Rabu, 20 Mei 2020

TUNDA CICILAN POKOK DAN BUNGA UTANG



TUNDA CICILAN POKOK DAN BUNGA UTANG
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 20 Mei 2020
Fungsi negara/pemerintah, mayoritas hanya penjaga pasar, dan terutama adalah disiplin membayar “cicilan dan bunga utang luar negeri” yang semakin mencekik

Diskursus Covid-19 kecenderungannya akan terus dinamis, sedinamis kesadisan dan kebrutalannya yang belum tahu seperti apa akhirnya. Kalaupun, misalnya berakhir, (entah kapan), dapat dipastikan, perbincangan tentangnya, akan tetap hangat, sebab komplikasi yang ditimbulkannya sangat laten dan luas. Masih terlalu dini untuk membahas seperti apa ke depannya.
Oleh karena itu, pembahasan yang menarik saat ini, masih terfocus bagaimana menyelamatkan nyawa manusia yang sedang terancam wabah, dari mahluk misterius yang bernama Covid-19. Sebagai implikasinya, yang dominan dan paling banyak bicara adalah kalangan medis, yakni para dokter, virulog, dan pandemolog.
Pihak yang professional memahami seluk-beluk dan bagaimana menyelamatkan manusia dari pandemi demikian. Selanjutnya disusul para ekonom, pihak yang piawai menghitung dan mengupayakan sumber-sumber pembiayaan agar pekerjaan para medis berjalan lancar, dan kehidupan ekonomi rakyat tidak mandek.
Para ekonom, akan mengutak-utik bagaimana mencari uang, dana, atau kapital dari sumber terbatas, baik yang disediakan negara/pemerintah, swasta, dan sumber-sumber lainnya. Pihak selanjutnya adalah kalangan Psikolog, Sosiolog, dan Antropolog, yang melengkapi pekerjaan paramedis dan ekonom.
Kalangan demikian akan membahas jalan keluar (way out/solution) dari ekses dan dampaknya pada kehidupan pribadi (psikologis), dan terutama pada aspek sosio-kulturalnya, seperti, hubungan, interaksi, atau komunikasi dalam era dan post pandemi, antisipasi kemungkinan munculnya antagonism atau konflik, dan lain-lain masalah kemasyarakatan,  yang tak kalah rumitnya dengan apa yang dikerjakan paramedis dan ekonom tadi.
Akan tetapi karena pandemi ini tidak hanya pada satu tempat, satu daerah, atau satu negara/bangsa, melainkan mewabah secara mondial, maka kalangan yang tak kalah pentingnya, yang harus juga berperan aktif memberikan analisis atau jalan keluar adalah para pakar hubungan/politik internasional.
Konflik Global
Kalangan yang piawai membaca konstalasi global, yang penuh ketidak pastian (uncertainty), trik-trik, power and bargaining politics, konflik-antagonis, asimetri, kerjasama hingga hegemoni. Suasana yang diakui atau tidak, disadari atau sebaliknya, adalah faktor utama (determinant factor) setiap negara menyusun kepentingan nasionalnya (national interest).
Setiap negara pada umumnya, kecuali yang sangat kuat (super power), akan merujuk pada “tatanan, sistem, atau situasi internasional” terhadap kebijakan nasionalnya. Sebaliknya masalah keamanan dan politik (security) dunia akan menjadi prioritas setiap negara, sebab menjadi landasan dari setiap kebijakan. Begitu pula aspek-aspek lain, seperti ekonomi global misalnya, sangat jelas dalam perumusan anggaran setiap negara.
Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Indonesia sangat tergantung pada parameter-parameter internasional yang fenomenologis, seperti, pertumbuhan ekonomi global, harga minyak dunia, dan lain-lain indikator, atau tradisi ekonomi dunia. Parameter-parameter yang mudah dipahami karena ukurannya jelas, yakni terbaca secara kwantitatif.
Lain hal akan trick-trick politik tingkat tinggi (high politics), seperti misalnya kesepakatan antara dua, atau lebih kepala negara yang mengadakan pertemuan tertutup, sukar terukur secara kwantitatif, sebab pertemuannya tertutup. Begitu pula  manuver-manuver elit-elit dunia yang lain, tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), propaganda, diplomasi, apalagi konspirasi sangat sulit mengukurnya secara kwantitatif.
Oleh karena itu masalah internasional cenderung (lebih dominan) dalam pola-pola kualitatif nan normatif, yang untuk menilai atau mengukurnya, cenderung bersifat hipotesis/dugaan ,via perenungan/kontemplasi yang filosofik-transendentik. Apalagi, ia selalu beruhubungan dengan kekuasaan (power) sudah pasti tak terukur dalam angka-angka, sebagaimana matematika atau ilmu eksak lainnya.
Kalaupun ia matematis atau ekonomis (kalau bisa dikatkan seperti itu) hanya dan hanyalah “kekuasaan” itu sendiri. Artinya, siapa, kalangan mana, atau negara mana yang memiliknya, ialah yang menentukan. Ialah sang kuasa, atau ialah yang pasti. Dalam konstalasi global sekarang ini, yang kuat, atau yang kuasa itu adalah, pihak atau negara  yang punya persenjataan yang canggih daya bunuhnya, yang kaya ekonominya , dan yang unggul budayanya.
Dalam perang dingin (cold war) yang muncul setelah usainya perang dunia II, kekuatan demikian adalah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Dua kekuatan adikuasa yang terjerembab perseteruan, yang dalam perseteruannya menarik negara-negara lain masuk dalam orbitnya, sedangkan Indonesia yang melihat bahaya tersebut, mengambil posisi non blok (non aligned), bersama negara-negara Asia Afrika, yang sebelumnya mengadakan KTT di Beograd, Yugoslavia.
Indonesia yang bersemboyan “bebas aktif dalam politik luar negerinya”, berselancar indah diantara dua karang yang antagonistik, yakni antara yang berideologi “Liberal-Kapitalistik”, yang dipimpin AS, dengan yang “Sosialis-Komunis”, yang dikomandoi Uni Soviet. Posisi yang dituding Dulles, Menteri luar negeri AS saat itu sebagai banci, karena tidak memilih salah satu blok.
Konstalasi yang bertahan hingga/hanya medio 1960-an, sebab pasca digulingkannya Bung Karno, orientasi politik luar negeri Indonesia tidak lagi bebas aktif. Praktis telah ngeblok, yakni ngeblok/berkiblat ke Barat, nan “Liberal-Kapitalis”, yang dalam perjalanan selanjutnya membuka lebar-lebar negeri ini kepada kapitalisme internasional.
Melesatlah kapital internasional masuk, yang sebelumnya ditolak Bung Karno, via UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing (PMA). Ia melesat bak air bandang yang jebol dari bendungan. Penanaman modal asing langsung (FDI, Foreign Direct Investment), dan atau khususnya Utang Luar Negeri, menjadi primadona baru ekonomi-politik Indonesia, menggusur prinsip-prinsip nasionalisme yang sebelumnya digaungkan Bung Karno.
Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, yang popular dengan sebutan “Trisakti”, yang bergaung kencang saat itu, berganti bulu menjadi “Trisakit”, sebab ketiga sang sakti itu, yakni “kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian” sudah dipreteli modal asing, yang dipimpin IGGI, PMA, atau korporasi-korporasi asing (MNCs/TNCs).
Suasana yang semakin buram, kelam, dan gelap, sebab akhir 70-an dan awal 80-an, negeri ini, sebagaimana negeri-negeri lemah lain, dipaksa harus mengikuti dikte-dikte Konsensus Washington yang diprakarsai Ronald Reagan dan Margareth Thatcher. Setiap negara, tanpa kecuali, apalagi yang sudah tergantung ke blok mereka, harus menerapkan “deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi, dalam pengelolaan ekonomi-politiknya.
Dengan kata lain, perekonomian harus penuh diserahkan kepada pasar. Tidak ada lagi sama sekali campur tangan negara. Tidak ada lagi subsidi bagi rakyat miskin, bagi pendidikan, bagi kesehatan, bagi usaha kecil, sebagaimana yang berlangsung sebelumnya yang masih menerapkan Keynesian. Kini semua harus diserahkan kepada pasar tanpa kecuali.
Tunda Pembayaran
Konsekwensi logisnya, sudah pasti, yakni hanya perusahaan, dunia usaha, atau korporasi yang efisien dan efektif saja yang bertahan di pasar. Perusahaan-persahaan kecil, yang umumnya digeluti mayoritas masyarakat, maksimal hanya jadi toko klontong, sebagaimana di syairkan Rendra dalam puisi Mastodonnya. sebab panggung ekonomi telah dikuasai pemain besar. Pemain yang kaya dan kuat, yang umumnya adalah perusahaan asing, atau perusahaan pribumi yang jadi kompradornya.
Dampak atau ekses selanjutnya adalah, kehidupan yang sebelumnya sudah susah, akan semakin susah, sebab tidak ada lagi tempat bagi negara/pemerintah untuk intervensi ke pasar atau memberi subsidi (Keynesianisme). Fungsi negara/pemerintah, mayoritas hanya sebagai penjaga pasar, dan, terutama adalah disiplin membayar “cicilan dan bunga utang luar negeri” yang semakin tahun, semakin mencekik.
Bagaimana tidak? Cicilan dan bunga utang yang harus dibayar menurut perhitungan Dradjad Wibowo (2005), rata-rata 35  persen setiap tahun. Tahun ini (2020) cicilan dan bunga yang harus dibayar menurut Rizal Ramli (ILC, Maret 2020) Rp 643 Triliun (cicilan Rp 351 T, bunga Rp 295 T). Mengalahkan gabungan anggaran Kementerian Pertahanan, Rp 131,2 T, PUPR, Rp 111,8 T, Polri, Rp 104 T, Kemendag, Rp 65,1 T, Kemsos, Rp 62,8 T, Kesehatan, Rp 57,4 T, Perhubungan, Rp 42,7 T, dan Pendidikan dan Kebudayaan Rp 35,7 T.
Tidakkah itu sangat membebani? Anggaran habis hanya untuk membayar cicilan dan bunga utang. Tidakkah itu harus dikaji ulang, mengingat Indonesia saat ini harus mengeluarkan dana Rp 405,2 T untuk penanggulangan Covid-19?. Sangat logis, apabila pemerintah berunding dengan kreditur untuk menunda pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri tersebut, apalagi dalam sejarahnya utang itu banyak yang najis (odious debt)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar