Minggu, 10 Mei 2020

MK VIII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK VIII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH VIII, 11 MEI 2020, JAM 08.30 SD 10.15
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
PENDAHULUAN/PENGANTAR KULIAH
Pada kuliah ke-8 ini akan diuraikan “Pengawasan Pemerintahan Pusat terhadap Pemerintahan Daerah”. Akan dijelaskan secara teoritik dan praktik. Secara teoritik akan diambil dari bukunya Josef Riwu Kaho, staf pengajar Fisipol UGM, Analisis Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah di Indonesia, Pol-Gov, Fisipol UGM, 2012, yang akan menerangkan;
Ø  Arti/definisi pengawasan.
Ø  Sumber dan faktor yang mempengaruhi pengawasan.
Ø  Tujuan pengawasan
Ø  Metode dan landasan pengawasan
Sedangkan secara praktik akan dihubungkan dengan:
1.      UUD 1945, pasal 18,
2.      UU No 23 Tahun 2014,
3.      PP No 12 Tahun 2017, dan
4.      Praksis-empiriknya
Akan di mulai dari konsep/tulisan Josef Riwu Kaho dibawah ini (HAL 303-308).
HUBUNGAN PENGAWASAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
              Di samping  persoalan yang menyangkut isi otonomi atau hubungan kewenangan dan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah menyangkut pula pengawasan, yang tidak dapat tidak, harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap hak dan wewenang setiap Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Di dalam suatu Negara Kesatuan dengan azas desentralisasi, hak dan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sekali-kali tidak boleh mengakibatkan rusaknya hubungan antara Negara dengan Daerah- Daerahnya sebagai suatu Negara Kesatuan. Oleh karena itu, hubungan kekuasaan yang harmonis dan tepat antara Pemerintah Pusat dengan Daerah-Daerah harus ada dan terpelihara, sehingga dengan demikian dapat dicapai keleluasaan-keleluasaan bagi tiap-tiap Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan Daerahnya, disamping tetap dapat terpeliharanya Negara itu sebagai kesatuan yang utuh dan harmonis. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Pusatlah yang membentuk Daerah, karena itu eksistensinya tergantung pada Pemerintah Pusat. Dengan perkataan lain Daerah merupakan ”subordinasi” dari Pusat. Di Negara- negara yang sudah maju, walaupun Daerah-daerah itu telah memiliki otonomi yang cukup luas, tetapi Daerah-daerah ini tidaklah sepenuhnya bebas dari pengawasan Pemerintah. Banyak keputusan-keputusan politik pada tingkat Daerah, khususnya yang menyangkut keuangan Daerah misalnya dan program-program pembangunan Daerah, harus dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan dan program-program Pemerintah Pusat.
Alasan-alasan diadakannya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah-daerah dapat dikaitkan dengan hal- hal sebagai berikut:
(a)     to maintain minimum standards in the performance of services by local authorities;
(b)     to maintain of standard of administration as well as coordinate administration between and among various levels of government;
(b) to protect the citizens against the abuse of powers by local authorities;
(d)    to control local expenditures as part of the management and planning of the national economy;
(e)     to wield and integrate the diverse people into a nation.1
Sebagai akibatnya maka Pemerintah harus menetapkan dan menjaga/ mempertahankan standard minimum dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian, kualitas atau mutu pelayanan akan tetap terpelihara dengan baik. Demikian juga halnya dengan standard minimum administrasi harus ditetapkan agar keseragaman dan kontinuitas dapat terjamin. Sebab itu maka penentuan standard secara nasional akan dapat membantu mendorong adanya perlakuan yang sama terhadap rakyat di Daerah yang memerlukan pelayanan dari Pemerintah Daerah, seperti halnya dengan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada masyarakat secara umum. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dapat menghasilkan koordinasi antara pelbagai tingkatan pemerintahan, khususnya antara pejabat-pejabat Daerah yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Menjaga atau melindungi warga negara dari perlakuan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat Daerah, merupakan salah satu tujuan daripada pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian maka Pemerintah Pusat telah membuka kesempatan bagi warga masyarakat untuk menyampaikan keluhan-keluhannya dan berbarengan dengan itu mengawasi serta menetapkan sanksi-sanksinya dengan paling sedikit dapat mengurangi dan maksimal dapat meniadakan penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Selanjutnya Pemerintah Pusat harus juga memberikan pengarahan bagi Daerah dalam hal mengadakan pengeluaran-pengeluaran, agar disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi sosial. Hal ini dilakukan karena pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Pemarintah Daerah mempunyai dampak dan pengaruh yang luas terhadap perkembangan ekonomi nasional secara keseluruhan. Pengendalian terhadap inflasi misalnya merupakan tugas dari Pemerintah Pusat.
Akhirnya pengawasan yang dilakukan adalah untuk mempersatukan Rakyat yang mempunyai pelbagai macam perbedaan-perbedaan, baik dalam bahasa, suku bangsa, agama, dan lain-lain, sehingga tetap merupakan bangsa yang utuh dan kuat.2
Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah- daerah bersumber pada beberapa sebab yaitu sebab-sebab historis, sosial ekonomi dan politis.
Dengan mempelajari sejarah, maka akan dapat diketahui sebab-sebab timbulnya kecenderungan ke arah pengawasan yang ketat oleh Pemerintah Pusat. Di masa yang lalu, sentralisasi merupakan suatu kecenderungan yang umum yang disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu alasan adalah timbulnya keinginan untuk mempersatukan wilayah dan Rakyat yang berbeda-beda itu ke dalam suatu Negara-bangsa (nation-state) yang kokoh dan kuat. Alasan lainnya ialah usaha-usaha sentralisasi sangat menarik perhatian bagi pertumbuhan kota-kota besar yang lebih maju pembangunannya dibandingkan dengan bagian-bagian lain dari wilayah Negara. Selanjutnya, karena ketidakmampuannya atau karena terpaksa, maka Pemerintah-Pemerintah Daerah, khususnya di Negara-negara yang sedang berkembang, tidak menuntut agar diberikan wewenang dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan otonomi Daerah. Selama bertahun-tahun Pemerintah-Pemerintah Daerah di beberapa Negara yang sedang berkembang telah memberikan peluang dan memungkinkan Pemerintah Pusat untuk mendominasinya. Demikian juga halnya dengan adanya kepribadian yang kuat dari pejabat-pejabat eksekutif tingkat Pusat, yang kemudian didukung oleh penguasaan sumber-sumber daya baik ekonomi, militer dan politik, telah menyebabkan unit-unit pemerintahan Daerah berada di bawah pengawasannya.
Akhirnya pengaruh tatanan kolonial di masa lampau juga memainkan peranan yang penting sekali dalam menentukan hubungan antara Pusat dan Daerah, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang. Sistem sentralisasi ala Perancis dalam pemerintahan Daerah merupakan suatu model yang sangat menguntungkan penjajah untuk diterapkan di daerah-daerah jajahannya. Memang benar telah terjadi perubahan- perubahan secara bertahap sesuai dengan berkembangnya kesadaran untuk memberikan lebih banyak kekuasaan/ wewenang bagi unit-unit Pemerintahan Daerah, namun demikian masih terdapat anggapan bahwa satuan-satuan Pemerintah Daerah hanyalah merupakan sub- ordinasi semata-mata dari Pemerintah Pusat seperti halnya Filipina serta si beberapa Negara bekas jajahan lainnya, pada dasarnya bentuk pemerintahan Daerahnya masih tetap mengikuti pola-pola Pemerintah Daerah semasa penjajahan.3
Selain sebab-sebab historis diatas, maka sebab-sebab sosial ekonomis yang dimaksudkan adalah keadaan ekologi dari suatu Daerah. Semakin terbelakang suatu Daerah, maka semakin besar pula hasrat Pemerintah Pusat untuk mengawasinya agar dengan demikian maka sumber daya yang ada di Pusat dapat diarahkan dan dibagikan ke Daerah tersebut. Sehubungan dengan itu, maka dapatlah dikatakan dijalankannya pengawasan adalah untuk :
(a)     meredistribusikan sumber daya nasional secara lebih merata;
(b)     mendorong atau memajukan pembangunan di Daerah-daerah, terutama di Daerah-daerah yang pembangunannya sangat  ketinggalan.
Sehubungan dengan itu maka Adelman dan Morris mengatakan sebagai berikut :
“Among countries at this low stage of socio-economic growth, a movement from very low to somewhat higher levels of development is typically accompanied by greater centralization of political power……
There is also historical evidence that politically more unified countries tended to perform better economically”4
Disamping pembangunan ekonomi maka kebudayaan dan sikap daripada Rakyat suatu Negara juga ikut memberikan warna bagi pengawasan oleh Pemerintah Pusat. Sistem keluarga atau paternalistik yang uniter yang tumbuh dalam masyarakat, senantiasa akan menampakkan dirinya dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Nilai budaya yang berorientasikan ke atas akan mendorong dan memperkuat pengawasan yang dilakukan oleh Pusat.
Demikian juga halnya dengan tingkat pendidikan rakyat, mempunyai korelasi dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat. Sistem keluarga atau paternalistik yang uniter tumbuh dalam masyarakat, senantiasa akan menampakkan dirinya dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan dalam pemerintahan Daerah memerlukan latihan-latihan, persiapan-persiapan dan pengalaman. Karena rakyat di Daerah rendah pengetahuan, kurang pengalamannya, rendah kecakapan dan keterampilannya dalam pemerintahan, maka terbukalah peluang bagi Pemerintah Pusat untuk mencampuri urusan-urusan yang bersifat lokal dan mendorong semakin kuatnya pengawasan oleh Pusat.
Sifat sistem poliitk juga sangat besar pengaruhnya pada hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada umumnya tingkatan otonomi Daerah berbeda-beda antara Negara yang satu dengan yang lainnya yang sistem politiknya berlainan. Pola hubungan politik yang demikian ini dapat ditinjau dari dua segi yaitu keanggotaan dalam partai politik atau organisasi dan kekuatan partai-partai tersebut pada tingkat nasional, baik dalam bidang eksekutif maupun legislatif. Melalui partai atau organisasi politik yang ada, dapat dijamin adanya penyesuaian dengan Pusat atau paling tidak dengan tujuan partai atau organisasi. Disamping itu di Daerah ditemukan pula organisasi-organisasi atau assosiasi-assosiasi perangkat Daerah, dimana melalui assosiasi-assosiasi atau organisasi-organisasi ini Pemerintah Pusat saling menukar informasi dan masalah-masalah yang dihadapi masing-masing pihak. Di Negeri Belanda misalnya terdapat Union of Netherlands Municipalities, di Swedia terdapat The Swedish Association of Local Authorities, Association of Municipal Corporations di Inggris dan Wales. Assosiasi-assosiasi ini merupakan juru bicara dalam bidang politik dari aparatur Daerah. Di Inggris dan Wales, Association of Municipal Corporations seringkali mengirimkan wakil-wakil dalam lembaga-lembaga Nasional.
Afiliasi terhadap partai atau organisasi oleh pejabat-pejabat Daerah dapat pula menentukan sifat pengawasan yang dilakukan oleh Pusat terhadap Daerah. Di beberapa Negara, pejabat-pejabat Daerah yang dipilih oleh Rakyatnya masing-masing dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat. Dengan demikian secara tidak langsung mereka dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh badan legislatif Pusat tersebut karena keanggotaan rangkapnya itu.
Bagaimana dengan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah-Daerah di Indonesia?
Berbicara mengenai pengawasan terhadap Daerah-Daerah di Indonesia kita tidak dapat melepaskan diri dari tidak membicarakan landasan dari pengawasan itu sendiri. Landasan pengawasan terhadap Daerah pada umumnya dapat ditemukan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. De Guzman dan Pacho mengatakan bahwa:
“There are three bases of formal Central control over local authorities namely: a) constitutional, b) statutory, c) executive orders including administrative regulation.
Dari apa yang dikatakan di atas, maka landasan dari pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah-Daerah dapat ditemukan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, serta dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diamandemen), pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, dan pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen). Sedangkan dalam UUD 1945 setelah diamandemen, terdapat dalam pasal pasal 1 ayat (1), pasal 4, 5, 10, 11, 12, 14, 15, 17, 18, 18A, 18B.
Intisari dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan. Kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dan tanggungjawab dalam menjalankannya berada dalam tangan Presiden. (Concentration of power and responsibility upon the President).
Setelah arti, definisi, latar belakang, sumber/faktor yang mempengaruhi, tujuan, dan landasan pengawasan diuraikan, selanjutnya akan diteruskan kepada “legalitas, dasar hukum, atau justifikasi”, yang didasarkan kepada pasal 18 UUD 1945, yang merupakan landasan strategis-filosofis, UU No 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan daerah, dan atau khususnya PP No 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dalam kuliah-kuliah sebelumnya, landasan konstitusional (Pasal 18 UUD 1945), dan landasan operasional (UU No 23 tahun 2014) telah dijelaskan secara runtut, oleh karena itu tidak diulangi lagi. Selanjutnya yang akan dijelaskan adalah penjabaran lebih detil dari UU No 23 tahun 2014 tentang pembinaan dan pengawasan, pada PP No 12 Tahun 2017.
Pada PP No 12 Tahun 2017 ini telah dijelaskan, apa yang dimaksud dengan pembinaan, pengawasan, pelaksana, koordinasi, ruang lingkup, dan lain-lain. Sebagian dari isi UU tersebut akan ditulis dibawah ini;
Pasal 1, tentang pengertian Pembinaan, Pengawasan, dan Aparatur pelaksana. Pada pasal ini dikatakan:
1.      Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan Pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan republik Indonesia.
2.      Pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah usaha, tindakan, adan kegiatan yang ditujukan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
3.      Aparat Pengawas Internal Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah Inspektorat Jenderal kementerian, unit pengawas Lembaga pemerintah non kementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.
Pasal 2, tentang pelaksanaan dan koordinasi. Pada pasal ini dikatakan:
1.      Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri
2.      Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3. Pasal ini adalah penjabaran lebih lanjut dari pasal 2, yakni tentang pelaksanaan dan koordinasi;
1.      Pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan daerah (a) provinsi dilaksanakan oleh, 1. Menteri, untuk pembinaan umum, dan, 2. Menteri teknis/kepala Lembaga pemerintah non kementerian untuk pembinaan teknis. (b) kabupaten kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat   untuk pengawasan Umum dan teknis.
2.      Pembinaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b, meliputi[1]:
3.      Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah provinsi dan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah kabupaten/kota.
4.      Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dibantu oleh perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5.      Dalam hal melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat a belum mampu melakukan pembinaan umum dan teknis, Menteri dan Menteri teknis, kepala lembaga pemerintah non kementerian melakukan pembinaan penyelenggaran Pemerintahan Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan berkoordinasi kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat  b. tidak melakukan pembinaan umum dan teknis Menteri dan Menteri teknis, kepala Lembaga pemerintah non kementerian melakukan Pembinaan Penyelenggaraan Pemerntahan Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
6.      Dalam hal melaksanakan kewenangan Pembinaan Umum terdapat keterkaitan dengan kewenangan pembinaan teknis, Menteri mengadakan koordinasi dengan Menteri teknis/kepala Lembaga pemerintah non kementerian.
7.      Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (b) dilakukan dengan aspek perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, pelaporan, dan evaluasi.
Pasal-pasal demikian masih dapat diuraikan lebih mendetail pada PP No 12 Tahun 2017 demikian, dan para mahasiswa agar membacanya keseluruhan. Yang jelas PP ini jauh lebih lengkap dari PP-PP sebelumnya. Masalah atau pertanyaannya adalah:….meski PP demikian sudah lebih baik, apakah pengawasan juga sudah semakin baik?.
Mahasiswa silakan menjawabnya lebih jauh. Sebagian jawaban sudah ada pada kuliah-kuliah sebelumnya betap pengawasan itu masih jauh dari harapan, sebab:
·         Pelayanan masyarakat/publik tetap belum responsif
·         banyaknya Perda-Perda yang bermasalah,
·          banyaknya kepala-kepala daerah yang korupsi, plus DPRDnya,
·         Semangat kedaerahan yang tak terkendali
Kasus teranyar yang membuktikan pengawasan itu masih jauh dari semestinya adalah pembangkangan Pemda-Pemda untuk mengikuti instruksi Peraturan Menteri Keuangan Keuangan, PMK No 35 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 dalam rangka Penanganan Pandemi Covid-19.
Dari 457 Pemda yang sudah melaporkan realokasi APBD untuk penanganan Covid-19, 380 diantaranya belum melakukan instruksi pemangkasan anggaran belanja, sebagaimana tertuang dalam PMK No 35 Tahun 2020. Dalam PMK tersebut, dikatakan rasionalisasi belanja barang dan jasa sekurang-kuranya 50%. Kemudian rasionalisasi belanja modal sekurang-kurangnya 50% juga.
Akibat pembangkangan demikian, 380 Pemerintah Daerah, baru mendapat transfer DAU sekitar 65%. Sementara sisanya (35%) belum di transfer karena daerah itu belum mematuhi mandat PMK No 35 Tahun 2020 (Kompas, 4 Mei 2020).  …… Bagaimana bisa terjadi seperti itu?......berikan tanggapan saudara via WA……
                                       Medan, 11 Mei 2020


[1] A. pembagian urusan pemerintahan, B. kelembagaan daerah, C. kepegawaian pada Perangkat Daerah, D. keuangan daerah, E. pembangunan daerah, F. pelayanan public di daerah, G. kerjasama daerah, H. kebijakan daerah, I. kepala daerah dan DPRD, J. bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar