Kamis, 03 September 2020

KONTROVERSI TRUMP JELANG PILPRES AS

 


 

KONTROVERSI TRUMP JELANG PILPRES AS

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Waspada, 3 Sept 2020.

Anomali, paradoks, dan kontroversi Trump, harus dilihat tidak hanya dengan kacamata kuda, linier, atau satu paradigma. Harus ditelaah dari berbagai persfektif

Dengan gayanya yang erratic, semrawut, dan tak teratur (Prof Robert Jervish, dalam Liddle, K, 16 Maret 2019) Trump Kembali, dan kembali lagi dengan kontroversi-kontroversinya. Kali ini adalah tudingannya terhadap calon Wapres dari partai Demokrat, Kamala Harris, yang disebutnya bukan warga negara AS, sebab ketika ia lahir tahun 1964 di Amerika, kedua orang tuanya belum warga AS (ibunya, Syhamala Gopalan, warga negara India, dan ayahnya, Donald J. Harris, warga negara Jamaika).

Bagaimana selevel partai demokrat memilih figur yang bukan warga negara menjadi kandidat Wapresnya sungguh-sungguh suatu yang tak masuk akal (imposible). Apalagi Kamala Harris, saat ini adalah Senator dari California, bagaimana mungkin ia bukan warga negara AS? Apa sebodoh itu elit, pengurus, dan konstituen demokrat menentukan pilihannya? Sungguh ngawur dan nyeleneh kata orang Jawa.

Namun apapun dalihnya, apakah ia ngawur, nyeleneh, atau meminjam Prof Jervish sebagai erratic, semrawut, dan tak teratur, Trump sudah fenomenologis. Telah menunjukkan jati diri dan kedigdayaannya, meski mayoritas masyarakat dunia tidak menyukainya. Ia adalah produk dari apa yang dikenal dengan “paska kebenaran” (postruth), dan saat ini diperjelas dengan istilah “birther movement”, alias gerakan kebohongan.

Trump kecenderungannya akan tetap dengan kiat - pola demikian. Ia akan terus mempraksiskan, bahkan menggandakan postruth dan birther movement dalam praksis-praksis politik, khususnya dalam kampanye pilpresnya. Sebagaimana banyak dituduhkan, ia akan terus memaksimalkan hoaks dan lain-lain bentuk propaganda, (khususnya) melalui media sosial.

Pola yang terbukti ampuh dalam periode pertamanya. Apakah dalam pilpres 3 November yang akan datang ini, ia masih unggul akan rivalnya Joe Biden yang memilih pasangan kulit hitam, yang merupakan antitese Trump? Yang dalam/selama pemerintahannya sangat teraniaya dan termarjinalkan?

Mengembalikan kejayaan Amerika

Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana, tergantung dari sudut, sisi, dan persfektif mana    menelaahnya. Bagi penganut kemapanan (establish/mainstream), atau kalangan liberal-idealis, mungkin akan memprediksi Trump akan kalah, sebab kalangan kulit hitam yang lagi marah saat ini karena kasus terbunuhnya George Floyd oleh polisi kulit putih, dan kasus-kasus sejenis sebelumnya, akan menumpahkan suaranya ke Biden.

Sebaliknya bagi mereka yang meneropong dari kacamata realis, perilaku (behavior) Trump nan anomalis demikian adalah lumrah (common). Tak ada yang aneh, yang anomalis, atau yang out of context. Biasa-biasa saja. Tidakkah normal untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara? (Machiavelli dan Morgenthau, H, 2005).

Bagi kaum realis, sebagaimana dipraksiskan Trump, dan partai Republik umumnya, kekuasaan adalah segala-galanya. Segala kiat akan diikhtiarkan mencapainya. Bila perlu dengan tekanan fisik atau perang. Untuk apa bermoral-moral ria kalau harus kalah, begitu prinsipnya (Robert Jackson dan George Sorensen, 2005).

Oleh karena itu, apapun taruhannya harus menang, harus unggul, agar dapat berkuasa dan selanjutnya mengimplementasikan kebijakannya. Kebijakan yang bagaimana? Disinilah letak super kontroversialnya. Mayoritas dunia menganggapnya tak lazim (un common), karena bertolak belakang dari pendahulu-pendahulunya yang globalis - multilateralism. Sebaliknya bagi diri, faksi, dan atau khususnya konstituennya, yang pragmatis – realis, strategi itu harus ditempuh, agar AS tidak terjerembab lebih dalam sebagaimana diutarakan Trump dalam kampanye periode pertamanya.

Trump saat itu dalam bukunya “Amerika Yang Lumpuh” (Crippled America), mendendangkan bahwa ia mewarisi Amerika yang sakit, yang menderita, yang miskin, yang mundur, yang tak bisa diselesaikan pendahulu-pendahulunya (Obama, Bush Jr, Bush Sr, Clinton etc). Hanya ia yang bisa menyelesaikannya.

Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah, mundur dan defisitnya perekonomian Amerika ke tingkat nadir, akibat terlalu banyak membiayai organisasi-organisasi kerjasama Internasional (antara lain, NATO) pasca perang dunia II, membesarkan dan melindungi negara-negara sekutu yang lama kelamaan akhirnya menerkamnya secara ekonomi, seperti Jepang dan Eropa Barat (membesarkan anak harimau), membuka diri sebebas-bebasnya kepada pendatang asing beremigrasi ke Amerika, yang dalam perjalanannya, step by step malah menggusur pekerja domestiknya, membebaskan pengusaha-pengusaha domestiknya ekspansi ke luar (MNCs/TNCs) sehingga membawa kapital ke luar, dan tidak memberikan pekerjaan bagi rakyat Amerika.

Sebagai jalan keluar (way out) tiada lain-tiada bukan dibutuhkan tindakan berani dan tegas, tindakan luar biasa, tindakan revolusioner, yang tidak mengikuti konsensus-konsensus sebelumnya, seperti; menutup perbatasan dengan membangun tembok dengan Meksiko, melarang immigran dari 9 negara Islam yang dituding sarang teroris, keluar dari Trans Pacifik Partnershift(TPP), mengeksekusi NATO sebagai organisasi yang usang, tindakan tegas kepada mitra-mitra dagang yang membuat perdagangannya deficit, khususnya China, dan lain-lain kebijakan yang nasionalistik, realis, dan bahkan merkantilis.

Konsep yang tidak sekedar retorika, di atas kertas, atau ancaman belaka, melainkan konsekwen dalam tindakan/praksisnya. Meski mendapat tantangan, cemoohan, dan sekian banyak kritik dari dalam dan luar negeri, Trump tak bergeming/tak peduli, melainkan tegar memenuhi janji-janji politiknya ketika kampanye.

Sinyalemen demikian dapat dilihat ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Trump langsung memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap 15 negara mitra dagang (termasuk Indoneia) yang merugikannya. Tanpa alasan objektif, Trump menuding bahwa negara-negara ini telah melakukan kecurangan dalam perdagangan kedua negara sehingga Amerika mengalami defisit.

Untuk mengembalikannya ke posisi semula, metode yang ditempuh adalah membalikkan paradigma yang berlaku sebelumnya, yakni tidak mengikuti mekanisme atau prosedur seperti yang di atur dalam rezim perdagangan bebas (WTO). Pola yang diterapkan cenderung an sich demi kepentingan nasional (national interest), yakni, melindungi produsen dalam negeri, menaikkan pajak impor, membatasi kuota impor, dan memaksakan negara-negara lain menerima produknya (merkantilis).

Terhadap negara-negara yang berhimpun dalam NATO, Trump mengultimatum agar meningkatkan kontribusi, pembayaran atau iurannya. Dengan garang beliau mengancam, jika tidak menaikkan kontribusi/kewajibannya, NATO akan dibubarkan, dan masing-masing negara anggota menjaga keamanannya sendiri, tidak lagi dibawah payung nuklir Amerika.

Tercatat yang paling keras tekanan, atau ancamannya adalah ke Jerman, Perancis, Jepang, Italia, dan lain-lain negara Eropa karena sudah mendapat perlindungan/payung nuklir selama ini. Dengan tegas bak superman yang turun dari angkasa, Trump menekan Merkel, Macron, Abe dan lain-lain pemimpin anggota NATO, agar menuruti perintah sepihak tersebut.

Meski bersungut-sungut, merengek-rengek dan berat hati, semua anggota NATO kecenderungannya tiada pilihan lain selain mengikutinya. Masing masing negara tersebut telah berjanji akan memenuhinya secara tahap demi tahap, meski ada bisik-bisik agar masing-masing negara, mulai melepaskan ketergantungannya.

Tidak cukup dengan ancaman/kontroversial demikian, Trump semakin menggandakan anomali dan paradoksnya, yakni secara sepihak menyatakan keluar dari kesepakatan Paris tentang perubahan iklim yang sebelumnya telah disepakati pendahulunya (Obama). Beliau menganggap kesepakatan itu sebagai yang terburuk, karena mengganggu perekonomian Amerika.

Begitu pula kesepakatan nuklir dengan Iran, Amerika keluar dari perjanjian itu. Tanpa pembicaraan/perundingan sebelumnya dengan mitra-mitranya seperti, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan Jerman, yang juga telah didukung Resolusi Dewan Keamanan PBB No 2231, tanggal 8 Mei 2018, secara sepihak Trump membatalkannya. Selain tak membayar kewajibannya lagi membantu Iran, Trump malah menuduh negeri itu menjadi sarang teroris yang harus dihancurkan.

Kontroversi Sebagai strategi

Dihancurkan tidak hanya dengan kekuatan Amerika an sich, melainkan mengajak (tepatnya menggiring) seteru-seteru Iran disana, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Saudi Arabia. Trump menghadirkan armada perangnya dikawasan teluk, sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membeli persenjataan besar-besaran dari Amerika. Akankah perang meledak disana? Belum ada yang tahu.

Namun sebagai perbandingan, apakah perang akan tampil disana, ideal dihubungkan dengan perkembangan di Asia Timur sebelumnya.  Meski tidak persis sama, perang demikian tidak akan terjadi. Betapa dahsyat dan garangnya kala itu Trump mengancam Korea Utara yang doyan menguji misil balistiknya di kawasan, namun setelah pertemuan dengan Kim Jong Un (pemimpin Korea Utara) di Singapura, dengan sekejap permusuhan itu sirna.

Kapal-kapal perang AS yang sudah siaga disana, dengan sekejap pula ditarik kembali ke pangkalan. Begitu pula gelar yang diolok-olok Trump ke Kim Jong Un sebagai the little rocket man (yang doyan menguji coba/menembakkan roket), berubah menjadi the great statesman (pemimpin cerdas).

Trump gemilang dengan diplomasi perangnya. Kim berhasil digiring ke meja perundingan secara unilateral sebagaimana pola, model, atau strategi yang diinginkannya. Meski tidak membuahkan hasil yang significan, diplomasi/strategi ini berhasil menunjukkan bahwa ia dan angkatan perangnya adalah penentu keamanan disana.

Konstalasi  yang selanjutnya memaksa Korea Selatan, khususnya Jepang tetap dalam dekapan ketiaknya, dan jauh di atas itu kemudian adalah kesuksesannya menekan Jepang mengurangi deficit perdagangannya.

Dalam pertemuan dengan Shinzo Abe di Jepang Juni 2019, meski dengan berat hati Jepang melunak dan akan mengurangi agresifitas ekonominya, dan membeli persenjataan-persenjataan berat, seperti bomber B 52 secara besar-besaran dari Washington. Pucuk dicinta ulam tiba. Tidakkah itu yang diinginkan Trump?

Begitu pula yang terjadi hari-hari ini di Laut Cina Selatan (LCS), dimana Trump memerintahkan dua kapal induk, yakni Nimitz dan Ronald Reagan bukan untuk meletupkan perang disana. Strategi itu adalah melindungi sekutu-sekutunya, meneror China dalam rangka perang dagang, dan terutama adalah menarik simpati pemilih/konstituennya pada 3 November yang akan datang.

Demikianlah anomali, paradoks, dan kontroversi Trump, yang harus dilihat tidak hanya dengan kacamata kuda, linier, atau satu paradigma. Harus ditelaah dari berbagai persfektif/pendekatan.  Secara globalis – multilateralism, ia erratic, semrawut, dan tak teratur, namun secara realis – unilateralis - pragmatis, ia adalah seorang nasionalis, yang berjuang semata-mata demi kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu kontroversi, anomali, atau paradoksnya hanyalah kiat mencapai tujuan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar