MS I , PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA
KULIAH PERDANA, SABTU/6 JUNI 2020, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, UNITAS, PALEMBANG
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat; bacalah materi kuliah perdana ini dengan
seksama. Bila ada hal-hal yang tidak dipahami atau tanggapan, tulis via WA group, dan akan saya jawab sesuai waktu yang diberikan (jam
10.00-11.30). Tanggapan ini sekaligus pengganti daftar hadir (absen). Selanjutnya
jawab pertanyaan-pertanyaan yang tercantum di bagian akhir, dan dikirimkan ke
WA atau e mail saya, reinhardhutapea59@gmail.com
∏
PENDAHULUAN
DALIH
MENGAPA DISEBUT PROSES LEGISLATIF
Mata kuliah ini tidak hanya
dipelajari dalam Ilmu Pemerintahan/Politik, melainkan juga dalam ilmu-ilmu
lain. Dalam Ilmu Administrasi Publik disebut
Kebijakan Publik (Public policy). Dalam Ilmu Hukum disebut dengan Teknik
Perundang-undangan. Meski ada perbedaan, namun substansinya tetap sama, yakni
Undang-Undang.
Dalam ilmu politik atau Ilmu
Pemerintahan, sebagaimana yang kita pelajari saat ini disebut Proses legislatif,
……Ada frasa, kata, atau verba “p r o s e s”. Frasa yang tidak sekedar harfiah,
tetapi suatu “konsep” dalam ilmu politik behavior
yang disebut dengan “sistim politik”. Konsep yang dikembangkan pionir-pionir
pendekatan behavior, David Easton dan
Gabriel Almond,untuk membuat ilmu
politik lebih ilmiah.
Sebaliknya dalam Ilmu Hukum masih tetap
didekati dari “pendekatan tradisional dan legal”, yakni melalui pendekatan “kelembagaan”.
Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan pendekatan-pendekatan itu dapat dibaca
dalam buku David Easton, Sistim
politik, SV. Varma, Teori Politik
Modern, KJ Holsti, Politik Internasional, dan lain-lain buku-buku teori/ilmu
politik
Frasa, kata, atau verba p r o s e s
menurut Easton maupun Almond adalah “Sistim Politik”. Sering
juga disebut dengan “black box”. Proces is political system, (proses
adalah sistim politik). Maksudnya adalah bahwa dalam sistim politik itu ada
proses, yakni input (masukan), yakni
(1) tuntutan dan (2) dukungan di p r o s e s dalam sistim politik/black box, lalu menghasilkan output, yakni (1) putusan dan (2)
kebijakan.
Ilustrasinya adalah seperti ini…
Ketua Rukun Tetangga (RT) mengundang warganya untuk membicaran sesuatu,
katakanlah untuk meningkatkan keamanan dilingkungannya. Dalam pertemuan itu Ketua
RT meminta tanggapan (tuntutan dan dukungan) warga bagaimana sebaiknya agar
lingkungan tetap aman, tentram, dan jauh dari kejahatan.
Dalam pertemuan tersebut ketua RT harus
sungguh-sungguh menggali pendapat warganya. Begitu pula setiap warga harus
mengeluarkan pendapatnya. Tidak ada yang pasif apalagi berdiam diri, semua
harus berpendapat. Ketua RT sebagai pemimpin harus mendinamisir pertemuan, agar
aspirasi/keinginan setiap warga tertampung (tidak ada yang diabaikan).
Setelah itu, yakni setelah semua
pendapat, tanggapan, komentar, dan sejenisnya dikemukakan, dilakukanlah m u s y
a w a r a h, yakni urun-rembug untuk mencapai kesepakatan bersama (output/keputusan
dan Kebijakan).
Secara skematis dilukiskan dibawah
ini
Pola yang sesungguhnya bukan pola
yang baru, melainkan yang biasa-biasa saja. Pola-pola yang sudah lama
dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam masyarakat adat. Dalam
setiap acara adat dinegeri ini, pola demikian sudah lama diterapkan, yakni
selalu bermusyawarah atau urun rembug. Tidak ada yang memaksakan kehendak,
merekayasa, apalagi mengkebiri. Semua melalui kesepakatan bersama (konsensus). Dalam
bahasa populer (agar dibilang keren, gaul, atau ilmiah) disebut demokratis.
Frasa sakti yang sudah menjadi
mantera, tidak saja bagi ilmuwan politik/sosial, melainkan masyarakat pada
umumnya. Tiada insan yang tidak bicara demokrasi. Namun ketika ditanya apa
sesungguhnya substansi dan hakiki demokrasi itu, maka jawabannya 1001 macam
(tiada yang padu).
Pembahasan yang tak mungkin kita
lakukan dalam pengantar mata kuliah ini, karena tak akan habis-habisnya. Yang
jelas dan pasti mata kuliah ini di dasarkan pada persfektif sistim politik. Persfektif
sebagaimana sudah dilukiskan dalam bagan di atas. Artinya legislatif dilihat
sebagai sistim politik. Pertanyaannya:
·
Sudah
kah legislatif melaksanakan fungsinya sebagai sistem politik?
·
Atau supaya lebih menohok, pertanyaannya
adalah; sudah kah DPR, DPD, MPR, DPRD melaksanakan fungsinya sebagai lembaga
legislasi sebagaimana mestinya?
·
Tidakkah banyak out put (Undang-Undang) yang
dihasilkannya bermasalah?
·
Lalu
dimana posisinya dalam Pancasila dan UUD 1945?
Inilah masalah-masalah yang akan
dibahas dalam mata kuliah Proses Legislatif di Indonesia. Mata kuliah yang
seharusnya dapat ditempuh apabila sudah mengambil mata kuliah tentang
Ø Partai Politik,
Ø Pemilu, dan
Ø Lembaga legislatif
Dengan kata lain, para mahasiswa yang mengambil mata kuliah
ini sudah paham apa yang dimaksud dengan
Partai Politik, Pemilu, dan Lembaga Legislatif. Tiga instrument (tool) yang
menjadi unsur utama dalam sistim politik.
Tiga unsur demikian (Partai Politik,
Pemilu, dan Lembaga legislatif) pada umumnya sudah diajarkan dalam mata kuliah
“Pengantar Ilmu Politik”, seperti dalam bukunya Miriam Budiardjo (ed revisi),
2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia[1],
Jakarta, atau dalam bukunya Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta (cat; lihat di rak buku Pak Bastiar
Tambuh). Dalam Bahasa Inggris buku teksnya; …. Ada W. Finifter, 1983, Political Science: The States of the Discipline,
Bernard Susser, 1992, Approaches to the Study of Politics, Alan C. Isaak,1981, Scope
and Methods of Political Science, dan lain-lain (masih banyak)
Sebelum mahasiswa memahami (dengan
seksama) ketiga unsur demikian, dibawah ini secara popular akan dilampirkan
tiga artikel tentang eksistensi, masalah, dan scope mata kuliah ini., yakni ;
1. DPR, Pulau Terapung Di Lautan
Masyarakat.
2. Pilkada 2020, Pelembagaan kartel
Politik.
3. Pembonceng “Omnibus”
∏
Lamp
1
DPR,
PULAU TERAPUNG DI LAUTAN MASYARAKAT
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published
Waspada, 16 Okt 2019
Mereka
bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada
negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik
Satu dekade yang lalu,
Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PKS melakukan studi banding ke Partai
Komunis China (PKC). Kelima partai besar Indonesia ini berikhtiar
mengkomparasikan tentang sistim, pola, atau model pengelolaan partai yang
dipentaskan dinegeri tersebut. Negeri yang dikenal sebagai negeri komunis yang
bersistim satu partai, dengan yang berlangsung di Indonesia yang Pancasilais
dan menganut sistim multi partai.
Tiga kota yang menjadi
focus studi mereka, yakni Beijing, Shanghai, dan Guiyang. Di kota ini mereka
bak ilmuwan yang sedang melakukan riset, melihat secara langsung bagaimana PKC,
khususnya di tingkat akar rumput (grassroots)
mengimplementasikan tugas, fungsi, untuk mencapai tujuan partainya.
Dari penelusuran yang
dilakukan ternyata, “Cabang dan khususnya Ranting PKC” sangat berperan
ketimbang level diatasnya (tingkat Provinsi atau nasional, DPD/DPP. Mereka
bekerja di akar rumput sesuai tugas, fungsi, dan peran-peran partai yang lain.
Dengan kata lain, secara empiric, mereka mengimplementasikan fungsi-fungsi
partai politik, seperti fungsi “komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi,
rekrutmen dan lain-lain fungsi partai politik (Miriam Budiardjo 1975).
Lembaga
Disfungsional
Dengan cekatan
pengurus-pengurus partai tingkat cabang dan ranting mempraksis-empirikkan
pertemuan-pertemuan rutin, baik sesama pengurus, dan atau terutama dengan
masyarakat. Kantor-kantor partai mereka penuh dengan aktipitas, seperti membuat
perencanaan/planning, pengorganisasian/organizing, pelaksanaan/actuating, dan
pengawasan/controlling (POAC), sebagaimana layaknya biro modern.
Begitu pula kegiatan, aktipitas, dan
pengabdian ke tengah-tengah masyarakat. Mereka menyambangi, mendengar,
mengartikulasi, dan memberdayakan masyarakat. Mereka berkomunikasi
dengan/secara dua arah, dan mensosialisasikan apa yang menjadi kebijakan
partai. Sebaliknya , yakni sebagai timbal baliknya, mereka juga mendengar dan
menghimpun aspirasi/apa yang diinginkan masyarakat (agregasi dan artikulasi).
Tidak cukup disitu, yang
jauh lebih mengesankan adalah, dengan cekatan, pengurus-pengurus PKC demikian
mendorong/melatih/memberdayakan masyarakat akan vokasi/keahlian tertentu.
Masyarakat diberi pelatihan supaya mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kecerdasannya.
Dengan gesit, cekatan,
handal dan penuh semangat, pengurus-pengurus PKC membimbing
staf/karyawan/pengurus institusi-institusi lokal masyarakat di akar rumput,
seperti lembaga kesehatan masyarakat (disini puskesmas) supaya lebih
professional, meritokratis, efisien dan efektif melayani pasien-pasiennya.
Begitu pula dalam sektor
pertanian dipedesan, yang mayoritas masih merupakan sumber pendapatan utama
penduduk. Pengurus-pengurus ranting PKC, sangat cekatan membimbang dan
memberdayakan mereka. Bagaimana membudidayakan pertanian-peternakan supaya
lebih modern, canggih, memiliki nilai tambah, dan berhasil guna, menjadi pakem
pengurus-pengurus akar rumput PKC ini.
Tidak kurang fantastik
dan spektakulernya, adalah komitmen, kreatifitas, dan inovasi,
pengurus-pengurus ranting PKC memberdayakan usaha-usaha kecil dan menengah
(UKM) supaya sanggup bersaing di pasar internasional. Pengurus-pengurus partai
begitu piawai, tekun, kerja keras, bersemangat membimbang kalangan ini supaya
sanggup bersaing dan unggul di kancah global yang penuh tantangan. Terbukti
mereka sukses. Mereka merajai perdagangan dunia saat ini.
Ilustrasi-ilustrasi lain
masih dapat diuraikan sekian banyak/panjang lagi, seperti (misalnya) bagaimana
mereka mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) asing ke negaranya,
namun itu biarlah dilbahas di lain kesempatan. Yang jelas dan pasti
pengurus-pengurus PKC adalah sosok-sosok pilihan. Sosok yang lahir secara
alamiah dari justifikasi dan legitimasi masyarakat bawah. Tidak karena
privilese, privacy, deking/kenalan (nepotisme), karena punya duit, apalagi
karena pintar menjilat. Mereka sungguh professional, meritokrat dan legitimate.
Bagaimana dengan partai
politik Indonesia? Perbandingannya mungkin ibarat langit dan bumi. Dari
pengamatan atau penelitian sederhana dapat kita lihat bahwa partai-partai
dinegeri ini masih disfungsional. Kita tak paham apa yang mereka kerjakan
sehari-hari. Kantor-kantornya, khususnya kantor cabang, atau ranting nyaris
tanpa kegiatan-aktipitas berarti.
Kantor spanduk/papan
nama, dan manusianya terpampang, namun apa yang dikerjakan disana tidak jelas.
Mungkin hanya kongkow-kongkow saja, ngalor-ngidul mengupas yang bukan fungsi
dan tugasnya. Awam lebih melihat organisasi-organisasi lain, seperti LSM,
organisasi sosial, keagamaan, berfungsi/punya kegiatan rutin ketimbang
partai-partai politik. Sangat tak layak/aneh bin ajaib, lembaga yang seharusnya
pro aktif hadir ditengah-tengah masyarakat, namun disfungsional.
Fungsi partai politik
sebagaimana diatur dalam Undang Undang Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2008
dan UU No 2 Tahun 2011, sesungguhnya sudah mensiratkan bahwa partai harus
bekerja fungsional. Tidak hanya pada waktu pemilu, melainkan setiap waktu terus
bekerja, sebab fungsinya adalah; satu,
sebagai Pendidikan politik, dua, sebagai Pencipta iklim yang kondusif bagi
persatuan dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, tiga, Penyerap,
penghimpun, dan penyalur aspirasi, empat, Instrument partisipasi politik, dan,
lima, rekrutmen politik.
Jelas dan terang
benderang, seyogianya apa yang dilakukan di China, juga harus dilakukan disini.
Namun sebagaimana faktanya, yang kita saksikan hari-hari ini, partai politik
nyaris tidak pernah melakukan pendidikan politik di akar rumput. Begitu pula
fungsi-fungsi yang lain, seperti
program-program untuk mensejahterakan masyarakat, agregasi dan
artikulasi politik, instrument partisipasi, nyaris nihil melompong-mengongong-melolong,
bak tong kosong nyaring bunyinya.
Yang jalan, praktis hanya
fungsi kelima, yakni penyedia insan-insan untuk duduk dalam pemerintahan,
khususnya menjadi anggota DPR (legislatif). Tampillah insan-insan (out put)
yang lahir dari input dan proses yang kacau balau, amburadul, dan berantakan.
Sebagai konsekwensinya akan melesat anggota DPR yang tidak melaksanakan
fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pemilu atau UUD 1945.
Pulau
Terapung
Mereka bukan jembatan
antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara
demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik. Mereka menggunakan
jembatan hanya untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan birahinya.
Proses (yang sadar atau sebaliknya) telah terlembaga pada pemilu pertama era reformasi,
yakni pemilu 2004.
Pemilu yang sudah mulai
diwarnai money politics, yang menguat
pada pemilu 2009, terang benderang pada pemilu 2014, dan sudah dianggap tradisi
pada pemilu 2019. Pola jahanam yang kasat mata, namun anehnya tak ada ikhtiar
menghentikannya. Sudah tahu keliru, tapi tetap dipraksiskan.
Dipraksiskan, terutama
oleh elit, dan kiamatnya, entah mengapa dinikmati juga oleh masyarakat (sadar
tak sadar). Semua teriak tidak ke money
politics, namun realitanya, baik yang teriak maupun tidak, mayoritas
sama-sama menerima money politics. Kampanye
hanya formalitas, praksis-empiriknya adalah bagi-bagi sembako dan duit
(Ramlan Surbakti, K, 2018). Mau mengharapkan DPR berfungsi?
Mimpi. DPR sudah lepas
dari konstituennya. Mereka adalah pulau terapung di lautan masyarakatnya.
Lembaga, komunitas, atau kalangan yang akan melegalkan korupsi via revisi UU
KPK, kata Emil Salim cs setelah bertemu Jokowi tanggal 4 oktober yang lalu.
Oleh karena itu, meminjam litani Wiji Thukul “hanya satu kata, yakni lawan”.
Lawan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
∏
Lamp 2
PILKADA 2020;
PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol
UDA Medan
Published,
Analisa, 30 Jan 2020
Keasyikan
menimang-nimang balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau
lupa akan hakiki, untuk apa sesungguhnya
pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab
dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan
pilkada hanya memenangkan orang, sosok, atau aktor tertentu. Titik ! (hanya dan
hanya itu)
Sinyalemen
demikian dapat dilihat dari perilaku figur-figur tertentu yang mendaftar ke
segala partai, dan atau khususnya partai-partai politik yang melakukan koalisi
(persekutuan) tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang
secara ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan
misi politiknya berbeda, atau bertolak belakang, dengan partai lain, secara
permisif telah melakukan koalisi. Koalisi gaya apa itu? Koalisi jadi-jadian?
Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?
Partai
Kartel
Yang
pasti koalisi seperti itu tidak ada/tidak lazim (uncommon) dalam sistim
demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang
beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh
suatu yang tak masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler,
atau yang putih dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi
tanpa mengindahkan jati dirinya.
Ibarat air dan minyak, atau kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu
dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus
dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak mungkin
dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.
Namun
apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan
Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan
teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting
idola/jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.
Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti
hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada,
koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih
menyeluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan
partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.
Fenomenanya
dapat dilihat sejak/pada pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi
untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali
lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai ,
termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.
Pamungkasnya
adalah sistim pemerintahan/kekuasaan saat ini. Prabowo yang kalah dalam
perhelatan pemilihan Presiden, kini menjadi Menteri pertahanannya Jokowi. Kasus
yang belum pernah terjadi dinegara manapun.
Dengan
kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai diluar
pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR),
maupun judicatif (MK, MA).
Dan Slater
(2006), seorang Indonesianist yang
meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala
demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya
partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya
dalam sistim politik demokratis.
Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan,
hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak
ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho
Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio
University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa
ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai “partai kartel”.
Partai
yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk
menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan
sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para
elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)
Mereka
berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat
dengan model yang populer dengan sebutan rent
seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan
Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang
melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak
dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan
melindungi (Ambardi, K, 2008)
Ekwivalen,
analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI,
Century, kasus e-KTP, dan atau khususnya Jiwasraya yang sedang marak saat
ini. Meski pengadilan belum
memutuskannya, khalayak (public opinion)
sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan, karena partai-partai yang (ditengarai)
terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.
Pilkada
2020; Pelembagaan Kartel Politik
Demikian
pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati,
atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah
kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk
yang kalah, kembali lagi berkoalisi.
Berkoalisi
sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform,
dan program kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah
untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.
Adapun
metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah
cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD
direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal
motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri.
Sinyalemen ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item
atau butir per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas
peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan
kepentingan masyarakat.
Kasus
APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik
betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi
daerah dengan DPRD nya. Begitu pula kasus lem Aica Aibon 82 m di era Anis
Baswedan. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan
daerah?
Mungkin
sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijik
melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus
menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala
daerah yang ter OTT KPK, adalah fakta-empirik bahwa pemerintahan daerah sudah
terstruktur pada kartel politik. Pilkada 2020, tak lebih tak kurang terlembaga
dalam pola demikian.
∏
Lamp 3
Pembonceng
“Omnibus”
Bambang
Kesowo
Ketua Dewan
Penasehat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas;
Pengajar Sekolah Pasca Sarjana FH-UGM
Published
Kompas, 13 Februari 2020
“Memang sudah biasa bila ada orang yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan”
Begitu
pula ihwal naik bus. Berkendara bareng-bareng dengan arah yang sama untuk
tujuan sendiri-sendiri itu biasa. Itu terjadi dengan memakai omnibus seperti zaman lama di Perancis.
Arti asli omnibus memang itu. Namun,
membonceng untuk tujuan yang lebih besar dari sekedar bepergian, itu yang nyeleneh.
Apalagi kalau yang membonceng tergolong orang-orang berdasi. Mungkin pikirnya,
mumpung busnya sedang butuh muatan.
Kalau
di Indonesia, mumpung Presiden juga sedang puyeng saat membuat terobosan
kebijakan lewat omnibus demi upaya
penciptaan lapangan kerja. Apalagi jika hal itu ditempuh lewat perbaikan
perizinan berusaha, kemudahan berbisnis, percepatan investasi, dan
proyek-proyek pemerintah. Sekali lagi, Namanya juga mumpung. Syukur-syukur para
awak bus merasa bahagia karena para pembonceng merasa ikut menyukseskan trayek
dan awak bus karena berkontribusi membikin isi bus penuh.
Mengancam
kepentingan nasional
Apa
soal dan kemana arah prolog tadi? Coba amati keberadaan Pasal 111 RUU Cipta
Lapangan kerja tersebut. Cari dan cermati latar belakang pemikiran di balik itu
serta alas an kelahirannya. Pasal ada di Bab VI tentang Kemudahan Berusaha.
Demi kemudahan tadi, RUU ini merancang perubahan tujuh UU, diantaranya UU No 13
Tahun 2016 tentang Paten. Elaborasi perubahan setiap UU dirancang di bagian
tersendiri. Rumusan Pasal 111 RUU diatur di Bagian Ketiga: Ketentuan dalam
Pasal 20 UU No 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Inonesia Nomor 5922)
dihapus.
Lantas
bagaimana kaitannya dengan hal bonceng-membonceng tadi? Rumusan dalam Pasal 111
RUU memang sederhana (konfirmasi draft final per 11 februrai). Namun, ekornya
yang tak enak dan merusak tatanan tatanan UU Paten. Anggaplah UU bias diubah
dan hukumnya mawut. Akan tetapi, dampak isi Pasal 111 RUU itu merasuk jauh,
bahkan mengancam kepentingan nasional berikut desain politik yang sedari awal
disusun untuk meindungi kepentingan pembonceng itu sendiri!. Bias karena pintar
dan halusnya bujukan dari pihak yang membonceng, kebijakan yang maksud dan
tujuannya baik atau mungkin juga karena terlena dan kurang waspadanya pengemudi
omnibus. Pembonceng it ulet dan pintar. Mumpung pemerintah sedang butuh
investor yang digadang-gadang dapat menambah lapangan kerja.
Pasal
20 UU Paten yang dirancang akan dihapusitu menentukan; (1) pemegang Paten wajib
membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, (2) membuat produk atau
menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang transfer
teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Ketentuan
Pasal 20 UU Paten yang akan dihapus adalah pengaturan dalam Bagian Kelima
tentang Hak dan Kewajiban Pemegang Paten. Bagian itu di Bab II UU Paten yang
mengatur Lingkup Perlindungan Paten.
Mengapa
ketentuan yang justru dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih
teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja-dan jadi tujuan
kebijakan-malah mau dihapus? Menghapus (Ketentuan) Pasal 20 UU Paten artinya
meniadakan kewajiban penggunaannya untuk membuat produk atau menggunakan proses
yang diberi paten dan dilindungi di Indonesia. Tak hanya bagi warga Indonesia,
si pemegang paten warga asing juga punya kewajiban melaksanakan/menggunakan
patennya. Sama adil.
Namun,
baik untuk disimak, tak semua investor merupakan paten, dan tak selalu pemegang
paten adalah investor! Tak semua pemegang paten itu pengusaha, dan tak perlu
pemegang paten harus jadi pengusaha. Bila demikian halnya, dalam konteks
“Kemudahan Berusaha” seperti di atur di Bab VI RUU, dimana korelasinya sehingga
dirasa perlu mengutak-utik kewaajiban pemegang paten? Sedemikian mampatnyakah
logika sehingga harus menggunakan asumsi pemilik atau pemegang paten adalah
pengusaha atau investor?
Salah
satu prinsip UU Paten, sebagaimana dibangun dalam seluruh system HAKI, adalah
kewajiban menggunakan paten di Indonesia. Untuk apa diberikan hak kalau tak
diwajibkan menggunakannya? Manja amat. Hak diberikan melalui pendaftaran,
tetapi kewajiban juga harus dilaksanakan. Itu prinsip keseimbangan antara hak
dan kewajiban dalam hokum. Prinsip keseimbangan mendasar sifatnya, dan itu pula
yang ditanam serta akan diwujudkan di system paten. Secara substansial,
meniadakan kewajiban menggunakan paten yang di daftar dan di beri perlindungan
di Indonesia (termasuk bila investor itu
juga pemilik atau pemegang paten) hanya akan membuat investor yang di dorong
dan di elu-elukan di Indonesia berlaku sekadar sebagai agen penjulan di
Indonesia.
Sekali
lagi, itupun kalau investor. Bagaimana kalau pemegang paten asing itu bukan
investor? Patennya dilindungi di Indonesia, tetapi produk tetap dibuat sendiri oleh principal sebagai pemegang Paten
yang ada di negara asal. Sungguh lagi-lagi perlu dicermati pemegang paten belum
dan tak selalu berarti investor. Kalau bukan investor, lantas apa hubungannya
dengan kemudahan berusaha yang diberikan pemegang paten? Inikah yang Namanya
memperlancar dan meningkatkan investasi? Inikah yang dimaksud kemudahan
berusaha? Inikah tujuan penciptaan lapangan kerja?
Ada
yang lebih besar lagi. Kalau Pasal 20 UU Pten dimatikan, hilang pula makna
sejumlah rekayasa kebijakan yang di atur di Pasal 82 UU Paten itu. Pasal 82
merupakan bagian pengaturan konsepsi Lisensi Wajib, yang secara khusus di
bangun dalam Bagian Ketiga pada Bab VII UU Paten. Bab VII adalah wadah
pengaturan ihwal Pengalihan Hak, Lisensi dan Paten sebagai objek Jaminan
Fidusia. Bagian ketiga ini berisi 27 Pasal yang khusus mengatur Lisensi Wajib
(Pasal 81 hingga 107). Melalui Pasal 82, diwujudkan prinsip keseimbangan hak
dan kewajiban sebagaimana dari awal ditegaskan di Pasal 20 (yang justru akan
dihapus). Selain prinsip keseimbangan, juga soal ketertiban, disiplin, dan
kejujuran. Pasal 82 dengan sangat sadar dirancang untuk mencegah penyalahgunaan
(abuse) hak yang sudah diperoleh pemegang Paten. Dengan mematikan Pasal 20 UU
Paten, Pasal 82 kehilangan pegangan. Desain kebijakan politik yang dirancang di
Bagian Ketiga Bab VII UU Paten menjadi goyah.. system HAKI nasional
ditertawakan pembonceng. Hanya dengan sekali tepuk, Pasal 20 mati, dan rancang
bangun kebijakan politik yang dirumuskan dalam Pasal 81 hingga 107 kehilangan
makna. Malah runtuh.
Pasal
82 UU Paten mengatur: “Lisensi Wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan Paten
yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alas
an: a. Pemegang Paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk satu
menggunakan proses di Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pasal 20 ayat (1)
dalam jangka waktu 36 bulan setelah diberikan Paten; b, Telah dilaksanakan oleh
pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang
merugikan kepentingan masyarakat; atau c, Paten hasil pengembangan dari paten
yang telah diberikan sebelumnya tidak bias dilaksanakan tanpa menggunakan paten
pihak lain yang masih dalam perlindungan”.
Pasal-pasal
selanjutnya hingga Pasal 107 di Bagian Ketiga tadi berisikan jabaran dan tata
cara penerapan konsep Lisensi Wajib. Hanya dengan kata-kata sederhanan di Pasal
111 RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapuskan Pasal 20, kewajiban melaksanakan
paten di Indonesia ditiadakan. Pemegang Paten (bukan selalu berarti investor)
bebas dan tak harus melaksanakan patennya di Indonesia. Lebih dari sekedar
kebebasan yang dinikmati pemegang paten, kemungkinan untuk menggunakan paten tadi
oleh pihak lain – yang sengaja dibangun melalui UU Paten untuk menghindarkan
penyalah gunaan hak – juga ditiadakan. Kata jelasnya: betapa seluruh rancang
bangun politik dalam Bagian Ketiga tentang Lisensi Wajib, tanpa atau dengan
sadar, nantinya diruntuhkan oleh pemerintah
dan DPR sendiri.
Selain
hebat, pembonceng juga licin. Yang “kebangetan” jadinya ya kita sendiri.
“Nasihat” diberikan lewat Pasal 20, dan tak perlu harus lewat seluruh
pengaturan soal Lisensi Wajib. Dalam system
paten, konsep Lisensi Wajib (bersama konsep government use/penggunaan oleh pemerintah) memang dikenal sebagai
isu yang sensitive. Kalangan ahli HAKI sangat tahu, menyentuh langsung konsep
tersebut hanya akan mempercepat terbukanya kedok, identitas, dan niatan
pembonceng. Sebaliknya, dengan menghapus ketentuan Pasal 20 UU Paten, seluruh
bangunan konsep tentang Lisensi Wajib akan runtuh.
Kepentingan
korporasi besar
Dalam
sejarah perundingan HAKI, khususnya Paten sejak awal decade 1980-an di World
Intelectual Property Organization (WIPO), pro-kontra tentang konsep itu selalu
melingkupi forum. Begitu pul diperundingan Putaran Uruguay di GATT/WTO. Salah
satu kompromi politik yang akhirnya ditempuh dan memungkinkan kelahiran
“persetujuan”TRIPs-WTO adalah menyerahkan ke negara anggota untuk megatur
elaborasi dan implementasi konsep Lisensi Wajib dan government use dalam sistem hukum nasional masing-masing.
Batasannya,
sejauh hal itu sesuai prinsip-prinsip dalam persetujuan TRIPs (Trade Related
Aspects of Intelectual Property Rights) itu sendiri. Dokumen TRIPs tak melarang
Lisensi Wajib ataupun government use. Sejauh ini, semua UU di lingkup HAKI
termasuk UU No 13/2016 tentang Paten telah dibuat dengan mengindahkan
prinsip-prinsip itu.
Bukan
rahasia bahwa kompromi politik itu belum memberikan kepuasan ke banyak negara
industry maju. Di belakang sikap resmi negara-negara maju ada kepentingan
perusahaan multinasional, utamanya yang bergerak di bidang farmasi/pembuatan
obat. Mengejar rasa tak puas itulah, mereka terus berusaha mewujudkan apa yang
belum bias dicapai dalam persetujuan TRIPs lewat berbagai for a multilateral
seperti APEC dan (antar) regional seperti Uni Eropa , ASEAN, bahkan bilateral
melalui perundingan Free Trade Agreement (FTA) atau skema komprehensif lain.
Perundingan pemberian bantuan Teknik atau keuangan pun seringtak lepas dari
kepentingan tadi.
Kepentingan
ekonomi dan dagang dalam HAKI yang bermotif dan menonjolkan karakter
monopolistic itulah yang sebenarnya sangat ingin diperjuangkan dan dipertahankan.
Mereka banyak menguasai paten untuk produk-produk obat yang sering kali dalam
banyak bencana, yang mengancam kehidupan manusia, justru diperlukan banyak
negara. Kalau bisa mengendalikan pasar , volume produk, dan harga dari
negaranya, mengapa harus susah-susah membuat di negara lain? Sekali lagi, tak
selalu pemegang paten adalah investor. Mendaftarkan paten, mereka hanya
membutuhkan perlindungannya. Bukan selalu berarti akan berusaha. Karena itu,
kalau Pasal 111 RUU Cipta Lapangan Kerja menjadikannya sebagai asumsi bahwa
pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia, disitulah
mungkin pangkal kekeliruannya. Mereka senang, sedangkan kita telanjang!
Bukankah sebagai metode, omnibus bkan lantas berarti “sapu jagat”, dan jauh
pula dari arti amuk-amukan? Tiadakan sajalah perumusan Pasal 111 tersebut.
Pembahasan
RUU Cipta Lapangan Kerja mungkin masih berlangsung dalam musim wabah corona
akhir-akhir ini. Sebelumnya ada SARS dan MERS. Juga flu burung dan campak
monyet. Begitu pula HIV/AIDS. Semuanya belum ada vaksin pamungkasnya.
∏
Dengan ketiga artikel demikian,
diharapkan para mahasiswa sudah paham, apa yang dimaksud dengan Partai Politik,
Pemilu, dan Lembaga Legislatif, yang menjadi unsur utama dalam pendekatan sistem Politik, yang diterapkan pada mata kuliah ini. Salam dan bahagia
PERTANYAAN
1. Jelaskan secara singkat frasa “proses” dalam mata kuliah ini.
2. Jelaskan secara singkat pengertian “sistem”, menurut yang
saudara/I ketahui.
3. Sebutkan artis-artis yang menjadi anggota DPR RI periode ini.
4. Adakah dari mahasiswa-mahasiswa yang ikut mata kuliah ini terjun
di Partai Politik?
5. Adakah keluarga atau family dekat saudara yang menjadi anggota
DPR/DPRD?
[1]
Dalam buku Miriam Budiardjo ini, Legislatif dibahas pada halaman 315-350,
Partai Politik hal 397-461, dan sistim Pemilu, hal 461-489
Tidak ada komentar:
Posting Komentar