Minggu, 17 Mei 2020

BK IX, KOMUNIKASI INTERNASIONAL



BK IX, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH KE-9, 18 MEI 2020, JAM 10.30 SD 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
PROPAGANDA INTERNASIONAL
Sepengetahuan saya propaganda itu adalah “perebutan pengaruh”, baik berupa bujukan, manipulasi/tipuan, perang urat syaraf, dan terutama via paksaan, dalam hubungan, interaksi, atau komunikasi internasional. Dan dalam sejarahnya, pada umumnya selalu dihubungkan dengan “politik, militer, dan ideologi”.
Dalam perang dingin (cold war) yang berkecamuk/tampil pasca PD II, dua kekuatan raksasa, yakni AS dan Uni Soviet, dengan gencar, dengan segala kekuatannya berupaya menarik negara-negara lain agar ikut dalam blok atau orbitnya. AS yang berideologi “Liberal-Kapitalis”, dengan segala kemampuannya, menarik-narik negara lain, agar ikut dalam ideologinya. Sebaliknya Uni Soviet yang berideologi “Sosialis-Komunis”, melakukan hal yang sama, yakni menarik-narik negara lain masuk alirannya. Terjadilah persaingan, atau tepatnya perang ideologi antara mereka, yang dalam perkembangannya melibatkan “militer, persenjataan, dan lain-lain alat kekerasan fisik” sebagai instrumennya.
Kedua pihak saling berlomba menciptakan senjata-senjata canggih, yang semakin lama, semakin dahsyat, dan mengerikan daya bunuhnya. Negara-negara lain, terutama yang sudah ikut bloknya diseret-seret untuk terus memperbaharui dan meningkatkan persenjataannya. Begitu pula negara-negara yang belum masuk bloknya, dengan segala cara, termasuk dengan mengancam/menakut-nakuti dengan senjata tersebut, agar ikut dalam persekutuannya.
Singkatnya kedua raksasa demikian saling berebut pengaruh. Dengan segala metode dan media mereka menempuhnya. Jadi  kata kuncinya adalah “berebut pengaruh”. Bagaimana mempengaruhi pihak,negara lain, agar ikut dalam kepentingannya.
Untuk memahami lebih lanjut dan seksama tentang propaganda, akan di deskripsikan tulisan SL Roy di bawah ini dengan tema “Propaganda dan Diplomasi” (hal 41 sd 48)
Istilah “propaganda” yang berasal dari Gereja Katolik Roma semula berarti penyebaran terbatas informasi dan kredo. Istilah itu sekarang digunakan dengan penekanan khusus pada media komunikasi massa. Meskipun demikian semua penyebarluasan ide-ide tidak bisa disebut propaganda.
Ada beberapa definisi propaganda. Setelah mempelajari definisi-definisi ini dengan baik, Terrence Qualter mendefinisikannya sebagai “…usaha yang disengaja oleh beberapa individu atau kelompok melalui pemakaian instrument komunikasi dengan maksud bahwa pada situasi tertentu reaksi dari mereka yang dipengaruhi adalah seperti apa yang diinginkan oleh sang propagandis… Dalam kata-kata “usaha yang disengaja” terletak kunci dari gagasan propaganda. Ini adalah satu hal yang menandai propaganda dari non propaganda. Oleh karena itu tampaknya jelas bahwa tiap tindakan promosi hanya bisa menjadi propaganda bilamana itu menjadi bagian dari kampanye yang disengaja untuk menghasilkan aksi melalui kontrol sikap. Dalam definisi ini penekanan diletakkan pada tujuan mengubah sikap, opini dan tingkah laku pihak lain dengan menggunakan metode komunikasi. Oleh karena itu tujuan propaganda, menurut definisi ini, adalah untuk membujuk sasaran agar menerima pandangan si propagandis. Karenanya, gagasan yang disebarkan tak bisa dihitung secara ilmiah guna sampai pada sebuah kebenaran. Isi propaganda jarang yang benar sepenuhnya, meski juga tidak sepenuhnya palsu, seperti yang sering di duga[1].
II
Kegiatan hubungan masyarakat dan propaganda telah menjadi pembantu bagi profesi diplomasi dan perang sejak profesi itu muncul. Negara-negara telah banyak yang menyadari bahwa propaganda yang efektif suatu ketika bisa lebih berhasil dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan daripada pemusnahan kekuatan-kekuatan yang bermusuhan atau pendudukan atau blockade wilayah musuh. Dan selama objek propaganda adalah untuk meghasilkan suatu tindakan, simbol-simbol yang dipakai dalam proses propaganda harus dikaitkan erat dengan tindakan.
Tujuan propaganda adalah untuk mempengaruhi pendapat dan mendorong munculnya suatu aksi di antara para sasarannya. Ia tak tertarik untuk mendidik manusia, yang menjadi sasaran propagandanya, untuk meningkatkan atau memperbaiki sikap tetapi mengembangkan pendapat di antara mereka yang meskipun hanya berlangsung singkat, bisa cukup untuk mendukung tindakan yang diinginkan pada saat yang kritis. Tipe propaganda seperti ini telah selalu menjadi alat yang memudahkan diplomasi.
Tetapi propaganda hanya bisa mendukung diplomasi apabila dilakukan dengan tepat. Diplomasi melalui komunikasi transnasional atau propaganda apabila tidak didukung oleh pengetahuan yang sempurna tentang psikologi manusia yang terlibat, sering gagal memperoleh hasil yang diinginkan, atau bahkan menimbulkan hasil yang berkebalikan, akibat pengetahuan yang kurang sempurna tentang sistem yang digunakan atau kesalahan pendekatan yang digunakan. Oleh karena itu sikap tidak bermusuhan sebagai pengganti dukungan negosiasi bisa mendorong tindakan agresi lebih jauh karena menciptakan kesan lemah.
Meskipun pendekatan yang dipakai sama, tetapi keadaan berbeda, bisa menciptakan hasil yang sebaliknya, bisa di lihat dari kejadian berikut. Woodrow Wilson berusaha untuk menyeru rakyat Jerman agar mempengaruhi para pemimpinnya. Rumusan Empat Belas Pasalnya yang terknal, yang akhirnya diterima sebagai dasar perlucutan senjata dan perundingan damai digunakan sebagai sarana untuk membentuk pendapat umum dunia. Usahanya untuk membujuk negara-negara anggota Central Powers agar tunduk pada Empat Belas Pasal bisa berhasil. Tetapi ketika hal itu diterapkan di Konferensi Perdamaian Paris dengan menyeru rakyat Italia agar menekan Orlando, PM Italia, gagal. Dalam banyak kasus lain, upaya menyeru rakyat suatu negara untuk menentang pemimpinnya hanya berakibat munculnya dukungan dukungan konsolidasi terhadap penguasa atau membuat rakyat marah karena hal itu dianggap sebagai campur tangan yang tidak pada tempatnya atas urusan dalam negeri mereka.
Di sini perlu diperhatikan bahwa salah satu aturan utama diplomasi, baik lama maupun baru, adalah bahwa diplomat jangan berusaha untuk mencampuri urusan dalam negeri negara yang ia tempati dengan cara apapun. Aturan ini belum pernah diikuti dengan seksama. Tetapi sementara pada zaman dulu diplomat tidak berusaha membuat pernyataan terbuka mengenai gagasannya untuk mempengaruhi pendapat umum negara lain, diplomasi baru telah membuat hal itu sebagai nilai untuk membenuk pendapat umum di negara lain melalui berbagai cara termasuk propaganda.
III
Pertengahan kedua dari abad XIX menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan psikologi sebagai disiplin studi yang penting. Masa itu juga lambat laun menyadari bahwa jiwa manusia bias dipengaruhi dengan menggunakan pendekatan psikologis yang tepat. Penerapan khusus dari pengetahuan keilmujiwaan yang baru pada bidang politik dan hubungan internasional dimulai tak jauh dari saaat mulainya Perang Dunia I. usaha tersebut memperoleh dorongan dari propaganda yang ekstensif pada Perang Dunia I. sejak itulah kemudian psikologi telah menjadi instrument penting diplomasi.
Meskipun propaganda telah diakui sebagai alat diplomasi yang penting sejak PD I, menurut Nicholson, Canning-lah yang pertama kali mengakui kemanjuran memobilisasi pendapat umum di negara lain pada tahun 1826. Ia menyebut metoda propaganda ini sebagai “artileri rangsangan yang mematikan”. Pangeran Metternich di lain pihak mengejek kebijaksanaan berbicara secara langsung pada masalah negara lain ini dan menyebutnya “pretense yang salah letak dalam seorang negarawan”
Propaganda pada awalnya tidak diakui sebagai instrument diplomasi yang sangat efektif, sebab dalam sebagian besar masyarakat, massa pada umumnya tetap apatis terhadap setiap isu politik yang tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Hanya kaum elitlah yang terlibat dalam politik. Sistem komunikasi juga belum baik karena hanya sedikit informasi yang bisa diserap dari luar negeri. Oleh karena itu suatu imbauan kepada massa suatu negara lain melalui sistim komunikasi yang sulit, dimana pihak yang mencoba mempengaruhi tidak mempunyai pengaruh yang menentukan dalam pembuatan keputusan, pada prakteknya tidak berguna. Gambaran itu telah berubah sepenuhnya dengan pertumbuhan dan perkembangan politik massa-dan dimensi psikologis dan pendapat umum dari politik luar negeri menjadi semakin penting. Sesuai dengan keterlibatan massa dalam politik pemerintah tidak lagi menempatkan pilihannya pada persahabatan atau permusuhan, hadiah atau ancaman, secara rahasia kepada para diplomat saja. Pemerintah juga mengungkapkannya melalui konperensi pers, wawancara dengan wartawan asing, melalui diplomat, atau metode propaganda lainnya untuk mempengaruhi sikap seluruh penduduk negara lain atau paling tidak sebagian atau bagian yang mudah dipengaruhi dari massa. K.J. Holsti telah menuliskan sebuah contoh seperti itu. “Selama tahun 1974, junta militer di Chili menyewa sebuah perusahaan humas Amerika di New York untuk menyusun program guna mengubah gambaran bahwa negara itu sangat tak disukai Amerika. Tindakan ini ada lainnya, khas; sekarang ada lebih 400 lembaga yang aktif di Amerika serikat dalam propaganda atas nama pemerintah asing. Sebagain besar dari lembaga itu berhubungan dengan peningkatan turisme dan perdagangan, tetapi yang lainnya mempunyai misi politik yang bebas. Tugasnya adalah untuk mempengaruhi segmen penduduk tertentu dengan harapan ini akan, pada gilirannya ananti, mempengaruhi program-program pemerintah.
IV
Sejak propaganda diterapkan dan diakui sebagai alat diplomasi yang penting terdapat kontroversi yang sengit menegnai hakikat propaganda itu, misalnya, apakah propaganda semacam itu harus didasarkan pada kebenaran mutlak atau setengah benar, atau bahkan kepalsuan, apabila perlu, dan sesuai dengan tuntutan situasi. Lord Canning mempunyai pendapat bahwa itu harus didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Tetapi para negarawan abd XIX tidak selalu menaati ketentuan ini. Dengan demikian, Bismarck dalam kasus telegram Elmsnya yang terkenal tidak ragu-ragu untuk dengan sengaja mengunah isinya untuk membakar pendapat umum, baik di Perancis maupun Prusia, yang akhirnya menyulut Perang Perancis-Prusia pada tahun 1870-1871.
Pada saat membicarakan masalah penerapan kebenaran dalam propaganda haruslah selalu diingat dalam hati bahwa suatu ambiguitas tertentu biasanya ditemui dalam propaganda yang merupakan pra-kondisi keefektipannya dikarenakan sasarannya yang heterogen. Dalam berhubungan dengan masalah kebenaran dalam propaganda untuk memperoleh keberhasilan diplomatic ini, Quincy Wright memperhatikan, “propaganda tidak sama dengan kebenaran, atau argument yang tidak fair atau seruan yang tidak berharga. Ia tidak immoral tetapi amoral. Masalah kebenaran sesungguhnya, keterus terangan, dan nilai-nilai yang baik adalah tidak relevan dengan propagandis, di luar dari bagaimanapun mereka mungkin mengabaikannya, dalam jangka Panjang, mencegah keefektpan propaganda. Tujuan propagandis adalah untuk memperoleh hasil dan ia menilai validitas metodenya dengan standar hasil itu. Propaganda transnasional, yang menyatakan secara tidak langsung suatu audiens yang curiga, yang disebabkan oleh harapan umum dari konflik dalam hubungan internasuionak, merupakan bisnis yang rumit. Ia akan hamoir pasti gagal atau diketahui sebelumnya, kecuali sang propagandis mempunyai informasi yang akurat tentang sasarannya dan memperoleh keyakinan mereka sebelum ia berusaha mempengaruhi pendapat mereka.
Meskipun demikia, Ivo D. Duchacek berpendapat bahwa propaganda yang penuh kebenaran akhirnya tidak akan berhasil. Ia mengatakan, “propaganda adalah metode dalam dirinya sendiri dan merupakan sebuah unsur penyeimbang lain. Dalam seluruh kasus ini keefektifannya melahirkan hubungan langsung kepada kebenarannya. Taktik “Big Lie” (kebohongan besar) yang dipuji mungkin hanya berlangsung selama sasaran (audiens) tidak bias membedakan kata-kata dengan fakta. Kontak yang terjadi antara audiens dengan kenyataan yang berlawanan akan membuat propaganda sia-sia.
Adalah benar bahwa bila suatu kekuatan menyatakan untuk menerima suatu rencana tindakan yang ia tidak ada niat untuk mematuhinya, ia mengarah kepada kehilangan kredibilitasnya. Misalnya, selama Perang Dunia I Inggris dan sekutunya menyatakan bahwa mereka bertempur melawan negara-negara AS untuk membuat dunia aman bagi demokrasi. Tetapi sesudah penyelesian perang yang berhasil, Inggris, Perancis, dan sebagainya tidak memelihara janjinya. Sebagai ganti dari pemberian kebebasan dan hak demokrasi kepada negara-negara jajahannya di Asia dan Afrika, mereka menambah daerah-daerah bar uke dalam kekuasaannya. Begitu pula selama Perang Dunia II, janji yang sama dinyatakan, ini gagal untuk meyakinkan penduduk negara-negara jajahannya, dan negara-negara Sekutu tidak memperoleh kerja sama mereka yang tulus seperti yang mereka peroleh pada perang sebelumnya.
Selama tahun-tahun antara perang, kecenderungan untuk menggunakan propaganda, yang sering jauh dari kebenaran, bagi maksud-maksud diplomatik lambat laun memperoleh dasar yang kuat. Dalam hal ini Fasis Italia dan Nazi Jerman, khususnya Jerman Hitler, memainkan peranan yang unggul, Hitler membuat studi yang menyeluruh terhadap masalah yang ada dan menuliskan kesimpulannya dalam bagian awal bukunya Mein Kampf. Ia memberi prioritas besar pada pembuatan propaganda melalui radio, dan menyatakan dengan tegas bahwa massa lebih mudah disetir dengan suara manusia, yang bisa disiarkan radio, daripada dengan sarana komunikasi lain. Menurutnya propaganda supaya berhasil harus mencoba menimbulkan emosi saja melalui “menginspirasikan fanatisme dan kadang-kadang histeria”. Semua seluk-beluk kehalusan bahasa dan seruan kepada intelektual harus dihindari, dan penekanan harus hanya ditempatkan pada “baik dan buruk, cinta dan benci, benar dan salah, kebenaran dan kebohongan, jangan sekali-kali pada setengah-setengah”. Dan di atas semuanya, Hitler menegaskan bahwa untuk mengharapkan propaganda yang sukses intensitas kebohongan harus banyak sekali. Menurutnya adalah tidak bertujuan kalau hanya mengatakan sedikit kebohongan: suatu kebohongan propaganda harus ber proporsi besar untuk menghilangkan kesan curiga yang dijumpai. Dengan kata lain kebohongan itu harus “Big Lie”
Dengan perkembangan pesat mas media, propaganda telah menjadi salah satu dari instrument utama diplomasi. Pembagian besar dunia ke dalam dua kamp ideologi yang berbeda dan eksistensi sejumalh besar negara non blok, telah sangat meningkatkan nilai propaganda sebagai alat diplomasi. Kedua blok bersaingan satu sama lain dalam memperoleh sebanyak mungkin simpati kepada ideologi mereka masing-masing, dan melalui propaganda yang cerdik meminta negara-negara yang ragu-ragu agar tidak mengikuti blok musuh.
PERTANYAAN
·         Apa beda propagandis dengan provokator. Jelaskan secara sistimatis.
·         Apakah Buzzer yang popular dewasa ini dapat dikategorikan dengan propaganda? Uraikan secara runtut
·         Seorang propagandis biasanya adalah orang yang piawai pidato. Bagaimana pendapat saudara, jelaskan secara logis dan sistimatis.
·         Hitler adalah propagandis yang sangat terkenal. Jelaskan siapa Hitler, dan mengapa disebut demikian?
·         Apa yang dimaksud dengan Big Lie? Jelaskan secara seksama.


[1] Bandingkan dengan sales-sales yang menjajakan dagangannya setiap hari ke rumah atau tempat kita. Mereka begitu hebat, kuat, dan piawai, agar kita membeli dagangannya. Dengan segala kemampuannya, walau kita sesungguhnya tidak menyukai komoditas yang dipasarkannya, namun karena ia dapat mempengaruhi kita, kitapun terjerat dalam rayauannya, yakni kita terpaksa menurutinya. Apakah ini juga propaganda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar