PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DUNIA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
PUBLISHED, WASPADA, 11 JUNI 2020
PUBLISHED, WASPADA, 11 JUNI 2020
Pidato
Bung Karno mengkritik habis-habisan konsep Barat yang membuahkan Imperialisme,
kapitalisme, dan kolonialisme, dan menawarkan Pancasila yang humanis sebagai
alternatifnya
Ketika
Pancasila di rumuskan pada tanggal 1 Juni 1945, suasana dunia saat itu adalah
“Imperialisme dan Kolonialisme”, yakni banyak negara yang masih terjajah.
Terjajah oleh imperium negara-negara atau bangsa-bangsa Barat/Eropa, yang
kemaruk hasil-hasil kekayaan negara jajahan. Tidak terkecuali Indonesia yang
sekian abad dijajah Belanda. Betapa pedih dan menderitanya, suatu bangsa
jajahan, rasanya tidak perlu lagi diuraikan, sebab manusia sudah memahaminya.
Semua paham bahwa imperialism-kolonialisme
adalah inhuman, melanggar kemanusiaan alias dehumanisasi. Oleh karena itulah
perumus Pancasila, khususnya Bung Karno, dengan tekad yang kuat mencantumkan “Kemanusian”
sebagai salah satu sila utamanya. Sila
yang juga diangkat dari titah-titah tokoh dunia saat itu, seperti pemikir besar
Sosialis, AA Baars, pendiri China, Dr Sun Yat Sen, yang menorehkan San Min Chui
(nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme), serta Bapak India, Mahatma Gandhi,
yang mengumandangkan “my nationalism is humanity” (nasionalisme saya adalah
kemanusiaan).
Pemikiran yang
sesungguhnya tidak baru, tidak istimewa, karena hakiki kemanusiaan sudah
melekat (inheren) pada kehidupan atau manusia itu sendiri, sebagaimana pesaan
setiap “budaya”, dan titah yang diajarkan “Pencipta” dalam kitab-kitab sucinya.
Pemikiran yang biasa saja, pemikiran yang sesungguhnya, justru paling dipahami
oleh penjajah/kolonial, namun entah mengapa, mereka tetap saja melabraknya.
Mustahil/Non sense,
penjajah yang katanya adalah bangsa/negara yang berbudaya tinggi, yang
berTuhan, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologis, serta yang memiliki
kelebihan-kelebihan yang lain tidak memahami penjajahan sebagai inhuman. Namun
sebagaimana disebut sebelumnya, mereka tetap saja menabraknya. Tetap saja
birahinya lebih utama dari akal sehatnya.
Menolak
Perang Dingin
Konstatasi yang
membenarkan pandangan kaum realis, dan atau khususnya kalangan Marxis, yakni
(bahwa) kehidupan itu pada dasarnya adalah konfliktual, antagonistik, dan
anarchis, yang harus diselesaikan dengan jalan kekerasan, atau perang. Tidak
dengan jalan damai yang lebih soft, seperti dialog, bujukan, persuasi, atau
diplomasi sebagaimana diajarkan para moralis atau kaum idealis.
Fakta-empirik terhadap
pandangan ekstrim demikian, dapat dilihat, ketika Perang Dunia II selesai, yang
ditandai dengan bertekuk lututnya Jepang terhadap Sekutu, yang dipimpin AS,
tidak membuat perang selesai. Perang pembebasan kemerdekaan dimana-mana masih
terus berlangsung, pada hal setahun sebelumnya, (tahun 1944), baru saja
dibentuk Lembaga yang tujuan utamanya menghindari perang dan menciptakan
perdamaian, yakni Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB/UNO).
Diseluruh penjuru dunia,
khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pendudukan (ooccupation) yang
ditopang militer masih terus berlangsung. Imperialism/Kolonialisme sebagaimana era
sebelumnya, tetap bercokol di ketiga wilayah itu. Sang kolonial terus menjajah
dengan dengan segala pola dan variannya, sebagai konsekwensi dari power
politics yang berubah, yakni tampilnya dua raksasa baru, (yang sebelumnya tidak
terlibat kolonialisme), yakni AS dan Uni Soviet.
Kedua super power ini,
diam-diam melesat syahwat kolonialnya, sebagaimana yang dipraktekkan sekutu-sekutunya.
Mereka terlibat dalam perang baru yang namanya terkenal dengan sebutan perang
dingin (cold war). Perang yang tidak frontal antar mereka, melainkan perang
yang melibatkan negara lain sebagai ajangnya. Mereka yang perang, namun negara-negara
lain yang korban utama.
Perang yang nyaris
menyeret seluruh negara terjun perang dunia III, kalau saja, Mc Arthur,
panglima perang AS dalam Perang Korea saat itu, tidak ditarik Washington pulang
ke negerinya. Arthur sebagaimana sejarahnya, telah berencana meluaskan perang melewati
Korea (hingga China), dan akan meledakkan senjata-senjata pemusnah baru disana.
Namun sebelum ide gila itu
diwujudkan, ia (Arthur) ditarik ke Washington oleh Harry S Truman, (presiden AS
saat itu). Ia digantikan Letjen Matthew B. Ridgway, seorang militer yang lebih
memilih jalan diplomasi(soft), dialog, dan persuasi ketimbang persfektif perang.
Meminjam Clausewitz (ahli perang dari Jerman), diplomasi sebagai kelanjutan
perang
Dengan segala
pertimbangan realis dan idealisnya, yakni membludak/banyaknya manusia, dan atau
khususnya tentara yang tewas, besarnya kerugian materil/moril, plus kekuatan
lawan (Korea Utara) yang disokong China dan Uni Soviet dengan persenjataan yang
semakin besar, akhirnya memaksa kedua pihak menempuh kesepakatan, yakni
gencatan senjata (cease fire) pada tahun 1953.
Kesepakatan yang hingga
hari ini belum berubah, yakni kedua negara secara hukum masih dalam suasana
perang, belum dalam suasana damai. Suasana yang terus langgeng, karena kedua pihak
yang berseteru, yakni AS yang berpaham Liberal-Kapitalis, dan Uni Soviet yang
beraliran Sosialis-Komunis tetap menghadirkan militernya dalam jumlah besar
disana (siap-siap jika perang Meletus).
Keadaan yang dalam
perjalanan selanjutnya, terus meningkatkan ketegangan dunia. Ketegangan yang
terus tereskalasi, sebab kedua adi kuasa berlomba-lomba membangun militer dan
persenjataannya secara besar-besaran. Termasuk pembangunan pakta-pakta
pertahanan ang disponsori AS, seperti NATO di Atlantik, SEATO di Asia tenggara,
Cento di Asia Tengah, perjanjian militer AS-Jepang, yang mengijinkan Okinawa
sebagai pangkalan milter AS, dan yang disponsori seterunya, yakni Uni Sovet
membangun pakta pertahanan yang bernawa Pakta Warsawa (Warsaw pact).
Keadaan yang selanjutnya
melesatkan apa yang disebut “polisi dunia, tanpa pemerintahan dunia”. Kedua
pihak melakukan maneuver, patroli, dan menebar ancaman dimana-mana. Di seluruh
penjuru dunia yang letaknya strategis ditempatkan moncong-moncong nuklir/rudal
yang setiap saat siap diledakkan, namun tidak di ledak-ledakkan. Hanya show of
force untuk menakut-nakuti pihak lawan, dan negara-negara lain yang tak
mendukungnya. Dunia seakan-akan hanya milik mereka berdua.
Ideologi
Dunia
Negara-negara lain,
khususnya Indonesia, yang tidak sepaham dengan politik jahanam demikian, dengan
perlahan menyusun perlawanan moral (moral force). Negara-negara ini
berpandangan bahwa dunia ini tidak hanya milik AS plus sekutu-sekutunya yang
Liberalis-Kapitalis, dan Uni Soviet dengan sekutu-sekutunya, yang
Sosialis-Komunis, melainkan negara-negara nasional yang cinta damai dan
kemerdekaan.
Dengan dimotori
Indonesia, negara-negara yang berpaham nasionalistik ini, berketetapan hati
tidak akan terlibat perang dingin, dan tidak mengikuti pola-pola yang mereka
paksakan, yakni harus memilih salah satu diantara mereka. Tidak !. Dengan
landasan Pancasila, Indonesia menggalang negara-negara lain yang sepaham
melakukan perlawanan moral, yang diwujudkan dalam Konperensi Asia Afrika April
1955.
Sebagai manifestasi
selanjutnya, yakni dalam Sidang Umum PBB XV, 30 september 1960, dengan dorongan
Yugoslavia, Persatuan Arab, India, Ghana, dan Birma, Bung Karno, yang mewakili
mereka menyampaikan pidato yang berjudul To build Worl A New (membangun dunia
kembali).
Bung Karno mengkritik
habis-habisan konsep Barat yang membuahkan Imperialisme, Kapitalisme, dan Kolonialisme,
yang membuahkan dehumanisasi, dan menawarkan Pancasila yang humanis sebagai
alternatifnya. Alternatif yang (tetap) relevan dengan dunia saat ini, yang
didominasi ideologi neo-liberalisme, dan tertawan Covid-19. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar