BK IX, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH KE-9, 18 MEI 2020, JAM 10.30 SD 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD
HUTAPEA
∏
PROPAGANDA
INTERNASIONAL
Sepengetahuan
saya propaganda itu adalah “perebutan
pengaruh”, baik berupa bujukan, manipulasi/tipuan, perang urat syaraf, dan
terutama via paksaan, dalam hubungan, interaksi, atau komunikasi internasional.
Dan dalam sejarahnya, pada umumnya selalu dihubungkan dengan “politik, militer,
dan ideologi”.
Dalam
perang dingin (cold war) yang berkecamuk/tampil
pasca PD II, dua kekuatan raksasa, yakni AS dan Uni Soviet, dengan gencar,
dengan segala kekuatannya berupaya menarik negara-negara lain agar ikut dalam
blok atau orbitnya. AS yang berideologi “Liberal-Kapitalis”, dengan segala
kemampuannya, menarik-narik negara lain, agar ikut dalam ideologinya.
Sebaliknya Uni Soviet yang berideologi “Sosialis-Komunis”, melakukan hal yang
sama, yakni menarik-narik negara lain masuk alirannya. Terjadilah persaingan,
atau tepatnya perang ideologi antara
mereka, yang dalam perkembangannya melibatkan “militer, persenjataan, dan
lain-lain alat kekerasan fisik” sebagai instrumennya.
Kedua
pihak saling berlomba menciptakan senjata-senjata canggih, yang semakin lama, semakin
dahsyat, dan mengerikan daya bunuhnya. Negara-negara lain, terutama yang sudah
ikut bloknya diseret-seret untuk terus memperbaharui dan meningkatkan
persenjataannya. Begitu pula negara-negara yang belum masuk bloknya, dengan
segala cara, termasuk dengan mengancam/menakut-nakuti dengan senjata tersebut, agar
ikut dalam persekutuannya.
Singkatnya
kedua raksasa demikian saling berebut pengaruh. Dengan segala metode dan media
mereka menempuhnya. Jadi kata kuncinya
adalah “berebut
pengaruh”. Bagaimana mempengaruhi pihak,negara lain, agar ikut
dalam kepentingannya.
Untuk
memahami lebih lanjut dan seksama tentang propaganda, akan di deskripsikan
tulisan SL Roy di bawah ini dengan
tema “Propaganda dan Diplomasi” (hal 41 sd 48)
∏
Istilah
“propaganda” yang berasal dari Gereja Katolik Roma semula berarti penyebaran terbatas
informasi dan kredo. Istilah itu sekarang digunakan dengan penekanan khusus
pada media komunikasi massa.
Meskipun demikian semua penyebarluasan ide-ide tidak bisa disebut propaganda.
Ada
beberapa definisi propaganda. Setelah mempelajari definisi-definisi ini dengan
baik, Terrence Qualter mendefinisikannya sebagai “…usaha yang
disengaja oleh beberapa individu atau kelompok melalui pemakaian instrument komunikasi dengan maksud
bahwa pada situasi tertentu reaksi dari mereka yang dipengaruhi adalah seperti
apa yang diinginkan oleh sang propagandis… Dalam kata-kata “usaha yang disengaja”
terletak kunci dari gagasan propaganda. Ini adalah satu hal yang menandai
propaganda dari non propaganda. Oleh karena itu tampaknya jelas bahwa tiap
tindakan promosi hanya bisa menjadi propaganda bilamana itu menjadi bagian dari
kampanye yang disengaja untuk menghasilkan aksi melalui kontrol sikap. Dalam
definisi ini penekanan diletakkan pada tujuan mengubah sikap, opini dan tingkah
laku pihak lain dengan menggunakan metode komunikasi. Oleh karena itu tujuan
propaganda, menurut definisi ini, adalah untuk membujuk sasaran agar menerima
pandangan si propagandis. Karenanya, gagasan yang disebarkan tak bisa dihitung secara ilmiah
guna sampai pada sebuah kebenaran. Isi propaganda jarang yang benar sepenuhnya,
meski juga tidak sepenuhnya palsu, seperti yang sering di duga[1].
II
Kegiatan
hubungan masyarakat dan propaganda telah menjadi pembantu bagi profesi
diplomasi dan perang sejak profesi itu muncul. Negara-negara telah banyak yang
menyadari bahwa propaganda yang efektif suatu ketika bisa lebih berhasil dalam
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan daripada pemusnahan kekuatan-kekuatan
yang bermusuhan atau pendudukan atau blockade wilayah musuh. Dan selama objek
propaganda adalah untuk meghasilkan suatu tindakan, simbol-simbol yang dipakai
dalam proses propaganda harus dikaitkan erat dengan tindakan.
Tujuan
propaganda adalah untuk mempengaruhi pendapat dan mendorong munculnya suatu
aksi di antara para sasarannya. Ia tak tertarik untuk mendidik manusia, yang
menjadi sasaran propagandanya, untuk meningkatkan atau memperbaiki sikap tetapi
mengembangkan pendapat di antara mereka yang meskipun hanya berlangsung
singkat, bisa cukup untuk mendukung tindakan yang diinginkan pada saat yang
kritis. Tipe propaganda seperti ini telah selalu menjadi alat yang memudahkan
diplomasi.
Tetapi
propaganda hanya bisa mendukung diplomasi apabila dilakukan dengan tepat.
Diplomasi melalui komunikasi transnasional atau propaganda apabila tidak
didukung oleh pengetahuan yang sempurna tentang psikologi manusia yang
terlibat, sering gagal memperoleh hasil yang diinginkan, atau bahkan
menimbulkan hasil yang berkebalikan, akibat pengetahuan yang kurang sempurna
tentang sistem yang digunakan atau kesalahan pendekatan yang digunakan. Oleh
karena itu sikap tidak bermusuhan sebagai pengganti dukungan negosiasi bisa
mendorong tindakan agresi lebih jauh karena menciptakan kesan lemah.
Meskipun
pendekatan yang dipakai sama, tetapi keadaan berbeda, bisa menciptakan hasil
yang sebaliknya, bisa di lihat dari kejadian berikut. Woodrow Wilson berusaha
untuk menyeru rakyat Jerman agar mempengaruhi para pemimpinnya. Rumusan Empat
Belas Pasalnya yang terknal, yang akhirnya diterima sebagai dasar perlucutan
senjata dan perundingan damai digunakan sebagai sarana untuk membentuk pendapat
umum dunia. Usahanya untuk membujuk negara-negara anggota Central Powers agar
tunduk pada Empat Belas Pasal bisa berhasil. Tetapi ketika hal itu diterapkan
di Konferensi Perdamaian Paris dengan
menyeru rakyat Italia agar menekan Orlando,
PM Italia, gagal. Dalam banyak kasus lain, upaya menyeru rakyat suatu negara
untuk menentang pemimpinnya hanya berakibat munculnya dukungan dukungan
konsolidasi terhadap penguasa atau membuat rakyat marah karena hal itu dianggap
sebagai campur tangan yang tidak pada tempatnya atas urusan dalam negeri
mereka.
Di
sini perlu diperhatikan bahwa salah satu aturan utama diplomasi, baik lama
maupun baru, adalah bahwa diplomat jangan berusaha untuk mencampuri urusan
dalam negeri negara yang ia tempati dengan cara apapun. Aturan ini belum pernah
diikuti dengan seksama. Tetapi sementara pada zaman dulu diplomat tidak
berusaha membuat pernyataan terbuka mengenai gagasannya untuk mempengaruhi
pendapat umum negara lain, diplomasi baru telah membuat hal itu sebagai nilai
untuk membenuk pendapat umum di negara lain melalui berbagai cara termasuk
propaganda.
III
Pertengahan
kedua dari abad XIX menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan psikologi sebagai disiplin studi yang
penting. Masa itu juga lambat laun menyadari bahwa jiwa manusia bias
dipengaruhi dengan menggunakan pendekatan psikologis yang tepat. Penerapan
khusus dari pengetahuan keilmujiwaan yang baru pada bidang politik dan hubungan
internasional dimulai tak jauh dari saaat mulainya Perang Dunia I. usaha
tersebut memperoleh dorongan dari propaganda yang ekstensif pada Perang Dunia
I. sejak itulah kemudian psikologi telah menjadi instrument penting diplomasi.
Meskipun
propaganda telah diakui sebagai alat diplomasi yang penting sejak PD I, menurut
Nicholson,
Canning-lah yang pertama kali mengakui kemanjuran memobilisasi pendapat
umum di negara lain pada tahun 1826. Ia menyebut metoda propaganda ini sebagai
“artileri
rangsangan yang mematikan”. Pangeran Metternich di lain pihak mengejek kebijaksanaan berbicara secara
langsung pada masalah negara lain ini dan menyebutnya “pretense
yang salah letak dalam seorang negarawan”
Propaganda
pada awalnya tidak diakui sebagai instrument diplomasi yang sangat efektif,
sebab dalam sebagian besar masyarakat, massa pada umumnya tetap apatis terhadap
setiap isu politik yang tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Hanya
kaum elitlah yang terlibat dalam politik. Sistem komunikasi juga belum baik
karena hanya sedikit informasi yang bisa diserap dari luar negeri. Oleh karena
itu suatu imbauan kepada massa suatu negara lain melalui sistim komunikasi yang
sulit, dimana pihak yang mencoba mempengaruhi tidak mempunyai pengaruh yang menentukan
dalam pembuatan keputusan, pada prakteknya tidak berguna. Gambaran itu telah
berubah sepenuhnya dengan pertumbuhan dan perkembangan politik massa-dan
dimensi psikologis dan pendapat umum dari politik luar negeri menjadi semakin
penting. Sesuai dengan keterlibatan massa dalam politik pemerintah tidak lagi
menempatkan pilihannya pada persahabatan atau permusuhan, hadiah atau ancaman,
secara rahasia kepada para diplomat saja. Pemerintah juga mengungkapkannya
melalui konperensi pers, wawancara dengan wartawan asing, melalui diplomat,
atau metode propaganda lainnya untuk mempengaruhi sikap seluruh penduduk negara
lain atau paling tidak sebagian atau bagian yang mudah dipengaruhi dari massa. K.J.
Holsti telah menuliskan sebuah contoh seperti itu. “Selama tahun 1974, junta militer di Chili menyewa sebuah
perusahaan humas Amerika di New York
untuk menyusun program guna mengubah gambaran bahwa negara itu sangat tak
disukai Amerika. Tindakan ini ada lainnya, khas; sekarang ada lebih 400 lembaga yang aktif di Amerika
serikat dalam propaganda atas nama pemerintah asing. Sebagain besar dari lembaga
itu berhubungan dengan peningkatan turisme dan perdagangan, tetapi yang lainnya
mempunyai misi politik yang bebas. Tugasnya adalah untuk mempengaruhi segmen
penduduk tertentu dengan harapan ini akan, pada gilirannya ananti, mempengaruhi
program-program pemerintah.
IV
Sejak
propaganda diterapkan dan diakui sebagai alat diplomasi yang penting terdapat
kontroversi yang sengit menegnai hakikat propaganda itu, misalnya, apakah
propaganda semacam itu harus didasarkan pada kebenaran mutlak atau setengah
benar, atau bahkan kepalsuan, apabila perlu, dan sesuai dengan tuntutan
situasi. Lord Canning mempunyai pendapat bahwa itu harus didasarkan pada
kebenaran dan keadilan. Tetapi para negarawan abd XIX tidak selalu menaati
ketentuan ini. Dengan demikian, Bismarck dalam kasus telegram Elmsnya yang
terkenal tidak ragu-ragu untuk dengan sengaja mengunah isinya untuk membakar
pendapat umum, baik di Perancis maupun Prusia, yang akhirnya menyulut Perang
Perancis-Prusia pada tahun 1870-1871.
Pada
saat membicarakan masalah penerapan kebenaran dalam propaganda haruslah selalu
diingat dalam hati bahwa suatu ambiguitas tertentu biasanya ditemui dalam
propaganda yang merupakan pra-kondisi keefektipannya dikarenakan sasarannya
yang heterogen. Dalam berhubungan dengan masalah kebenaran dalam propaganda
untuk memperoleh keberhasilan diplomatic ini, Quincy Wright memperhatikan,
“propaganda tidak sama dengan kebenaran, atau argument yang tidak fair atau
seruan yang tidak berharga. Ia tidak immoral tetapi amoral. Masalah kebenaran
sesungguhnya, keterus terangan, dan nilai-nilai yang baik adalah tidak relevan
dengan propagandis, di luar dari bagaimanapun mereka mungkin mengabaikannya,
dalam jangka Panjang, mencegah keefektpan propaganda. Tujuan propagandis adalah
untuk memperoleh hasil dan ia menilai validitas metodenya dengan standar hasil
itu. Propaganda transnasional, yang menyatakan secara tidak langsung suatu
audiens yang curiga, yang disebabkan oleh harapan umum dari konflik dalam
hubungan internasuionak, merupakan bisnis yang rumit. Ia akan hamoir pasti
gagal atau diketahui sebelumnya, kecuali sang propagandis mempunyai informasi
yang akurat tentang sasarannya dan memperoleh keyakinan mereka sebelum ia
berusaha mempengaruhi pendapat mereka.
Meskipun
demikia, Ivo D. Duchacek berpendapat bahwa propaganda yang penuh kebenaran
akhirnya tidak akan berhasil. Ia mengatakan, “propaganda adalah metode dalam
dirinya sendiri dan merupakan sebuah unsur penyeimbang lain. Dalam seluruh
kasus ini keefektifannya melahirkan hubungan langsung kepada kebenarannya.
Taktik “Big Lie” (kebohongan besar) yang dipuji mungkin hanya berlangsung
selama sasaran (audiens) tidak bias membedakan kata-kata dengan fakta. Kontak
yang terjadi antara audiens dengan kenyataan yang berlawanan akan membuat
propaganda sia-sia.
Adalah
benar bahwa bila suatu kekuatan menyatakan untuk menerima suatu rencana
tindakan yang ia tidak ada niat untuk mematuhinya, ia mengarah kepada kehilangan
kredibilitasnya. Misalnya, selama Perang Dunia I Inggris dan sekutunya
menyatakan bahwa mereka bertempur melawan negara-negara AS untuk membuat dunia
aman bagi demokrasi. Tetapi sesudah penyelesian perang yang berhasil, Inggris,
Perancis, dan sebagainya tidak memelihara janjinya. Sebagai ganti dari
pemberian kebebasan dan hak demokrasi kepada negara-negara jajahannya di Asia
dan Afrika, mereka menambah daerah-daerah bar uke dalam kekuasaannya. Begitu
pula selama Perang Dunia II, janji yang sama dinyatakan, ini gagal untuk
meyakinkan penduduk negara-negara jajahannya, dan negara-negara Sekutu tidak
memperoleh kerja sama mereka yang tulus seperti yang mereka peroleh pada perang
sebelumnya.
Selama
tahun-tahun antara perang, kecenderungan untuk menggunakan propaganda, yang
sering jauh dari kebenaran, bagi maksud-maksud diplomatik lambat laun
memperoleh dasar yang kuat. Dalam hal ini Fasis
Italia dan Nazi Jerman, khususnya Jerman Hitler, memainkan peranan yang
unggul, Hitler membuat studi yang menyeluruh terhadap masalah yang ada dan
menuliskan kesimpulannya dalam bagian awal bukunya Mein Kampf.
Ia memberi prioritas besar pada pembuatan propaganda melalui radio, dan
menyatakan dengan tegas bahwa massa lebih
mudah disetir dengan suara manusia, yang bisa disiarkan radio, daripada dengan sarana
komunikasi lain. Menurutnya propaganda supaya berhasil
harus mencoba menimbulkan emosi saja melalui “menginspirasikan fanatisme dan
kadang-kadang histeria”. Semua seluk-beluk kehalusan bahasa dan seruan kepada intelektual
harus dihindari, dan penekanan harus hanya ditempatkan pada “baik dan buruk,
cinta dan benci, benar dan salah, kebenaran dan kebohongan, jangan sekali-kali
pada setengah-setengah”. Dan di atas semuanya, Hitler menegaskan bahwa untuk
mengharapkan propaganda yang sukses intensitas kebohongan harus banyak sekali.
Menurutnya adalah tidak bertujuan kalau hanya mengatakan sedikit kebohongan:
suatu kebohongan propaganda harus ber proporsi besar untuk menghilangkan kesan
curiga yang dijumpai. Dengan kata lain kebohongan itu harus “Big Lie”
Dengan
perkembangan pesat mas media, propaganda telah menjadi salah satu dari
instrument utama diplomasi. Pembagian besar dunia ke dalam dua kamp ideologi
yang berbeda dan eksistensi sejumalh besar negara non blok, telah sangat
meningkatkan nilai propaganda sebagai alat diplomasi. Kedua blok bersaingan
satu sama lain dalam memperoleh sebanyak mungkin simpati kepada ideologi mereka
masing-masing, dan melalui propaganda yang cerdik meminta negara-negara yang
ragu-ragu agar tidak mengikuti blok musuh.
PERTANYAAN
·
Apa beda propagandis dengan provokator.
Jelaskan secara sistimatis.
·
Apakah Buzzer yang popular dewasa ini
dapat dikategorikan dengan propaganda? Uraikan secara runtut
·
Seorang propagandis biasanya adalah orang
yang piawai pidato. Bagaimana pendapat saudara, jelaskan secara logis dan
sistimatis.
·
Hitler adalah propagandis yang sangat
terkenal. Jelaskan siapa Hitler, dan mengapa disebut demikian?
·
Apa yang dimaksud dengan Big Lie? Jelaskan
secara seksama.
[1]
Bandingkan dengan sales-sales yang
menjajakan dagangannya setiap hari ke rumah atau tempat kita. Mereka begitu
hebat, kuat, dan piawai, agar kita membeli dagangannya. Dengan segala
kemampuannya, walau kita sesungguhnya tidak menyukai komoditas yang
dipasarkannya, namun karena ia dapat mempengaruhi kita, kitapun terjerat dalam
rayauannya, yakni kita terpaksa menurutinya. Apakah ini juga propaganda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar