BK V, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH V, 20 APRIL 2020, JAM 10.30 SD 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
∏
KESENJANGAN KOMUNIKASI INTERNASIONAL
Pengantar
Pada kuliah ke IV telah di uraikan
Konsep Informasi dan Berita dalam Komunikasi Internasional. Diharapkan para
mahasiswa memahaminya sehingga jika disuruh membuat konsep suatu
saat/dikemudian hari, telah mengetahui dasar-dasarnya.
Dalam kuliah ke V ini akan diuraikan “Kesenjangan
Komunikasi Internasional”. Kesenjangan yang mungkin telah sering di dengar
antara negara maju versus negara terkebelakang, antara yang kuat dengan yang
lemah, antara yang kaya dan melarat, antara yang tradisonal dengan yang moderat
dan lain-lain yang dikhotomis.
Secara harfiah kesenjangan berarti
ketidak – setaraan, asimetrik, dan lain-lain arti yang menggambarkan
ketidak-samaan. Ada jarak, gap, atau jurang antara harapan (value expectation)
dan kenyataan (value capabilitis). Konstalasi, suasana, atau konteks yang dapat
terjadi karena banyak hal.
Sebelum faktor-faktor demikian di
uraikan lebih jauh, ada baiknya, tulisan Ki Supriyoko dalam Jurnal Hubungan Internasional
No 1 Juni 2004 dibawah ini di baca secara seksama;
Lampiran I
….. Sebagai masyarakat modern yang telah
familiar dengan instrument komunikasi modern, seperti TV, Internet, dan Radio –
tentunya eksistensi “media raksasa” produksi negara-negara maju, seperti CNN,
BBC, VOA, Time Magazine, ABC TV, dan MTV telah menjadi bagian dari keseharian
kita. Media-media Barat tersebut terus mensirkulasikan berita-berita seputar
perkembangan dunia ke pasar global. Bahkan media tersebut, juga bisa
dimanfaatkan sebagai instrument untuk menyebarkan propaganda maupun
mempromosikan “pop culture” ke
seluruh penjuru dunia, dan tentunya ruang publik di negara-negara berkembang
tak luput dari cengkeraman media-media tersebut. Bahkan fakta membuktikan bahwa
terjadi arus yang sangat besar dalam volume ekspor “produk media” dari negara
maju, khususnya dari Amerika ke
negara Dunia III, namun sebaliknya hanya sedikit “produk media” produksi negara
Dunia III yang mampu mempenetrasi pasar Amerika. Lebih jauh lagi, bahkan
laporan UNESCO pada tahun 2001 telah
secara terang-terangan mengungkapkan bahwa telah terjadi “quantitative imbalance” atau ketidakseimbangan kuantitatif dalam
arus informasi yang nota benenya di dominasi oleh negara maju terhadap negara
berkembang dengan ratio 5 : 1. Sehingga menempatkan negara berkembang hanya
sebagai penerima pasif dari sajian informasi yang terus disirkulasikan oleh negara-negara
maju. Selain terjadinya quantitative
imbalance, fenomena ketimpangan arus dan konten informasi tersebut juga
ditandai dengan adanya inequality in
information resources atau ketimpangan dalam sumber-sumber informasi.
Sebagaimana diketahui bahwa media global di kuasai oleh negara-negara maju,
khususnya negara-negara Barat, BBC, VOA,
AFP, atau Reuters, merupakan major news services yang dikuasi oleh
Barat, bahkan Barat juga menguasai mesin-informasi seperti ABC TV, MTV, ITV, yang membuat peradaban mereka semakin maju.
Sementara 45% dari negara berkembang di seluruh dunia belum
memiliki stasiun TV sendiri – sehingga mereka terpaksa menonton sejumlah
program yang di produksi oleh negara-negara maju – yang nota benenya belum
tentu relevan dengan budaya mereka atau bermanfaat bagi kemajuan mereka. Fakta
di atas telah membuktikan bahwa adanya ketimpangan dalam arus dan konten
informasi dari negara maju ke negara berkembang. Kemudiaan sebagai contoh
sederhana untuk memperjelas fenomena ketimpangan tersebut, mari kita lihat
kondisi domestik Indonesia. Jika kita pergi ke bioskop, maka kita akan melihat
begitu banyak film-film produksi luar, terutama produk Amerika yang dijadikan “menu utama” atau highly recommended untuk wajib ditonton. Film-film tersebut terus
berganti. Puluhan judul film yang variatif ditayangkan dalam satu bulan, seolah
Amerika tidak pernah kehabisan stock
film untuk disirkulasikan ke pasar Indonesia. Lalu pernahkah terpikirkan oleh
kita, berapa judul film produksi lokal bulan ini, atau tahun ini yang mampu
menembus bioskop Amerika? Kita belum
pernah mendengar beritanya. Lalu apabila melihat program TV lokal yang “meniru”
program produksi Barat -mulai dari ajang pencarian bakat, seperti Indonesian Idol yang di tiru dari American Idol, atau pencarian jodoh
seperti program “Take Me Out”, hingga
kuis berhadiah uang besar seperti “Who
Wants To Be Millionaire” yang diadopsi dari game Show karya Amerika. Peniruan terhadap program tersebut tidak hanya
membuktikan bahwa media Barat telah berhasil mencengkeram pasar domestik
sebagai target pasar yang prosfektif, tetapi juga telah berhasil menanamkan hegemoninya, terutama dalam hal
penyebaran budaya Barat. Kemudian jika kita perhatikan gaya hidup anak-anak
sekarang, maka kita akan melihat fenomena dimana begitu akrabnya anak-anak
Indonesia dengan tontonan program TV karya Nickelodeon,
seperti Spongebob dan Avatar yang
sampai sekarang masih bercokol di Global TV. Lalu jika berbicara tentang film
anak-anak, maka produk-produk Disney
masih merajai pasar. Sementara si Unyil, tayangan asli produksi anak negeri tak
pernah sekalipun berkunjung ke TV Amerika, apalagi bioskopnya. Fakta-fakta
tersebut telah membuktikan bahwa fenomena ketimpangan dalam arus dan konten
komunikasi internasional, terutama dari negara-negara berkembang ke negara maju
merupakan kenyataan yang tak bisa disangkal lagi. Bahkan lebih jauh lagi,
sebenarnya fenomena ketimpangan tersebut bukanlah sebuah kasus yang baru saja
terjadi akhir-akhir ini. Karena fenomena ini telah terdeteksi sejak akhir
1970-an dan 1980-an. Oleh karena periode tersebut ditandai oleh lahirnya kajian
komunikasi internasional yang terfokus pada studi perbandingan media antar
negara dan ketergantungannya.
∏∏
Konsep Dependencia
Tulisan demikian dengan cepat (gamblang)
membuat kita paham apa yang dimaksud dengan “kesenjangan komunikasi
internasional”. Dengan mengilustrasikan alat-alat komunikasi modern yang
dimiliki negara-negara maju, seperti TV, Internet, Radio, kantor-kantor berita raksasa, seperti; CNN,
VOA, AFP, BBC, ABC TV, MTV, hingga majalah Time Magazine, yang selalu menjadi
sumber utama berita/informasi di Indonesia, namun sebaliknya Indonesia tidak
memiliki instrument-instrumen seperti itu, sehingga membuat kesenjangan itu
sangat besar dan kasat mata.
Belum lagi ketika ditengarai berapa
besar produk-produk komersil informasi mereka, seperti film-film yang banyak
dibeli media-media Indonesia, sebaliknya produk-produk informasi/film-film
Indonesia tidak ada yang masuk kenegeri mereka, membuat kesenjangan itu semakin
telanjang, vulgar, atau kasat mata.
Sayang (mungkin karena keterbatasan) tidak
diuraikan lebih jauh, kesenjangan-kesenjangan, yang jauh lebih gawat dari
ilustrasi-ilustrasi demikian. Buku-buku yang merupakan produk ilmu pengetahuan
mereka, yang dipakai bahan kuliah di perguruan-perguruan tinggi Indonesia,
adalah produk-produk raksas intelektual mereka. Termasuk, atau khususnya
tentang buku-buku komunikasi yang kita pakai kuliah hari ini, masih hampir
semua berdasarkan teori Amerika/Barat. Sampai saat ini belum ada buku-buku
Indonesia yang menjadi referensi di peguruan-perguruan tinggi Amerika/Barat.
Oleh karena itu kesenjangan demikian
tidak hanya dalam komunikasi internasional, namun dalam seluruh sendi-sendi
kehidupan. Fenomena ini akan semakin mudah dipahami melalui teori Dependencia, alias teori ketergantungan.
Teori ini menjelaskan bahwa
kesenjangan demikian terjadi karena ada faktor “eksternal dan structural” yang
menimpa negara-negara berkembang, yakni negara-negara ex jajahan. Teoritisi
Imperliasme menuduhnya, telah terjadi kembali penjajahan terhadap negara-negara
tadi (ex jajahan tersebut) dalam bentuk baru. Bung Karno dulu menyebutnya
“Nekolim”, yakni colonial/Penjajah yang tidak memakai bedil, namun melalui
penetrasi ekonomi.
Inti dari teori dependencia demikian dapat
di ringkas sebagai berikut; Penetrasi asing dan ketergantungan eksternal
menyebabkan timbulnya distorsi besar-besaran dalam struktur ekonomi “pinggiran”
(periphery), yang pada gilirannya menimbulkan konflik sosial yang gawat dan
akhirnya mendorong timbulnya penindasan negara terhadap rakyat di masyarakat
yang tergantung itu. Hampir semua negara dunia ketiga sekarang mengalami
penetrasi mendalam oleh, dan sangat tergantung pada, negara-negara industri
maju (atau negara-negara pusat) dan terutama ekonomi dunia. Penetrasi itu bisa
terjadi melalui berbagai cara, ekonomi, politik dan kultural, dan pada berbagai
periode perkembangan suatu negara.
Penetrasi ekonomi bisa melalui cara
finansial atau teknologis. Dalam tahap perkembangan ekonomi awal, cara paling
umum adalah melalui penanaman modal langsung, di mana perusahaan multi nasional
(PMN) membentuk cabang-cabang yang terlibat dalam pertambangan, pertanian,
pabrik mesin, dan perdagangan. Orang asing bisa juga menanam modal dalam
perusahaan lokal, dan kemudian menggunakan modal awal itu untuk menarik modal
dari para investor lokal. Cabang-cabang PMN menggunakan teknologi yang
dikembangkan di negara-negara industri. Kalaupun teknologi ini tidak digunakan
segera, maka teknologi itu akan datang kemudian sebagai bagian dari suatu product cycle. Dalam siklus ini,
proses-proses produksi yang sebelumnya di pakai di dunia maju dipindahkan ke
wilayah peripheri, yang memiliki buruh lebih murah, karena di dunia maju sudah
ditemukan teknologi baru. Karena itu, cabang-cabang PMN, mengimpor
barang-barang kapital (computer, peralatan transportasi, dan mesin-mesin
lainnya) dari negara-negara pusat. Pabrik-pabrik local yang dibangun PMN
menggunakan proses produksi yang dikembangkan di negara pusat dan karena itu
menggunakan hak paten, lisensi, hak cipta, dan cap dagang asing. Walaupun
industry itu kemudian sebagian besar dimiliki dan dijalankan oleh orang local,
namun kebutuhan untuk bersaing dengan PMN-PMN tetap mengharuskan mereka untuk
mengimpor teknologi dari luar negeri. Juga, bantuan ekonomi dari negara-negara
maju sering mengharuskan penerima bantuan untuk membeli barang dan jasa dari
negara donor itu.
Penetrasi politik dan kultural bias
juga berlangsung melalui paket-paket materil atau simbolis, seperti buku,
program televisi, koran, majalah dan film. Atau bias juga berlangsung melalui
orang yang menjadi “pembawa” kultur asing. Misalnya, para pemuda yang pulang
dari belajar di negeri pusat bias membawa unsur-unsur kultur industrial Barat,
seperti cara berpikir dan bertindak, ideologi, nilai, pola konsumsi, dan
sebagainya. Menurut pengalaman banyak negara pinggiran, kesempatan untuk
ditulari kultur Barat itu membuat banyak anggota masyarakat mengalami perubahan
nilai. Yang paling jelas adalah munculnya konsumerisme dikalangan elitenya. Hal
ini mendorong para pengusaha local untuk lebih banyak menghasilkan
barang-barang konsumsi mewah yang memerlukan teknologi impor (seperti mobil,
televisi,kulkas, AC, dan sebagainya) untuk selapisan tips elit itu dan kurang
memperhatikan produksi barang yang dibutuhkan oleh sebagian besar anggota
masyarakat, yang memang memiliki daya beli rendah. Pasar untuk barang konsumen
elite ini memang empit, karena golongan elite it memang jumlahnya jauh lebih sedikit,
tetapi mereka punya daya beli tinggi. Karena itulah para industrialis local
sangat berkepentingan untuk memperbesr pasar elite itu dan tidak tertarik untuk
memperluas pasar “massa”. Akibatnya kepentingan kelas industrialis dan pedagang
mendukung suatu distribusi pendapatan yang timpang, yaitu yang menguntungkan
kelas berpunya. Mereka kurang tertarik pada upaya pemerataan pendapatan, yang
sebenarnya bias memperluas pasar “massa” untuk barang-barang kebutuhan pokok
(yaitu misalnya, mementingkan bahan makanan pokok, transportasi massal dan
dokter Puskesmas, bukan beefsteak, mobil pribadi atau dokter ahli bedah
kosmetik).
Lembaga-lembaga pemerintah, swasta,
maupun individu mengimpor produk politik dan budaya yang kemudian membentuk
cara mereka melakukan pekerjaan dan bagaimana mereka mendefinisikan tugas
mereka itu. Produk seperti itu antara lain berupa peralatan militer modern,
program latihan tantara dan polisi, dan computer. Dengan semua sarana ini,
nilai-nilai negara pinggiran mengenai konsumsi dan produksi menjadi sangat
ditentukan oleh penetrasi dari negara-negara pusat.
Dstnya…..
Dstnya…..(Mohtar Mas’oed,
1990:204-207)…….
∏∏∏
Uraian demikian masih dapat
dijajarkan sekian panjang lagi, betapa atau mengapa terjadi kesenjangan menurut
persfekif Dependencia. Persfektif yang ditolak kalangan modernis, yang melihat
kesenjangan bukan karena factor structural dan eksternal, melainkan factor
internal dan kultural, yakni; kurangnya “motivasi berprestasi”, despotism,
korupsi, dan sebagainya.
Sebagai penutup dari uraian ini, para
mahasiswa mungkin masih ingat betapa media-media Barat dulu membenarkan
serangan AS ke Irak, karena Irak konon memiliki senjata kimia, namun setelah di
duduki, ternyata senjata itu tidak ditemukan. Begitu pula serangan AS ke
Vietnam Selatan, yang menuduh negeri itu akan mengimpor komunisme ke seluruh
negara-negara Asia tenggara, dimana AS akhirnya dengan memalukan angkat kaki
dari negeri itu, dan Vietnam Selatan ternyata tidak benar meneksor
PERTANYAAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan ini di WA;
1.
Jelaskan
apa artinya, a. pop kultur, b. quantitative imbalance, c. highly recommended,
dan d. inequality in information resources
2.
Jelaskan
apa yang dimaksud dengan a. factor eksternal, dan b. factor internal dan
kultural dalam masalah kesenjangan.
3.
Bila
ada hal-hal yang ingin dipertanyakan, saya layani hingga jam 12.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar