JEBAKAN THUCYDIDES DALAM RELASI CHINA – AS
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 22 Agustus 2020
Menyerah pada benda yang tak terlihat, yang bernama Covid-19 adalah fenomena dunia saat ini. Biasanya manusia, bangsa, dan negara, menyerah kepada hal-hal yang terlihat, yang garang, dan lazimnya menyeramkan, seperti bom atom misalnya. Jepang menyerah tanpa syarat ke AS dan Sekutu setelah negara itu di bom di Hiroshima dan Nagasaki, yang menimbulkan ratusan ribu tewas.
Begitu pula negara-negara Eropa Timur takluk ke Uni Soviet setelah negaranya diduduki tentaranya dengan militer dan alat-alat perang yang canggih, yang daya ledaknya jauh lebih dahsyat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Analog dengan Irak belum lama berselang, menyerah dan diduduki, setelah AS mendaratkan militernya disana, dan lain-lain kasus bertekuk lututnya suatu negara, karena pendudukan militer.
Setidak-tidaknya karena ditakut-takutin secara militer atau bentuk kekerasan-kekerasan lainnya, yang jelas terlihat dan dapat dirasakan. Tidak seperti yang terjadi saat ini, menyerah kepada benda-benda yang terlihat, bak mithos atau hantu. Bagaimana mahluk-mahluk demikian bisa menaklukkan? Jawaban yang sederhana tak mungkin ditemukan.
Masih banyak misteri, dan tanda-tanda tanya besar dibaliknya. Masih banyak dugaan-dugaan (hipotesis) yang bisa benar bisa salah, yang hanya akan terungkap pada perjalanan sejarah selanjutnya. Masalah-masalah global, sebagaimana masalah kehidupan pada umumnya tidak selalu dapat diprediksi secara masuk akal (rasional). Tidak selalu dapat diduga secara general, atau dibuktikan dengan konsep-konsep ilmiah nan empirik.
Bisik-bisik Trump dengan pengikut setianya yang hegemonik dan membabi buta, apa bisa dibuktikan secara ilmiah? Siapa yang tahu itu, selain mereka yang berkomplot di dalamnya? Bisik-bisik segelintir pengusaha raksasa dunia yang akan melakukan kartel, dan memaksakan agar produknya dibeli seluruh dunia, apa bisa dilihat secara kasat mata, dan di dengar secara jelas?
Rivalitas AS versus China
Tidak mungkin itu. Bisik-bisiknya ketahuan (umumnya) setelah terjadi bencana, seperti perang, pendudukan, pembantaian. Atau setelah keluar keputusan-keputusan tententu dari meja perundingan tertutup, seperti peraturan-peraturan perdagangan yang merugikan negara-negara sedang berkembang/miskin, dan atau menggantung negara-negara pengutang dengan syarat-syarat yang menyeramkan.
Disinilah relevansi dan pentingnya teori konspirasi yang sukar dibuktikan secara ilmiah, namun sering menunjukkan kebenarannya, meski tanpa uji empirik-ilmiah. Sebaliknya, banyak juga yang tidak percayai dan melecehkannya. Artinya, ada yang menduga bahwa Covid-19 itu bukan virus alamiah, melainkan adalah virus bikinan (rekayasa), yang dibuat untuk maksud-maksud tertentu (vested interest). Penemu virus HIV/AIDS, yang menjadi pemenang Nobel tahun 2008, Prof Ivc Montagnier, menyatakan bahwa Virus Covid-19 di buat di Laboratorium (C news Channel, 19 April 2020)
Terserah mau meyakini yang mana, yang alamiah atau rekayasa, yang pasti virus itu sudah mengglobal, sudah fenomenologis, dan sudah membuat mayoritas manusia tiarap ketakutan di rumah masing-masing. Ketakutan tidak saja secara fisik, lebih dari situ adalah secara psikhis/kejiwaan, yang jika berlangsung lama sangat membahayakan. Namun apa daya hanya itu yang bisa dilakukan.
Dari ketakutan ke ketakutan, yang sampai kapan kuatnya, masih sukar diprediksikan. Apakah mereka akan kuat dalam waktu lama? Apakah negara sanggup membiayai dalam waktu lama? Apakah kiat-kiat yang disarankan WHO dengan karantina total, alias lockdown, penjarakan antar manusia (social and fisical distancing), pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sudah tepat pada jalurnya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka, yang jawaban akuratnya belum ditemukan.
Apalagi Thedros Adhanom Ghebreyesus, dirjen WHO sendiri, terang-terangan mengakui bahwa, metode yang ditempuh saat ini hanyalah langkah medis biasa, menghindarkan penularan yang lebih luas. Bukan langkah yang sesungguhnya, apalagi pamungkasnya. Langkah seperti itu ada di luar ranah medis/kesehatan, melainkan pada politik, yakni kesatu-paduan (kolaborasi) seluruh negara memeranginya. Seluruh negara harus satu komando/bersatu melawannya.
Tidak seperti sekarang yang terkesan parsial, yakni hanya secara sendiri-sendiri. Tidak seperti waktu-waktu sebelumnya, bersatu padu secara mondial-global menuntaskan SARS, MERS, Ebola, AIDS, sehingga cepat tuntas.
Tidak terfragmentasi, alias mengutamakan negara sendiri, dan cuek kepada negara lain. AS yang menjadi leading dalam pembrantasan-pembrantasan sebelumnya, seperti ketika menangani kasus Ebola dan SARS, kini praktis tidak hadir sama sekali. Tidak saja, tidak hadir, atau tidak mau berpartisipasi, seperti memberikan sumbangan sebagaimana sebelum-sebelumnya, malah sebaliknya menghentikan bantuannya, dan menuding WHO sebagai tidak kredibel.
Tidak cukup disitu, yakni selain tidak mau berpartisipasi secara multilateral, dan memberikan sumbangan, yang sangat memilukan, AS/Trump terus melancarkan konfrontasi dengan negara-negara lain, khususnya dengan China. China dituding sebagai biang kerok dari pandemi Covid-19, yang harus diselidiki, dan harus membayar kerugian dunia akibat penyebarannya, meski pendapat yang sebaliknya juga banyak bermunculan, yakni bahwa asal virus tersebut justru dari AS.
Seakan-akan persetan dengan tudingan Trump tersebut, bak anjing menggonggong kafilah jalan terus, sebaliknya China menanggapinya dengan moderat dan diplomatis. Dengan tulus, China bersedia mengggantikan kewajiban-kewajiban AS di WHO, yakni membayar atau memberikan sumbangan, yang jauh lebih besar dari yang diberikan AS sebelumnya. Cina berjanji akan memberikan bantuan dua milyar dollar AS, sedang AS hanya 400-500 juta dollar setahun (K, 15 Juni 2020).
Begitu pula dalam hal bantuan medis yang sangat dibutuhkan banyak negara. China yang sukses dalam waktu singkat memerangi gempuran Covid-19, bersedia memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkannya, yang selama ini juga menjadi domain AS.
Negara-negara yang dibantu ini, justru atau terutama adalah negara-negara pengikut atau sahabat lama AS, yakni negara-negara di Eropa (Italia, Perancis, Spanyol, Belanda). Alat-alat medis dan tenaga kesehatan China dengan jumlah yang besar mengalir deras kesana. Begitu pula ke negara-negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
Jebakan Thucydides
Demikian pula dalam hal yang sangat vital, yakni masalah bantuan ekonomi. China yang dianggap sangat pelit dan hanya memburu kapital sebanyak-banyaknya, tidak terbukti sama sekali. China tetap moderat, dan mengajak negara-negara lain, seperti G-20 melakukan moratorium utang selama delapan bulan bagi negara miskin (plus bantuan ekonomi lainnya kepada negara-negara miskin tersebut).
Analog dengan pembuatan/kebijakan vaksin Covid-19. China sebagaimana kemajuan teknologinya telah memformulasikan lima calon vaksin Covid-19, yang sedang melakukan uji klinis. China berjanji akan melakukannya sebagai “barang publik global”, dan memberikan akses kepada negara lain dengan harga yang terjangkau. Tidak seperti AS, yang mengembangkan vaksin hanya untuk kepentingan domestiknya.
Singkatnya peran-peran yang selama ini dilakoni AS, kini kecenderungannya mulai digantikan China. Ia tidak lagi realis-merkantilis-isolasionis seperti dulu, melainkan sudah globalis/liberal/multilateralism . Dan menurut pengamat masalah-masalah Internasional, justru disinilah “sentral masalahnya”, yakni China berpeluang besar menggantikan hegemoni AS sebagai pemimpin dunia? Apakah AS merelakannya?
Mengutif Graham Allison dalam bukunya yang terbit tahun 2017, Destined For War: Can America and China Escape Thucydides Trap, menyatakan perang tidak bisa terhindarkan kala kekuatan baru sedang berusaha bangkit dan kekuatan lama berusaha mempertahankan dominasinya, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Yunani, yakni antara Sparta dan Athena. Kala itu masyarakat Sparta ketakutan, karena Athena yang terus menguat, baik dalam ekonomi, politik dan terutama dalam hal angkatan bersenjata/militer, yang pada muaranya meletupkan perang.
Allison dan pakar-pakar perang lainnya menyebutnya sebagai jebakan (trap) Thucydides. Suasana yang mendorong dan menjebak dua pihak konfliktual, berseteru, atau saling antagonistis. Persfektif yang kecenderungannya dapat menjelaskan relasi China dan AS saat ini. Dua negara super power yang terperangkap dalam hubungan yang tidak harmonis, yang saling berebut pengaruh di seantero dunia, sebagaimana yang terjadi pada waktu perang dingin (cold war) pasca perang dunia II.
Konstalasi yang menarik negara-negara lain terlibat di dalamnya. Terlibat dalam mendukung salah satu adi kuasa yang sedang bersaing, sesuai kepentingan nasionalnya (national interest). Dalam suasana seperti ini, sebagaimana dirindukan Tedros Adhanom Ghebreyesus, agar tampil kerjasama global untuk memerangi Covid-19, tidakkah suatu yang ahistoris? Mudah-mudahan tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar