BK VIII, KOMUNIKASI
INTERNASIONAL
KULIAH VIII, 11 MEI 2020,
JAM 13.30 SD 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI, FISIPOL
UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: jawab pertanyaan-pertanyaan di akhir tulisan ini di WA group
SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA
Pada kuliah ke-7 telah diuraikan arti, definisi,
faktor-faktor yang mempengaruhi, tujuan, instrument, ruang lingkup, dan
pentingnya diplomasi. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas:
1.
Pertama,
jelas bahwa unsur utama dalam diplomasi adalah negosiasi.
2.
Kedua,
negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara.
3.
Ketiga,
tindakan-tindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan
nasional, sejauh mungkin bisa
dilaksanakan secara damai.
4.
Ke
empat, sebagai suatu teknik-teknik, diplomasi sering dipakai menyiapkan perang,
dan bukan untuk menghasilkan perdamaian.
5.
Kelima,
diplomasi berhubungan erat dengan tujuan politik luar negeri suatu negara.
6.
Ke
enam, diplomasi modern berhubungan erat
dengan sistim negara.
7.
Ketujuh,
diplomasi tak bisa dipisahkan dari perwakilan negara
Bagaimana diplomasi
Indonesia?
Sudahkah menerapkan
pola-pola demikian?
Pernahkah mengalami
kejayaan?
Siapa-siapa diplomat atau
komunikator politiknya?
Untuk
menelaah pertanyaan-pertanyaan demikian, salah satu event besar, bahkan mungkin
event yang terbesar, yang belum ada tandingannya sampai hari ini adalah
pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. Gagasan yang
diutarakan Soekarno (Bung Karno) dengan pembantu-pembantunya, seperti; Ali Sastroamidjojo (PM), Sunarjo (Menlu), Roeslan
Abdul Gani, Supeni adalah “sukses
diplomasi atau politik luar negeri Indonesia” yang menggemparkan dunia. Indonesia bersama negara-negara yang
turut dalam konferensi tersebut menolak terlibat dalam perang dingin (cold war) yang sedang berkecamuk antar
dua negara super power, yang menarik negara-negara lain masuk dalam pusarannya
berhasil dihalau dengan gemilang. Di halau dengan kesepakatan Dasa Sila Bandung, yang terkenal dengan sebutan peace full co existence (hidup berdampingan secara damai). Lebih jelasnya kita kutif tulisan Roeslan Abdulgani, yang saat itu
menjadi sekjen dalam konferensi tersebut.
∏
“…..Bandung
menolak bipolarisasi dalam dunia politik internasional. Bandung adalah
negasinya bipolarisasi dan power politics-nya
negara-negara besar. Bandung adalah rintisan jalan sendiri, yang kini merupakan
jalan tengahnya Dunia Ketiga, ditengah-tengah dua karang yang sedang mengadakan
Perang Dingin. Jalan Gerakan Nonblok, yang dulu dimulai dengan 25 anggota, dan
kini telah meningkat menjadi 95 anggota serta 21 negara peninjau. Bandung telah
mentransformasikan suasana Perang Dingin menjadi suasan détente (cat: peredaan ketegangan).
Dalam kata-kata Bung Karno pada pidato pembukaan Konperensi Bandung, ia
mengajak semua hadirin supaya kekuatan moral itu kita transformasikan Bersama
menjadi moral voice of nations in favor
of peace, yaitu dari kekuatan moral menjadi “kekerasan moral” dari
semua bangsa demi perdamaian. Ajakan Bung Karno itu ternyata mencapai hasil
cemerlang.
Memang, situasi objektif sekitar tahun
1955-an ikut memberikan “pupuk” kepada lahirnya semangat
Bandung. Pada waktu itu Perang Dingin sedang “menelorkan”
perang lokal dan perang terbatas (local
and limited wars) di semanajung Korea. Disusul kemudian dengan perang
Indocina, dimana kolonialisme Perancis yang sedang terpukul mundur oleh
perjuangan kemerdekaan rakyat Vietnam, Kampuchea, dan Laos, mulai diganti oleh
kekuatan militer Amerika dengan SEATO-nya. Sedangkan di Asia Barat dan Afrika
Utara, nasionalisme Arab dan kebangkitan Islam masih menghadapi terror Zionisme
dan opresi kolonialisme; diiringi dengan merembesnya pengaruh komunisme
internasional dimana-mana di benua Asia-Afrika; sedangkan di tingkat global
sedang berhadap-hadapan blok militer NATO, CENTO, dan Pakta Bagdad dari Amerika
dkk kontra Pakta Warsawa dari blok Uni Soviet.
Ditengah-tengah konfigurasi dan
konfrontasi kekuatan demikian itulah, dan yang merupakan sekedar “pupuk
sejarah” belaka, tumbuhlah benih nasionalisme dan
internasionalis AA. Yang tersiram dengan air sejuknya semangat Bandung,
kemudian bersemi dan akhirnya berkembang. Bipolarisasi dunia di dobrak ke arah
multipolarisasi. Pendekatan militer mengalami jalan buntu. Pendekatan non
militer membuka jalan baru. Nafsu perang menjadi lesu, karena dalam kata-kata
Bung Karno[1],
yang saya kutif di atas: Bandung berhasil “menyuntikkan akal sehat ke
dalam kehidupan internasional, yang menekankan bahwa perang, apalagi perang
nuklir, berarti pemusnahan peradaban; dan bahwa salah satunya alternatif adalah
hidup berdampingan secara damai sesuai jiwa Bandung (Ruslan Abdul Gani, Harian
Merdeka, 28 Maret 1980).
∏
Supaya lebih afdol, atau meresap, kita
baca lagi pidato beliau (Ruslan Abdulgani) setahun sebelumnya, yakni tanggal 23
April 1979 di auditorium studion V RRI pusat.
Mengapa Konperensi Bandung itu satu
historical event?
Ada beberapa alasan mengapa saya menamakan
Konperensi Bandung itu suatu peristiwa yang historis. Pertama, Bandung pada
tahun 1955 merupakan satu alternative daripada suatu politik yang digerakkan
oleh negara-negara besar yang dua-duanya tidak mau perang di negerinya sendiri,
tetapi selalu memilih negara lain untuk mengadu kekuatannya.
Kita melihat pada waktu itu perang dingin
sedang memuncak. Kita melihat Korea terpecah belah. Korea Utara mendapat
senjata dari pihak dunia Komunis. Korea Selatan mendapat senjata dari dunia
Barat, dan sebetulnya dalam pertempuran antara paham Liberal Kapitalis dengan
paham Komunis mereka selalu mencoba jangan sampai mereka berkonfrontasi
langsung. Tetapi kalau toh harus perang, peranglah di negara orang lain.
Politik ini menjalar ke Vietnam pada tahun 53-54 dan menjalar pula ke seluruh
Kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Oleh karena itu Bandung ialah suatu
teriakan “stop” terhadap penyelesaian yang
demikian. Jadi pertama saya katakan, Bandung ialah satu alternative yang
positif terhadap satu Military Approach dari negara-negara besar untuk
menyelesaikan antagonism perang dingin, sebab mereka selalu bersemboyan; Let
Asians fight aganst Asians, Let Africans fight against Africans.
Mengapa orang Asia harus melawan orang
Asia, orang Afrika melawan orang Afrika, sedangkan mereka selalu mempunyai satu
konsepsi, yaitu Military Collective Security Arrangement.
Inilah, alas an pertama mengapa saya
menamakan Konperensi Bandung itu satu alternative dari satu Military Approach.
Kedua, Bandung juga merupakan satu Self Assertion untuk menunjukkan kepada
dunia, bahwa dunia ini bukan hanya dunia orang Amerika di satu pihak, melainkan
dunia ini juga dunia bangsa Asia dan Africa. Mengapa kita harus memilih atau
berpihak kepada Amerika atau berpihak kepada Moscow. Apakah dunia ini terpecah
antara pilihan gelap dan terang saja? Ataukah tidak ada satu jalan lain? Dan
kalua kita melihat apa sebertulnya Amerika, apa sebetulnya Uni Soviet pada
waktu itu. Kalua kita lihat dalam sejarah dia itu tidak lain dari apa yang
dikatakan oleh seorang penulis Inggris Somerset Maugham: It is the glory that
was Greece. It was the Grandeur that was Rome, but it was also the Military.
Ideas and Occhristianity, yang kemudian suatu waktu, pecah dengan satu
peradaban di Eropa Barat, yang kemudian ke Moskow. Moskow pernah menamakan; We
are the third Rome. The first Rome, the second Rome, the third Rome. Dan mana
Rome yang lainnya? Rome yang lainnya ialah di Washington. Apakah kita harus
memilih antara kedua itu saja. Asia mempunyai sumber-sumber peradabannya
sendiri. Asia melahirkan agama-agama montheistis. Asia melahirkan agama
Kristen, agama Yahudi, agama Islam. Asia mempunyai satu peradaban sendiri dari
Mesir, Sungai Nl, Sungai Eufrat, dan Tigris. Sungai Indus di India. Sungai dari
semua river civilization dari Cina.
Apakah tidak mungkin dunia ini mempunyai
pemikiran sendiri. Itulah sebabanya Bandung merupakan juga satu Self Assertion
terhadap dirinya sendiri. Kenapa dunia hanya dipecah antara dua super power itu
saja. Kemudian Bandung ialah juga satu tolakan terhadap colonialism in all its
manifestations. Kita mengetahui, pada waktu Perdana Menteri Sir John Kotelawala
mengusulkan, bahwa yang harus kita tentang tidak hanya kolonialisme yang lama,
tapi juga kolonialisme yang baru. Ia mempunyai pikiran bahwa kolonialisme baru
itu berasal dari Uni Soviet. Cho En Lai, Perdana Menteri RRC tampil ke depan
dan menolak pandangan itu. Dan siapa kemudian yang menengahi kalau tidak Nehru,
Mohammad Ali dari Pakistan, kemudian U Nu dari Birma, dan pak Ali dari
Indonesia? Yang mengatakan, memang kolonialisme itu ada. Why should we not
condemn colonialism as an evil? That should be eradicated. Bahwa kolinialisme
itu ialah satu kejahatan. Kolonialisme dalam tiap-tiap manifestasinya. Dan apa
manifestasi kolonialisme itu? Tidak lain dari Political Domination, Economic Exploitation,
dan Cultural Infiltration. Karena itu Bandungmemberi jawaban, bahwa kita
menolak colonialism in all manifestations.
Inilah tiga hal kenapa saya menamakan
peristiwa Bandung itu satu hal yang historis penting sekali. Kemudia ada
pertanyaan; Apakah konperensi Bandung itu satu sukses? Was it really a success?
Apa ukuran sukses itu? What is the yard-stick of success? Ukuran sukses menurut
saya ialah pada waktu itu dunia Asia dan Afrika mendambakan satu kemerdekaan
dan perdamaian. Kenapa yang kita maksudkan perdamaian dan kemerdekaan itu? Bagi
kita kemerdekaan dan perdamaian itu ialah bagian yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Itulah sebabnya maka dalam salah satu paragraph yang tadi
dibacakan dikatakan, Freedom and Peace are interdependent. Memang bangsa Asia,
lebih lebih bangsa Indonesia cinta damai, tapi lebih daripada damai kita cinta
kemerdekaan. Ini sat hal yang harus kita pegang teguh dari semangat Bandung
itu. Ini menjadi ukuran, bahwa kita tidak hanya ingin damai tapi damai di dalam
alam kemerdekaan.
Kemudian ukuran itu harus kita gunakan
untuk menilai hasil-hasil Konperensi Bandung. Pertama, pada waktu tahun 54-55
pikiran Bandung itu dimulai, PBB hanya mempunyai anggota 60. Tetapi begitu
Bandung selesai, tahun 56-57 ada beberapa negara yang ingin jadi anggota PBB di
veto oleh Aerika. Mereka dianggap antek Uni Soviet. Ada beberapa negara juga
yang mau masuk PBB di veto oleh Uni Soviet, mereka dianggap antek Amerika. Dan
ditengah-tengah itu ada beberapa negara lain, sekalipun ditengah-tengah, dianggap
oleh dua-dua ini, kalau engkau bukan antek saya tidak usah masuk saja. Itulah
sebabnya maka pada tahun 57-58 terjadi di PBB, setelah konperensi Bandung suatu
package deal, a door drag a break through. Sehingga pada waktu itu 20 anggota
atas desakan Konperensi bandung sekaligus menjadi anggota PBB.
Apa artinya ini? Enam puluh menjadi 80.
Kalau dulu Amerika dapat menguasai 40 dari 60, dus dia dapat menguasai 2/3 dari
suara di PBB, Uni Soviet menguasai 5 atau 6, yang di tengah-tengah ada 14. Maka
selalu Uni Soviet mempertahankan pendiriannya itu di Dewan Keamanan, karena di
Dewan Keamanan dia mempunyai veto. Dan dia selalu mengadakan veto. Dan kalua
Amerika menuduh kenapa engkau selalu menggunakan veto? Because you have the
automatic veto. Kamu mempunyai veto yang lebih besar. Kenapa saya tidak
menggunakannya? Tetapi karena itu Amerika, kalua ada perdebatan di PBB, dia
kena veto oleh Uni Soviet, dia bawa ke siding umum PBB. Memenangkan suara yang
40 itu. Sehingga selalu disitu Uni Soviet kalah. Tapi sejak tahun 56-57, kata
Morgen Tall (Morgenthau?), seorang ahli politik internasional “the
whole structure of the United Nations has changed. Karena siapa sekarang yang
menguasai 80 anggota itu? Bukan Amerika, bukan Uni Soviet, tapi there emerged
the third world, dunia ketiga, dan sejak itulah Sekjen PBB jatuh ke tangan
bangsa Asia, yaitu U Thant dari Birma.
Bukankah itu juga suatu sukses? Dan kalua
kita melihat bahwa PBB bukan lagi instrument dari Amerika, bukan lagi
instrument dari Uni Soviet, tapi instrument dari The Emerging Forces, maka
saudara dapat mengerti bahwa sekarang ini dua-duanya itu kalua mau
menyelesaikan perkaranya, di luar PBB saja. Oleh karena itu dalam masalah ini
kita harus melihat kemudian the emergence of the Non Blog pada tahun 1961. Tapi
tahun 1961, didahului dengan tahun 1960, yaitu pada waktu Eisenhower dan
Khruschev satu sama lain tidak dapat didamaikan. Amerika menggunakan dia punya
Spy-ship, Spy-Aircraft, kepegang. Sehingga konperensi di Paris mengalami satu
kegagalan. Dan pada waktu itu tahun 1960 ada suara-suara yang mengatakan;…mari
kita ke PBB, Khruschev akan ke PBB, Eisenhower akan ke PBB. Kenapa hanya
ditempati oleh dua orang itu saja? Itulah sebabnya kemudian Nehru pergi ke PBB,
Tito pergi ke PBB, Nasser pergi ke PBB, Nkrumah pergi ke PBB, dan Bung Karno
pun juga berkata …”mari jangan kita ketinggalan”. Dan
kita melihat di tahun 1960 itu lima negara ini. Kita melihat PM Nehru,
Pakistan, Mesir, Tito dari Yugoslavia, Nkrumah dari Ghana. Mereka melihat dua
raksasa ini mau menguasai. Mari disana juga kita mengatakan, dunia ini bukan
dunia tuan saja. Dan kita mendapat kehormatan. Lima negara ini meminta Bung
Karno sebagai juru bicaranya. Pidato To build the World a new, membangun dunia
baru, menunjukkan bahwa Non Blok ialah satu idea yang off-spring, satu
kelanjutan dari Bandung itu sendiri. Dan kalau kemudian dua raksasa ini
menghadapi kenyataan-kenyataan ini mengadakan satu détente,
instead of cold war, tidak lagi perang dingin, tapi mari détente.
Détente
itu pun merupakan satu langkah ke arah perdamaian dunia, disebabkan oleh
adanya Konperensi Bandung itu. Oleh karena itu ditinjau dari sudut ini, maka
Bandung merupakan satu sukses.
Dst….dst….dstnya…..(masih
panjang)
∏
Dengan
keberhasilan KAA menelorkan 10 kesepakatan (Dasasila Bandung), yakni;
1.
Menghormati
hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam
piagam PBB.
2.
Menghormati
kedaulatan dan integritas territorial semua bangsa.
3.
Mengakui
semua persamaan suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.
4.
Tidak
melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri lain.
5.
Menghormati
hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun
kolektif yang sesuai dengan piagam PBB.
6.
Tidak
menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi
kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap
negara lain.
7.
Tidak
melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan
terhadap integritas wilayah mamupun kemerdekaan politik suatu negara.
8.
Menyelesaikan
segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan,
persetujuan, arbitrase, ataupun cara-cara damai lainnya, menurut pilihan
pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan piagam PBB.
9.
Memajukan
kepentingan Bersama dan kerjasama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban
internasional.
membuat nama Indonesia harum di dunia.
Bung Karno menjadi salah satu tokoh/aktor panggung internasional, yang disegani
dan dihormati, serta diperhitungkan. Ditambah lagi dengan pidatonya di Sidang
Umum PBB ke-15, tahun 1960 dengan judul “To build the world a new”, yang menawarkan Pancasila
sebagai ideologi dunia, membuat figurnya semakin dikagumi dunia. Apalagi, ia
saat itu, sebagaimana jati dirinya yang sangat nasionalistik, menggalang
kekuatan dunia baru, New Emerging Forces
(NEFOS), untuk mendobrak bipolarisasi yang sedang bermain api dengan perang
dinginnya, membuat sosok Bung Karno kembali semakin membahana dan cemerlang
dalam politik, hubungan, dan komunikasi internasional.
Beliau diagung-agungkan di berbagai negara
sebagai pemimpin yang anti kolonialisme, anti kapitalisme, anti liberalism,
yang memberi spirit kepada berbagai bangsa untuk mencapai kemerdekaan, menolak
penjajahan model baru (Nekolim), sesuai dengan Dasa sila Bandung, yakni peacefull co existence (hidup
berdampingan secara damai). Tatanan yang dalam derivasinya membuat diplomasi
Indonesia semakin mekar, dan melesatkan diplomat-diplomat andal, sebagai
konsekwensi tugas-fungsi yang diembannya, yakni perundingan-perundingan,
negosiasi-negosiasi, atau misi-misi ke luar negeri sebagai implementasi KAA
Bandung.
Dalam konteks demikian pantaslah
dikemukakan seorang diplomat andalan Bung Karno, seorang wanita, yang bernama
Supeni dan bersinar cemerlang. Diplomat yang sudah berkiprah dalam KAA, dan
terus berkembang sesudahnya, seperti, dan atau khususnya ketika beliau diangkat
Bung Karno jadi Duta Besar Keliling. Bung karno menugaskan ia ke beberapa
negara untuk membujuk kepala pemerintahannya, agar ikut dalam pertemuan KTT Non
Blok di Beograd/Belgrado, Yugoslavia tahun 1961.
Supeni menjalankannya lebih dari apa yang
ditugaskan Bung Karno. Beliau tidak saja berhasil mengajak para kepala-kepala
pemerintahannya untuk hadi pada pertemuan KTT Non Blok, namun terjalan
hubungan-hubugan yang lebih luas dan familiar. Supeni pada waktu itu
mengunjungi; Srilanka, Kamboja, Birma, India, Mesir, Pakistan, Sudan, Ethiopia,
Somalia, Kenya, Uganda, Rwanda, Burundi, Tanganjika, Zambia, Kongo, Brazavile, Malia,
Guinea, Ghana, Liberia, Kamerun, Maroko, Aljazair, Syiria, Lebanon, Irak,
Turki, Kuwait, Saudi Arabia, Filipina, Korea Utara, RRC, Uni Soviet, Rumania,
Polandia, Hongaria, Cekoslowakia, dan Yugoslavia.
Selain Supeni, diplomat wanita yang
cemerlang pada waktu itu adalah Laili Roesad. Ia diangkat jadi duta besar di
Belgia dan Luksemburg tahun 1959, dan menjadi Duta besar wanita pertama di Indonesia. Suatu bukti bahwa saat
itu diplomasi Indonesia sangat dihargai, diperhitungkan, dan dihormati
negara-negara lain. Sebaliknya ketika Bung Karno diturunkan dari singgasana
kekuasaan, diplomasi Indonesia nyungsep ke titik nadir. Tidak lagi tegak, tapi
sudah nunduk-nunduk ke pihak investor, kata Supeni dalam suatu kesempatan.
Sebagai momen penting pelaksanaan
diplomasi Indonesia, dibawah ini dideskripsikan kronologinya. Disusun
berdasarkan laporan atau informasi Kementerian Luar Negeri ;
MASA
KEMERDEKAAN
1928,
Oktober
Kongres Pemuda II di Jakarta melahirkan Sumpah Pemuda yang mengikrarkan satu Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa bagi Indonesia, yang merupakan dasar dari pembentukan identitas nasional.
1945,
Agustus
Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus, pukul 10 pagi di Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi), Jakarta.
Kabinet pertama RI dibentuk hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ahmad Soebardjo menjadi Menteri Luar Negeri pertama RI. Tanggal 19
Agustus menjadi hari berdirinya Kementerian Luar Negeri RI.
1945,
September
Lapangan Gambir
(kini Lapangan Monas) menjadi ajang ribuan rakyat Indonesia mendengarkan pidato
Presiden Soekarno menyambut Proklamasi
Kemerdekaan RI.
1946,
April
Indonesia
mengirimkan misi diplomatik pertamanya ke Belanda untuk berunding dengan pihak
Sekutu dan Belanda.
1946,
Agustus
Diplomasi
bantuan beras Indonesia untuk rakyat India yang sedang dilanda bencana
kelaparan. Pemerintah India membalas dengan mengirimkan obat-obatan, pakaian,
dan mesin yang dibutuhkan Indonesia.
1947
"Indonesia Office" atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di Singapura, Bangkok, dan New Delhi untuk menjadi perwakilan resmi Pemerintah
RI, sekaligus menembus blokade ekonomi Belanda terhadap Indonesia.
Radio "Voice of Free
Indonesia" disiarkan untuk pertama kalinya dari Yogyakarta.
1947,
Maret
Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati, dimana pihak Belanda mengakui kedaulatan RI hanya sebatas Jawa, Sumatra, dan Madura.
Pemerintah Mesir
yang diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap
kemerdekaan Indonesia.
1947,
Oktober
Kedatangan Komisi Tiga Negara (Committee of Good Offices) ke Indonesia, mengemban mandat Dewan
Keamanan PBB untuk mengatasi sengketa
Indonesia - Belanda. Para anggota Komisi adalah Hakim Richard C. Kirby (Australia), mantan Perdana Menteri Paul van Zeeland (Belgia), dan Rektor University of North Carolina Dr. Frank B. Graham (AS).
1948
Mufti Agung
Haji Amin El Husni berkunjung ke Indonesia untuk menyampaikan dukungan dan
simpati rakyat Palestina atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.
1948,
Januari
perjanjian
gencatan senjata Indonesia-Belanda ditandatangani di atas kapal USS Renville. Mewakili
pihak Indonesia adalah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Perjanjian Renville merupakan hasil kerja Komisi Tiga
Negara (KTN).
1948,
September
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI Mohammad Hatta menyampaikan
prinsip-prinsip kebijakan luar negeri RI yang bebas dan aktif di hadapan Sidang
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP).
1948
Untuk menembus blokade ekonomi Belanda, Menteri Kemakmuran RI Dr. A.K. Gani berangkat dalam sebuah misi diplomatik ke Kuba untuk
mengembangkan hubungan perdagangan dengan negara-negara Amerika Latin. Pada tahun yang sama, Indonesia menandatangani kontrak dagang
dengan pengusaha AS dan membina
hubungan dengan Bank Dunia.
1948,
Desember
Belanda menggelar agresi militer untuk kedua kalinya terhadap Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan
Menteri Luar Negeri Agus Salim
ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatra.
Sidang Kabinet Darurat RI kemudian menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin
Prawiranegara agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
A.A. Maramis yang saat itu sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar
Negeri PDRI.
1949,
Januari
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia
segera menghentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk
segera melepaskan semua tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer
II.
Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai
Indonesia di New Delhi. Konferensi dipimpin langsung oleh
PM India Jawaharlal Nehru. Semua delegasi yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia hingga Australia dan Selandia Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda.
Pemerintah Birma
(kini Myanmar) memberikan dukungan bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda
dengan mengizinkan pesawat "Indonesian Airways" Dakota RI-001
Seulawah untuk beroperasi di Birma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat
Aceh kepada Presiden Soekarno.
Selain itu, Birma
juga memberikan bantuan peralatan radio yang memungkinkan Indonesia membangun
jaringan komunikasi radio antara pusat pemerintahan RI di Jawa - PDRI di
Sumatera
- Perwakilan RI di Rangoon -
Perutusan RI untuk PBB di New York.
1949, Juli
Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan diantara "negara-negara federal" di Hindia Belanda, seperti: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi tersebut, negara-negara tersebut mendukung penyerahan tanpa syarat kedaulatan mereka kepada
Republik Indonesia.
1949,
Desember
Persetujuan Meja Bundar ditandatangani di Den Haag, mengakhiri konflik diantara Indonesia dan Belanda.
Pada hari yang sama (27 Desember 1949), Wakil Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta, yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Penjabat Perdana Menteri RIS.
Presiden RIS
Soekarno kemudian membentuk kabinet pertamanya. Perdana Menteri merangkap
Menteri Luar Negeri RIS adalah Mohammad
Hatta.
Amerika Serikat
(AS) menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatik di Jakarta setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS, hanya tiga hari setelah Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Merle Cochran menjadi
Duta Besar pertama AS untuk Indonesia. Langkah AS itu kemudian segera disusul oleh Inggris, Belanda, dan China.
MASA AWAL
KIPRAH DIPLOMASI INDONESIA
1950
Dalam kunjungan ke Pakistan, Presiden Soekarno bertemu dan menyampaikan penghargaan kepada para prajurit
Pakistan yang berjuang di pihak
Indonesia di masa revolusi
melawan Belanda.
1950,
Agustus
Indonesia kembali dipulihkan
sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
1950,
September
Indonesia secara resmi diterima
menjadi anggota ke-60 Perserikatan
Bangsa - Bangsa (PBB).
1950,
Desember
Perundingan
antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat. Delegasi RI dipimpin oleh Mohammad Roem. Dalam perundingan tersebut, Belanda menolak menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
1955
PM Republik Rakyat
China Chou En-Lai dan Menlu RI Soenario menandatangani Perjanjian Dua Kewarganegaraan di Jakarta. PM Chou En-Lai
berada di Indonesia dalam
rangka menghadiri
Konferensi Asia-Afrika.
1955,
April
Konferensi Asia-Afrika (KAA) diselenggarakan di Bandung, tanggal 18 - 24 April. Sebanyak 29 negara dari kedua benua menghadiri Konferensi tersebut, termasuk 5 negara penggagas KAA Burma, India, Indonesia, Pakistan, dan Sri Lanka. KAA merupakan konferensi pertama yang diadakan oleh
negara-negara bekas jajahan di Asia
dan Afrika setelah
Perang Dunia II.
KAA 1955 menandai
kebangkitan bangsa-bangsa terjajah, dengan disepakatinya Dasa Sila Bandung yang
menegaskan hubungan antar bangsa berdasarkan asas kemerdekaan dan keadilan.
1956
Indonesia untuk
pertama kalinya mengirimkan pasukan Kontingen Garuda dalam misi penjaga perdamaian PBB
di
Gurun Sinai, Timur Tengah.
1956,
Mei
Presiden
Soekarno menandatangani Undang-Undang No. 13
Tahun 1956 mengenai pembatalan sepihak Uni Indonesia - Belanda, karena sikap tidak bersahabat Belanda dan penolakannya untuk menyerahkan
kembali Irian Barat kepada Indonesia.
Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno berkeliling ke negara-negara AS, China, Uni Soviet, dan Yugoslavia untuk mendapatkan
dukungan bagi perjuangan merebut kembali Irian
Barat.
1958,
Januari
Indonesia dan Jepang
menandatangani Perjanjian Perdamaian di Jakarta. Penandatanganan dari
pihak Indonesia adalah
Dr. Subandrio.
1959
Laili Roesad dilantik menjadi Duta Besar RI untuk
Belgia dan Luksemburg. Beliau adalah duta besar perempuan pertama Indonesia.
1960,
Agustus
Pada tanggal 17 Agustus, Indonesia menyatakan memutuskan hubungan diplomatic dengan Belanda dan melakukan persiapan
militer untuk membebaskan Irian
Barat. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, berbagai misi untuk mendapatkan bantuan persenjataan dikirimkan antara lain ke China, Uni Soviet, dan Yugoslavia.
1960,
September
Presiden
Soekarno di hadapan Sidang Majelis Umum PBB ke-15 menyampaikan pidatonya yang
berjudul "Membangun Dunia Baru" (To Build the World Anew).
Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menyerukan "Kekuatan Dunia Baru" (New Emerging Forces, NEFOS) untuk bangkit menuju tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, melampaui dominasi negara-negara besar di dunia yang
secara ideologis terbagi ke dalam
Blok Barat dan Blok Timur.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia bertemu dengan para kepala pemerintahan Ghana, India, Mesir, dan Yugoslavia guna mempersiapkan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok I di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1961.
1961
KTT Gerakan Non-Blok I diselenggarakan di Beograd, Yugoslavia. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri
Nehru dari India
diutus oleh forum
untuk menyampaikan hasil-hasil KTT
GNB I, masing-masing ke Washington dan ke Moskow.
KTT GNB 1961 dan
Konferensi Asia-Afrika 1955 mengukuhkan peranan historis RI dalam membangun
suatu tatanan dunia baru untuk negara-negara berkembang berdasarkan prinsip
kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.
1961,
Desember
Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang
menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari
penjajahan Belanda. Komando Mandala dibentuk di Makassar untuk mengatur
perjuangan bersenjata membebaskan Irian
Barat.
1962,
Agustus
Perjanjian New York ditandatangani oleh pihak Indonesia dan Belanda. Menurut
isi perjanjian, Belanda
menyerahkan Irian Barat kepada Pemerintahan Sementara PBB (UN Temporary Executive Administration, UNTEA).
1963, Mei
UNTEA menyerahkan
Irian Barat kepada Indonesia. Untuk memperingati perjuangan pembebasan Irian Barat, sebuah Tugu Peringatan didirikan di Lapangan Banteng pada tanggal 18 Agustus.
1963,
September
Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia, menyusul pembentukan Federasi Malaysia
yang mencakup daerah-daerah bekas jajahan Inggris di Kalimantan Utara.
Presiden Soekarno menyerukan "konfrontasi fisik" dengan Malaysia, yang menyebabkan banyak terjadinya insiden bersenjata antara
tenaga sukarelawan Indonesia dengan tentara Malaysia yang dibantu Inggris, Australia, dan Selandia Baru di sepanjang daerah perbatasan di utara Kalimantan.
MASA DIPLOMASI "ORDE BARU"
1965,
September
Pemberontakan
kaum komunis berhasil digagalkan. Rezim Orde Baru kemudian lahir dan
mengembalikan prinsip dasar kebijakan luar negeri Indonesia ke bebas dan aktif.
Pemerintahan yang baru mulai melakukan pemulihan kembali hubungan dengan negara-negara
sahabat di kawasan dan di dunia internasional.
1966,
Agustus
Persetujuan pemulihan kembali
hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Malaysia.
1966,
September
Indonesia kembali aktif dalam PBB, setelah tahun sebelumnya Presiden Soekarno menyatakan keluar dari organisasi
internasional tersebut. Duta Besar L.N. Palar
menjadi Wakil Tetap RI untuk PBB.
1967,
Agustus
Indonesia bersama dengan Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand menandatangani Deklarasi Bangkok
pada tanggal 8 Agustus yang berisi
kesepakatan untuk membentuk ASEAN
(Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara).
1969,
Juli - Agustus
Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, "Act of Free Choice") di Irian Barat, di bawah pengawasan PBB. Utusan Khusus
Sekretaris Jenderal PBB Duta
Besar Ortis Sanz mendukung
hasil Pepera yang sepenuhnya mendukung bergabungnya kembali
Irian Barat ke Indonesia.
1969,
September
Menyusul hasil pendapat rakyat Irian Barat yang sepenuhnya mendukung penggabungan kembali dengan Indonesia, Dewan Perwakilan (DPR) RI mengesahkan undang-undang Propinsi Irian Barat.
Dalam rangka mengupayakan perdamaian dan memperjuangkan kepentingan umat
Islam di dunia, Indonesia turut mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI/
OIC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Rabat, Maroko.
1971,
September
Menteri Luar Negeri RI Adam
Malik memimpin sebagai Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26.
1976,
Februari
Konferensi
Tingkat Tinggi ASEAN berlangsung untuk pertama
kalinya di Bali. Pada Konferensi
tersebut ditandatangani "Declaration on ASEAN Concord" dan "ASEAN Treaty of Amity and Cooperation". Kantor Sekretariat ASEAN didirikan di Jakarta, dengan H.R. Dharsono dari Indonesia sebagai Sekretaris Jenderal pertama.
1977,
Januari
Letnan Jenderal
TNI Rais Abin diangkat menjadi Panglima United Nations Emergency Forces (UNEF)
II. Ini adalah pertama kalinya seorang perwira militer RI memegang jabatan
puncak dalam misi penjaga perdamaian PBB.
1979
Duta Besar Titi
Memet Tanuwidjaja menjadi perempuan
Asia pertama yang menduduki
salah satu jabatan puncak - Direktur
kawasan untuk Asia Timur dan
Pakistan - di organisasi pendidikan
dan kebudayaan dunia UNICEF.
1979,
Juni
Pemerintah RI bekerjasama
dengan Komisi Tinggi untuk Urusan
Pengungsi PBB (UNHCR) membuka areal seluas 170 hektar di Pulau Galang, Propinsi Riau, untuk tempat penampungan sementara dan pemrosesan para pengungsi "manusia perahu" asal Vietnam.
1980
Cendekiawan
Indonesia Dr. Soedjatmoko diangkat menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo,
Jepang.
1984, Juli
Presiden Soeharto
menerima kunjungan Pemimpin Organisasi Pembebasan palestina (PLO) Yasser Arafat di Istana Merdeka. Dalam kesempatan tersebut, Presiden RI menegaskan dukungan
Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina.
1986
Duta Besar Artati Sudirdjo, Ketua Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional IAEA, memimpin Sidang Khusus Dewan mengenai kecelakaan nuklir di Chernobyl, Rusia.
Duta Besar J.B.P.
Maramis menjadi orang Indonesia pertama yang mengetuai Komisi Ekonomi PBB
untuk Asia dan Pasifik (ECAFE), berkedudukan di Bangkok. Atas usulan beliau, ECAFE mengubah namanya menjadi ESCAP, sehingga
menambah dimensi sosial ke dalam lembaga PBB tersebut.
1986, Juli
Presiden Soeharto menerima penghargaan dari organisasi pangan dan pertanian dunia FAO berkat
prestasi Indonesia yang telah
berhasil mencapai swasembada beras.
1987,
Mei
Menteri Luar
Negeri Mochtar Kusumaatmadja menerima Medali Tahun Perdamaian Internasional
dari PBB.
1987, Juli
Untuk membantu penyelesaian konflik di Kamboja, Indonesia selaku wakil ASEAN dan Vietnam
menyetujui diadakannya pertemuan
informal antara pihak-pihak yang bersengketa di Jakarta.
1988, Juli
Pertemuan Informal Jakarta (JIM) diselenggarakan di Istana Bogor, dihadiri oleh Menlu RI, Menlu Vietnam, dan pemimpin dari keempat faksi di Kamboja.
1988,
Desember
Indonesia menerima Penghargaan Kependudukan PBB.
1989,
Juni
Indonesia
menerima penghargaan dunia dari PBB atas keberhasilannya dalam program nasional
Keluarga Berencana (KB).
1989,
Desember
Indonesia dan
Australia menandatangani Perjanjian Kerjasama Celah Timor yang kembali
menegaskan pengakuan secara de jure Australia atas integrasi Timor Timur ke
dalam Republik Indonesia.
1990
Departemen Luar
Negeri RI mulai mengadakan lokakarya pengelolaan konflik berkala diantara pihak-pihak yang bersengketa di Laut China Selatan, dipimpin oleh Duta Besar Hasjim Djalal.
1990,
Agustus
Indonesia dan
China menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai pemulihan kembali hubungan
diplomatik RI - RRC pada tanggal 8 Agustus di Jakarta. Hubungan diplomatik dibekukan selama lebih dari dua dekade oleh Indonesia, menyusul pemberontakan kaum komunis yang gagal pada tahun 1965.
1990,
November
Presiden RI dan
Ibu melakukan kunjungan kenegaraan ke China untuk mempererat hubungan kedua
negara. Kunjungan kepala negara RI ke China tersebut merupakan yang pertama
kalinya semenjak pulihnya hubungan diplomatik kedua negara. Presiden RRC Yang
Shangkun kemudian
melakukan
kunjungan balasan ke Jakarta pada tahun 1991.
1991, Februari
Indonesia
menerima penghargaan tertinggi dari organisasi kesehatan dunia WHO atas
prestasinya meningkatkan kesehatan
masyarakat.
1991, Oktober
Setelah melalui serangkaian pertemuan informal yang disponsori oleh Indonesia, keempat faksi yang bertikai
di Kamboja akhirnya sepakat untuk menandatangani Perjanjian Paris pada
tanggal 23 Oktober. Indonesia menjadi
salah satu penandatangan dalam Perjanjian tersebut.
1992
Indonesia mulai membuka
serangkaian hubungan diplomatik dengan negara-negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, seperti Armenia, Turkmenistan, dan Azerbaijan. Georgia dan Kazakhstan menyusul kemudian.
1993, April
Indonesia memfasilitasi pertemuan informal antara Front Pembebasan
Nasional Moro dan Pemerintah Filipina di Cipanas, Propinsi Jawa Barat, untuk membantu penyelesaian konflik berdarah di Filipina Selatan.
1993, Juni
Penghargaan Ibnu Sina (Avicenna Award) dianugerahkan organisasi ekonomi, sosial, dan budaya PBB
UNESCO kepada Indonesia atas hasil-hasil yang telah dicapai di bidang
pendidikan nasional.
1994, Juni
Indonesia kembali mendapat penghargaan internasional atas keberhasilan program KB-nya, dari Dana PBB untuk Kegiatan Kependudukan (UNFPA).
1994, Oktober
Menlu RI Ali Alatas di hadapan Sidang Majelis Umum
PBB ke-49 di New York menegaskan
kembali
dukungan Indonesia terhadap reformasi PBB dan Dewan Keamanan PBB. [*/DF]
PERTANYAAN
1. Jelaskan dengan seksama apa yang dimaksud dengan
perang dingin
2. Apa yang dimaksud dengan dua karang. Jelaskan secara
logis dan sistimatis
3. Jelaskan secara runtut pidato Bung Karno pada
pembukaan Konferensi Asia Afrika.
4. Sebutkan lima negara penggagas Konferensi asia Afrika
5. Sebutkan negara-negara yang dikunjungi Supeni dalam
rangka pelaksanaan KTT Non Blok.
6. Apa yang dimaksud Ruslan Abdulgani dengan historis event. Jelaskan dengan
sistematis
7. Mengapa Bung Karno mengutus wanita sebagai Duta Besar
keliling?
8. Mengapa suku Minang/Padang banyak yang menjadi
diplomat?
………bila ada hal-hal yang tidak dipahami
dari materi kuliah ini…tulis di WA group, akan saya jawab
Medan, 11 Mei 2020
m
[1]
…What can we do ? The people of Asia and Africa wield little physical power.
Even their economic strength Is dispersed and slight. We cannot indulge in
power politics. Diplomacy for us s not a matter of the big stick.Our statesmen,
by and large, are not backed up with serried ranks of jet bombers. What we can
do? We can do much. We can inject the voice of reason into world affairs. We
can mobilise all the spiritual, all the moral, all the political strength of
Asia and Africa on the side of peace….(petikan sebagian pidato Bung Karno
ketika membuka KAA di Bandung).
Jawaban Pertanyaan dikirim kemana pak ..terima kasih
BalasHapus