INTERNASIONAL
Pengantar
Pada kuliah ke IV telah di uraikan Konsep Informasi dan Berita dalam Komunikasi Internasional. Diharapkan para mahasiswa memahaminya sehingga jika disuruh membuat konsep suatu saat/dikemudian hari, telah mengetahui dasar-dasarnya.
Dalam kuliah ke V ini akan diuraikan “Kesenjangan Komunikasi Internasional”. Kesenjangan yang mungkin telah sering di dengar antara negara maju versus negara terkebelakang, antara yang kuat dengan yang lemah, antara yang kaya dan melarat, antara yang tradisonal dengan yang moderat dan lain-lain yang dikhotomis.
Secara harfiah kesenjangan berarti ketidak – setaraan, asimetrik, dan lain-lain arti yang menggambarkan ketidak-samaan. Ada jarak, gap, atau jurang antara harapan (value expectation) dan kenyataan (value capabilitis). Konstalasi, suasana, atau konteks yang dapat terjadi karena banyak hal.
Sebelum faktor-faktor demikian di uraikan lebih jauh, ada baiknya, tulisan Ki Supriyoko dalam Jurnal Hubungan Internasional No 1 Juni 2004 dibawah ini di baca secara seksama;
Lampiran I
….. Sebagai masyarakat modern yang telah familiar dengan instrument komunikasi modern, seperti TV, Internet, dan Radio – tentunya eksistensi “media raksasa” produksi negara-negara maju, seperti CNN, BBC, VOA, Time Magazine, ABC TV, dan MTV telah menjadi bagian dari keseharian kita. Media-media Barat tersebut terus mensirkulasikan berita-berita seputar perkembangan dunia ke pasar global. Bahkan media tersebut, juga bisa dimanfaatkan sebagai instrument untuk menyebarkan propaganda maupun mempromosikan “pop culture” ke seluruh penjuru dunia, dan tentunya ruang publik di negara-negara berkembang tak luput dari cengkeraman media-media tersebut. Bahkan fakta membuktikan bahwa terjadi arus yang sangat besar dalam volume ekspor “produk media” dari negara maju, khususnya dari Amerika ke negara Dunia III, namun sebaliknya hanya sedikit “produk media” produksi negara Dunia III yang mampu mempenetrasi pasar Amerika. Lebih jauh lagi, bahkan laporan UNESCO pada tahun 2001 telah secara terang-terangan mengungkapkan bahwa telah terjadi “quantitative imbalance” atau ketidakseimbangan kuantitatif dalam arus informasi yang nota benenya di dominasi oleh negara maju terhadap negara berkembang dengan ratio 5 : 1. Sehingga menempatkan negara berkembang hanya sebagai penerima pasif dari sajian informasi yang terus disirkulasikan oleh negara-negara maju. Selain terjadinya quantitative imbalance, fenomena ketimpangan arus dan konten informasi tersebut juga ditandai dengan adanya inequality in information resources atau ketimpangan dalam sumber-sumber informasi. Sebagaimana diketahui bahwa media global di kuasai oleh negara-negara maju, khususnya negara-negara Barat, BBC, VOA, AFP, atau Reuters, merupakan major news services yang dikuasi oleh Barat, bahkan Barat juga menguasai mesin-informasi seperti ABC TV, MTV, ITV, yang membuat peradaban mereka semakin maju.
Sementara 45% dari negara berkembang di seluruh dunia belum memiliki stasiun TV sendiri – sehingga mereka terpaksa menonton sejumlah program yang di produksi oleh negara-negara maju – yang nota benenya belum tentu relevan dengan budaya mereka atau bermanfaat bagi kemajuan mereka. Fakta di atas telah membuktikan bahwa adanya ketimpangan dalam arus dan konten informasi dari negara maju ke negara berkembang. Kemudiaan sebagai contoh sederhana untuk memperjelas fenomena ketimpangan tersebut, mari kita lihat kondisi domestik Indonesia. Jika kita pergi ke bioskop, maka kita akan melihat begitu banyak film-film produksi luar, terutama produk Amerika yang dijadikan “menu utama” atau highly recommended untuk wajib ditonton. Film-film tersebut terus berganti. Puluhan judul film yang variatif ditayangkan dalam satu bulan, seolah Amerika tidak pernah kehabisan stock film untuk disirkulasikan ke pasar Indonesia. Lalu pernahkah terpikirkan oleh kita, berapa judul film produksi lokal bulan ini, atau tahun ini yang mampu menembus bioskop Amerika? Kita belum pernah mendengar beritanya. Lalu apabila melihat program TV lokal yang “meniru” program produksi Barat -mulai dari ajang pencarian bakat, seperti Indonesian Idol yang di tiru dari American Idol, atau pencarian jodoh seperti program “Take Me Out”, hingga kuis berhadiah uang besar seperti “Who Wants To Be Millionaire” yang diadopsi dari game Show karya Amerika. Peniruan terhadap program tersebut tidak hanya membuktikan bahwa media Barat telah berhasil mencengkeram pasar domestik sebagai target pasar yang prosfektif, tetapi juga telah berhasil menanamkan hegemoninya, terutama dalam hal penyebaran budaya Barat. Kemudian jika kita perhatikan gaya hidup anak-anak sekarang, maka kita akan melihat fenomena dimana begitu akrabnya anak-anak Indonesia dengan tontonan program TV karya Nickelodeon, seperti Spongebob dan Avatar yang sampai sekarang masih bercokol di Global TV. Lalu jika berbicara tentang film anak-anak, maka produk-produk Disney masih merajai pasar. Sementara si Unyil, tayangan asli produksi anak negeri tak pernah sekalipun berkunjung ke TV Amerika, apalagi bioskopnya. Fakta-fakta tersebut telah membuktikan bahwa fenomena ketimpangan dalam arus dan konten komunikasi internasional, terutama dari negara-negara berkembang ke negara maju merupakan kenyataan yang tak bisa disangkal lagi. Bahkan lebih jauh lagi, sebenarnya fenomena ketimpangan tersebut bukanlah sebuah kasus yang baru saja terjadi akhir-akhir ini. Karena fenomena ini telah terdeteksi sejak akhir 1970-an dan 1980-an. Oleh karena periode tersebut ditandai oleh lahirnya kajian komunikasi internasional yang terfokus pada studi perbandingan media antar negara dan ketergantungannya.
∏∏
Konsep Dependencia
Tulisan demikian dengan cepat (gamblang) membuat kita paham apa yang dimaksud dengan “kesenjangan komunikasi internasional”. Dengan mengilustrasikan alat-alat komunikasi modern yang dimiliki negara-negara maju, seperti TV, Internet, Radio,  kantor-kantor berita raksasa, seperti; CNN, VOA, AFP, BBC, ABC TV, MTV, hingga majalah Time Magazine, yang selalu menjadi sumber utama berita/informasi di Indonesia, namun sebaliknya Indonesia tidak memiliki instrument-instrumen seperti itu, sehingga membuat kesenjangan itu sangat besar dan kasat mata.
Belum lagi ketika ditengarai berapa besar produk-produk komersil informasi mereka, seperti film-film yang banyak dibeli media-media Indonesia, sebaliknya produk-produk informasi/film-film Indonesia tidak ada yang masuk kenegeri mereka, membuat kesenjangan itu semakin telanjang, vulgar, atau kasat mata.
Sayang (mungkin karena keterbatasan) tidak diuraikan lebih jauh, kesenjangan-kesenjangan, yang jauh lebih gawat dari ilustrasi-ilustrasi demikian. Buku-buku yang merupakan produk ilmu pengetahuan mereka, yang dipakai bahan kuliah di perguruan-perguruan tinggi Indonesia, adalah produk-produk raksas intelektual mereka. Termasuk, atau khususnya tentang buku-buku komunikasi yang kita pakai kuliah hari ini, masih hampir semua berdasarkan teori Amerika/Barat. Sampai saat ini belum ada buku-buku Indonesia yang menjadi referensi di peguruan-perguruan tinggi Amerika/Barat.
Oleh karena itu kesenjangan demikian tidak hanya dalam komunikasi internasional, namun dalam seluruh sendi-sendi kehidupan. Fenomena ini akan semakin mudah dipahami melalui teori Dependencia, alias teori ketergantungan.
Teori ini menjelaskan bahwa kesenjangan demikian terjadi karena ada faktor “eksternal dan structural” yang menimpa negara-negara berkembang, yakni negara-negara ex jajahan. Teoritisi Imperliasme menuduhnya, telah terjadi kembali penjajahan terhadap negara-negara tadi (ex jajahan tersebut) dalam bentuk baru. Bung Karno dulu menyebutnya “Nekolim”, yakni colonial/Penjajah yang tidak memakai bedil, namun melalui penetrasi ekonomi.
Inti dari teori dependencia demikian dapat di ringkas sebagai berikut; Penetrasi asing dan ketergantungan eksternal menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam struktur ekonomi “pinggiran” (periphery), yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat dan akhirnya mendorong timbulnya penindasan negara terhadap rakyat di masyarakat yang tergantung itu. Hampir semua negara dunia ketiga sekarang mengalami penetrasi mendalam oleh, dan sangat tergantung pada, negara-negara industri maju (atau negara-negara pusat) dan terutama ekonomi dunia. Penetrasi itu bisa terjadi melalui berbagai cara, ekonomi, politik dan kultural, dan pada berbagai periode perkembangan suatu negara.
Penetrasi ekonomi bisa melalui cara finansial atau teknologis. Dalam tahap perkembangan ekonomi awal, cara paling umum adalah melalui penanaman modal langsung, di mana perusahaan multi nasional (PMN) membentuk cabang-cabang yang terlibat dalam pertambangan, pertanian, pabrik mesin, dan perdagangan. Orang asing bisa juga menanam modal dalam perusahaan lokal, dan kemudian menggunakan modal awal itu untuk menarik modal dari para investor lokal. Cabang-cabang PMN menggunakan teknologi yang dikembangkan di negara-negara industri. Kalaupun teknologi ini tidak digunakan segera, maka teknologi itu akan datang kemudian sebagai bagian dari suatu product cycle. Dalam siklus ini, proses-proses produksi yang sebelumnya di pakai di dunia maju dipindahkan ke wilayah peripheri, yang memiliki buruh lebih murah, karena di dunia maju sudah ditemukan teknologi baru. Karena itu, cabang-cabang PMN, mengimpor barang-barang kapital (computer, peralatan transportasi, dan mesin-mesin lainnya) dari negara-negara pusat. Pabrik-pabrik local yang dibangun PMN menggunakan proses produksi yang dikembangkan di negara pusat dan karena itu menggunakan hak paten, lisensi, hak cipta, dan cap dagang asing. Walaupun industry itu kemudian sebagian besar dimiliki dan dijalankan oleh orang local, namun kebutuhan untuk bersaing dengan PMN-PMN tetap mengharuskan mereka untuk mengimpor teknologi dari luar negeri. Juga, bantuan ekonomi dari negara-negara maju sering mengharuskan penerima bantuan untuk membeli barang dan jasa dari negara donor itu.
Penetrasi politik dan kultural bias juga berlangsung melalui paket-paket materil atau simbolis, seperti buku, program televisi, koran, majalah dan film. Atau bias juga berlangsung melalui orang yang menjadi “pembawa” kultur asing. Misalnya, para pemuda yang pulang dari belajar di negeri pusat bias membawa unsur-unsur kultur industrial Barat, seperti cara berpikir dan bertindak, ideologi, nilai, pola konsumsi, dan sebagainya. Menurut pengalaman banyak negara pinggiran, kesempatan untuk ditulari kultur Barat itu membuat banyak anggota masyarakat mengalami perubahan nilai. Yang paling jelas adalah munculnya konsumerisme dikalangan elitenya. Hal ini mendorong para pengusaha local untuk lebih banyak menghasilkan barang-barang konsumsi mewah yang memerlukan teknologi impor (seperti mobil, televisi,kulkas, AC, dan sebagainya) untuk selapisan tips elit itu dan kurang memperhatikan produksi barang yang dibutuhkan oleh sebagian besar anggota masyarakat, yang memang memiliki daya beli rendah. Pasar untuk barang konsumen elite ini memang empit, karena golongan elite it memang jumlahnya jauh lebih sedikit, tetapi mereka punya daya beli tinggi. Karena itulah para industrialis local sangat berkepentingan untuk memperbesr pasar elite itu dan tidak tertarik untuk memperluas pasar “massa”. Akibatnya kepentingan kelas industrialis dan pedagang mendukung suatu distribusi pendapatan yang timpang, yaitu yang menguntungkan kelas berpunya. Mereka kurang tertarik pada upaya pemerataan pendapatan, yang sebenarnya bias memperluas pasar “massa” untuk barang-barang kebutuhan pokok (yaitu misalnya, mementingkan bahan makanan pokok, transportasi massal dan dokter Puskesmas, bukan beefsteak, mobil pribadi atau dokter ahli bedah kosmetik).
Lembaga-lembaga pemerintah, swasta, maupun individu mengimpor produk politik dan budaya yang kemudian membentuk cara mereka melakukan pekerjaan dan bagaimana mereka mendefinisikan tugas mereka itu. Produk seperti itu antara lain berupa peralatan militer modern, program latihan tantara dan polisi, dan computer. Dengan semua sarana ini, nilai-nilai negara pinggiran mengenai konsumsi dan produksi menjadi sangat ditentukan oleh penetrasi dari negara-negara pusat.
Dstnya…..
Dstnya…..(Mohtar Mas’oed, 1990:204-207)…….
∏∏∏
Uraian demikian masih dapat dijajarkan sekian panjang lagi, betapa atau mengapa terjadi kesenjangan menurut persfekif Dependencia. Persfektif yang ditolak kalangan modernis, yang melihat kesenjangan bukan karena factor structural dan eksternal, melainkan factor internal dan kultural, yakni; kurangnya “motivasi berprestasi”, despotism, korupsi, dan sebagainya.
Sebagai penutup dari uraian ini, para mahasiswa mungkin masih ingat betapa media-media Barat dulu membenarkan serangan AS ke Irak, karena Irak konon memiliki senjata kimia, namun setelah di duduki, ternyata senjata itu tidak ditemukan. Begitu pula serangan AS ke Vietnam Selatan, yang menuduh negeri itu akan mengimpor komunisme ke seluruh negara-negara Asia tenggara, dimana AS akhirnya dengan memalukan angkat kaki dari negeri itu, dan Vietnam Selatan ternyata tidak benar meneksor 
PERTANYAAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan ini di WA;
1.      Jelaskan apa artinya, a. pop kultur, b. quantitative imbalance, c. highly recommended, dan d. inequality in information resources
2.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan a. factor eksternal, dan b. factor internal dan kultural dalam masalah kesenjangan.
3.      Bila ada hal-hal yang ingin dipertanyakan, saya layani hingga jam 12.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar