Minggu, 05 April 2020

MK III, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK III HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH III
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
6 April 2020, jam 08.30 sd 10.30
Fisipol UDA Medan
==================================================================
∏∏
KEKUATAN, KELEMAHAN, DAN RUMAH TANGGA DESENTRALISASI
Dari uraian-uraian kuliah II, khususnya berdasarkan pasal 18 UUD 1945 Negara Indonesia adalah negara Kesatuan yang menganut Sistim Desentralisasi. Bukan sistim Negara federal, atau lain-lain bentuk Negara. Dalam kuliah III ini selanjutnya akan diuraikan Kelebihan dan Kelemahan sistim Desentralisasi, yang ditulis oleh Yosef Riwu Kaho (2012) dalam bukunya Analisis Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah , PolGov, Fisipol UGM, Yogyakarta, Dr Oentarto SM, Dr I Made Suwandi, M Soc, Sc, dan Drs Dodi Riyadmadji, MM, 2004, Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama, Jakarta, Dr I. Nyoman Sumaryadi, Drs, M Si, 2005, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama, Jakarta
KEKUATAN DESENTRALISASI
Sehubungan dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka pada dasarnya hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Prof Dr Solly Lubis SH adalah sebagai berikut;
1.    Yang memegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan Negara ialah Pemerintah Pusat (Central Government) tanpa adanya gangguan oleh suatu delegasi, atau pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (Regional Government)
2.    Dalam suatu Negara Kesatuan terdapat azas bahwa segenap urusan-urusan Negara tidak di bagi antara Pemerintah Pusat (Central Government) dengan Pemerintahan Daerah (Local Government) sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan Negara dalam Negara Kesatuan itu tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di Negara itu adalah Pemerintah Pusat.
Ini berarti bahwa dalam Negara Kesatuan yang menganut sistim desentralisasi, Pemerintah Pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi Daerah-Daerah Otonomi, yaitu Daerah-Daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya itu berasal dari/atau merupakan pelimpahan dari Pemerintah Pusat.
Dalih atau alasan mengapa desentralisasi itu di anut, The Liang Gie menyatakan:
1.    Di lihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2.    Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3.    Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alas an mengadakan Pemerintahan Daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk di urus oleh Pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada Daerah. hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurus Pemerintah Pusat.
4.    Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan sesuatu Daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.
5.    Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena Pemerintahan Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Soewargono Prawirohardjo dan Soeparni Pamoedji, mengajukan alasan-alasan sebagai berikut:
1)    To realize and implement the democratic philosophy.
2)    To realize national freedom and to create a sense of freedom to the regions.
3)    To train the regions to achieve maturity and be able to manage their own affairs and interests effectively as soon as possible.
4)    To provide political schooling for the whole people.
5)    To provide channels for regional aspiration and participation.
6)    To make the government in general optimally efficient and effective.
Sementara itu, Mariun, yang diperkuat Yosef Riwu Kaho dengan singkat menyatakan bahwa/mengapa sistim desentralisasi tersebut dianut adalah karena dua hal;
·         Demi tercapainya efektifitas pemerintahan.
·         Demi terlaksananya demokrasi dari bawah.
Adapun penjelasannya mengatakan seperti itu adalah…..Pemerintahan itu dapat efektif, kalau sesuai dengan keadaan ril dalam Negara; jadi juga dengan keadaan-keadaan khusus di daerah-daerah. Menurut pengalaman, dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu , sistim sentralisasi tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah dengan keadaan-keadaan khusus di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, paling sedikit sistim sentralisasi itu harus diperlunak, yaitu dengan melaksanakan sistim dekonsentrasi terotorial, dalam mana kepada organ-organ Pemerintahan Pusat di daerah-daerah diberikan kekuasaan untuk melaksnakan kebijaksnaan pemerintahan sesuai dengan keadaan khusus di daerah-daerah kekuasaan masing-masing. Dengan perkataan lain, melakukan kebijaksanaan setempat atau se daerah. (Cat: masih ada lanjutannya, namun untuk sementara dianggap cukup)
KELEMAHAN DESENTRALISASI
Disamping kebaikan-kebaikan tersebut, desentralisasi juga mengandung kelemahan-kelemahan, yaitu:
1.    Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, hal mana mempersulit koordinasi.
2.    Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan/Daerah dapat lebih mudah terganggu.
3.    Khusus mengenai desentralisasi territorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut Daerahisme atau Provinsialisme.
4.    Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena membutuhkan perundingan-perundingan yang lama.
5.    Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukn biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman dan kesederhanaan
Dalam bahasa lain Dr I Nyoman Sumaryadi, Drs, MSi, melihat implikasi dari desentralisasi ini adalah;
1)    Tampilnya semangat kedaerahan yang tidak terkendali.
2)    Politisasi aparat pemerintah.
3)    Rendahnya kualitas anggota dan Lembaga DPRD, Bupati/Walikota, dan wakil Bupati/Walikota.
4)    Pengawasan keuangan daerah yang timpang.
5)    Timbulnya konflik antar daerah.
Lebih dalam, substantif, hingga filosofis diuraikan, Dr Oentarto SM, Dr I Made Suwandi, M Soc, Sc, dan Drs Dody Riyadmadji, MM. Menurut ketiganya implikasi atau ekses dengan diterapkannya otonomi daerah/desentralisasi adalah sebagai berikut:
1)    Problema konsepsi dasar.
2)    Problema implementasi dan Format penataan kewenangan daerah.
3)    Problema implementasi dan format penataan kelembagaan Pemda
4)    Problema implementasi dan penataan format kepegawaian.
5)    Problema implementasi dan format penataan keuangan daerah.
6)    Problema Implementasi dan format penataan perwakilan rakyat daerah.
7)    Problema implementasi dan format penataan manajemen publk
8)    Problema implementasi dan format penataan pengawasan, Monev dab Evaluasi.
Betapa masalah demikian tetap laten, yakni meski sudah sekian lama otonomi diterapkan, permasalahan tetap besar. Belum ada kemajuan sejak kebijakan itu ditempuh tahun 2001 hingga tahun ini (2020). Sinyalemen ini dapat dibaca dari tulisan-artikel Prof Dr Irfan Ridwan Maksum di harian Kompas tanggal 15 Januari 2020.
Untuk lebih jelasnya, penulis kutif sebagian:
Lampiran
Presiden Jokowi meminta Mendagri Tito Karnavian menata hubungan Pusat-Daerah. permintaan ini menyiratkan terdapat sejumlah persoalan dalam hubungan pusat-daerah di dalam NKRI. Menata hubungan pusat-daerah di Indonesia tentu dapat berbau filosofis-strategis, yang tak terlepas dari UUD (Pasal 18), dan organisasional kelembagaan yang tersebar di berbagai produk peraturan perundangan. Setidaknya ada lima UU terkait pelaksanaan kebijakan otonomi; UU Pemda, UU Desa, UU Pilkada, UU Hubungan Keuangan Pusat Daerah (HKPD), dan UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Idealnya, kelima UU itu berjalan harmonis, kompak, dan sinergis agar masing-masing dapat berjalan efektif, terutama pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagai ujung tombak jalannya pemerintahan RI. Jika tidak, dapat dipastikan keefektifan pemerintahan terganggu.
Kelima UU tadi, dari kaca mata kepentingan jalannya otda, dapat diringkas ke tiga arena; UU mengenai Pemda, UU mengenai Keuangan Daerah, dan UU mengenai SDM Daerah. khusus mengenai pemda terdapat tiga UU berkaitan; UU Pemda, UU Desa, dan UU Pilkada. Keuangan daerah di atur di UU HKPD, SDM daerah di dalam UU ASN.
Pengamatan akademis ke tiga lapangan masing-masing berparadigma. Dalam pemerintahan daerah, bangsa kita telah lama mengadopsi paradigma prefektur terintegrasi. Sepanjang masa Hindia Belanda system ini di anut, dilanjutkan dimasa pendudukan Jepang. System ini tidak di anut di masa kemerdekaan (hanya di masa berlakunya UU No 1/1957 yang diganti dengan UU No 18/1965)
Saat itu Indonesia juga menganut pilkada langsung yang menyulut pecah kongsi Bung Hatta dan Bung Karno. Di luar masa itu, Indonesia menganut system prefektur. System ini mengenal adanya wakil pemerintah. Di dunia system prefektur tidak dibarengi pilkada langsung. Pilkada langsung ataupun tak langsung, jika dipakai, untuk memastikan kepala daerah diterima masyarakat atau tidak, di samping harus penuhi kriteria lain untuk menjadi kepala daerah terpilih.
Dari sudut pandang ini, konflik antara UU Pemda dan UU Pilkada terjadi. Secara akademis, konflik itu menyulut kegamangan pemerintahan di level peraturan perundangan dan di level praksis. Kegamangan ini tidak dapat membawa system efektif. Negara yang tidak menjalankan system prefektur pun tidak semua mengadopsi pilkada langsung sebagai satu-satunya kriteria penetapan kepala daerah terpilih.
Terkait desa, pemda merupakan bangun formal struktur negara yang jelas terakomodasi secara organisatoris. Desa dalam konsep  the founding fathers adalah otonomi informal (kaki). Materi UU Desa menyistemasikan desa dalam struktur negara melalui sekretaris desa. Perbenturan antara UU Pemda dan UU Desa tidak terasa di level paradigma, tetapi membawa struktur formal amat rumit, bahkan terbebani. Perbenturan yang terjadi adalah inkonsistensi pandangan mengenai desa dengan apa yang tertuang di kedua UU. Ini pun tak kalah rumit, membuat ranah praksis kelak bermasalah.
Perbenturan paradigma berikut adalah dengan UU ASN…..siapa atasan manajemen SDM tidak diperhatikan. Sejauh mana wewenang daerah otonom? Daerah diminta membantu pengatur dan pengurus ASN di tingkat pusat walau tak melalui tugas pembantuan. Unit pengelola SDM di daerah seperti menjadi “pesuruh”. Tak banyak diskresi daerah otonom. Dari sini dapat dikatakan, UU ASN tidak punya paradigma apapun dari sudut kepentingan daerah otonom. Sungguh dapat merancukan otonomi daerah.
Terkait UU HKPD, di anut campuran paradigma yang menguatkan sumber keuangan sendiri dalam daerah otonom dengan paradigma yang mengandalkan kemampuan pengelolaan pelayanan public tanpa memperhatikan sumber keuangannya dari mana. Dibenturkan dengan UU Pemda, soalnya lebih teknis dalam jalur instrument pemerintahan. Sepanjang instrument yang di buat masuk akal, ia dapat mendorong harmoni dan sinergi kedua UU………(Cat: Silahkan selanjutnya baca dalam artikel aslinya/belum dipotong-potong)

SISTEM RUMAH TANGGA DAERAH
Sebagai akibat dari dianutnya desentralisasi, maka dalam pelaksanaannya dibentuklah Daerah-Daerah Otonom, yaitu Daerah yang diberi hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pada awalnya otonomi atau berotonomi berarti mempunyai “Peraturan Sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Seringkali juga disebut hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan/legislative sendiri. Kemudian arti daripada stilah Otonomi ini berkembang menjadi :pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga peradilan dan kepolisian sendiri.
Jadi daerah otonomi adalah daerah yang diberi wewenang atau kekuasaan oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu. Urusn-urusan yang diserahkan itu disebut urusan rumah tangga daerah atau isi otonomi daerah. Dengan kata lain, sistim rumah tangga daerah adalah tatanan yang berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah.
Pengaturan dan pengurusan urusan-urusan tersebut oleh Daerah dilakukan sesuai dengan kebijaksanaan dan inisiatif-prakarsa dan kemampuannya sendiri dan dilakukan oleh perangkat Daerah itu sendiri, serta atas biaya Daerah itu sendiri pula.
Dari uraian di atas dapatlah di tarik suatu kesimpulan ialah dengan dianutnya desentralisasi, maka terjadilah hubungan kekuasaan/kewenangan, hubungan keuangan, dan pengawasan antara Pemerintah Pusat dan Daerah-daerah Otonom yang merupakan bagian dari Negara.

Pertanyaan
1.    Jelaskan perbedaan pendapat antara The Liang Gie dengan Soewargono Prawirohardjo/Soeparni Pamoedji.
2.    Hal-hal apa saja menurut Prof Dr Irfan Ridwan Maksum yang membuat hubungan Pusat dan Daerah tidak harmonis. Jelaskan dengan seksama.
3.    Mengapa UU Pemda bertentangan dengan UU Pilkada? Jelaskan secara logis dan sistematis.
Cat: Bila ada hal-hal yang tak dipahami silahkan tanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar